Tuesday 31 July 2012


Presiden Perlu Meminta Maaf Kepada Publik
Senin, 30 Juli 2012 | 21:14
Asvi Warman Adam. [Antara]Asvi Warman Adam. [Antara]
[JAKARTA] Presiden atas nama negara dan pemerintah perlu minta maaf kepada publik atas sejumlah pelanggaran hak azasi manusia di masa lalu, termasuk peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) pada tahun 1965. 

Demikian sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam dalam diskusi bertema “Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Masa Kini” yang didakan di Gedung MPR, Senin (30/7).  Turut menjadi nara sumber pada acara diskusi itu adalah Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saefuddin dan Anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir. 

Menurut Asvi, permintaan maaf tersebut merupakan bagian dari solusi agar sebagian hak kelompok masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM berat tersebut terpenuhi. Permintaan maaf tersebut, ujarnya, juga harus diiringi dengan satu janji bahwa negara yang diwakili pemerintah tidak akan melakukan tindakan yang sama. 

“Permintaan maaf itu perlu disampaikan presiden saat ini (Susilo Bambang Yudhoyono) atas nama negara. Kemudian pemerintah berjanji tidak akan mengulangi pelanggaran HAM,” katanya. 

Menurut Asvi, pelanggaran HAM tidak saja terjadi pada masa Presiden Sukarno, tapi juga terjadi di zaman Soeharto hingga kini. Asvi mengakui tidak mudah untuk mencari solusi hukum atas sejumlah tindak pelanggaran HAM di masa lalu, karena sudah berlangsung puluhan tahun dan banyak saksi sejarah dan pelakunya yang telah meninggal. 

Demikian juga dengan solusi politik yang tidak mudah diselesaikan karena menyangkut masalah perbedaan ideologi. Namun, Asvi menawarkan solusi penyelesian budaya melalui penulisan buku-buku oleh pelaku sejarah dan korban tentang pelanggaran HAM tersebut. 

Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa penulisan buku tersebut tidak boleh dengan mendramatisasi  satu peristiwa, karena hal itu bisa dicurigai menunggang kepentingan tertentu. 

Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saefuddin mengatakan, untuk mencari solusi atas pelanggaran HAM berat di masa lalu, perlu dibentuk satu gugus tugas. 

Gusus tugas itu, ujarnya, kemudian bertugas mencermati hasil temuan dari tim pencari fakta, untuk kemudian dicari penyelesaian hukumnya kalau masih dimungkikan. 

Lukman menyebutkan, melalui pengadilan HAM adhoc nantinya, berbagai pelanggaran HAM berat itu kemudian diharapkan bisa diselesaikan secara hukum. 

Sependapat dengan Asvi, Lukman juga menyebutkan tidak mudah untuk mencari penyelesaian atas berbagai pelanggaran HAM karena durasi waktunya yang sudah cukup lama. Apalagi, ujarnya, sebagain pelanggaran HAM tersebut terjadi sejak tahun 1945 hingga kini. 

Beberapa di antara kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia selain G30S PKI adalah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, kasus Referendum di Timor Timur (1999) dan kasus Tanjung Priok (1984). Selain itu, tercatat peristiwa penculikan aktivis mahasiswa (1998), kasus Poso (1998-2000) dan kasus Dayak-Madura (2000). [L-8]

No comments:

Post a Comment