Friday 13 December 2013

KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965 DI LUAR NEGERI

KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965 DI LUAR NEGERI*

Proyekt International People’s Tribunal yang akan digelar pada tahun 2015 di Den Haag mempunyai arti penting dalam usaha untuk membuktikan bahwa di Indonesia pernah terjadi pelanggaran HAM berat (1965-67) yang dilakukan secara massal dan sistimatik, yang sampai sekarang penegak hukum di Indonesia belum punya kemauan untuk menuntaskan kasus tersebut.

Sebagaimana kita ketahui sejarah menyedihkan tersebut bermula dari pergolakan di kalangan militer, di mana pada pagi buta tgl. 01 Oktober 1965 sekelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Tiga Puluh September (G30S) melakukan aksi penangkapan terhadap 6 jenderal bersama 1 letnan ABRI, kemudian dibunuh di daerah yang namanya Lubang Buaya. Tapi dalam waktu singkat gerakan G30S tersebut berhasil dihacurkan oleh tentara Kostrad dibawah pimpinan jendral Suharto.

Setelah G30S dihancurkan oleh tentara Suharto maka kekuasaan negara secara de facto telah beralih dari Soekarno ke tangan jenderal Suharto, meskipun secara „yuridis“ Soekarno baru tahun 1967 dicabut kekuasaannya sebagai presiden oleh MPRS, setelah organisasi negara tersebut direkayasa menjadi alat rejim Suharto. Dengan demikian tersingkaplah tabir usaha kudeta terhadap Presiden Soekarno demi terbentuknya rejim militer Orde Baru di bawah pimpinan jendral Suharto.

Dalam usahanya memuluskan kudetanya tersebut di atas jenderal Suharto perlu menghancurkan kekuatan pendukung pokok Soekarno, yaitu Partai Komunis Indonesia beserta onderbouwnya. Maka di berbagai daerah terjadilah pembunuhan  dan penahanan massal (pulau Buru, Nusakambangan dan rutan-rutan lainnya)  terhadap para anggota PKI dan orang-orang yang dianggap komunis. Diperkirakan 3 juta orang terbunuh  dan puluhan ribu ditahan dan dianiaya secara sewenang-wenang. Mereka inilah yang kemudian disebut korban pelanggaran HAM berat, yang telah dibuktikan oleh Komnas HAM dalam kesimpulan penyelidikannya.

Sedang di luar negeri peguasa Orde Baru melalui KBRI-KBRI di berbagai negara (khususnya di negara-negara sosialis Eropa) melakukan tindak kekejaman berupa pencabutan paspor terhadap para warganegara Indonesia, yang pada waktu itu sedang menjalankan  tugas belajar, melakukan tugas negara sebagai pejabat, wartawan, melakukan kunjungan sebagai utusan organisasi yang diundang pemerintah setempat untuk hadir dalam suatu acara peringatan hari nasional dan lain-lainnya. Akibatnya mereka kehilangan kewarganegaraannya dan menjadi stateless.

Padahal mereka di luar negeri tidak tahu menahu tentang organisasi yang bernama G30S. Maka tidak mungkin tersangkut G30S, sebab posisi alibi mereka tidak mungkin dapat disangkal. Sedang loyalitas mereka  terhadap pemerintah  Soekarno, yang pada waktu itu merupakan pemerintah sah, juga tidak dapat dijadikan dasar untuk mencabut paspor mereka.
Sebagai orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless) mereka mengalami banyak penderitaan dalam perjalanan hidupnya. Dalam hubungannya dengan tanah air: mereka terputus hubungannya dengan  isteri/suami, anak-anaknya, tunangannya, orang tuanya dan sanak keluarga lainnya. Bahkan ketika orang tua meninggal pun tidak mengetahui, tidak dapat ikut mengurus penguburannya. Komunikasi melalui surat atau telepon juga terputus, sebab takut diketahui oleh penguasa di Indonesia. Kalau ketahuan bahwa punya hubungan dengan para eksil mereka yang di Indonesia akan mendapatkan kesulitan-kesulitan, misalnya dipecat dari pekerjaan, ditangkap dan dimasukkan dalam rumah tahanan, dikeluarkan dari sekolah/universitas, diawasi terus kehidupannya oleh penguasa, dinyatakan tidak bersih diri dan lingkungan oleh penguasa. Hal-hal tersebut di atas merupakan penderitaan psikologis yang sangat berat.

Dalam hubungannya dengan kehidupan di luar negeri: mereka harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi di negara setempat yang ideologi, politik, budayanya  berlainan dengan yang dimiliki di tanah air. Kesukaran-kesukaran dalam kehidupan politik mengakibatkan mereka harus pindah dari satu negara di mana berada ke negara lain. Mereka kebanyakan berpindah ke negara-negara Barat (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia), bahkan ada juga yang ke Aljazair, Mozambik, Kuba dan lain-lainnya. Yang membikin perasaan sedih kecuali itu ialah kenyataan kegagalan tidak dapat menyumbangkan ilmunya untuk negara dan bangsa setelah tamat studinya, seperti yang direncanakan pemerintah Soekarno ketika mengirimkan ribuan mahasiswa ke luar negeri. Mereka oleh negara telah dicabut haknya  untuk mengembangkan kariernya dan sumber daya tenaga mudanya demi nusa dan bangsa, hak untuk hidup di tanah airnya, hak untuk hidup bersama dengan keluarganya, hak untuk memilih atau dipilih dalam pemilihan umum, hak untuk  berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik di tanah airnya. Bahkan ada dari mereka yang akhirnya menderita penyakit jiwa, karena tidak tahan akan penderitaan. Bahkan ada yang terpaksa nekad gantung diri.

Tindakan negara (se que pemerintah/penguasa) yang mengakibatkan banyak penderitaan warganegaranya di luar negeri adalah bertentangan dengan UN International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights  dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Sebab tindakan tersebut dilakukan oleh penguasa secara massal dan sistimatik terhadap WNI yang berdiam di Rusia (Uni Soviet), Bulgaria, Rumania, Hongaria, Polandia, Chekoslovakia, Jerman, Perancis, Tiongkok, Vietnam, Kuba.

Suatu kenyataan yang sangat aneh: mengapa para korban (tahanan politik) di Indonesia pada tahun sekitar 1970-an sudah dibebaskan dari tahanan, tetapi para eksil Indonesia di luar negeri tetap saja hak-kewarganegaraannya tidak dipulihkan kembali. Baru 30 tahun kemudian** ketika diterbitkan UU No 12/2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, terbukalah peluang bagi para eksil untuk mendapatkan (memohon) kewargangaraan kembali dengan suatu syarat  „harus bersumpah/berjanji tunduk, setia kepada negara kesatuan RI, Pancasila dan UUD 1945“ (Pasal 26), yang seharusnya diterapkan kepada pemberontak (misalnya GAM). Pada hal para eksil  bukannya pemberontak, tapi korban pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa negara Orde Baru.

Bahkan dalam UU tersebut para eksil disamakan dengan WNI yang kehilangan kewarganegaraannya karena selama 5 tahun menghilang dan tidak lapor kepada KBRI setempat dengan beraneka ragam motivnya. Padahal para eksil tinggal di luar negeri adalah keterpaksaan sebagai akibat dicabut paspornya atau kewarganegaraannya oleh penguasa negara.

Sesungguhnya masalah prinsipiil dalam UU Kewarganegaraan 2006 adalah tidak diakuinya adanya pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh negara terhadap warganegaranya di luar negeri. Bagi para eksil bukannya dokumen yang bernama paspor yang penting. Sebab pemberian paspor/kewarganegaraan kembali hanyalah merupakan konsekwensi kalau masalah pelanggaran HAM dituntaskan.

Kesimpulannya: penyelenggara negara Indonesia sampai dewasa ini belum juga mau mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat/kejahatan kemanusiaan 1965, baik terhadap korban di tanah air maupun korban di luar negeri. Berarti di dalam negara hukum Indonesia impunitas tetap dilanggengkan oleh penyelenggara negara. Maka dari itu proyek International People’s Tribunal perlu disukseskan demi tegaknya hukum di Indonesia dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965.

Sekian terima kasih.

Nederland, 05 Desember 2013
MD Kartaprawira

*) Disampaikan pada sesi  Diskusi film2 tentang International People‘s Tribunal setelah rapat Komite International People‘s Tribunal tgl. 05 Desember 2013 di UvA Amsterdam.
**) Setelah banyak dari mereka meninggal atau menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek yang menderita multipenyakit. 


No comments:

Post a Comment