Friday 30 December 2011

Pemerintah Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat


Pemerintah Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat
Ary Wibowo | I Made Asdhiana | Kamis, 29 Desember 2011 | 21:27 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Massa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) serta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Senin (27/9/2010). Mereka menginap di depan Istana Negara dengan mendirikan tenda dan menuntut penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM.
 
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menilai sepanjang tahun 2011, pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum serius melaksanakan janjinya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih mandek di Kejaksaan Agung.
"Kami menyatakan kekecewaan yang mendalam terhadap Presiden SBY yang tak kunjung menjalankan komitmen politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Sepanjang tahun 2011, perubahan yang diharapkan korban tentang adanya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masih jalan di tempat," ujar Wakil Koordinator Kontras, Indria Fernida di Jakarta, Kamis (29/12/2011).
Sebelumnya, Presiden Yudhoyono pada pertengahan November lalu membentuk Tim Kecil Penangangan kasus Pelanggaran HAM berat. Tim yang mempunyai mandat untuk mencari format terbaik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto, bersama sejumlah Kementerian terkait.
Menurut Indria, beberapa pihak menilai pembentukan tim tersebut merupakan langkah baik pemerintah untuk menjalankan penyelesaian komprehensif terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, sepanjang tahun 2011 ini tidak ada upaya berarti dari pembentukan tim tersebut.
"Hingga akhir tahun, tim hanya merespon dan menampung masukan dan harapan dari komunitas korban dan melakukan kegiatan kunjungan ke korban Talangsari, pertemuan dengan Korban Tanjung Priok dan korban Semanggi I serta melakukan kunjungan ke Kupang untuk melihat kondisi pengungsi eks Timor-Timur," kata Indria.
Oleh karena itu, Indria mengharapkan, Presiden Yudhoyono dapat serius menangani sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Apalagi, ia menilai, pada 2012 akan terus terjadi tarik menarik politik nasional yang berpengaruh pada pertarungan politik HAM, khususnya bagi penanganan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
"Dan situasi ini akan semakin mengkhawatirkan jika Presiden tidak mengambil tindakan tegas dan nyata untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagai upaya untuk melangkah maju di masa depan. Presiden juga harus desak Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan persoalan ini," tegas Indria.
Seperti diberitakan, sejumlah kasus pelanggaran HAM hingga kini masih berjalan di tempat. Beberapa kasus tersebut diantaranya kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Talangsari 1989 dan Wasior-Wamena, Papua (2001 dan 2003).
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim di Jakarta, Selasa (16/11/2011), mengakui meski beberapa penyelidikan Komnas HAM atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu sudah dilakukan dan diberikan rekomendasi, namun ketika akan ditingkatkan ke penyidikan selalu menemui kendala. Dia mengatakan, Kejaksaan Agung belum mau menindaklanjuti penyidikan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu tersebut karena belum ada pengadilan HAM ad hoc. Sementara untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc harus berdasarkan UU No 26/2000 dimana harus ada rekomendasi dari DPR kepada Presiden.

Sunday 25 December 2011

SURAT TERBUKA Pernyataan Menteri Marty Natalegawa Menyesatkan


http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/12/22/49725/Pernyataan-Menteri-Marty-Natalegawa-Menyesatkan!-
 

SURAT TERBUKA
Pernyataan Menteri Marty Natalegawa Menyesatkan!Kamis, 22 Desember 2011 , 07:18:00 WIB 

MARTY NATALEGAWA/IST
   
Kepada Yth.
Dr. RM Marty Natalegawa
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Di
Jakarta
 
Dengan hormat.
Pada peringatan peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2011, Dubes Belanda Tjeerd de Zwaan  secara resmi atas nama pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947. 
 
Sehubungan dengan hal ini, sebagaiman adikutip oleh Tempo.Co (9/12), Anda mengatakan: "peristiwa penting ini juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 1945. Belanda selama ini mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949." 
 
Interpretasi Anda terhadap langkah pemerintah Belanda ini tidak tepat, dan bahkan sangat menyesatkan.
 
Pertama, langkah pemerintah Belanda ini adalah sebagai pelaksanaan putusan pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, yang memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah atas pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dan mengharuskan memberi kompensasi kepada 8 janda korban dan satu orang korban selamat terakhir. Dengan demikian, ini bukan tindakan sukarela dari pemerintah Belanda.
 
Namun dalam putusan Pengadilan Belanda, pada butir dua, sebagai "fakta-fakta" (bahasa belanda: feiten)  tertera:

2. De feiten (fakta-fakta)

2.1. Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden (Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)

Dengan demikian, juga bagi pengadilan di Belanda, Republik Indonesia baru ada pada 27 Desmber 1949. Oleh karena itu yang harus dibaca dari putusan ini adalah:

1. Tentara Belanda tahun 1947 telah membunuh warganya sendiri, bukan warga Indonesia.

2. Meminta maaf kepada mantan warganya.
 
Pengadilan Belanda, walaupun mengabulkan sebagian tuntutan warga Rawagede, namun masih sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah pada 17 Agustus 1945.
 
Kedua, dari berbagai pernyataan pemerintah Belanda sampai sekarang, tidak pernah menyatakan mengakui de jure (De Jure Acknowledgement/ recognition), melainkan menerima (accept).

Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, dalam acara peringatan pembebasan para interniran yang ditahan oleh Jepang di Indonesia antara tahun 1942-945 Ben Bot mengatakan dengan jelas, akan menerima 17 Agustus1945 sebagai de facto awal kemerdekaan Republik Indonesia.
 
Sehari kemudian, pada 16 Agustus 2005 di Gedung Kementerian Luar Negeri RI di Jalan. Pejambon, Ben Bor mengatakan: "…Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…" 

Kemudian pada 18 Agutus 2005 dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta ketika ditanya mengapa dia hanya mengatakan acceptance (menerima), dan bukan Acknowledgement (Pengakuan) terhadap proklamasi 17 Agustus1945, dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya diberikan satu kali, yaitu tahun 1949. (Saya memiliki rekaman wawancara tersebut).
 
Demikian juga jawabannya di parlemen Belanda pada 28 Juni 2006 terhadap petisi dari KUKB yang dikirim tanggal 20 Mei 2005. Tuntutan KUKB disampaikan oleh Bert Koender ke sidang pleno parlemen Belanda, sesuai janjinya ketika menerima pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005.  

Pernyataan Ben Bot ini seharusnya sangat mengejutkan bagi bangsa Indonesia, dan sekaligus merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat sebagai Negara merdeka yang berdaulat, karena ini berarti bagi pemerintah Belanda, sampai 16 Agustus 2005, Republik Indonesia secara yuridis tidak eksis sama sekali, dan baru sejak tanggal 16 Agustus 2005 diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya. Dengan kata lain, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia adalah anak haram! 

Memang tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda sampai detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika "penyerahan wewenang" (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia hanya satu negara dari 16 Negara Bagian RIS. Oleh karena RIS dianggap sebagai kelanjutan dari Nederlands-Indië (India Belanda), maka RIS harus membayar utang pemerintah India Belanda kepada induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 miliar gulden (setara dengan 1,2 milyar dolar AS)
 
Sejarah mencatat, Presiden RIS Sukarno pada 16 Agustus 1950 menyatakan dibubarkannya RIS, dan pada 17 Agustus 1950, Soekarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus1945. Proklamasi kerdekaan ini dipandang dari sudut manapun sah, baik dari hukum internasional (Konvensi Montevideo), maupun dari segi hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Lihat 18 butir konsep perdamaian dari Presiden Woodrow Wilson, Januari 1918 dan Piagam Atlantik yang dicetuskan oleh Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada 14 Agustus 1941, yang juga tercantum dalam Preambel PBB tahun 1945.
 
Proklamasi 17 Agutus1945 bukan merupakan suatu revolusi, atau pemberontakan, dan periode antara tahun 1945-1950 juga bukan perang kemerdekaan. 

Memang kita ketahui dilema yang dihadapi oleh pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus1945. Hal ini kami ketahui dari anggota parlemen Belanda Angelien Eisjink yang membidangi masalah veteran Belanda, ketika kami bertemu di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005, kemudian dari Ad van Liempt, jurnalis senior di Hilversum. Mereka mengatakan, apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka akibatnya adalah:

1. Yang Belanda namakan "aksi polisional" tak lain adalah agresi militer terhadap satu negara merdeka dan berdaulat.

2. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda, antara lain, di Rawagede, Sulawesi Selatan, Kranggan, dan lain-lian., bukanlah pembunuhan terhadap warganya sendiri, seperti putusan pengadilan di Den Haag pada 14 September 2011, melainkan adalah kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusian.

3. Republik Indonesia berhak menuntut rampasan perang, seperti yang dilakukan terhadap agresi militer Jepang.

4. Indonesia dapat menuntut pengembalian uang sebesar sekitar 1 miliar dolar AS, yang telah dibayar kepada pemerintah Belanda dari tahun 1950-1956, sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India Belanda (Nederlands-Indië) diharuskan membayar utang pemerintah Nederlands-Indië kepada pemerintah induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 miliar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 miliar dolar AS). Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda yang dilancarkan tahun 1947 dan tahun 1948 terhadap Republik Indonesia. Hal ini memang sangat aneh, karena untuk kemerdekaannya RIS harus membayar kepada Belanda, dan bukan sebaliknya. Ketika Suriname merdeka dari Belanda, Suriname memperoleh kompensasi sebesar 2 miliar dolar AS! Sampai tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian RI membatalkan secara sepihak
persetujuan KMB.

Sangat disayangkan, bahwa walaupun mengetahui bahwa pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus1945, namun pemerintah Indonesia membiarkan sikap ini.
 
Dalam kesempatan ini, kami meminta Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengenai masalah ini, yaitu mengapa pemerintah Indonesia tetap membiarkan pemerintah Belanda dengan sikapnya ini.
 
Kami sangat menghargai upaya pemerintah Indonesia memperjuangkan hak-hak Palestina untuk diakui sebagai Negara, namun sangatlah aneh apabila pemerintah Indonesia mengabaikan untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia terhadap Negara yang pernah menjajah Bumi Nusantara, yang di beberapa daerah berlangsung selama lebih dari tiga ratus tahun. Juga tidak membantu memperjuangkan hak-hak korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
 
Kami juga masih menantikan jawaban surat kami tertanggal 28 Oktober 2011 yang ditujukan kepada Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, mengenai permohonan untuk bertemu. Surat tersebut kami sampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Abdurrahman M. Fachir pada 28 Oktober 2011.
 
Atas perhatian yang diberikan, kami sampaikan terima kasih.
 
Hormat kami,
 
Ttd.
 
Batara R. Hutagalung
Ketua Umum KNPMBI/ Ketua KUKB

Sunday 18 December 2011

Topeng Buram Penegakan HAM


12.12.2011 09:50
Topeng Buram Penegakan HAM
Penulis : M Bachtiar Nur/ Lili Sunardi/Tutut Herlina

Di depan Istana Negara, seorang ibu masih setia berdiri beberapa jam setiap Kamis sore. Seluruh rambutnya telah memutih dan tubuhnya selalu berbalut kain hitam.
Di sana ia tak sendiri, beberapa kawan aktivis selalu setia menemaninya. Perempuan itu adalah Sumiarsih, ibunda Bemardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan. Anak laki-laki itu meninggal karena peluru aparat yang bersarang di tubuhnya. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.
Kegiatan itu rutin ia lakukan. Ia berharap, suatu saat penguasa di dalam Istana bisa tergugah dan kasus kematian anaknya suatu saat nanti bisa dibawa ke pengadilan hak asasi manusia (HAM).

Asa yang sama bersemai di diri keluarga maupun kawan-kawan Widji Toekoel, penyair yang puisi-puisinya menggelorakan semangat melawan rezim diktator di bawah Soeharto. Syair-syairnya itu pula yang membuatnya harus “menghilang”. Hingga kini, Widji Toekoel tidak pernah ketahuan nasibnya. Sejumlah saksi menyebut ia diculik aparat keamanan.
“Sekarang sudah banyak orang yang tidak ingat. Tapi usaha untuk mengingatkan terus-menerus perlu dilakukan walapun kecil tetap diperlukan supaya kita tidak benar-benar lupa,” kata Aan Rusdianto, korban penculikan Aktivis 1998.
Kasus pelanggaran HAM saat ini memang kecil kemungkinannya untuk bisa berujung ke pengadilan. Bahkan, kasus-kasus baru banyak yang muncul, sementara kasus lama tak jelas penanganannya.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdal Kasim mengatakan, penuntasan kasus pelanggaran HAM kian meredup. Ini terjadi karena ketiadaan kemauan politik dari penguasa.
Pukum kasus pelanggaran berat terhadap HAM pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa dikatakan 0 persen. Kejaksaan Agung (Kejagung) juga terlihat takut memproses kasus pelanggaran HAM berat yang berkasnya telah masuk ke pihak mereka.

Sejak lama, berkas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat sebenarnya telah masuk ke Kejagung. Namun hingga kini, berkas tersebut tidak diproses. Bahkan, jika dihitung, berkas itu menumpuk di Kejagung sudah lebih dari lima tahun. "Ada beberapa pelanggaran HAM berat sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung,” kata Ifdal ketika dihubungi, Minggu (11/12).

Kasus itu antara lain penculikan aktivis 98 pro demokrasi, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Talang Sari Lampung tahun 1984, Kasus Trisakti (Semanggi I dan II), serta Kasus Wasior dan Wamena tahun 2005. "Sampai sekarang tidak ada kelanjutannya di Jaksa Agung. Kasus-kasus ini sudah lebih dari lima tahun," ujarnya.
Ia sangat berharap Jaksa Agung berani membuka kasus-kasus tersebut kembali, meski pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. "Pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk bukan kendala. Kalau memang tidak bisa diajukan ke pengadilan, harus dikeluarkan surat penghentian penyidikan (SP-3) sehingga ada kejelasan. Masyarakat jadi tidak menunggu yang tak pasti," papar Ifdal.

Kejagung belum melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat karena adanya kekhawatiran sensitivitas dalam politik. Pelaku pelanggaran HAM itu umumnya adalah tokoh-tokoh yang masih berkuasa di panggung politik saat ini.
Oleh karena itu, upaya menyeret pelaku ke pengadilan tidak pernah menjadi prioritas utama. "Langkah (penegakan HAM) sepertinya tidak menjadi upaya utama oleh pemerintah dibandingkan pemberantasan korupsi.
Yang banyak terjadi hanyalah perbaikan kerangka melalui legislasi, tapi pemerintah sangat menahan diri untuk tidak melakukan penyelidikan atau tidak mau menyentuh kasus-kasus pelanggaran HAM yang sensitif," katanya.

Hak Ekosob

Pembentukan Pengadilan HAM di empat kota menjadi ruang kosong akibat hanya menjadi simbol belaka, tanpa realiasi penegakan HAM yang sesungguhnya. Padahal, pengadilan HAM yang berada di Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya itu seharusnya mampu menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 2000 ke atas.
Namun faktanya, kasus Wasior dan Wamena yang terjadi pada 2005 hingga kini belum dapat disidangkan karena belum mulainya penyidikan oleh Kejagung. "Pelanggaran HAM di wilayah Papua, pengadilan HAM di Makassar. Seharusnya kejaksaan langsung menyidik kasus itu (kasus Wasior-Wamena). Jika dianggap tidak ada bukti yang kuat, keluarkan SP3," papar Ifdal.

Ifdal menjelaskan, sejak kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, praktis tidak ada lagi pengadilan HAM yang berlangsung. "Pada zaman Megawati, pernah ada satu kali pengadilan HAM di Makassar. Pada era Gus Dur, pengadilan HAM banyak dilakukan. Pada jaman SBY 0 persen," katanya.
Selain bentuk pelanggaran HAM berupa fisik seperti kekerasan dan penculikan, Komnas HAM pada 2011 juga menerima ribuan laporan pelanggaran HAM terkait ekonomi, sosial, dan budaya.
"Tahun ini, kita terima 6.000-an kasus dalam bentuk pelanggaran hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, sengketa lahan perkebunan, pertambangan. Paling banyak akibat pertikaian di perkebunan," ujar Ifdal.

Angka laporan yang diterima Komnas HAM tinggi karena berbagai faktor, seperti tingginya PHK di berbagai pekerjaan serta keleluasaan dari pemerintah terhadap mereka yang hendak berinvestasi di perkebunan dan pertambangan besar.
"Fasilitas terlalu banyak pada pihak perkebunan dan mengabaikan hak masyarakat asli. Pemerintah daerah diberikan kewenangan terutama dalam hal tambang. Konsesi tambang yang diberikan justru merusak lingkungan dan merugikan masyarakat," imbuhnya.
Namun Jaksa Agung, Basrief Arief mengatakan, pembentukan pengadilan HAM sangat sulit dilakukan. Saat ini masih belum ada kejelasan mengenai aturan, meski telah ada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Pasal tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai alur proses pembentukan pengadilan yang didirikan secara ad hoc. Aturan itu mengharuskan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang diserahkan ke penyidik untuk dilakukan penyelidikan, padahal penyelidikan tersebut perlu pengadilan HAM itu sendiri.

Selain itu, kemauan politik dari DPR dan pemerintah pun ikut memengaruhi penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan. Ini karena dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, disyaratkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc tergantung dari rekomendasi DPR dan yang kemudian ditindaklanjuti dalam keputusan presiden.
Tak hanya itu, kewenangan aparat hukum ad hoc yang tidak dapat menyangkakan tindak pidana lain di luar pelanggaran HAM juga ikut mempersulit pengadilan HAM tersebut.
"Bagaimana jika terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi cukup bukti melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang berdasarkan delik pembunuhan yang diatur dalam KUHP," jelas Basrief.

Thursday 15 December 2011


KASUS RAWAGEDE  DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA
(Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63)
Oleh MD Kartaprawira*
# Kasus Rawagede yang terlantar 64 tahun
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63 tahun ini bertepatan dengan peristiwa penting sehubungan dengan Putusan Pengadilan Den Haag tanggal 14 September 2011 yang memenangkan gugatan para korban kejahatan kemanusiaan oleh tentara Belanda tahun 1947 atas 431 orang penduduk Rawagede dan pernyataan maaf Pemerintah Belanda secara resmi kepada para korban penduduk Rawagede, yang dilakukan oleh  Tjeerd de Zwaan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia pada tanggal 9 Desember 2011. Siapapun tidak mungkin bisa menyangkal kenyataan adanya peristiwa   kejahatan kemanusiaan terhadap bangsa Indonesia di Rawagede. Yang masih bisa diperdebatkan hanya masalah jumlah korban, yang menurut versi Indonesia 431 orang, sedang versi Belanda kira-kira 150 orang.
Selama 64 tahun pemerintah Belanda tidak punya kepedulian serius atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentaranya di Rawagede. Pada hal dalam hubungan internasional Belanda (dan Negara-negara Barat lainnya) selalu teriak keras mengkritisi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara lain. Apakah hal tersebut bukan kemunafikan? Yang lebih memalukan lagi  adalah tidak-adanya usaha dari pemerintah Indonesia untuk menangani kasus Rawagede tersebut demi  kebenaran dan keadilan bagi para korban, yang notabene adalah warganegaranya sendiri.
Dari tahun 1947 sampai 1965 memang Indonesia selain berjuang untuk pembangunan negara di segala lapangan, tapi juga menghadapi banyak masalah berat, yang tidak hanya menjadi penghalang  perjuangan pembangunan Negara, tapi juga mengakibatkan tidak adanya kesempatan menangani kasus Rawagede. Masalah-masalah berat yang dimaksud  adalah: 1. Konfrontasi dengan Belanda setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai th. 1962 (kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI), 2. Perjuangan menumpas pemberontakan-pemberontakan RMS, DI-TII-Batalion 426, PRRI-Permesta, 3. Pertentangan antara parpol-parpol akibat diberlakukannya sistem parlementer sejak Oktober 1945, yang hanya menciptakan kabinet-kabinet „seumur jagung“, yang berakibat tidak pernah bisa melaksanakan plan pembangunan negara (terutama dalam bidang ekonomi),  4. Perjuangan menghadapi politik intrig kaum nekolim yang mengancam kedaulatan RI di bidang politik dan ekonomi.
Tapi ketika jenderal Suharto berhasil melakukan kudeta (merangkak) melawan Pemerintahan Soekarno, rejim tersebut hanya sibuk membabati musuh-musuh politiknya (kaum komunis dan kaum nasionalis-Soekarnoist) demi melindungi kekuasaannya yang mengabdi kepada kepentingan kaum neoliberalis. Juga pada jaman „reformasi“ para penguasa negara sibuk mengurusi kepentingan pribadi, baik dengan cara2 KKN maupun  sibuk memafaatkan „aji mumpung berkuasa“ untuk menyukseskan  bisnis pribadinya. Sehingga  kebijakan politik pemerintah di era reformasi dalam hal penegakan hak asasi manusia tidak bisa dibanggakan hasilnya, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-66). Begitu pula  kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede, Makasar dan lain-lainnya.
Pemerintaah hanya menonjol-nonjolkan ke mana-mana bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menghormati hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam UUD, UU beserta peraturan-peraturan organiknya, konvensi-konvensi yang telah diratifikasi dll. Tapi pelaksanaannya ternyata  minim sekali. Dapat dikatakan bahwa norma-norma hukum hak asasi manusia tersebut hanya jadi pajangan saja untuk menghiasi negara Indonesia agar disebut negara hukum.
Ketidak pedulian pemerintah Indonesia menangani dan membela korban pelanggaran HAM/kejahatan kemanusiaan atas penduduk Rawagede suatu hal yang tak mengherankan karenanya. Maka salut sebesar-besarnya harus diberikan kepada Sdr. Jeffry Pondaag bersama  koleganya di yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang dengan gigih memperjuangkan digelarnya kasus Rawagede di Pengadilan Negeri Den Haag dengan sukses kemenangan bagi  para korban. Seandainya Pemerintah Belanda tidak mau menerima putusan Hakim Pengadilan Den Haag, bisa naik banding. Tetapi kalau naik banding Pemerintah Belanda akan tambah tidak terhormat lagi di mata internasional, sebab ngotot membela tindak kriminal (kejahatan perang/kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat) yang merupakan aib di mata dunia internasional. Dan Pengadilan Banding pun kemungkinan besar akan membenarkan putusan Pengadilan Den Haag. Sebab sulit sekali untuk membenarkan tindak kejahatan kemanusiaan – pembantaian 431 pendudk Rawagede tersebut, yang tidak dapat dibedakan dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaan  yang diadili di Mahkamah pengadilan PBB bagi bekas  Yugoslavia, Mahkamah Kejahatan Ininternasional di Den Haag, Mahkamah Pengadilan PBB di Ruanda dan lain-lainnya. Jadi logislah sikap pemerintah Belanda yang tidak mengajukan naik banding atas putusan Pengadilan Den Haag.
# Kasus Rawagede dan Pernyataan Maaf Pemerintah Belanda
Pernyataan permintaan maaf Pemerintah Belanda memang selayaknya dinilai positif secara wajar, tidak perlu berlebih-lebihan. Sebab permintaan maaf tersebut bukan tindakan suka rela, melainkan karena Pemerintah Belanda kalah dalam perkara perdata atas gugatan para korban yg jumlahnya 7 orang. Artinya, mau atau tidak mau harus mengakui kesalahannya. Tentang pernyataan minta maaf hanyalah masalah moral, yang sepatutnya diberikan oleh mereka yang melakukan kesalahan, terutama bagi mereka yang menamakan dirinya bangsa beradab. Lain halnya kalau tanpa gugatan di Pengadilan Pemerintah Belanda dengan sukarela dan ketulusan hati meminta maaf dan kemudian membayar ganti rugi, meskipun sudah terlambat 64 tahun. Langkah Pemerintah Belanda yang demikianlah yang bisa disebut langkah besar dan terpuji.
Tentu saja setiap permintaan maaf dari siapa saja yang merasa berbuat salah harus diterima dengan baik.  Berkaitan dengan permintaan maaf pemerintah Belanda kepada para korban pembantaian di Rawagede kita harus tidak kehilangan obyektifitas historis dan yuridis. Pembantaian di Rawagede tersebut tidak bisa dikatakan bukan kejahatan kemanusiaan, apalagi dari sudut peradaban Eropa yang dianggap tinggi. Tetapi kenyataannya pernyataan maaf atas pembantaian tersebut, yang berarti juga pengakuan kesalahan atas tindak kejahatan kemanusiaan, baru dilakukan secara resmi tahun ini (09 Desember 2011), sesudah selama  64 tahun tidak digubris. Jelasnya, seperti telah disinggung di atas permintaan maaf tersebut adalah akibat adanya putusan Pengadilan Den Haag yang memenangkan kasus perdata para korban Rawagede yang menuntut ganti kerugian kepada pemerintah Belanda.
Kalau tidak ada putusan Pengadilan Den Haag tentu saja tidak jelas sampai kapan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut diakui dan permintaan maaf dinyatakan oleh pemerintah Belanda. Maka dari itu, penulis sama sekali tidak setuju atas pendapat bahwa sikap pemerintah Belanda tersebut harus dicontoh sebagai pelajaran bagi pemerintah Indonesia (SBY dan lain-lainnya) dalam menangani kasus  korban pelanggaran HAM di Indonesia. Tetapi pemerintah Indonesia siapapun presidennya harus tegas, jujur dan adil melaksanakan hukum tentang hak asasi manusia tanpa ditunda-tunda (apalagi sampai puluhan tahun), tanpa manipulasi dan diskriminasi.
# Masalah ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede
Perlu dicatat bahwa ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede hanya diberikan kepada 7 orang penggugat (keluarganya) masing-masing sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per keluarga.  Karena kasus tersebut adalah kasus perdata, maka yang bukan penggugat tentu saja tidak masuk hitungan dalam daftar yang berhak menerima ganti rugi.  Mungkin dalam kasus tersebut pihak KUKB kurang teliti dalam membicarakannya dengan DR Liesbeth  Zegveld (advokat).  Padahal jumlah korban  di Rawagede sebanyak 431 orang, yang semuanya (keluarganya) berdasarkan keadilan seharusnya berhak juga menerima ganti rugi.  Adalah suatu langkah terpuji apabila  Pemerintah Belanda berinisiatif sendiri untuk memberikan ganti rugi tidak hanya kepada 7 orang penggugat saja, tetapi kepada semua korban di Rawagede lainnya, tanpa melalui proses pengadilan. Barulah hal tersebut bisa dikatakan langkah besar.
Ada baiknya kita ketahui, bahwa dalam kasus ganti rugi kepada para korban pemboman oleh teroris terhadap pesawat Pan Am di Lockerbie, Scotland pada 1988 yang membawa korban 270 orang, Ghadafi (yang tersangkut dengan kasus tersebut) diwajibkan membayar ganti rugi kepada setiap keluarga korban sebanyak 10 juta US Dollar (Rp.90 milyar). Sungguh jumlah ganti rugi yang sangat luar biasa besarnya, jika dibandingkan dengan ganti rugi yang akan diterima setiap keluarga korban Rawagede hanya sejumlah 20.000 Ero (Rp. 220 juta). Meskipun demikian, kalau pemerintah Belanda dengan sukarela tanpa melalui pengadilan bersedia memberikan ganti rugi kepada seluruh korban Rawagede (431 keluarga) yang jumlahnya hanya kurang lebih 7 milyun Ero (Rp.75 milyar) saja,  bangsa Indonesia akan memberi apresiasi tinggi.
Bagi pemerintah Belanda dengan putusan Pengadilan Den Haag tersebut masih ada kesempatan untuk memperbaiki citranya atas kejahatan kemanusiaan lainnya yang telah dilakukan di daerah-daerah Indonesia lainnya setelah berdirinya Republik Indonesia (a.l. pembantaian ribuan penduduk di Makasar oleh tentara Belanda yang dipimpin kapten Westerling).  , yaitu tanpa melalui pengadilan mengakui tindak kejahatan kemanusiaan tersebut, meminta maaf kepada para korban dan kemudian memberikan ganti rugi. Hal itu satu-satunya jalan untuk mengembalikan nama baik Belanda sesuai norme dan warde (norma dan nilai)  hak asasi manusia yang beradab.
Tentu saja masih banyak masalah hubungan Indonesia-Belanda yang harus diselesaikan, misalnya masalah pengakuan kedaulataan Republik Indonesia, di mana Belanda tetap tidak mengakui de jure pada 17 Agustus 1945. Tapi ini adalah masalah perselisihan hukum antara dua negara yang tidak mudah untuk menyelesaikannya. Untuk itu harus maju ke Mahkamah Pengadilan Internasional PBB (The International Court of Justice) di Den Haag. Apakah Indonesia cukup siap berhadapan  dengan Belanda di Mahkamah tersebut,  mengingat dalam sengketa dengan Malaysia mengenai kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (tahun 2003) saja Indonesia kalah. Tampaknya pemerintah Indonesia tidak berniat untuk mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah PBB, sebab tidak mau berisiko kalah dalam pengadilan atau rusaknya hubungan Indonesia-Belanda dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya yang sudah berjalan lancar. Misalnya dalam bidang pendidikan ribuan mahasiswa Indonesia mendapatkan fasilitas belajar di Negeri Belanda. Tapi yang pasti, baik Indonesia mau pun Belanda berusaha memelihara baik-baik hubungan bilateral yang saling menguntungkan dewasa ini.
#  Penegak hukum Indonesia, belajarlah meski ke Argentina!!!
Harus diakui bahwa putusan pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede ini menunjukkan keobyektifan para hakim dalam memproses kasus tersebut. Mereka tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (pemerintah Belanda) yang selama ini masih berat untuk melepaskan tekanan-tekanan psikologis dari para veteran KNIL yang tidak mau disebut penjahat dalam kasus Rawagede dan daerah-daerah lainnya ketika melakukan agresi ke Indonesia. Dalam kasus Rawagede tersebut asas trias politica betul-betul ditegakkan: kekuasaan yudikatif membuktikan fungsinya yang tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif. Dalam kaitan inilah Institusi Yudikatif di Indonesia masih harus kerja keras untuk membuktikan bahwa tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif, tidak menjadi kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif dan bersih dari kendali mafia hukum.
Dengan dimenangkannya para penggugat terbukti juga bahwa Pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede tidak menempuh arus yang bertentangan dengan praktek-praktek  di mahkamah-mahkamah Internasional (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan International Criminal Court) yang telah atau sedang berjalan di Den Haag, yang mengadili kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat di Yugoslavia, Sera Leon dan lain-lainnya. Sayangnya kasus Rawagede di Pengadilan Den Haag tersebut hanya diproses  dalam bingkai kasus perdata, yang menuntut ganti rugi kepada 7 korban. Maka dari itu bobotnya terlalu ringan, tidak sebanding dengan korban jiwa 431 orang penduduk Rawagede, yang seharusnya diproses dalam bingkai kasus pidana internasional.
Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional kita perlu prihatin atas ketidak-berdayaan dan ketidak-pedulian penegak hukum atau institusi yudikatif Indonesia menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara serius, terutama kasus-kasus masa lalu, dengan jujur dan adil. Kalau benar-benar institusi yudikatif/penegak hukum Indonesia mau menegakkan kebenaran dan keadilan seharusnya belajar dari kasus penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Argentina, Peru dan negara-negara Amerika Latin lainnya.  Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchne (yang terpilih dalam pemilu 2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html). Beranikah para penegak hukum di Indonesia mengambil pelajaran dari pengalaman penegakan kebenaran dan keadilan di Argentina? Belajarlah, meski ke Argentina!!!
Nederland, 10 Desember 2011
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland.  

Wednesday 30 November 2011


KEBENARAN DAN KEADILAN DI GELAPKAN, SEDANG IMPUNITAS DILANGGENGKAN

Timbulnya “ Gerakan Tigapuluh September” (G30S) pada pagi hari 01 Oktober 1965 dan peristiwa-peristiwa  politik pasca dihancurkannya gerakan tersebut, mengakibatkan perubahan drastis  tata kehidupan negara dan bangsa Indonesia – Indonesia praktis di bawah kekuasaan militer jenderal Suharto.  Dengan tujuan memuluskan jalan kudeta terhadap pemerintah Soekarno, rejim militer melakukan pembantaian dan penahanan massal tanpa proses hukum terhadap orang-orang yang dianggap lawan politiknya .  Inilah kejahatan kemanusian yang maha dahsyat  yang  hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler dalam Perang Dunia II. Meski sudah 46 tahun berlalu kasus kurang lebih 3 juta orang korban kejahatan kemanusiaan  tersebut  sampai detik ini tidak mendapatkan keadilan sesuai hukum yang berlaku. Padahal Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).

Penguasa Negara dengan segala cara memutar-balikkan fakta sejarah seakan-akan pada tahun 1965-66 tidak pernah terjadi kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat. Demikianlah  kebenaran dan keadilan digelapkan, sedang  impunitas dilanggengkan.  Percuma dicantumkan norma-norma hukum HAM dalam perundang-undangan Negara Indonesia kalau hanya untuk pajangan saja. Percuma dibentuk UU Peradilan HAM, Pengadilan HAM dan KOMNAS HAM kalau sampai sekarang  tidak bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (terutama yang berkaitan  peristiwa 1965-66). Dan sangat disesalkan justru institusi-institusi  penegak hukum  malah menjadi sarang mafia-hukum?

Juga sangat memalukan bahwa Penyelenggara Negara Indonesia sedikitpun tidak mempunyai kepedulian terhadap para korban kejahatan kemanusiaan (pembantaian massal) yang dilakukan oleh tentara Belanda pada tahun 1947 atas 431 orang penduduk  di Rawagede. Tetapi pada tanggal  14 September 2011 Pengadilan Den Haag (Belanda) yang mengadili Kasus Rawagede atas gugatan para janda korban telah menjatuhkan putusan yang memenangkan para janda korban. Putusan Pengadilan di Den Haag tersebut  membuktikan bahwa institusi yudikatif  Negeri Belanda telah menjalankan tugasnya dengan baik, artinya tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang tidak respek kepada Republik Indonesia dan tidak rela dirinya dinamakan aggressor berhubung  keterlibatannya dalam  agresi terhadap negara  muda Indonesia  pada tahun 1945-1949  yang mengorbankan  ribuan rakyat.  Putusan Pengadilan Den Haag tersebut merupakan suatu tamparan muka bagi penegak hukum Indonesia yang sampai sekarang tidak juga mau menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu terhadap warganegara Indonesia sendiri, bangsanya sendiri.

Semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (kasus 1965-66) dan  juga Kasus Rawagede ternyata  bukan masalah gede bagi penyelenggara Negara Indonesia. Dari penyelenggra Negara belum ada yang berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Mata hatinya masih tertutup dengan kenikmatan hasil penghambaan pada neoliberalisme-neokolonialisme, meskipun mengorbankan rakyat banyak. Mereka masih asyik menginjak-injak Pasal 33 UUD 1945, sebab jiwa Orde Baru pada hakekatnya masih erat melekat sampai dewasa ini.

Pembunuhan,  penyiksaan, penahanan puluhan tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan penjara-penjara lainnya  yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap 3 juta rakyat Indonesia tanpa proses hukum  tidak boleh tidak adalah Kejahatan Kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat -  tidak pandang apapun agama, ideologi, pandangan politik, suku, etnis  para korban.  Kejahatan Kemanusiaan tersebut, seperti halnya kejahatan rejim NAZI Hitler, adalah kejahatan yang  tidak berampun,  harus dituntaskan demi penegakan kebenaran dan keadilan. Para penjahat NAZI Hitler di mana pun bersembunyi dikejar terus, ditangkap kemudian dihadapkan di depan pengadilan.  Di Argentina  para jenderal yang tersangkut dalam tindak kejahatan kemanusiaan  30 tahun yang lalu telah dan sedang antri  untuk diadili. Tidak seperti halnya di Indonesia, penjahatnya sudah jelas, bukti kejahatannya di depan mata, tapi mereka dibiarkan saja leha-leha menikmatkan surga kehidupan dunia di atas kesengsaraan jutaan rakyat tak berdosa. Jadi, hukum  tidak berjalan secara semestinya di Indonesia, sebagai Negara Hukum.

Kapan pun para korban berhak menuntut penuntasan kasus tersebut kepada institusi penegak hukum, sebaliknya penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan penuntasan kasus tersebut di atas. Kalau kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh penegak hukum, berarti mereka melalaikan tugasnya. Kalau pelalaian tugas terjadi secara umum  maka dapat dikatakan  penyelenggara Negara telah gagal melakukan tugasnya seperti yang tertera dalam UUD 1945. Inilah yang terjadi selama 46 tahun, sampai detik ini di Indonesia.

Menuntut keadilan adalah hak para korban pelanggaran HAM, maka demi menegakkan keadilan  perlu hak tersebut dilaksanakan dalam segala bentuknya. Jangan kita takut pada “hantu” yang diciptakan oleh berbagai pihak tertentu agar para korban tidak melakukan tuntutan, membiarkan penjahat selamat dari tanggung jawab hukum.

Masyarakat Indonesia korban pelanggaran HAM berat 1965-66 baik di tanah air maupun di luar negeri (a.l. yang tergabung dalam Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia, Lembaga Pembela Korban 1965, dan lain-lainnya) tetap menjunjung tinggi prinsip pemisahan 3 kekuasaan – legislative, eksekutif dan yudikatif . Tetapi dengan tidak tuntasnya (tidak dituntaskannya) kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang merupakan juga Kejahatan Kemanusiaan, meski sudah berlangsung  46 tahun, membuktikan bahwa di Indonesia prinsip tersebut  tidak berjalan. Maka rakyat Indonesia harus sadar dan bangkit untuk menyetop berlangsungnya terus rejim Neo-ORBA demi tegaknya kebenaran , keadilan,  demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia.

MD Kartaprawira

Nederland,  01 Oktober 2011
Sumber: Bullertin INFORMASI, Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Nederland

RAWAGEDE, PERJUANGAN KNPMBI DAN KUKB

Pendahuluan -------- Pada 14 September 2011, banyak kalangan di Indonesia dan di Belanda yang terkejut membaca atau mendengar berita mengenai putusan pengadilan sipil di Den Haag, yang memenangkan sebagian tuntutan beberapa janda dari Desa Rawagede terhadap pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda diputuskan bersalah dan bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana pada waktu itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa tersebut tanpa proses. Semuanya laki-laki di atas usia 15 tahun. Oleh karena itu pengadilan memutuskan, pemerintah Belanda harus memberi kompensasi kepada 9 janda yang masih hidup dan kepada Sa’ih bin Sarkam, seorang korban yang selamat terakhir dari pembantaian tersebut. Namun putusan pengadilan di Belanda ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa tentara Belanda pada waktu itu dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap warganya sendiri dan bukan terhadap warga Indonesia, karena baik pemerintah maupun pengadilan Belanda tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, oleh karena itu, sampai tahun 1949 bagi pemerintah Belanda, Indonesia tetap merupakan bagian dari Belanda. Dalam pertimbangan putusannya pengadilan sipil di Belanda menyebut sebagai “fakta”: 2. De feiten 2.1. Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden.(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.) Hal ini menunjukkan dengan jelas, bahwa bagi pemerintah Belanda dan pengadilan Belanda, sampai 27 Desember 1949, Republik Indonesia masih bagian dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, sampai detik ini pemerintah tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 agustus 1945. Di Indonesia tidak banyak yang mengetahui, bahwa hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap menolak untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi pemerintah Belanda de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” (soevereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima (Aanvarding) proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis, alias hanya de facto. Pernyataan ini seharusnya mengejutkan pemerintah dan rakyat Indonesia, karena pernyataan ini mengungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak eksis sama sekali, dan baru mulai tangal 16 agustus 2005, pemerintah Belanda “menerima eksistensi” Republik Indonesia. Dengan hanya diterima eksistensinya namun tidak diakui legalitasnya, maka pemerintah Belanda menganggap NKRI adalah “ANAK HARAM.”Berdirinya dan kegiatan-kegiatan KNPMBI dan KUKB.--------Bagi mereka yang mengikuti kegiatan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) sejak 8 Maret 2002, dan kemudian dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sejak 5 Mei 2005, berita mengenai putusan pengadilan sipil di Belanda ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena ini adalah sebagian dari yang dituntut oleh KNPMBI dan kemudian oleh KUKB. Berbagai media di Belanda dan di Indonesia –terutama media cetak- telah sering memberitakan mengenai kegiatan KNPMBI dan KUKB, namun mungkin kurang mendapat perhatian, dan banyak yang tidak percaya, bahwa semua tuntutan tersebut akan direspons oleh pihak Belanda, apalagi pengadilan di Den Haag, Ibukota Belanda, akan memenangkan gugatan terhadap pemerintah Belanda. Seluruh kegiatan ini dirintis oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang didirikan pada 8 Maret 2002 oleh 10 organisasi. Tanggal 20 Maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), KNPMBI melakukan demonstrasi di Kedutaan Besar Belanda di Jl. Rasuna Said dan menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda. Hasilnya adalah, Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra mengusulkan untuk diselenggarakannya suatu seminar internasional, di mana akan dibahas dua sisi dari VOC. KNPMBI menyetujuinya.


Delegasi KNPMBI dipimpin oleh Batara R. Hutagalung, diterima oleh Wakil Dubes Belanda, Alfons Stoelinga.-------- Pada 3 dan 4 September 2002, bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, dilaksanakan penyelenggaraan seminar tersebut. Pembicara adalah 4 sejarawan dari Belanda, dan 6 sejarawan Indonesia.


Pada 3 April 2002 pengurus KNPMBI diterima oleh Dubes Baron Schelto van Heemstra.-------- Pada 8 Maret 2005, KNPMBI memperbarui tuntutan kepada pemerintah Belanda. Tuntutan tersebut dideklarasikan dalam jumpa pers yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, pada 8 Maret 2005.


Deklarasi tuntutan KNPMBI. Ir. Agam Saifudin, Batara R. Hutagalung, Ketua Umum KNPMBI, dan Ir. Raswari, pendukung KNPMBI.-------- Tuntutan yang kemudian dimajukan oleh KNPMBI kepada pemerintah Belanda adalah agar pemerintah Belanda: 1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, 2. Meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. --------Pada 9 Maret 2005, bekerjasama dengan Yayasan 19 September 1945, KNPMBI menyelenggarakan peringatan menyerahnya Belanda kepada Jepang di Kalijati. Karena lingkup kegiatan dari KNPMBI sangat luas, dan tidak terbatas pada Belanda saja, maka diputuskan untuk membentuk suatu komite, yang fokus kegiatannya adalah meninjau semua permasalahan yang ada antara Republik Indonesia dan Belanda, baik masalah pengakuan de jure kemerdekaan Republik Indonesia, maupun masalah kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM.


Ketua KNPMBI Batara R. Hutagalung memberikan kata sambutan di Kalijati, 9 Maret 2005.-----


Peserta peringatan di Kalijati. -------- Menurut para aktifis KNPMBI, masalah pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, adalah masalah harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Dengan tidak diakuinya proklamasi 17.8.1945 oleh Pemerintah Belanda, berarti Pemerintah Belanda sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Apabila membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka ini merupakan pengkhianatan terhadap PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945, yang merupakan PILAR UTAMA bangsa Indonesia, dan menyia-nyiakan pengorbanan ratusan ribu rakyat Indonesia yang gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Alasan pemerintah Belanda ketika melancarkan “aksi polisional” adalah untuk membasmi para perampok, perusuh pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang, guna memulihkan kembali “law and order.” Dengan membiarkan sikap pemerintah Belanda, maka berarti tetap membiarkan pandangan, bahwa para pejuang dan pahlawan Indonesia adalah para perampok, perusuh pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang. Maka pada 5 Mei 2005, bertempat di Gedung Joang ’45, para aktifis KNPMBI meresmikan wadah baru, yaitu KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA. Pengurusnya indentik dengan pengurus KNPMBI. Sebagian terbesar kegiatan KNPMBI dan KUKB diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang sejak akhir Agustus 1945 merupakan salahsatu pusat pergerakan pemuda. Pada 20 Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan KNPMBI, KUKB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk: 1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, 2. Meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.-----Sementara itu, dilakukan penelitian mengenai berbagai kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada bulan Agustus 2005, Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung ke Makassar dan bertemu dengan Hj. Oemi Hani, 83 tahun, seorang saksi mata pembantaian yang dilakukan oleh Westerling (Lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/pembantaian-westerling-i.html).----- KUKB juga melakukan penelitian mengenai peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede pada 9 Desember 1947 tentara Belanda yang membantai 431 penduduk desa (lihathttp://batarahutagalung.blogspot.com/2006/08/pembantaian-di-rawagede-9-desember.html)----- Dari berbagai penelitian tersebut, ternyata masih banyak janda korban pembantaian yang masih hidup, juga beberapa orang korban yang selamat. Setelah melakukan berbagai penelitian mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda, maka butir tuntutan kepada Pemerintah Belanda ditambah dengan: 3. Memberi kompensasi kepada keluarga korban agresi militer Belanda yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.-------- Tuntutan ini tidak hanya terbatas pada peristiwa pembantaian di Rawagede, melainkan untuk seluruh korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Pada 16 Agustus 2005, dalam sambutannya di Jakarta, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini Pemerintah Belanda MENERIMA Proklamasi 17.8.1945 secara politis dan moral. Artinya hanya de facto, namun tidak secara yuridis, de jure, karena menurut Menlu Ben Bot sebagaimana disampaikannya dalam wawancara di Metro TV pada 18.8.2005, pengakuan kemerdekaan telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan pengakuan hanya diberikan satu kali. Namun sehari sebelum berangkat ke Jakarta, dalam sambutannya di Den Haag pada 15.8.2005, pada peringatan pembebasan para interniran orang Belanda yang diinternir oleh tentara Jepang di Indonesia antara tahun 1942 – 1945. Ben Bot dengan jelas menyatakan, bahwa kini Pemerintah Belanda menerima de facto Proklamasi 17.8.1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pernyataan ini sebenarnya sangat mengejutkan, karena dengan demikian terungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi Pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, TIDAK EKSIS SAMASEKALI! Menjelang 17 Agustus 2005, pada 1 Agustus 2005, KUKB menyelenggarakan seminar dengan judul ’60 Tahun Kemerdekaan RI. Pemerintah Belanda Tidak Mengakui Kemerdekaan RI 17.8.1945.’ Pembicara adalah Drs. Theo Sambuaga, Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo, pelaku sejarah dan moderator Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, sejarawati.


Dari kiri: Batara R. Hutagalung, Theo Sambuaga, Irna HN Hadi Soewito, Soekotjo Tjokroatmodjo.-------- Setelah data mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede lengkap, pada 15 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB, Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, SH., MSc, menyampaikan masalah ini ke Tweedekamer (Parlemen Belanda), dan diterima oleh dua anggota Parlemen Belanda, yaitu Bert Koenders (waktu itu sebagai juru bicara PvdA- Partai Buruh. Sejak November 2006 menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan), dan Angelien Eijsink, juga dari PvdA. (lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/dari-rawagede-ke-parlemen-belanda.html). KUKB menyampaikan mengenai petisi KUKB yang belum dijawab oleh Menlu Belanda, dan juga menyampaikan mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede, yang merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Di International Criminal Court (ICC) di Den Haag, ada empat jenis kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa, yaitu genocide (pembantaian etnis), war crimes (kejahatan perang), crimes against humanity (Kejahatan atas kemanusiaan) dan crime of aggression (Kejahatan agresi). Bert Koenders berjanji akan membawa masalah ini ke Parlemen Belanda.


Batara R. Hutagalung bersama Bert Koenders dan Angelien Eijsink di Parlemen Belanda di Den Haag.-------- Pada bulan Juni 2006, Bert Koenders membawa tuntutan KUKB ke Parlemen Belanda dan meminta Menlu Ben Bot memberikan jawaban. Jawaban tertulis Menlu Ben Bot diberikan pada 28 Juni 2006. Di Hilversum Batara R. Hutagalung dan Mulyo Wibisono bertemu dengan Ad van Liempt, Journalis senior dari media Andere Tijden. Ad van Liempt melakukan penelitian dan menerbitkan buku mengenai ‘Kereta Mayat Bondowoso’ (Lijken Trein van Bondowoso).


Dari Kiri: Sie Hok Tjwan, Batara R. Hutagalung, Ad van Liempt, Mulyo Wibisono, Charles Suryandi. -------- Ad van Liempt mengatakan, bahwa bagi pemerintah Belanda sangat dilematis, apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Apabila hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda, maka dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Konsekwensinya adalah, pemerintah Republik Indonesia dapat menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda, dan “ekses-ekses” yang dilakukan oleh tentara Belanda, sebagaimana disebut oleh pemerintah Belanda dalam laporannya tahun 1969 kepada parlemen Belanda dengan judul ‘De Excessennota’, adalah kejahatan perang. Juga dalam kunjungan ke Belanda pada bulan Desember 2005, pimpinan KUKB bertemu dengan Jan Maassen, seorang ‘indonesië weigeraar’, yaitu wajib militer yang menolak untuk dikirim sebagai tentara ke Indonesia antara tahun 1946 – 1949. Pada waktu itu sekitar 6000 pemuda Belanda yang menolak untuk ikut dalam –menurut mereka- perang kolonial.


Batara R. Hutagalung bersama Jan Maassen. ----- Dalam kunjungan ke Belanda ini, pada 18 Desember 2005 Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung meresmikan berdirinya KUKB Cabang Belanda, dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua dan Charles Suryandi sebagai sekretaris. Seluruh kegiatan KUKB selama di Belanda dapat dilihat di Weblog, dengan judul: KUKB di Kandang Macan:--- http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/kukb-di-kandang-macan.html ----- Mulai tahun 2006, setiap awal bulan Agustus KUKB menyelenggarakan seminar dengan tema yang sehubungan dengan tuntutan terhadap pemerintah Belanda, dan setiap tanggal 15 Agustus, KUKB mengadakan unjuk rasa di kedutaan Belanda di Jakarta. Tanggal 15 Agustus dipilih, karena di Belanda, setiap tanggal 15 Agustus dirayakan hari pembebasan para interniran dari kamp-kamp interniran Jepang dai Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, orang-orang Belanda dan Eropa lain di internir oleh Jepang di berbagai kamp interniran.


Demo 15.8.2007. Diterima oleh Paul Ymkers, Sekretaris Bidang Politik. -----


Batara R. Hutagalung membuka seminar 11.8.2008. -----


Dari kiri, Dr. Saafroedin Bahar, alm. Ir. Nuli D. Siregar (moderator), Martin basiang, SH., Dr. Anhar Gonggong. ----- Pada bulan Oktober 2007, Ketua KUKB Batara Hutagalung dan Ketua Dewan Penasihat KUKB, Mulyo Wibisono berkunjung lagi ke Belanda dan bertemu dengan beberapa tokoh Belanda, dalam rangka pendekatan kepada mereka untuk mendukung tuntutan KUKB.


Bersama Prof. Henk Schulte-Nordholt.-----


Bersama Dr. Harry Poeze. ----- Di Belanda sendiri sudah banyak generasi muda Belanda, termasuk beberapa anggota parlemen Belanda, seperti Krista van velzen (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/open-brief-aan-minister-bot-erken-datum.html) dan Harry van Bommel dari Partai Sosialis, yang tidak keberatan untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945 (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/oppositie-wil-erkenning-17-augustus.html). Demikian juga Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders, sebagaimana disampaikannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di Den Haag pada 15 Desember 2005, ketika dia menjabat sebagai jurubicara Fraksi PvdA (Partai Buruh). Pada 22 April 2008, Ketua KUKB Batara Hutagalung berkunjung lagi ke Tweedekamer di Den Haag, dan bertemu dengan Krista van Velzen guna menggaris bawahi tuntutan KUKB). (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/05/kukb-gencar-lobi-parlemen-negeri-tulip.html) Korespondesi Batara R. Hutagalung dengan Krista van Velzen pada bulan Februari 2006 lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2007/02/letter-to-mrs-krista-van-velzen.html.


Batara R. Hutagalung bersama Krista van Velzen di Parlemen Belanda di Den Haag.----- Sejak bulan Juni 2006, peristiwa pembantaian di Rawagede telah lima kali dibahas di Parlemen Belanda. Pada 4 Januari 2008 Krista van Velzen mengajukan pertanyaan kepada Menlu Maxime Verhagen (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/kamervragen-krista-van-velzen-drs-mjm.htm, terjemahan dalam bahasa Indonesia lihathttp://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/tanya-jawab-parlemen-kamervragen.html). Pada pertengahan tahun 2006, KUKB telah menugaskan kantor pengacara di Belanda untuk mewakili kepentingan 9 orang janda korban dan satu korban selamat yang terakhir dari pembantaian di Rawagede 9 Desember 1947, untuk secara resmi mengajukan tuntutan kompensasi kepada Pemerintah Belanda. Tuntutan resmi dimajukan kepada Pemerintah Belanda pada bulan September 2008. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/10/survivors-of-massacre-demand.html). -----


Demo, 15.8.2008, diterima oleh Paul Peters, Direktur Erasmus Huis.-------- Sebelum keberangkatan Harry van Bommel ke Jakarta, Harry van Bommel dan Krista van Velzen pada 10 Oktober 2008, menulis surat terbuka yang isinya mendesak Pemerintah Belanda memberikan kompensasi kepada para keluarga korban pembantaian di Rawagede. (lihathttp://indonesiadutch.blogspot.com/2008/10/harry-van-bommel-and-krista-van-velzen.html) Namun pada 24 November 2008, Pemerintah Belanda secara resmi menolak tuntutan tersebut dengan alasan, bahwa peristiwa tersebut telah lama berlalu (too old). Hal ini diberitakan oleh berbagai media internasional, yang mengutip berita dari Associated Press (AP) (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/11/associated-press-dutch-govt-lawyer-says.html). Dalam kunjungannya ke Indonesia pada bulan Oktober 2008, delegasi parlemen Belanda masih mengkritisi masalah pelanggaran HAM di Indonesia, sebagaimana disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama ini, delegasi Belanda selalu mengunjungi Aceh, Maluku dan Papua barat, daerah-daerah yang letaknya ribuan kilometer dari Jakarta, yaitu daerah-daerah yang menjadi pusat perhatian Belanda, sehungan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI. Ketua KUKB mendesak delegasi Belanda untuk juga berkunjung ke desa Rawagede, yang jaraknya tidak sampai 100 kilometer dari Jakarta, di mana telah terjadi pelanggaran HAM berat, bahkan kejahatan perang, yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia, setelah bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945. Namun, sebagai hasil voting di antara delegasi Belanda, secara resmi mereka menolak untuk berkunjung ke Rawagede, dan bahkan juga menolak untuk bertemu dengan para janda korban pembantaian, yang akan berkunjung ke Hotel mereka di Jakarta. Dari 7 orang anggota Delegasi, semula hanya dua orang yang setuju untuk bertemu dengan 2 orang janda korban dan satu orang korban selamat dari pembantaian, yaitu Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel Voordewind dari Partai Christen Unie. Namun kemudian Harm Evert Waalkens anggota parlemen Belanda dari PvdA (Partai Buruh) juga menghadiri pertemuan tersebut, yang diselenggarakan di Hotel JW Merriott Jakarta pada 19 Oktober 2008. Pertemuan ini juga diberitakan oleh hampir seluruh media di Belanda.


Batara R. Hutagalung dan dua janda serta Sa'ih, korban selamat terakhir, bertemu dengan tiga orang anggota Parlemen Belanda di Lounge Hotel JW Mariott. -------- Seluruh media di Belanda memberitakan mengenai hal ini, baik penolakan secara resmi dari delegasi parlemen, maupun kemudian pertemuan tiga orang anggota parlemen Belanda dengan para janda dan seorang korban selamat. Sepulangnya di Belanda, ketiga anggota parlemen Belanda tersebut segera menyampaikan masalah ini kepada Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen. Pada 18 November 2008, Harry van Bommel menyampaikan MOSI di parlemen Belanda, yang isinya mendesak Pemerintah Belanda untuk menugaskan Duta Besar Belanda hadir pada peringatan peristiwa pembantaian yang akan diadakan di Rawagede pada 9 Desmber 2008. Mayoritas anggota parlemen Belanda mendukung Mosi tersebut, dan Menteri LN Belanda menugaskan Dubes Belanda Nikolaos van Dam untuk menghadiri acara peringatan tersebut. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html). -----


Duta Besar Belanda bersama Batara R. Hutagalung di Monumen Rawagede, 9 Desember 2008. -------- Hadirnya Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam pada acara peringatan pada 9 Desember 2008 merupakan suatu peristiwa yang sangat bersejarah, karena ini untuk pertamakalinya pejabat tertinggi Belanda di Indonesia hadir dalam suatu acara peringatan kekejaman tentara Belanda di Indonesia. Pada 30 Desember 2008, Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung mengirim surat terbuka kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Drs. Maxime Verhagen. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/open-letter-to-minister-of-foreign.html). Pada 14 Januari 2009, Batara R. Hutagalung mengadakan pertemuan sekitar 1 jam dengan Dirjen Kementerian LN Belanda, Pieter de Gooijer, di mana Pieter de Gooijer menyampaikan tanggapan atas surat terbuka dari Ketua KUKB. Batara Hutagalung menyampaikan a.l., bahwa pada peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana 431 penduduk laki-laki 15 tahun keatas dibunuh, maka tentara Belanda bukan hanya membuat desa Rawagede menjadi desa yang penuh janda dan anak yatim piatu, melainkan juga bagi suatu desa dengan dibunuhnya sebagian besar penduduk laki-laki usia produktif, maka hal ini menghancurkan perekonomian desa tersebut untuk puluhan tahun kedepan. Oleh karena itu, terutama di Rawagede, Pemerintah Belanda benar-benar harus bertanggungjawab dan membantu pembangunan di Rawagede. Melalui Pieter de Gooijer, Batara Hutagalung menyampaikan pesan kepada Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders untuk mengingatkan janjinya yang pernah diucapkannya dalam pertemuan pada 15 Desember 2005, di mana dia menyatakan akan membantu menyelesaikan masalah Rawagede. Setelah pertemuan dengan Dirjen Pieter de Gooijer, Batara R. Hutagalung diundang untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Drs. Maxime Verhagen. Menlu Belanda mengatakan, bahwa Dirjennya telah menyampaikan kepadanya butir-butir pembicaraan dengan KUKB, dan menyatakan akan menanggapi hal-hal tersebut secara sungguh-sungguh.


Batara R. Hutagalung bersama Pieter de Gooijer. --------


Batara R. Hutagalung bersama Menlu Drs. Maxime Verhagen. -------- Pada bulan Februari 2009, Menteri Kerjasama Belanda Bert Koenders menyatakan akan membantu pembangunan di desa Rawagede, walaupun alasan yang dikemukannya adalah, bahwa desa Rawagede adalah suatu desa yang miskin. Alasan ini nampaknya untuk menghindari kesan, bahwa pemberian bantuan ini merupakan pemenuhan tuntutan KUKB, dan juga agar tidak memberikan kesan bahwa langkah ini bertentangan dengan pernyataan Menlu Maxime Verhagen pada bulan November 2008, yang telah menolak tuntutan pengacara para janda dari Rawagede. Pemerintah Belanda telah mengucurkan dana sebesar 1,16 juta US $ untuk bantuan pembangunan di Rawagede. Yang kini perlu diawasi adalah penyaluran dana tersebut, yang dilakukan melalui Kementerian Dalam Negeri RI, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penyaluran dana tersebut. Proses di pengadilan sipil di Belanda berlangsung sejak tahun 2009, dan baru diputuskan pada 14 September 2011. Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak mendengar mengenai desa Rawagede! Peristiwa pembantaian di Rawagede, bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban pembataian bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh lebih besar, seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond P.P. Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai 40.000 jiwa. Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung Lombok, yang dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh tentara Belanda bulan Januari dan Februari 1949. KUKB akan melanjutkan tuntutan kepada pemerintah Belanda untuk memberi kompensasi kepada seluruh korban agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, sedangkan ocus tuntutan dari KNPMBI sekarang adalah tuntutan kepada pemerintah Belanda, untuk mengakui de jure kemerdekaan RepubliK Indonesia adalah 17 Agustus 1945.-----*****Catatan: ----- Pada bulan Juni 2008, pengacara yang mewakili para korban Rawagede menemukan dokumen yang menyebutkan, bahwa komandan tentara belanda yang memimpin penyerangan tehadap desa Rawagede pada 9 Desember 1947, Mayor Alfons Wijnen, ternyata mendapat pengampunan (impunity) dari Pemerintah Belanda pada tahun 1948. Hal ini kembali menggemparkan masyarakat Belanda, karena mereka selama ini mengkritisi sikap Pemerintah Indonesia, yang dianggap memberikan pengampunan (impunity) kepada perwira-perwira TNI yang dianggap bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur. Pada 2 Juli 2009, Harry van Bommel dari Partai Sosialis, bersama Martijn van Dam dari Partai Buruh (PvdA) dan Marijko Peters dari Partai Hijau Kiri (Groenlinks) lagi mengajukan MOSI di Parlemen Belanda, yang isinya meminta Pemerintah belanda untuk meminta maaf atas pemberian pengampunan kepada Mayor Alfons Wijnen tersebut. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/motie-van-het-lid-van-bommel-cs.html) Namun Menlu Belanda Maxime Verhagen menolak Mosi ini dengan alasan, bahwa Pemerintah Belanda telah berulangkali menyatakan penyesalan atas terjadinya tindak kekerasan selama masa pengerahan militer Belanda di Indonesia. Masyarakat Belanda baru sekarang mengetahui, bahwa semua hal yang mereka tuduhkan kepada Indonesia, ternyata telah dilakukan oleh tentara dan Pemerintah Belanda di masa lalu, dan selama ini semua hal tersebut selalu ditutup-tutupi oleh Pemerintah Belanda. Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak mengenal desa Rawagede! Peristiwa pembantaian di Rawagede, bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban pembataian bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh lebih besar, seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond P.P. Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai 40.000 jiwa. Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung Lombok, yang dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh tentara Belanda bulan Januari dan Februari 1949. Selain itu, peristiwa kudeta yang gagal yang dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elit Belanda KST (Korps Speciaale Troepen) pada 23 Januari 1950, setelah Pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” kepada Pemerintah RIS, di mana sekitar 90 orang TNI yang tidak bersesenjata tewas dibunuh di Bandung, adalah juga tanggungjawab Pemerintah Belanda, karena pimpinan tertinggi militer Belanda telah mengetahui rencana Westerling tersebut. Setelah kudetanya gagal, pimpinan tertinggi militer Belanda membantu Westerling meloloskan diri ke Singapura, dan di Belanda, dia tidak dihukum, bahkan sebaliknya, dia disambut oleh masyarakat Belanda sebagai pahlawan. Menurut informasi yang diperoleh KUKB baik dari Belanda maupun di Indonesia, Pemerintah Belanda sangat mengkhawatirkan pengungkapan kejahatan perang yang dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elitnya, Depot Speciaale Troepen (DST) di Sulawesi Selatan antara tanggal 12 Desember 1946 – 7 Februari 1947, karena dampaknya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan pembantaian di Rawagede. Pengungkapan semua kejahatan perang dan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara belanda di Indonesia, akan menjatuhkan pamor Belanda sebagai Negara tempat “pusat keadilan dunia”, dan akan memperkuat posisi tawar (Bargaining position) Pemerintah Indonesia dalam menghadapi Pemerintah Belanda. Demikian juga di masa datang, apabila delegasi parlemen Belanda masih terus mempertanyakan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia serta tudingan pemberian pengampunan (impunity) terhadap pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, maka hal ini dapat dibalikkan kepada mereka, dengan mempertanyakan kasus-kasus kejahatan perang dan pemberian pengampunan kepada penjahat perang Belanda. Kegiatan KUKB juga mendapat dukungan dari banyak pihak di Belanda, terutama ketika mengumpulkan dana dari masyarakat Belanda yang telah mencapai lebih dari 100 juta rupiah untuk para janda korban pembantaian di Rawagede. Voting di parlemen Belanda pada 18 November 2008, di mana Mosi yang dimajukan oleh Harry van Bommel telah disetujui oleh mayoritas anggota parlemen Belanda menunjukkan, bahwa di parlemen Belanda telah berhasil dibentuk suatu pandangan baru sehubungan dengan Indonesia, di mana selama ini citra Indonesia di mata parlemen Belanda sangat negatif, dan selalu dikritik. Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan oleh KUKB, dan sebelumnya oleh KNPMBI, terbukti sangat efektif. Menurut beberapa kalangan, baik di Belanda maupun di Indonesia, termasuk beberapa mantan diplomat Indonesia, KNPMBI dan KUKB telah menjalankan second track diplomacy, atau diplomasi jalur kedua, yaitu melakukan hal-hal yang secara resmi tidak dapat dilakukan oleh satu pemerintah guna menyelesaikan beberapa permasalahan internasional. Second track diplomacy -yang sebelumnya juga dilakukan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) terhadap Inggris- yang dijalankan oleh KNPMBI dan KUKB telah terbukti sangat effektf dan effisien, dan dapat merubah peta pro dan kontra di Belanda. Diakui atau tidak oleh Pemerintah Indonesia, kegiatan yang dilakukan oleh KNPMBI dan KUKB telah memperkuat posisi tawar Indonesia terhadap Belanda. Indonesia masih dapat memainkan “senjata pamungkas”, yaitu membuka semua lembaran hitam masa lalu Belanda di Indonesia antara tahun 1945 - 1950. *****
Posted bybatarahutagalungat9:30 AM