RAWAGEDE,
PERJUANGAN KNPMBI DAN KUKB
Pendahuluan -------- Pada 14 September 2011, banyak kalangan di
Indonesia dan di Belanda yang terkejut membaca atau mendengar berita mengenai
putusan pengadilan sipil di Den Haag, yang memenangkan sebagian tuntutan
beberapa janda dari Desa Rawagede terhadap pemerintah Belanda. Pemerintah
Belanda diputuskan bersalah dan bertanggung jawab atas pembantaian yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana
pada waktu itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa tersebut tanpa
proses. Semuanya laki-laki di atas usia 15 tahun. Oleh karena itu pengadilan
memutuskan, pemerintah Belanda harus memberi kompensasi kepada 9 janda yang
masih hidup dan kepada Sa’ih bin Sarkam, seorang korban yang selamat terakhir
dari pembantaian tersebut. Namun putusan pengadilan di Belanda ini juga
menunjukkan dengan jelas, bahwa tentara Belanda pada waktu itu dianggap telah
melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap warganya sendiri dan bukan
terhadap warga Indonesia, karena baik pemerintah maupun pengadilan Belanda
tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember
1949, oleh karena itu, sampai tahun 1949 bagi pemerintah Belanda, Indonesia
tetap merupakan bagian dari Belanda. Dalam pertimbangan putusannya pengadilan
sipil di Belanda menyebut sebagai “fakta”: 2. De feiten 2.1. Indonesië maakte tot 1949 onder de naam
Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden.(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1.
Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)
Hal ini menunjukkan dengan jelas, bahwa bagi pemerintah Belanda dan pengadilan
Belanda, sampai 27 Desember 1949, Republik Indonesia masih bagian dari Kerajaan
Belanda. Oleh karena itu, sampai detik ini pemerintah tetap tidak mau mengakui
de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 agustus 1945. Di Indonesia
tidak banyak yang mengetahui, bahwa hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap
menolak untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi pemerintah
Belanda de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah
Belanda “melimpahkan kewenangan” (soevereniteitsoverdracht) kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil dari Konferensi Meja
Bundar (KMB). Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda
(waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima
(Aanvarding) proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis, alias hanya
de facto. Pernyataan ini seharusnya mengejutkan pemerintah dan rakyat
Indonesia, karena pernyataan ini mengungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi
pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak eksis sama sekali,
dan baru mulai tangal 16 agustus 2005, pemerintah Belanda “menerima eksistensi”
Republik Indonesia. Dengan hanya diterima eksistensinya namun tidak diakui
legalitasnya, maka pemerintah Belanda menganggap NKRI adalah “ANAK
HARAM.”Berdirinya dan kegiatan-kegiatan KNPMBI dan KUKB.--------Bagi mereka
yang mengikuti kegiatan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI)
sejak 8 Maret 2002, dan kemudian dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB) sejak 5 Mei 2005, berita mengenai putusan pengadilan sipil di
Belanda ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena ini adalah sebagian dari yang
dituntut oleh KNPMBI dan kemudian oleh KUKB. Berbagai media di Belanda dan di
Indonesia –terutama media cetak- telah sering memberitakan mengenai kegiatan
KNPMBI dan KUKB, namun mungkin kurang mendapat perhatian, dan banyak yang tidak
percaya, bahwa semua tuntutan tersebut akan direspons oleh pihak Belanda,
apalagi pengadilan di Den Haag, Ibukota Belanda, akan memenangkan gugatan
terhadap pemerintah Belanda. Seluruh kegiatan ini dirintis oleh Komite Nasional
Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang didirikan pada 8 Maret 2002
oleh 10 organisasi. Tanggal 20 Maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun
berdirinya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), KNPMBI melakukan
demonstrasi di Kedutaan Besar Belanda di Jl. Rasuna Said dan menyampaikan
petisi kepada pemerintah Belanda. Hasilnya adalah, Duta Besar Belanda, Baron
Schelto van Heemstra mengusulkan untuk diselenggarakannya suatu seminar
internasional, di mana akan dibahas dua sisi dari VOC. KNPMBI
menyetujuinya.
Delegasi KNPMBI dipimpin oleh
Batara R. Hutagalung, diterima oleh Wakil Dubes Belanda, Alfons
Stoelinga.-------- Pada 3 dan 4 September 2002, bertempat di Hotel Menara
Peninsula, Jakarta, dilaksanakan penyelenggaraan seminar tersebut. Pembicara
adalah 4 sejarawan dari Belanda, dan 6 sejarawan Indonesia.
Pada 3 April 2002 pengurus KNPMBI diterima oleh Dubes Baron
Schelto van Heemstra.-------- Pada 8 Maret 2005, KNPMBI memperbarui tuntutan
kepada pemerintah Belanda. Tuntutan
tersebut dideklarasikan dalam jumpa pers yang diselenggarakan di Gedung Joang
’45, pada 8 Maret 2005.
Deklarasi tuntutan KNPMBI. Ir. Agam Saifudin, Batara R.
Hutagalung, Ketua Umum KNPMBI, dan Ir. Raswari, pendukung KNPMBI.--------
Tuntutan yang kemudian dimajukan oleh KNPMBI kepada pemerintah Belanda adalah
agar pemerintah Belanda: 1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17.8.1945, 2. Meminta maaf atas penjajahan perbudakan,
kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh
tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. --------Pada 9 Maret
2005, bekerjasama dengan Yayasan 19 September 1945, KNPMBI menyelenggarakan
peringatan menyerahnya Belanda kepada Jepang di Kalijati. Karena lingkup
kegiatan dari KNPMBI sangat luas, dan tidak terbatas pada Belanda saja, maka
diputuskan untuk membentuk suatu komite, yang fokus kegiatannya adalah meninjau
semua permasalahan yang ada antara Republik Indonesia dan Belanda, baik masalah
pengakuan de jure kemerdekaan Republik Indonesia, maupun masalah kejahatan
perang dan berbagai pelanggaran HAM.
Ketua KNPMBI Batara R. Hutagalung
memberikan kata sambutan di Kalijati, 9 Maret 2005.-----
Peserta peringatan di Kalijati. -------- Menurut para aktifis
KNPMBI, masalah pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus
1945, adalah masalah harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat. Dengan tidak diakuinya proklamasi 17.8.1945 oleh Pemerintah Belanda,
berarti Pemerintah Belanda sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Apabila
membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka ini merupakan pengkhianatan
terhadap PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945, yang merupakan PILAR UTAMA bangsa
Indonesia, dan menyia-nyiakan pengorbanan ratusan ribu rakyat Indonesia yang
gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada
17 Agustus 1945. Alasan pemerintah Belanda ketika melancarkan “aksi polisional”
adalah untuk membasmi para perampok, perusuh pengacau keamanan dan ekstremis
yang dipersenjatai Jepang, guna memulihkan kembali “law and order.” Dengan
membiarkan sikap pemerintah Belanda, maka berarti tetap membiarkan pandangan,
bahwa para pejuang dan pahlawan Indonesia adalah para perampok, perusuh
pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang. Maka pada 5 Mei 2005, bertempat di Gedung
Joang ’45, para aktifis KNPMBI meresmikan wadah baru, yaitu KOMITE UTANG
KEHORMATAN BELANDA. Pengurusnya indentik dengan pengurus KNPMBI. Sebagian
terbesar kegiatan KNPMBI dan KUKB diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang
sejak akhir Agustus 1945 merupakan salahsatu pusat pergerakan pemuda. Pada 20
Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan KNPMBI, KUKB menyampaikan tuntutan
kepada Pemerintah Belanda untuk: 1. Mengakui de jure kemerdekaan
Republik Indonesia adalah 17.8.1945, 2. Meminta maaf atas penjajahan
perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 –
1950.-----Sementara itu, dilakukan penelitian mengenai berbagai kekejaman yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada bulan Agustus 2005, Ketua KUKB,
Batara R. Hutagalung ke Makassar dan bertemu dengan Hj. Oemi Hani, 83 tahun,
seorang saksi mata pembantaian yang dilakukan oleh Westerling (Lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/pembantaian-westerling-i.html).-----
KUKB juga melakukan penelitian mengenai peristiwa pembantaian yang dilakukan
oleh tentara Belanda di desa Rawagede pada 9 Desember 1947 tentara Belanda yang
membantai 431 penduduk desa (lihathttp://batarahutagalung.blogspot.com/2006/08/pembantaian-di-rawagede-9-desember.html)-----
Dari berbagai penelitian tersebut, ternyata masih banyak janda korban
pembantaian yang masih hidup, juga beberapa orang korban yang selamat. Setelah
melakukan berbagai penelitian mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian yang
dilakukan oleh tentara Belanda, maka butir tuntutan kepada Pemerintah Belanda
ditambah dengan: 3. Memberi kompensasi kepada keluarga korban agresi militer
Belanda yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.-------- Tuntutan
ini tidak hanya terbatas pada peristiwa pembantaian di Rawagede, melainkan
untuk seluruh korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di
Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Pada 16 Agustus 2005, dalam sambutannya di
Jakarta, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini Pemerintah
Belanda MENERIMA Proklamasi 17.8.1945 secara politis dan moral. Artinya hanya de
facto, namun tidak secara yuridis, de jure, karena menurut Menlu Ben Bot
sebagaimana disampaikannya dalam wawancara di Metro TV pada 18.8.2005,
pengakuan kemerdekaan telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan pengakuan
hanya diberikan satu kali. Namun sehari sebelum berangkat ke Jakarta, dalam
sambutannya di Den Haag pada 15.8.2005, pada peringatan pembebasan para
interniran orang Belanda yang diinternir oleh tentara Jepang di Indonesia
antara tahun 1942 – 1945. Ben Bot dengan jelas menyatakan, bahwa kini
Pemerintah Belanda menerima de facto Proklamasi 17.8.1945 sebagai hari
kemerdekaan Republik Indonesia. Pernyataan ini sebenarnya sangat mengejutkan,
karena dengan demikian terungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi Pemerintah
Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus
1945, TIDAK EKSIS SAMASEKALI! Menjelang 17 Agustus 2005, pada 1 Agustus 2005,
KUKB menyelenggarakan seminar dengan judul ’60 Tahun Kemerdekaan RI. Pemerintah
Belanda Tidak Mengakui Kemerdekaan RI 17.8.1945.’ Pembicara adalah Drs. Theo
Sambuaga, Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo,
pelaku sejarah dan moderator Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, sejarawati.
Dari kiri: Batara R. Hutagalung, Theo Sambuaga, Irna HN Hadi
Soewito, Soekotjo Tjokroatmodjo.-------- Setelah data mengenai peristiwa
pembantaian di Rawagede lengkap, pada 15 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R.
Hutagalung bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB, Laksamana Pertama TNI (Purn.)
Mulyo Wibisono, SH., MSc, menyampaikan masalah ini ke Tweedekamer (Parlemen
Belanda), dan diterima oleh dua anggota Parlemen Belanda, yaitu Bert Koenders
(waktu itu sebagai juru bicara PvdA- Partai Buruh. Sejak November 2006 menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan), dan Angelien
Eijsink, juga dari PvdA. (lihat
http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/dari-rawagede-ke-parlemen-belanda.html).
KUKB menyampaikan mengenai petisi KUKB yang belum dijawab oleh Menlu Belanda,
dan juga menyampaikan mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede, yang
merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Di International
Criminal Court (ICC) di Den Haag, ada empat jenis kejahatan yang tidak mengenal
kadaluarsa, yaitu genocide (pembantaian etnis), war crimes (kejahatan perang),
crimes against humanity (Kejahatan atas kemanusiaan) dan crime of aggression
(Kejahatan agresi). Bert Koenders berjanji akan membawa masalah ini ke Parlemen
Belanda.
Batara R. Hutagalung bersama Bert
Koenders dan Angelien Eijsink di Parlemen Belanda di Den Haag.-------- Pada
bulan Juni 2006, Bert Koenders membawa tuntutan KUKB ke Parlemen Belanda dan
meminta Menlu Ben Bot memberikan jawaban. Jawaban tertulis Menlu Ben Bot
diberikan pada 28 Juni 2006. Di Hilversum Batara R. Hutagalung dan Mulyo
Wibisono bertemu dengan Ad van Liempt, Journalis senior dari media Andere
Tijden. Ad van Liempt melakukan penelitian dan menerbitkan buku mengenai
‘Kereta Mayat Bondowoso’ (Lijken Trein van Bondowoso).
Dari Kiri: Sie Hok Tjwan, Batara R. Hutagalung, Ad van Liempt,
Mulyo Wibisono, Charles Suryandi. -------- Ad van Liempt mengatakan, bahwa bagi
pemerintah Belanda sangat dilematis, apabila mengakui de jure kemerdekaan
Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Apabila hal ini dilakukan oleh
pemerintah Belanda, maka dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, bahwa
yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara
yang merdeka dan berdaulat. Konsekwensinya adalah, pemerintah Republik Indonesia
dapat menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda, dan “ekses-ekses”
yang dilakukan oleh tentara Belanda, sebagaimana disebut oleh pemerintah
Belanda dalam laporannya tahun 1969 kepada parlemen Belanda dengan judul ‘De
Excessennota’, adalah kejahatan perang. Juga dalam kunjungan ke Belanda pada
bulan Desember 2005, pimpinan KUKB bertemu dengan Jan Maassen, seorang
‘indonesië weigeraar’, yaitu wajib militer yang menolak untuk dikirim sebagai
tentara ke Indonesia antara tahun 1946 – 1949. Pada waktu itu sekitar 6000 pemuda Belanda yang menolak untuk ikut dalam
–menurut mereka- perang kolonial.
Batara R. Hutagalung bersama Jan Maassen. ----- Dalam kunjungan
ke Belanda ini, pada 18 Desember 2005 Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung
meresmikan berdirinya KUKB Cabang Belanda, dan mengangkat Jeffry Pondaag
sebagai Ketua dan Charles Suryandi sebagai sekretaris. Seluruh kegiatan KUKB
selama di Belanda dapat dilihat di Weblog, dengan judul: KUKB di Kandang
Macan:--- http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/kukb-di-kandang-macan.html
----- Mulai tahun 2006, setiap awal bulan Agustus KUKB menyelenggarakan seminar
dengan tema yang sehubungan dengan tuntutan terhadap pemerintah Belanda, dan
setiap tanggal 15 Agustus, KUKB mengadakan unjuk rasa di kedutaan Belanda di
Jakarta. Tanggal 15 Agustus dipilih, karena di Belanda, setiap tanggal 15
Agustus dirayakan hari pembebasan para interniran dari kamp-kamp interniran
Jepang dai Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, orang-orang
Belanda dan Eropa lain di internir oleh Jepang di berbagai kamp interniran.
Demo 15.8.2007. Diterima oleh Paul Ymkers, Sekretaris Bidang
Politik. -----
Batara R. Hutagalung membuka seminar 11.8.2008. -----
Dari kiri, Dr. Saafroedin Bahar,
alm. Ir. Nuli D. Siregar (moderator), Martin basiang, SH., Dr. Anhar Gonggong.
----- Pada bulan Oktober 2007, Ketua KUKB Batara Hutagalung dan Ketua Dewan
Penasihat KUKB, Mulyo Wibisono berkunjung lagi ke Belanda dan bertemu dengan
beberapa tokoh Belanda, dalam rangka pendekatan kepada mereka untuk mendukung
tuntutan KUKB.
Bersama Prof. Henk
Schulte-Nordholt.-----
Bersama Dr. Harry Poeze. ----- Di Belanda sendiri sudah banyak
generasi muda Belanda, termasuk beberapa anggota parlemen Belanda, seperti
Krista van velzen (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/open-brief-aan-minister-bot-erken-datum.html)
dan Harry van Bommel dari Partai Sosialis, yang tidak keberatan untuk mengakui
de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945 (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/oppositie-wil-erkenning-17-augustus.html).
Demikian juga Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders, sebagaimana
disampaikannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di Den Haag pada 15
Desember 2005, ketika dia menjabat sebagai jurubicara Fraksi PvdA (Partai
Buruh). Pada 22 April 2008, Ketua KUKB Batara Hutagalung berkunjung lagi ke
Tweedekamer di Den Haag, dan bertemu dengan Krista van Velzen guna menggaris
bawahi tuntutan KUKB). (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/05/kukb-gencar-lobi-parlemen-negeri-tulip.html)
Korespondesi Batara R. Hutagalung dengan Krista van Velzen pada bulan Februari
2006 lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2007/02/letter-to-mrs-krista-van-velzen.html.
Batara R. Hutagalung bersama
Krista van Velzen di Parlemen Belanda di Den Haag.----- Sejak bulan Juni 2006,
peristiwa pembantaian di Rawagede telah lima kali dibahas di Parlemen Belanda.
Pada 4 Januari 2008 Krista van Velzen mengajukan pertanyaan kepada Menlu Maxime
Verhagen (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/kamervragen-krista-van-velzen-drs-mjm.htm,
terjemahan dalam bahasa Indonesia lihathttp://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/tanya-jawab-parlemen-kamervragen.html).
Pada pertengahan tahun 2006, KUKB telah menugaskan kantor pengacara di Belanda
untuk mewakili kepentingan 9 orang janda korban dan satu korban selamat yang
terakhir dari pembantaian di Rawagede 9 Desember 1947, untuk secara resmi
mengajukan tuntutan kompensasi kepada Pemerintah Belanda. Tuntutan resmi
dimajukan kepada Pemerintah Belanda pada bulan September 2008. (lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/10/survivors-of-massacre-demand.html).
-----
Demo, 15.8.2008, diterima oleh
Paul Peters, Direktur Erasmus Huis.-------- Sebelum keberangkatan Harry van
Bommel ke Jakarta, Harry van Bommel dan Krista van Velzen pada 10 Oktober 2008,
menulis surat terbuka yang isinya mendesak Pemerintah Belanda memberikan
kompensasi kepada para keluarga korban pembantaian di Rawagede. (lihathttp://indonesiadutch.blogspot.com/2008/10/harry-van-bommel-and-krista-van-velzen.html)
Namun pada 24 November 2008, Pemerintah Belanda secara resmi menolak tuntutan
tersebut dengan alasan, bahwa peristiwa tersebut telah lama berlalu (too old). Hal ini diberitakan
oleh berbagai media internasional, yang mengutip berita dari Associated Press
(AP) (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/11/associated-press-dutch-govt-lawyer-says.html).
Dalam kunjungannya ke Indonesia pada bulan Oktober 2008, delegasi parlemen
Belanda masih mengkritisi masalah pelanggaran HAM di Indonesia, sebagaimana
disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama ini, delegasi Belanda
selalu mengunjungi Aceh, Maluku dan Papua barat, daerah-daerah yang letaknya
ribuan kilometer dari Jakarta, yaitu daerah-daerah yang menjadi pusat perhatian
Belanda, sehungan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI. Ketua KUKB
mendesak delegasi Belanda untuk juga berkunjung ke desa Rawagede, yang jaraknya
tidak sampai 100 kilometer dari Jakarta, di mana telah terjadi pelanggaran HAM
berat, bahkan kejahatan perang, yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di
Indonesia, setelah bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada
17.8.1945. Namun, sebagai hasil voting di antara delegasi Belanda, secara resmi
mereka menolak untuk berkunjung ke Rawagede, dan bahkan juga menolak untuk
bertemu dengan para janda korban pembantaian, yang akan berkunjung ke Hotel
mereka di Jakarta. Dari 7 orang anggota Delegasi, semula hanya dua orang yang
setuju untuk bertemu dengan 2 orang janda korban dan satu orang korban selamat
dari pembantaian, yaitu Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel
Voordewind dari Partai Christen Unie. Namun kemudian Harm Evert Waalkens
anggota parlemen Belanda dari PvdA (Partai Buruh) juga menghadiri pertemuan
tersebut, yang diselenggarakan di Hotel JW Merriott Jakarta pada 19 Oktober
2008. Pertemuan ini juga diberitakan oleh hampir seluruh media di Belanda.
Batara R. Hutagalung dan dua janda serta Sa'ih, korban selamat
terakhir, bertemu dengan tiga orang anggota Parlemen Belanda di Lounge Hotel JW
Mariott. -------- Seluruh media di Belanda memberitakan mengenai hal ini, baik
penolakan secara resmi dari delegasi parlemen, maupun kemudian pertemuan tiga
orang anggota parlemen Belanda dengan para janda dan seorang korban selamat. Sepulangnya di Belanda, ketiga anggota
parlemen Belanda tersebut segera menyampaikan masalah ini kepada Menteri Luar
Negeri Belanda Maxime Verhagen. Pada 18 November 2008, Harry van Bommel
menyampaikan MOSI di parlemen Belanda, yang isinya mendesak Pemerintah Belanda
untuk menugaskan Duta Besar Belanda hadir pada peringatan peristiwa pembantaian
yang akan diadakan di Rawagede pada 9 Desmber 2008. Mayoritas anggota parlemen
Belanda mendukung Mosi tersebut, dan Menteri LN Belanda menugaskan Dubes
Belanda Nikolaos van Dam untuk menghadiri acara peringatan tersebut. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html).
-----
Duta Besar Belanda bersama Batara R. Hutagalung di Monumen
Rawagede, 9 Desember 2008. -------- Hadirnya Duta Besar Belanda Nikolaos van
Dam pada acara peringatan pada 9 Desember 2008 merupakan suatu peristiwa yang
sangat bersejarah, karena ini untuk pertamakalinya pejabat tertinggi Belanda di
Indonesia hadir dalam suatu acara peringatan kekejaman tentara Belanda di
Indonesia. Pada 30 Desember 2008, Ketua KUKB, Batara
R. Hutagalung mengirim surat terbuka kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Drs.
Maxime Verhagen. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/open-letter-to-minister-of-foreign.html).
Pada 14 Januari 2009, Batara R. Hutagalung mengadakan pertemuan sekitar 1 jam
dengan Dirjen Kementerian LN Belanda, Pieter de Gooijer, di mana Pieter de
Gooijer menyampaikan tanggapan atas surat terbuka dari Ketua KUKB. Batara
Hutagalung menyampaikan a.l., bahwa pada peristiwa pembantaian di Rawagede pada
9 Desember 1947, di mana 431 penduduk laki-laki 15 tahun keatas dibunuh, maka
tentara Belanda bukan hanya membuat desa Rawagede menjadi desa yang penuh janda
dan anak yatim piatu, melainkan juga bagi suatu desa dengan dibunuhnya sebagian
besar penduduk laki-laki usia produktif, maka hal ini menghancurkan
perekonomian desa tersebut untuk puluhan tahun kedepan. Oleh karena itu,
terutama di Rawagede, Pemerintah Belanda benar-benar harus bertanggungjawab dan
membantu pembangunan di Rawagede. Melalui Pieter de Gooijer, Batara Hutagalung
menyampaikan pesan kepada Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders untuk
mengingatkan janjinya yang pernah diucapkannya dalam pertemuan pada 15 Desember
2005, di mana dia menyatakan akan membantu menyelesaikan masalah Rawagede.
Setelah pertemuan dengan Dirjen Pieter de Gooijer, Batara R. Hutagalung
diundang untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Drs. Maxime Verhagen.
Menlu Belanda mengatakan, bahwa Dirjennya telah menyampaikan kepadanya
butir-butir pembicaraan dengan KUKB, dan menyatakan akan menanggapi hal-hal
tersebut secara sungguh-sungguh.
Batara R. Hutagalung bersama Pieter de Gooijer. --------
Batara R. Hutagalung bersama Menlu Drs. Maxime Verhagen.
-------- Pada bulan Februari 2009, Menteri Kerjasama Belanda Bert Koenders
menyatakan akan membantu pembangunan di desa Rawagede, walaupun alasan yang
dikemukannya adalah, bahwa desa Rawagede adalah suatu desa yang miskin. Alasan
ini nampaknya untuk menghindari kesan, bahwa pemberian bantuan ini merupakan
pemenuhan tuntutan KUKB, dan juga agar tidak memberikan kesan bahwa langkah ini
bertentangan dengan pernyataan Menlu Maxime Verhagen pada bulan November 2008,
yang telah menolak tuntutan pengacara para janda dari Rawagede. Pemerintah
Belanda telah mengucurkan dana sebesar 1,16 juta US $ untuk bantuan pembangunan
di Rawagede. Yang kini perlu diawasi adalah penyaluran dana tersebut, yang
dilakukan melalui Kementerian Dalam Negeri RI, agar tidak terjadi penyimpangan
dalam penyaluran dana tersebut. Proses di
pengadilan sipil di Belanda berlangsung sejak tahun 2009, dan baru diputuskan
pada 14 September 2011. Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada
orang yang tidak mendengar mengenai desa Rawagede! Peristiwa pembantaian di
Rawagede, bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban
pembataian bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh
lebih besar, seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh
Raymond P.P. Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai
40.000 jiwa. Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung
Lombok, yang dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa
pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh
tentara Belanda bulan Januari dan Februari 1949. KUKB akan melanjutkan tuntutan
kepada pemerintah Belanda untuk memberi kompensasi kepada seluruh korban agresi
militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, sedangkan ocus tuntutan
dari KNPMBI sekarang adalah tuntutan kepada pemerintah Belanda, untuk mengakui
de jure kemerdekaan RepubliK Indonesia adalah 17 Agustus 1945.-----*****Catatan:
----- Pada bulan Juni 2008, pengacara yang mewakili para korban Rawagede
menemukan dokumen yang menyebutkan, bahwa komandan tentara belanda yang
memimpin penyerangan tehadap desa Rawagede pada 9 Desember 1947, Mayor Alfons
Wijnen, ternyata mendapat pengampunan (impunity) dari Pemerintah Belanda pada
tahun 1948. Hal ini kembali menggemparkan masyarakat Belanda, karena mereka
selama ini mengkritisi sikap Pemerintah Indonesia, yang dianggap memberikan
pengampunan (impunity) kepada perwira-perwira TNI yang dianggap
bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur. Pada 2 Juli
2009, Harry van Bommel dari Partai Sosialis, bersama Martijn van Dam dari
Partai Buruh (PvdA) dan Marijko Peters dari Partai Hijau Kiri (Groenlinks) lagi
mengajukan MOSI di Parlemen Belanda, yang isinya meminta Pemerintah belanda
untuk meminta maaf atas pemberian pengampunan kepada Mayor Alfons Wijnen
tersebut. (lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/motie-van-het-lid-van-bommel-cs.html)
Namun Menlu Belanda Maxime Verhagen menolak Mosi ini dengan alasan, bahwa
Pemerintah Belanda telah berulangkali menyatakan penyesalan atas terjadinya
tindak kekerasan selama masa pengerahan militer Belanda di Indonesia.
Masyarakat Belanda baru sekarang mengetahui, bahwa semua hal yang mereka
tuduhkan kepada Indonesia, ternyata telah dilakukan oleh tentara dan Pemerintah
Belanda di masa lalu, dan selama ini semua hal tersebut selalu ditutup-tutupi
oleh Pemerintah Belanda. Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada
orang yang tidak mengenal desa Rawagede! Peristiwa pembantaian di Rawagede,
bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban pembataian
bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh lebih besar,
seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond P.P.
Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai 40.000 jiwa.
Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung Lombok, yang
dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa pembantaian di
Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh tentara Belanda
bulan Januari dan Februari 1949. Selain itu, peristiwa kudeta yang gagal yang
dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elit Belanda KST (Korps Speciaale
Troepen) pada 23 Januari 1950, setelah Pemerintah Belanda “melimpahkan
kewenangan” kepada Pemerintah RIS, di mana sekitar 90 orang TNI yang tidak
bersesenjata tewas dibunuh di Bandung, adalah juga tanggungjawab Pemerintah
Belanda, karena pimpinan tertinggi militer Belanda telah mengetahui rencana
Westerling tersebut. Setelah kudetanya gagal, pimpinan tertinggi militer
Belanda membantu Westerling meloloskan diri ke Singapura, dan di Belanda, dia
tidak dihukum, bahkan sebaliknya, dia disambut oleh masyarakat Belanda sebagai
pahlawan. Menurut informasi yang diperoleh KUKB baik dari Belanda maupun di
Indonesia, Pemerintah Belanda sangat mengkhawatirkan pengungkapan kejahatan
perang yang dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elitnya, Depot Speciaale
Troepen (DST) di Sulawesi Selatan antara tanggal 12 Desember 1946 – 7 Februari
1947, karena dampaknya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan pembantaian di
Rawagede. Pengungkapan semua kejahatan perang dan berbagai kasus pelanggaran
HAM berat yang dilakukan oleh tentara belanda di Indonesia, akan menjatuhkan
pamor Belanda sebagai Negara tempat “pusat keadilan dunia”, dan akan memperkuat
posisi tawar (Bargaining position) Pemerintah Indonesia dalam menghadapi
Pemerintah Belanda. Demikian juga di masa datang, apabila delegasi parlemen
Belanda masih terus mempertanyakan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
Indonesia serta tudingan pemberian pengampunan (impunity) terhadap pelaku
pelanggaran HAM di Indonesia, maka hal ini dapat dibalikkan kepada mereka,
dengan mempertanyakan kasus-kasus kejahatan perang dan pemberian pengampunan
kepada penjahat perang Belanda. Kegiatan KUKB juga mendapat dukungan dari
banyak pihak di Belanda, terutama ketika mengumpulkan dana dari masyarakat
Belanda yang telah mencapai lebih dari 100 juta rupiah untuk para janda korban
pembantaian di Rawagede. Voting di parlemen Belanda pada 18 November 2008, di
mana Mosi yang dimajukan oleh Harry van Bommel telah disetujui oleh mayoritas
anggota parlemen Belanda menunjukkan, bahwa di parlemen Belanda telah berhasil
dibentuk suatu pandangan baru sehubungan dengan Indonesia, di mana selama ini
citra Indonesia di mata parlemen Belanda sangat negatif, dan selalu dikritik.
Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan oleh KUKB, dan sebelumnya oleh
KNPMBI, terbukti sangat efektif. Menurut beberapa kalangan, baik di Belanda
maupun di Indonesia, termasuk beberapa mantan diplomat Indonesia, KNPMBI dan
KUKB telah menjalankan second track diplomacy, atau diplomasi jalur kedua,
yaitu melakukan hal-hal yang secara resmi tidak dapat dilakukan oleh satu
pemerintah guna menyelesaikan beberapa permasalahan internasional. Second track
diplomacy -yang sebelumnya juga dilakukan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat
Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) terhadap Inggris- yang
dijalankan oleh KNPMBI dan KUKB telah terbukti sangat effektf dan effisien, dan
dapat merubah peta pro dan kontra di Belanda. Diakui atau tidak oleh Pemerintah
Indonesia, kegiatan yang dilakukan oleh KNPMBI dan KUKB telah memperkuat posisi
tawar Indonesia terhadap Belanda. Indonesia masih dapat memainkan “senjata
pamungkas”, yaitu membuka semua lembaran hitam masa lalu Belanda di Indonesia
antara tahun 1945 - 1950. *****
Posted bybatarahutagalungat9:30 AM