KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965 DI
LUAR NEGERI*
Proyekt International
People’s Tribunal yang akan digelar pada tahun 2015 di Den Haag mempunyai arti
penting dalam usaha untuk membuktikan bahwa di Indonesia pernah terjadi
pelanggaran HAM berat (1965-67) yang dilakukan secara massal dan sistimatik, yang
sampai sekarang penegak hukum di Indonesia belum punya kemauan untuk
menuntaskan kasus tersebut.
Sebagaimana kita ketahui
sejarah menyedihkan tersebut bermula dari pergolakan di kalangan militer, di
mana pada pagi buta tgl. 01 Oktober 1965 sekelompok militer yang menamakan
dirinya sebagai Gerakan Tiga Puluh September (G30S) melakukan aksi penangkapan
terhadap 6 jenderal bersama 1 letnan ABRI, kemudian dibunuh di daerah yang
namanya Lubang Buaya. Tapi dalam waktu singkat gerakan G30S tersebut berhasil
dihacurkan oleh tentara Kostrad dibawah pimpinan jendral Suharto.
Setelah G30S dihancurkan
oleh tentara Suharto maka kekuasaan negara secara de facto telah beralih dari
Soekarno ke tangan jenderal Suharto, meskipun secara „yuridis“ Soekarno baru
tahun 1967 dicabut kekuasaannya sebagai presiden oleh MPRS, setelah organisasi
negara tersebut direkayasa menjadi alat rejim Suharto. Dengan demikian tersingkaplah
tabir usaha kudeta terhadap Presiden Soekarno demi terbentuknya rejim militer
Orde Baru di bawah pimpinan jendral Suharto.
Dalam usahanya
memuluskan kudetanya tersebut di atas jenderal Suharto perlu menghancurkan
kekuatan pendukung pokok Soekarno, yaitu Partai Komunis Indonesia beserta
onderbouwnya. Maka di berbagai daerah terjadilah pembunuhan dan penahanan massal (pulau Buru, Nusakambangan
dan rutan-rutan lainnya) terhadap para
anggota PKI dan orang-orang yang dianggap komunis. Diperkirakan 3 juta orang
terbunuh dan puluhan ribu ditahan dan
dianiaya secara sewenang-wenang. Mereka inilah yang kemudian disebut korban pelanggaran
HAM berat, yang telah dibuktikan oleh Komnas HAM dalam kesimpulan
penyelidikannya.
Sedang di luar negeri
peguasa Orde Baru melalui KBRI-KBRI di berbagai negara (khususnya di
negara-negara sosialis Eropa) melakukan tindak kekejaman berupa pencabutan
paspor terhadap para warganegara Indonesia, yang pada waktu itu sedang
menjalankan tugas belajar, melakukan
tugas negara sebagai pejabat, wartawan, melakukan kunjungan sebagai utusan
organisasi yang diundang pemerintah setempat untuk hadir dalam suatu acara peringatan
hari nasional dan lain-lainnya. Akibatnya mereka kehilangan kewarganegaraannya
dan menjadi stateless.
Padahal mereka di luar
negeri tidak tahu menahu tentang organisasi yang bernama G30S. Maka tidak
mungkin tersangkut G30S, sebab posisi alibi mereka tidak mungkin dapat
disangkal. Sedang loyalitas mereka terhadap pemerintah Soekarno, yang pada waktu itu merupakan
pemerintah sah, juga tidak dapat dijadikan dasar untuk mencabut paspor mereka.
Sebagai orang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan (stateless) mereka mengalami banyak penderitaan dalam
perjalanan hidupnya. Dalam hubungannya dengan tanah air: mereka terputus hubungannya
dengan isteri/suami, anak-anaknya,
tunangannya, orang tuanya dan sanak keluarga lainnya. Bahkan ketika orang tua
meninggal pun tidak mengetahui, tidak dapat ikut mengurus penguburannya.
Komunikasi melalui surat atau telepon juga terputus, sebab takut diketahui oleh
penguasa di Indonesia. Kalau ketahuan bahwa punya hubungan dengan para eksil
mereka yang di Indonesia akan mendapatkan kesulitan-kesulitan, misalnya dipecat
dari pekerjaan, ditangkap dan dimasukkan dalam rumah tahanan, dikeluarkan dari
sekolah/universitas, diawasi terus kehidupannya oleh penguasa, dinyatakan tidak
bersih diri dan lingkungan oleh penguasa. Hal-hal tersebut di atas merupakan
penderitaan psikologis yang sangat berat.
Dalam hubungannya dengan
kehidupan di luar negeri: mereka harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi di
negara setempat yang ideologi, politik, budayanya berlainan dengan yang dimiliki di tanah air. Kesukaran-kesukaran
dalam kehidupan politik mengakibatkan mereka harus pindah dari satu negara di
mana berada ke negara lain. Mereka kebanyakan berpindah ke negara-negara Barat
(Belanda, Jerman, Perancis, Swedia), bahkan ada juga yang ke Aljazair,
Mozambik, Kuba dan lain-lainnya. Yang membikin perasaan sedih kecuali itu ialah
kenyataan kegagalan tidak dapat menyumbangkan ilmunya untuk negara dan bangsa
setelah tamat studinya, seperti yang direncanakan pemerintah Soekarno ketika
mengirimkan ribuan mahasiswa ke luar negeri. Mereka oleh negara telah dicabut
haknya untuk mengembangkan kariernya dan
sumber daya tenaga mudanya demi nusa dan bangsa, hak untuk hidup di tanah
airnya, hak untuk hidup bersama dengan keluarganya, hak untuk memilih atau
dipilih dalam pemilihan umum, hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik di tanah airnya.
Bahkan ada dari mereka yang akhirnya menderita penyakit jiwa, karena tidak
tahan akan penderitaan. Bahkan ada yang terpaksa nekad gantung diri.
Tindakan negara (se que pemerintah/penguasa) yang
mengakibatkan banyak penderitaan warganegaranya di luar negeri adalah
bertentangan dengan UN International Covenant on Economic, Sosial
and Cultural Rights dan merupakan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Sebab tindakan tersebut dilakukan
oleh penguasa secara massal dan sistimatik terhadap WNI yang berdiam di Rusia
(Uni Soviet), Bulgaria, Rumania, Hongaria, Polandia, Chekoslovakia, Jerman,
Perancis, Tiongkok, Vietnam, Kuba.
Suatu kenyataan yang sangat aneh: mengapa para korban
(tahanan politik) di Indonesia pada tahun sekitar 1970-an sudah dibebaskan dari
tahanan, tetapi para eksil Indonesia di luar negeri tetap saja
hak-kewarganegaraannya tidak dipulihkan kembali. Baru 30 tahun kemudian** ketika
diterbitkan UU No 12/2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, terbukalah
peluang bagi para eksil untuk mendapatkan (memohon) kewargangaraan kembali
dengan suatu syarat „harus bersumpah/berjanji
tunduk, setia kepada negara kesatuan RI, Pancasila dan UUD 1945“ (Pasal 26),
yang seharusnya diterapkan kepada pemberontak (misalnya GAM). Pada hal para
eksil bukannya pemberontak, tapi korban
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa negara Orde Baru.
Bahkan dalam UU tersebut
para eksil disamakan dengan WNI yang kehilangan kewarganegaraannya karena
selama 5 tahun menghilang dan tidak lapor kepada KBRI setempat dengan beraneka
ragam motivnya. Padahal para eksil tinggal di luar negeri adalah keterpaksaan
sebagai akibat dicabut paspornya atau kewarganegaraannya oleh penguasa negara.
Sesungguhnya masalah
prinsipiil dalam UU Kewarganegaraan 2006 adalah tidak diakuinya adanya pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh
negara terhadap warganegaranya di luar negeri. Bagi para eksil bukannya dokumen
yang bernama paspor yang penting. Sebab pemberian paspor/kewarganegaraan
kembali hanyalah merupakan konsekwensi
kalau masalah pelanggaran HAM dituntaskan.
Kesimpulannya:
penyelenggara negara Indonesia sampai dewasa ini belum juga mau mengakui
terjadinya pelanggaran HAM berat/kejahatan kemanusiaan 1965, baik terhadap
korban di tanah air maupun korban di luar negeri. Berarti di dalam negara hukum
Indonesia impunitas tetap dilanggengkan oleh penyelenggara negara. Maka dari
itu proyek International People’s Tribunal perlu disukseskan demi tegaknya hukum
di Indonesia dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965.
Sekian terima kasih.
Nederland, 05 Desember
2013
MD Kartaprawira
*) Disampaikan pada sesi Diskusi film2 tentang International People‘s
Tribunal setelah rapat Komite International People‘s Tribunal tgl. 05 Desember
2013 di UvA Amsterdam.
**) Setelah banyak dari mereka meninggal atau menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek yang menderita multipenyakit.
No comments:
Post a Comment