Saturday 5 January 2013

(1) MASALAH G30S DAN KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1965-66


KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1965-66 DAN "REINKARNASI" ORDE BARU (1-3)

(1) MASALAH G30S DAN KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1965-66
Oleh MD Kartaprawira*

Setelah lengsernya Suharto dari kekuasaan Negara, muncullah era reformasi yang membuka kembali salah satu pondasi demokrasi, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, baik yang berdasarkan logika mau pun yang asal bunyi.  Harus diakui bahwa hal tersebut merupakan kemajuan, sebab pada jaman rejim Suharto nilai-nilai demokrasi diinjak-injak semau-maunya serta dibayang-bayangi “politik gebug” tanpa ampun, yang mengakibatkan ketidak-mungkinan bagi rakyat untuk mengeluarkan pendapatnya dengan bebas. Maka di era reformasi dewasa ini dalam melaksanakan kebebasan pendapat seyogyanya kita tidak melepaskan prinsip  obyektifitas dan logika ilmiah, sehingga tidak mengakibatkan salah pengertian atau keresahan publik.

Sangat mengherankan ketika Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Dr Ali Masykur Moesa menyatakan: “sejarah tentang G-30-S/PKI telah dijungkirbalikkan dengan laporan pelanggaran HAM dari korban G-30-S/PKI ke Komnas HAM” ( http://www.suarapembaruan.com/home/isnu-sejarah-g30spki-dijungkirbalikkan/28277). Sebab dia telah mencampuradukkan dua masalah yang penilaian dan penyelesaiannya harus terpisah satu sama lain, yaitu masalah G30S  (Orba/Suharto menyebutnya G30S/PKI - pen.) dengan masalah pelanggaran HAM berat 1965-66. Pencampur-adukan tersebut adalah akibat analisa yang tidak menggunakan prinsip obyektifitas dan logika yang benar. Dengan demikian akan
menghasilkan kesimpulan yang tidak benar pula.

Seperti kita ketahui „Gerakan 30 September”  di bawah pimpinan Letkol Untung (G30S/Untung) yang melakukan aksinya dengan penahanan dan pembunuhan para jendral AD pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, sudah berakhir pada tanggal 02 Oktober setelah dihancurkan oleh pasukan  Suharto. Kemudian Presiden Soekarno membentuk Mahmilub yang berwewenang mengadili mereka yang tersangkut dalam gerakan tersebut.
Setelah G30S habis riwayatnya, di sepanjang tahun 1965-66 di beberapa daerah Indonesia terjadi banyak kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa, penganiayaan secara massal tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang yang didakwa anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa tindak pidana inilah yang  disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-66.

Maka timbul dua masalah besar yang perlu dituntaskan demi pelurusan sejarah dan penegakan kebenaran dan keadilan, yaitu:  

1. Masalah sejarah, yang berkaitan dengan Gerakan Tigapuluh September (G30S/Untung) dari awal sampai akhir kegiatannya. Masalah sejarah tersebut harus dibatasi  sampai pada tanggal 2 Oktober 2012 ketika G30S berhasil dihancurkan oleh pasukan yang dipimpin Mayjen. Suharto, Panglima KOSTRAD. Di kalangan para sejarawan yang dijadikan obyek penting dalam penelitian adalah tentang siapa dalang G30S tersebut. Sebab dalang inilah kunci yang bisa membuka pintu pelurusan sejarah yang obektif. Tapi sampai dewasa ini para pakar sejarah belum ada kebulatan pendapat. Sementara dapat disimpulkan ada versi: G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA, G30S/Soekarno dan lain-lainnya.   Memang suatu kenyataan bahwa selama 32 tahun kekuasaan rejim Orba/Suharto  kepada rakyat dicekokkan bahwa dalang G3oS adalah PKI melalui sarana apa saja yang mungkin: buku pelajaran sekolah, indoktrinasi-penataran, film dan lain-lainnya. 

Setelah jatuhnya rejim Suharto dan mulainya aktivitas penguasa era reformasi dengan segala keterbukaannya mengakibatkan versi G30S/Suharto lebih banyak mendapatkan sorotan, yang condong menduga Suharto sebagai dalangnya. Fakta keterlibatan Suharto  di buktikan dengan a.l. sikap diamnya (tidak ambil tindakan apa-apa) setelah mendapatkan laporan dari Kol. Latif tentang akan adanya gerakan. Kemudian fakta-fakta lain, misalnya pengkhianatannya terhadap Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), pencopotan kekuasaan presiden Soekarno, penahanan Bung Karno sampai ajalnya dan lain-lainnya, yang merupakan mata rantai gerakan kudeta merangkak Suharto, sangat menguatkan dugaan bahwa Suhartolah dalang G30S - pemberontak terhadap pemerintah Soekarno.  Jadi kalau sekarang ada golongan yang menyatakan G30S adalah pemberontakan PKI tentu belum meyakinkan. Kapan terbuka kotak Pandora yang diduga berisi  kesimpulan bulat  dalang G30S, sampai sekarang belum ada yang tahu. Maka selama itu pula, siapa pun tidak dapat menyatakan bahwa PKI dalang G30S atau melakukan pemberontakan.

2. Masalah hukum/HAM, yang timbul setelah dihancurkannya G30S/Untung ialah masalah yang berkaitan terjadinya pembunuhan, penahanan, penghilangan paksa, penganiayaan secara massal pada 1965-66 tanpa melalui proses hukum, yang korbannya antara 500.000 sampai 3 juta manusia yang tidak tahu apa-apa tentang G30S, baik yang berkaitan dengan warganegara Indonesia di tanah air mau pun di luar negeri (yang tanpa proseur hukum dicabut paspornya). Fakta-fakta tersebut tidak dapat dinegasikan oleh siapa saja dan kapan saja. Dan fakta-fakta tersebut berdasarkan hukum (nasional dan internasional) merupakan kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat (1965-66).  Sedang penyelesaian kasus tersebut harus tidak tergantung siapa dalang G30S.

Di Negara Indonesia yang merupakan negara hukum seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi. Itulah peristiwa yang sangat memalukan dan sangat disesalkan. Apalagi, kenyataan bahwa penguasa Negara selama 47 tahun membuta-tuli, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tentu tersembunyi udang besar di balik batu. Sebab biasanya dalam praktek apabila terjadi pembunuhan atau tindak kejahatan lainnya terhadap seseorang tertentu,  polisi/jaksa cepat atau lambat turun tangan melakukan tahapan-tahapan proses hukum. Tapi ketika pada tahun 1965-66 terjadi pembunuhan massal terhadap 500.000  - 3 000.000 manusia, sampai 47 tahun berlalu penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan Agung) tidak turun tangan, dan semua institusi Negara tertinngi (legislatif, eksekutif, yudikatif dan lain-lainnya) sengaja mengabaikan tugasnya. Kasus besar kejahatan kemanusiaan 1965-66 tersebut tidak pernah dijamah. Apakah fakta memalukan ini masih akan didebat?

Baru pada tahun 2008 dalam struktur Komnas HAM dibentuk Tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.  Komnas HAM sesuai tugas serta wewenangnya dan berdasar prosedur hukum yang berlaku berkewajiban melakukan penyelidikan tentang  dugaan adanya pelanggaran HAM berat 1965-66. Kewajiban tersebut seharusnya sudah dijalankan oleh penegak hukum pada awal kejadian tanpa diulur-ulur sampai 47 tahun lamanya. Tenggang waktu yang begitu lama tentu menyukarkan tugas Komnas HAM dalam penyelidikan. Dalam jangka kerja 4 tahun Komnas HAM berhasil mengumpulkan data-data  dan menyimpulkan terdapatnya indikasi-indikasi adanya pelanggaran HAM berat di tahun 1965-66. Kesimpulan Komnas HAM tersebut bersama rekomendasinya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung agar ditindak-lanjuti ke tahap penyidikan.

Dalam proses  ini tidak diperlukan pembuktian siapa dalang G30S. Dan sama sekali tidak diperlukan pembuktian apakah PKI memberontak atau tidak. Yang diperlukan ialah data-data pembuktian ada tidaknya pelanggaran HAM berat 1965-66,tidak pandang siapa pun pelakunya dan siapa pun korbannya. Temuan hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung inilah  merupakan bukti tahap awal yang akan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung dalam proses penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.

Dari paparan tersebut di atas, jelas tidak ada penjungkir-balikan seperti yang dikatakan Dr. Ali Masykur Moesa. Penyelesaian kedua masalah (G30S dan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-66) berjalan pada jalur masing-masing. Yang dituntut para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 adalah penegakan kebenaran dan keadilan yang manusiawi baginya. Mungkin kasus tersebut dituntaskan melalui Pengadilan ad Hoc atau berdasarkan UU Rekonsiliasi. Sedang penyelesaian masalah orang-orang  yang tersangkut G30S adalah masalah yang menjadi wewenang Mahmilub, bukannya wewenang KOSTRAD, RPKAD atau milisi/Ansor-NU dan kelompok tertentu lainnya.

* Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

No comments:

Post a Comment