KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1965-66 DAN
"REINKARNASI" ORDE BARU (1-3)
(1) MASALAH G30S DAN KEJAHATAN
KEMANUSIAAN 1965-66
Oleh MD Kartaprawira*
Setelah lengsernya Suharto dari
kekuasaan Negara, muncullah era reformasi yang membuka kembali salah satu pondasi
demokrasi, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, baik yang berdasarkan logika
mau pun yang asal bunyi. Harus diakui bahwa hal tersebut merupakan
kemajuan, sebab pada jaman rejim Suharto nilai-nilai demokrasi diinjak-injak
semau-maunya serta dibayang-bayangi “politik gebug” tanpa ampun, yang
mengakibatkan ketidak-mungkinan bagi rakyat untuk mengeluarkan pendapatnya dengan
bebas. Maka di era reformasi dewasa ini dalam melaksanakan kebebasan pendapat
seyogyanya kita tidak melepaskan prinsip obyektifitas dan logika ilmiah,
sehingga tidak mengakibatkan salah pengertian atau keresahan publik.
Sangat mengherankan ketika Ketua Umum
PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Dr Ali Masykur Moesa menyatakan:
“sejarah tentang G-30-S/PKI telah dijungkirbalikkan dengan laporan
pelanggaran HAM dari korban G-30-S/PKI ke Komnas HAM” ( http://www.suarapembaruan.com/home/isnu-sejarah-g30spki-dijungkirbalikkan/28277). Sebab dia telah mencampuradukkan dua masalah yang penilaian dan
penyelesaiannya harus terpisah satu sama lain, yaitu masalah G30S (Orba/Suharto
menyebutnya G30S/PKI - pen.) dengan masalah pelanggaran HAM berat 1965-66.
Pencampur-adukan tersebut adalah akibat analisa yang tidak menggunakan prinsip
obyektifitas dan logika yang benar. Dengan demikian akan
menghasilkan kesimpulan yang tidak benar pula.
Seperti kita ketahui „Gerakan 30 September” di bawah
pimpinan Letkol Untung (G30S/Untung) yang melakukan aksinya dengan penahanan
dan pembunuhan para jendral AD pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, sudah berakhir
pada tanggal 02 Oktober setelah dihancurkan oleh pasukan Suharto. Kemudian Presiden Soekarno membentuk Mahmilub yang berwewenang mengadili
mereka yang tersangkut dalam gerakan tersebut.
Setelah G30S habis riwayatnya, di
sepanjang tahun 1965-66 di beberapa daerah Indonesia terjadi banyak kejadian
pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa, penganiayaan secara massal
tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang yang didakwa anggota PKI serta
pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa tindak pidana inilah
yang disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-66.
Maka timbul dua masalah besar yang
perlu dituntaskan demi pelurusan sejarah dan penegakan kebenaran dan keadilan,
yaitu:
1. Masalah sejarah, yang
berkaitan dengan Gerakan Tigapuluh September (G30S/Untung) dari awal sampai
akhir kegiatannya. Masalah sejarah tersebut harus dibatasi sampai pada
tanggal 2 Oktober 2012 ketika G30S berhasil dihancurkan oleh pasukan yang
dipimpin Mayjen. Suharto, Panglima KOSTRAD. Di kalangan para sejarawan yang
dijadikan obyek penting dalam penelitian adalah tentang siapa dalang G30S
tersebut. Sebab dalang inilah kunci yang bisa membuka pintu pelurusan sejarah
yang obektif. Tapi sampai dewasa ini para pakar sejarah belum ada kebulatan
pendapat. Sementara dapat disimpulkan ada versi: G30S/PKI, G30S/Suharto,
G30S/CIA, G30S/Soekarno dan lain-lainnya. Memang suatu kenyataan bahwa
selama 32 tahun kekuasaan rejim Orba/Suharto kepada
rakyat dicekokkan bahwa dalang G3oS adalah PKI melalui sarana apa
saja yang mungkin: buku pelajaran sekolah, indoktrinasi-penataran, film dan
lain-lainnya.
Setelah jatuhnya rejim Suharto dan
mulainya aktivitas penguasa era reformasi dengan segala keterbukaannya
mengakibatkan versi G30S/Suharto lebih banyak mendapatkan sorotan, yang condong
menduga Suharto sebagai dalangnya. Fakta keterlibatan Suharto di buktikan
dengan a.l. sikap diamnya (tidak ambil tindakan apa-apa) setelah mendapatkan
laporan dari Kol. Latif tentang akan adanya gerakan. Kemudian fakta-fakta
lain, misalnya pengkhianatannya terhadap Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar), pencopotan kekuasaan presiden Soekarno, penahanan Bung Karno
sampai ajalnya dan lain-lainnya, yang merupakan mata rantai gerakan kudeta
merangkak Suharto, sangat menguatkan dugaan bahwa Suhartolah dalang G30S -
pemberontak terhadap pemerintah Soekarno. Jadi kalau sekarang ada
golongan yang menyatakan G30S adalah pemberontakan PKI tentu belum meyakinkan.
Kapan terbuka kotak Pandora yang diduga berisi kesimpulan bulat
dalang G30S, sampai sekarang belum ada yang tahu. Maka selama itu
pula, siapa pun tidak dapat menyatakan bahwa PKI dalang G30S atau
melakukan pemberontakan.
2. Masalah hukum/HAM,
yang timbul setelah dihancurkannya G30S/Untung ialah masalah yang berkaitan
terjadinya pembunuhan, penahanan, penghilangan paksa, penganiayaan secara
massal pada 1965-66 tanpa melalui proses hukum, yang korbannya antara 500.000
sampai 3 juta manusia yang tidak tahu apa-apa tentang G30S, baik yang berkaitan
dengan warganegara Indonesia di tanah air mau pun di luar negeri (yang tanpa
proseur hukum dicabut paspornya). Fakta-fakta tersebut tidak dapat dinegasikan
oleh siapa saja dan kapan saja. Dan fakta-fakta tersebut berdasarkan hukum
(nasional dan internasional) merupakan kejahatan
kemanusiaan/pelanggaran HAM berat (1965-66). Sedang penyelesaian
kasus tersebut harus tidak tergantung siapa dalang G30S.
Di Negara Indonesia yang merupakan negara hukum seharusnya hal
tersebut tidak boleh terjadi. Itulah peristiwa yang sangat memalukan dan sangat
disesalkan. Apalagi, kenyataan bahwa penguasa Negara selama 47 tahun
membuta-tuli, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tentu tersembunyi udang besar
di balik batu. Sebab biasanya dalam praktek apabila terjadi pembunuhan atau
tindak kejahatan lainnya terhadap seseorang tertentu, polisi/jaksa cepat
atau lambat turun tangan melakukan tahapan-tahapan proses hukum. Tapi ketika
pada tahun 1965-66 terjadi pembunuhan massal terhadap 500.000 - 3 000.000
manusia, sampai 47 tahun berlalu penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan Agung)
tidak turun tangan, dan semua institusi Negara tertinngi (legislatif,
eksekutif, yudikatif dan lain-lainnya) sengaja mengabaikan tugasnya. Kasus
besar kejahatan kemanusiaan 1965-66 tersebut tidak pernah dijamah. Apakah fakta
memalukan ini masih akan didebat?
Baru pada tahun 2008 dalam struktur
Komnas HAM dibentuk Tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat
1965-66. Komnas HAM sesuai tugas serta wewenangnya dan berdasar prosedur
hukum yang berlaku berkewajiban melakukan penyelidikan tentang dugaan
adanya pelanggaran HAM berat 1965-66. Kewajiban tersebut seharusnya sudah
dijalankan oleh penegak hukum pada awal kejadian tanpa diulur-ulur sampai 47
tahun lamanya. Tenggang waktu yang begitu lama tentu menyukarkan tugas Komnas
HAM dalam penyelidikan. Dalam jangka kerja 4 tahun Komnas HAM berhasil
mengumpulkan data-data dan menyimpulkan terdapatnya indikasi-indikasi
adanya pelanggaran HAM berat di tahun 1965-66. Kesimpulan Komnas HAM tersebut
bersama rekomendasinya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung agar ditindak-lanjuti ke
tahap penyidikan.
Dalam proses ini tidak
diperlukan pembuktian siapa dalang G30S. Dan sama sekali tidak diperlukan
pembuktian apakah PKI memberontak atau tidak. Yang diperlukan ialah
data-data pembuktian ada tidaknya pelanggaran HAM berat 1965-66,tidak pandang siapa
pun pelakunya dan siapa pun korbannya. Temuan hasil penyelidikan Komnas HAM
yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung inilah merupakan bukti tahap
awal yang akan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung dalam proses penuntasan
kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.
Dari paparan tersebut di atas, jelas
tidak ada penjungkir-balikan seperti yang dikatakan Dr. Ali Masykur Moesa. Penyelesaian kedua
masalah (G30S dan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-66) berjalan pada jalur
masing-masing. Yang dituntut para korban pelanggaran HAM berat 1965-66
adalah penegakan kebenaran dan keadilan yang manusiawi baginya. Mungkin kasus
tersebut dituntaskan melalui Pengadilan ad Hoc atau berdasarkan UU Rekonsiliasi.
Sedang penyelesaian masalah orang-orang yang tersangkut G30S adalah masalah yang
menjadi wewenang Mahmilub, bukannya wewenang KOSTRAD, RPKAD atau milisi/Ansor-NU
dan kelompok tertentu lainnya.
No comments:
Post a Comment