Tuesday 29 September 2015

Kisah para eksil 1965: Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’

Kisah para eksil 1965: Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’

  • 7 jam lalu
para eksil yang tinggal di Belanda
Image captionDari kiri: Sungkono, Ibrahim Isa, Sarmadji dan Chalik Hamid, saat ini tinggal di Belanda.
Ratusan warga Indonesia terpaksa hidup “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali. Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam.
Asvi mengatakan banyak di antara warga Indonesia ini yang “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena “dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan ditangkap.”
Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai “eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya.”
“Berdasarkan riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis ataupun kalangan agama,” kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia.
Inilah pengalaman sejumlah di antara mereka – yang berusia 70an dan 80an dan saat ini tinggal di Belanda.

Ibrahim Isa, ‘Sakitnya dicabut identitas’

Isa
Image captionIbrahim Isa menulis sejumlah buku tentang pengalamannya di 'negeri seberang.'
“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya sendiri yang dicabut. Sakit sekali.”
“Sejak umur 15 tahun saya terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi mengapa sampai begini?”
“Namun kami tak boleh tinggal pada penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam. Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia). Saya punya keyakinan, kemajuan akan terus terjadi.”
Ibrahim Isa bertugas mewakili Indonesia pada akhir 1960 dalam Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama perwakilan dari delapan negara lain.
isa dan ho chi minh
Image captionDalam tugas sebagai perwakilan Indonesia di Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika, Isa sempat bertemu sejumlah tokoh termasuk Pemimpin Vietnam saat itu Ho Chi Minh.
Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30 September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing pada 17 Oktober 1965.
Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afika dan Amerika Latin pada 1966.
“Dari Indonesia tak ada yang datang, karena ada perubahan besar dan kami diminta datang (oleh Organisasi Konperensi Kesetiawakanan Asia Afrika) bersama beberapa teman Tiba-tiba ada orang Indonesia yang datang dan saya katakan kepada panitia bahwa yang datang adalah militer.”
“Ini membuat Jakarta marah, Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.”
Dari Kuba, Isa mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga riset Asia Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986 sebelum akhirnya menetap di Belanda.

Chalik Hamid, ‘Kuburan kami ada di mana-mana’

chalik hamid
Image captionChalik Hamid menulis cerpen dan puisi yang ditujukan untuk menentang Orde Baru.
Chalik berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi Peristiwa 30 September 1965.
“Kami tak tahu peristiwa itu. Di Albania sedikit sekali informasi dari luar baik dari radio dan koran sangat terbatas.” kata Chalik yang pernah menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Medan.
“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.”
“Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.”
“Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.”
“(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”
“Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.”
“Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis.
Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.

Sungkono: Dari Moskow, menjajaki ‘pulang’ lewat Cina, Vietnam dan Thailand

sungkono
Image captionSungkono mendirikan Lembaga Perhimpunan Indonesia di Belanda untuk menyatukan para eksil yang terpencar-pencar.
“Pada September 1965 saya berada di Moskow sedang belajar teknik mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1962.”
“Pada 1966, kedutaan Indonesia di Moskow mengumpulkan mahasiswa Indonesia untuk di-screening dengan berbagai pertanyaan antara lain bagaimana sikap kami terhadap Peristiwa 1965. Saya jawab saya tidak tahu menahu karena saya di luar negeri.”
“Pada Juni 1966, mulai ada jawaban terhadap mahasiswa yang discreening. Yang dicabut paspornya secara kolektif, dibilang disangsikan kesetiaannya terhadap pemerintah Indonesia.”
“(Walau paspor dicabut), Saya tetap belajar sampai tamat. Pemerintah Uni Soviet saat itu memberi kesempatan sampai selesai tahun 1967, dan sempat ditawarkan untuk bekerja dan tinggal di sana.”
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.”
“Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”

Sarmadji, “mengubah kesedihan menjadi kekuatan”

Sarmadji
Image captionSarmadji mengumpulkan ribuan buku di rumahnya dan dijadikan perpustakaan yang terbuka untuk umum.
“Saat terjadi Peristiwa 1965, saya tengah sekolah di Tiongkok dan saya tidak tahu menahu apa yang terjadi.”
Sarmadji mengumpulkan sekitar 3.000 buku, sebagian besar tentang apa yang terjadi pada 1965 dan 1966 dan membuka perpustakaan di rumahnya yang dibuka untuk umum.
Sarmadji
Image captionSebagian besar buku yang dikumpulkan Sarmadji adalah tentang Peristiwa 1965, yang ia kumpulkan sebagai 'monumen bagi eksil yang sudah meninggal.'
“Perpustakaan ini adalah monumen peringatan bagi mereka yang dicabut paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Jumlahnya yang sudah meninggal sekitar 130 orang dari Tiongkok sampai Eropa Barat.”
“Saya mengumpulkan (buku-buku) ini untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan. Berangsur-angsur kekuatan saya bertambah dan kesedihan saya berkurang,” kata Sarmadji.

Pengakuan apa yang terjadi

Baik Isa, Sungkono, Chalik dan Sarmadji berharap salah satu hal yang akan dilakukan pemerintah adalah pengakuan atas apa yang terjadi pada 1965 dan 1966.
“Yang pertama akui apa yang terjadi, seperti yang sudah diakui oleh Komnas, dan yang penting juga adalah rehabilitasi nama baik dan hak hak politik dari warga negara yang direnggut hak-haknya,” kata Isa.
Pada 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965-1966.
“Sebagai utang sejarah masa lalu negeri ini, penyelesaian (pelanggaran HAM berat) dapat ditempuh melalui mekanisme rekonsiliasi,” kata Profesor Hafid Abbas, anggota Komnas HAM.
“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia.
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Misalnya untuk para eksil adalah soal pencabutan paspor, yang perlu dijadikan satu kasus, dan kemudian kasus lain seperti diskriminasi anak korban yang tak boleh jadi pegawai negeri dan tentara pada 1981 dan sebagainya,” kata Asvi.

Kisah para eksil 1965: Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’

Kisah para eksil 1965: Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’

  • 7 jam lalu
para eksil yang tinggal di Belanda
Image captionDari kiri: Sungkono, Ibrahim Isa, Sarmadji dan Chalik Hamid, saat ini tinggal di Belanda.
Ratusan warga Indonesia terpaksa hidup “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali. Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam.
Asvi mengatakan banyak di antara warga Indonesia ini yang “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena “dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan ditangkap.”
Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai “eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya.”
“Berdasarkan riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis ataupun kalangan agama,” kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia.
Inilah pengalaman sejumlah di antara mereka – yang berusia 70an dan 80an dan saat ini tinggal di Belanda.

Ibrahim Isa, ‘Sakitnya dicabut identitas’

Isa
Image captionIbrahim Isa menulis sejumlah buku tentang pengalamannya di 'negeri seberang.'
“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya sendiri yang dicabut. Sakit sekali.”
“Sejak umur 15 tahun saya terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi mengapa sampai begini?”
“Namun kami tak boleh tinggal pada penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam. Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia). Saya punya keyakinan, kemajuan akan terus terjadi.”
Ibrahim Isa bertugas mewakili Indonesia pada akhir 1960 dalam Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama perwakilan dari delapan negara lain.
isa dan ho chi minh
Image captionDalam tugas sebagai perwakilan Indonesia di Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika, Isa sempat bertemu sejumlah tokoh termasuk Pemimpin Vietnam saat itu Ho Chi Minh.
Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30 September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing pada 17 Oktober 1965.
Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afika dan Amerika Latin pada 1966.
“Dari Indonesia tak ada yang datang, karena ada perubahan besar dan kami diminta datang (oleh Organisasi Konperensi Kesetiawakanan Asia Afrika) bersama beberapa teman Tiba-tiba ada orang Indonesia yang datang dan saya katakan kepada panitia bahwa yang datang adalah militer.”
“Ini membuat Jakarta marah, Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.”
Dari Kuba, Isa mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga riset Asia Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986 sebelum akhirnya menetap di Belanda.

Chalik Hamid, ‘Kuburan kami ada di mana-mana’

chalik hamid
Image captionChalik Hamid menulis cerpen dan puisi yang ditujukan untuk menentang Orde Baru.
Chalik berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi Peristiwa 30 September 1965.
“Kami tak tahu peristiwa itu. Di Albania sedikit sekali informasi dari luar baik dari radio dan koran sangat terbatas.” kata Chalik yang pernah menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Medan.
“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.”
“Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.”
“Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.”
“(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”
“Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.”
“Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis.
Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.

Sungkono: Dari Moskow, menjajaki ‘pulang’ lewat Cina, Vietnam dan Thailand

sungkono
Image captionSungkono mendirikan Lembaga Perhimpunan Indonesia di Belanda untuk menyatukan para eksil yang terpencar-pencar.
“Pada September 1965 saya berada di Moskow sedang belajar teknik mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1962.”
“Pada 1966, kedutaan Indonesia di Moskow mengumpulkan mahasiswa Indonesia untuk di-screening dengan berbagai pertanyaan antara lain bagaimana sikap kami terhadap Peristiwa 1965. Saya jawab saya tidak tahu menahu karena saya di luar negeri.”
“Pada Juni 1966, mulai ada jawaban terhadap mahasiswa yang discreening. Yang dicabut paspornya secara kolektif, dibilang disangsikan kesetiaannya terhadap pemerintah Indonesia.”
“(Walau paspor dicabut), Saya tetap belajar sampai tamat. Pemerintah Uni Soviet saat itu memberi kesempatan sampai selesai tahun 1967, dan sempat ditawarkan untuk bekerja dan tinggal di sana.”
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.”
“Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”

Sarmadji, “mengubah kesedihan menjadi kekuatan”

Sarmadji
Image captionSarmadji mengumpulkan ribuan buku di rumahnya dan dijadikan perpustakaan yang terbuka untuk umum.
“Saat terjadi Peristiwa 1965, saya tengah sekolah di Tiongkok dan saya tidak tahu menahu apa yang terjadi.”
Sarmadji mengumpulkan sekitar 3.000 buku, sebagian besar tentang apa yang terjadi pada 1965 dan 1966 dan membuka perpustakaan di rumahnya yang dibuka untuk umum.
Sarmadji
Image captionSebagian besar buku yang dikumpulkan Sarmadji adalah tentang Peristiwa 1965, yang ia kumpulkan sebagai 'monumen bagi eksil yang sudah meninggal.'
“Perpustakaan ini adalah monumen peringatan bagi mereka yang dicabut paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Jumlahnya yang sudah meninggal sekitar 130 orang dari Tiongkok sampai Eropa Barat.”
“Saya mengumpulkan (buku-buku) ini untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan. Berangsur-angsur kekuatan saya bertambah dan kesedihan saya berkurang,” kata Sarmadji.

Pengakuan apa yang terjadi

Baik Isa, Sungkono, Chalik dan Sarmadji berharap salah satu hal yang akan dilakukan pemerintah adalah pengakuan atas apa yang terjadi pada 1965 dan 1966.
“Yang pertama akui apa yang terjadi, seperti yang sudah diakui oleh Komnas, dan yang penting juga adalah rehabilitasi nama baik dan hak hak politik dari warga negara yang direnggut hak-haknya,” kata Isa.
Pada 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965-1966.
“Sebagai utang sejarah masa lalu negeri ini, penyelesaian (pelanggaran HAM berat) dapat ditempuh melalui mekanisme rekonsiliasi,” kata Profesor Hafid Abbas, anggota Komnas HAM.
“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia.
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Misalnya untuk para eksil adalah soal pencabutan paspor, yang perlu dijadikan satu kasus, dan kemudian kasus lain seperti diskriminasi anak korban yang tak boleh jadi pegawai negeri dan tentara pada 1981 dan sebagainya,” kata Asvi.

Saturday 26 September 2015

MASALAH PERMINTAAN MAAF JOKOWI BERKAITAN PENUNTASAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT1965-66 DI INDONESIA

MASALAH PERMINTAAN MAAF JOKOWI BERKAITAN  PENUNTASAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA
(Menyongsong Peringatan 50 Tahun Tragedi Nasional 1965)

Oleh MD Kartaprawira

Masalah “permintaan maaf” presiden Jokowi berkaitan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 perlu mendapat sorotan yang serius, sehingga penuntasan kasus tersebut tidak bertentangan dengan keadilan.

Menurut pendapat penulis,  permintaan maaf tersebut harus dikaitkan dengan peristiwa  pasca ditumpasnya G30S yang dipimpin  letkol. Untung  beserta pendukungnya di Yogya, Solo dan Semarang oleh Pasukan KOSTRAD dibawah pimpinan jenderal Suharto di sekitar bulan Oktober 1965.  Kemudian mereka yang tersangkut dengan G30S dihadapkan ke Mahmilub.  Maka dengan demikian dapat dikatakan masalah G30S sudah selesai.

Tetapi perkembangan politik di Indonesia selanjutnya menjadi rumit ketika di beberapa bagian wilayah Indonesia terjadi pembunuhan-pembunuhan massal dan tindak kekerasan lainnya terhadap penduduk yang tak berdosa, tanpa melalui prosedur hukum, karena mereka dituduh anggota PKI atau pendukung PKI. Terutama peristiwa tersebut menjadi marak setelah jenderal Suharto menyalah-gunakan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 untuk kepentingan politik-kudetanya terhadap presiden Soekarno. Dengan tujuan itulah dilaksanakan pemusnahan kekuatan pendukung Soekarno, yaitu PKI dengan segala cara dan perwujudannya.

Akibatnya ratusan ribu - jutaan orang dibantai,  puluhan ribu orang ditahan di  penjara-penjara, dibuang ke pulau Buru, dianiaya, dicabut paspornya terhadap mereka yang sedang bertugas di luar negeri dan berbagai macam tindak kekerasan lainnya. Mereka inilah yang merupakan korban pelanggaran HAM berat/kejahatan kemanusiaan/genosida 1965-66 di Indonesia.

Perbuatan tersebut adalah jelas merupakan tindak  kriminal (kejahatan), bahkan bersifat massal. Seharusnya “penegak hukum” (kepolisian dan kejaksaan) secepatnya menangani kasus tersebut, seperti praktek negara mana pun di dunia. Artinya kasus tersebut seharusnya sejak di tahun 1965-66 sudah mulai ditangani untuk mempersiapkan bukti-bukti yang diperlukan dalam  sidang pengadilan negara. Sehingga bisa dibuktikan siapa yang bersalah: pelaku atau korban.  

Tetapi kenyataannya selama 50 tahun, dari masa  kekuasaan rejim Suharto sampai berakhirnya jabatan presiden SBY, kasus tersebut tetap terlantar. Sengaja” ditelantarkan? Itulah pertanyaannya.  Tidak bisa tidak di dalam masyarakat tentu timbul kecurigaan dan dugaan  buruk, bahwa penguasa negara Indonesia dengan sengaja melindungi para penjahat dengan cara memberlakukan impunitas bagi mereka, yang berakibat selama 50 tahun tidak ada satu pun proses  pengadilan terhadap penjahat-penjahat kemanusiaan 1965-66  di Indonesia tersebut. Tentu hal tersebut sangat memalukan bangsa dan negara Indonesia, yang dalam UUD 1945 (Pasal 1 Ayat 3) menyatakan: “Indonesia adalah negara hukum”.

Pemerintah Indonesia, siapa pun yang berkuasa seharusnya meminta maaf kepada para korban tersebut. Maka dari itu, apabila presiden Jokowi meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat/kejahatan kemanusiaan 1965/genosida atas kejadian dan terlantarnya penuntasan kasus tersebut di atas adalah kebijakan  yang sangat manusiawi, bernurani tinggi dan sangat terpuji.

Sepanjang kita ketahui presiden Jokowi tidak pernah menyatakan akan minta maaf kepada “korban G30S”. Apalagi permintaan maaf presiden kepada “korban G30S” adalah tidak benar dan harus tidak dilakukan. Sebab siapa dalang G30S sendiri sampai dewasa ini masih dalam penelitian para ilmuwan, yang beragam kesimpulannya. Sehingga terdapat istilah : G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA-Suharto, G30S/Soekarno dan lain-lainnya. Maka selain tidak tepat, Presiden Jokowi juga akan sulit menentukan minta maaf kepada korban G30S yang mana?

Begitu juga presiden Jokowi tidak tepat apabila meminta maaf kepada PKI. Sebab para korban terdiri tidak hanya dari orang-orang  PKI, tetapi juga orang-orang non-PKI (para marhaenis/nasionalis pendukung Soekarno) dan bahkan orang-orang yang tidak termasuk dari dua golongan tersebut.

Yang jelas Jokowi telah berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus pelanggaran HAM 1965-66. Tampaknya Jokowi akan menempuh jalan Non-Yudisial: yaitu Rekonsiliasi. Sebab jalan tersebut dipandang lebih memungkinkan dari pada jalan yudisial yang kasusnya sudah ditelantarkan selama 50 tahun oleh penguasa-penguasa negara sebelumnya.

Dalam pada itu rekonsiliasi harus dilaksanakan atas dasar kebenaran dengan pengakuan tentang terjadinya kejahatan kemanusiaan 1965-66 dan disertai permintaan maaf oleh pihak pelaku. Di lain pihak para korban dengan ikhlas memaafkan mereka. Dengan demikian rekonsiliasi bukan hanya salaman tipu-tipuan, melainkan perdamaian dan kerukunan nasional yang serius demi masa depan Indonesia yang jaya dan hebat.

Selanjutnya pemerintah harus mengembalikan hak-hak sipil dan politik para korban  disertai restitusi, kompensasi dan rehabilitasi terhadap para korban yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan Orde Baru. Di samping itu pemerintah harus juga menjalankan kebijakan penghapusan segala peraturan yang diskriminatif terhadap para korban, termasuk semua peraturan  anti-demokrasi dan anti HAM dari materi TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang sudah di luar hierarchie perundang-undangan Indonesia.


Den Haag, 25 September 2015