NEGARA HARUS MINTA MAAF (3a)
(Masalah Pencabutan paspor WNI di
Luar Negeri dan EKSIL)
Oleh MD Kartaprawira*
Dalam
simposium 18-19 April 2016 yang lalu, sayang tidak ada gema suara eksil, yang sebagian
besar terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang dicabut paspornya oleh penguasa
orde baru dengan sewenang-wenang. Mereka itulah[K1]
mahasiswa-mahasiswa yang dikirim ke luar negeri oleh pemerintah Soekarno, yang
diharapkan dan digadang-gadang untuk menjadi tulang punggung pembangunan negara
setelah selesai studinya. Itulah ide Soekarno yang tidak mau jual obral
kekayaan alam Indonesia kepada kapitalis-kapitalis asing. Sebab Bung Karno menunggu
kedatangan spesialis-spesialis patriotik tersebut. Celakanya, kekuatan jahat
anti rakyat berhasil mengkhianati yang “menunggu” maupun yang “ditunggu”.
a) Pencabutan
semena-mena paspor WNI di Luar Negeri adalah Pelanggaran HAM berat.
Jalan sejarah yang
memang bengkok-bengkok inilah yang ternyata harus dilalui oleh para mahasiswa
kiriman Bung Karno tersebut. Mereka inilah yang merupakan korban kejahatan
kemanusiaan di luar negeri yang dilakukan oleh para Atase Militer di berbagai
KBRI atas nama negara. Misalnya di KBRI Moscow peranan tersebut dilakukan oleh
Atase Militer Brigjen M. Jasin, yang merangkap sebagai Ketua Panitia
skrening.
Di Rusia pencabutan paspor dimulai dengan pencabutan paspor 25 WNI yang
berdomisili di Moscow (PENGUMUMAN No.Peng.852/R/1966, Moskow,1 Agustus 1966),
berhubung diragukan loyalitasnya terhadap “Pemerintah Republik Indonesia”,
yaitu Rejim dikmilfas Suharto. Dalam situasi panas tersebut loyalitas mereka
terhadap Presiden Soekarno masih tetap utuh dan tanpa diragukan. Meskipun di
dalam surat Pengumuman KBRI meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia yang
berada di Uni Soviet untuk tidak memberikan bantuan kepada para mereka yang
dicabut paspornya baik materiil maupun moril.
Selanjutnya pencabutan paspor dilakukan terhadap WNI lain-lainnya. Mulai
sejak itu berkembang di Eropa, terutama di Moscow masalah orang-apatride (tanpa-kewarganegaraan,
stateless, besgrazhdanstwo), eksil, OTP (Orang Terhalang Pulang), Orang
Kelayaban (Gusdur menamakannya) dan sebagainya.
Sebagai orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless) mereka
mengalami banyak penderitaan dalam perjalanan hidupnya. Dalam hubungannya
dengan tanah air: mereka terputus hubungannya dengan isteri/suami,
anak-anaknya, tunangannya, orang tuanya dan sanak keluarga lainnya. Bahkan
ketika orang tua meninggal pun tidak mengetahui, tidak dapat ikut mengurus penguburannya.
Komunikasi melalui surat atau telepon juga terputus, sebab takut diketahui oleh
penguasa di Indonesia. Sebab kalau ketahuan penguasa bahwa punya hubungan
dengan para eksil, keluarga mereka yang di Indonesia juga teman-temannya akan mendapatkan kesulitan-kesulitan,
misalnya dipecat dari pekerjaan, ditangkap dan dimasukkan dalam rumah tahanan,
dikeluarkan dari sekolah/universitas, diawasi terus kehidupannya oleh penguasa,
dinyatakan tidak bersih lingkungan. Hal-hal tersebut
di atas merupakan penderitaan jiwa/psikologis yang sangat berat bagi para
eksil.
Dalam hubungannya dengan kehidupan di luar
negeri: mereka harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi di negara setempat
yang ideologi, politik, budayanya berlainan dengan yang dimiliki di tanah
air. Kesukaran-kesukaran dalam kehidupan politik setempat mengakibatkan mereka
harus pindah dari satu negara ke negara lain. Mereka kebanyakan berpindah ke
negara-negara Barat (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia), bahkan ada juga yang
ke Aljazair, Mozambik, Kuba dan lain-lainnya. Yang membikin perasaan sedih
kecuali itu ialah kenyataan kegagalan tidak dapat menyumbangkan ilmunya untuk
negara dan bangsa setelah tamat studinya, seperti yang direncanakan pemerintah
Soekarno ketika mengirimkan ribuan mahasiswa ke luar negeri. Mereka oleh negara
telah di“cabut“ haknya untuk mengembangkan kariernya dan menerapkan sumber
daya tenaga mudanya demi nusa dan bangsa, hak untuk hidup di tanah airnya, hak
untuk hidup bersama dengan keluarganya, hak untuk memilih atau dipilih dalam
pemilihan umum, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan
politik di tanah airnya. Bahkan ada beberapa orang yang akhirnya menderita
penyakit jiwa, nekad mengakhiri hidupnya.
Tindakan negara (cq. pemerintah/KBRI) yang
mengakibatkan banyak penderitaan warganegaranya di luar negeri adalah
bertentangan dengan UN International Covenant on Economic, Sosial and Cultural
Rights dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh penguasa secara massal, sistimatik
dan struktural terhadap warganegaranya di luar negeri tanpa dibuktikan
kesalahannya. Maka mereka berhak menuntut keadilan kepada Negara, baik melalui
jalur yudisial (pengadilan) ataupun non-yudisial (rekonsiliasi). Bahkan suara mereka
tidak didengarkan sampai 50 tahun
berlalu. Karenanya, apakah salah kalau mereka
menuntut agar negara minta maaf kepada para korban dalam penuntasan kasus
tersebut? Bukankah Indonesia negara
hukum yang berdasarkan Pancasila?
Para eksil-mahid menyadari mengapa rejim Orde Baru
mencabut paspor/kewarganegaraannya, yaitu karena mereka akan menjadi penghalang
besar jalannya pembangunan negara yang menganut neo-liberalisme/neokolonialisme
di Indonesia, yang menjadi pesanan kaum kapitalis internasional. Maka
mahasiswa-mahasiswa kiriman Bung Karno yang merupakan tenaga pembangun negara
yang berpolitik BERDIKARI harus dicekal tidak boleh pulang ke tanah air dengan
cara pencabutan paspornya. Jadi ada latar belakang politik serius yang mendasari. Maka setelah G30S dihancurkan
dan gilirannya Bung Karno dilucuti
kekuasaannya, jenderal Suharto cepat-cepat mengerahkan „pasukan Berkelay“ untuk
melaksanakan politik ekonomi „pintu
terbuka“ yang benar-benar terbuka lebar-lebar sehingga sumber daya alam
Indonesia bisa dijual-obral kepada para
kapitalis Internasional. Maka tidak mengherankan dengan cepat sumber daya alam habis
terkuras, hutan menjadi gundul, lingkungan
hidup tercemar dan macam-macam musibah lainnya.
Penyelenggara-negara (rejim Orde Baru/Suharto)
yang seharusnya mengabdi rakyat (WNI), tetapi justru sebaliknya
menyengsarakannya dengan tindakan pencabutan paspor.
Demi terciptanya kerukunan nasional Presiden
Jokowi mengambil kebijakan penuntasan kasus 1965 melalui jalur Rekonsiliasi (non-yudisial). Seharusnya
kebijakan presiden tersebut diterima dengan lapang dada oleh pihak pelaku. Sebab
dengan dilaksanakannya Rekonsiliasi Nasional para pelaku tidak dihadapkan ke
Pengadilan, yang berarti juga impunitas lepas dari tanggung jawab hukum. Luar
biasa!!! Dapat dibayangkan begitu besar kemurahan akibat kebijakan rekonsiliasi.
Tetapi harus diingat, bahwa dalam rekonsiliasi kebenaran harus diakui dan diikuti permintaan
maaf oleh pelaku. Bahwa rejim Suharto (cq. KBRI) telah melakukan pelanggaran
hukum/HAM terhadap para WNI/mahid di luar negeri tanpa dibuktikan kesalahannya
adalah fakta yang harus diakui. Oleh karena itu negara harus minta maaf kepada mereka - para korban
(eksil-mahid dll.), tidak tergantung apakah mereka PKI atau non-PKI, Islam atau
non-islam.
Semoga kasus tersebut di atas mendapat perhatian
dari Presiden Jokowi, Dewan Pertimbangan Presiden dan Jenderal Agoes Widjojo, Pengarah
Simposium Nasional 1965.
Nederland, 29 Juni 2016,
*MD Kartaprawira, Ketum Lembaga Perjuangan
Korban 1965 (LPK65), mdkartaprawira@gmail.com