Friday 27 May 2011

IRONI BESAR, KEANGGOTAAN INDONESIA DI DEWAN HAM PBB

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2011/05/ironi-besar-keanggotaan-indonesia-di.html
SOROTAN

IRONI BESAR, KEANGGOTAAN INDONESIA DI DEWAN HAM PBB
( Budiono Nglindur, Indonesia Model Untuk Hak Asasi Manusia)

Oleh MD Kartaprawira*

Dipilihnya Indonesia untuk ketiga kalinya sebagai anggota Dewan HAM PBB telah memberi kepuasan dan kebanggaan kepada para petinggi negara. Selain Menteri Luar Negeri, Wakil Presiden Budiono pun tanpa basa-basi mengatakan bahwa dengan terpilihnya lagi Indonesia sebagai aanggota Dewan HAM PBB Indonesia telah diakui sebagai model negara yang kondisi HAMnya bagus  - http://www.thejakartaglobe.com/home/indonesia-a-model-for-human-rights-boediono/443219 -

Betapa mudahnya Budiono memutar balikkan gambaran situasi HAM di Indonesia yang sebenarnya. Memang kalau dibandingkan dengan pada situasi jaman rejim Suharto, dewasa ini tampak ada perbaikan, meskipun kecil sekali. Sedang sebagian besar pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan rejim Suharto tidak tersentuh tangan penegak hukum, yang penuntasannya merupakan tugas dan kewajiban negara, siapa saja penguasanya. Agaknya Budiono dengan pernyataan tersebut di atas mau menyatakan bahwa kejahatan rejim Suharto masa lalu, apalagi dia sendiri sudah meninggal, tidak perlu lagi dikutik-kutik. Tapi dia lupa bahwa kejahatan kapan saja adalah kejahatan, yang harus dituntas oleh negara. Selama kasus-kasus tersebut belum dituntaskan, berarti di dalam negara Indonesia masih berlangsung terus praktek impunitas – kebal hukum. Berarti juga situasi HAM di dalam negara Indonesia masih sangat buruk, sehingga tidak mungkin dijadikan model.

Kalau mau jujur dan obyektif seharusnya Budiono mengakui kenyataan buruknya situasi HAM di Indonesia tersebut, bahkan termasuk salah satu yang terburuk di dunia. Sebab semua kasus pelanggaran HAM baik yang masih hangat (kasus Munir, kasus Akhmadiyah, kasus pengrusakan/penggusuran tempat ibadah, dll) maupun kasus-kasus masa lalu (kasus 1965-66, Tanjung Priok, Jalan Diponegoro, Semanngi, Trisakti, Mei 1998 dan lain-lainnya) sama sekali tidak mendapat perhatian serius dari negara demi keadilan dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi Pancasila dan Konstitusi kita.

Dengan dipilihnya lagi Indonesia untuk ketiga kalinya sebagai anggota Dewan HAM PBB, para petinngi Indonesia seharusnya mawas diri tentang: apa yang telah dikerjakan selama menjadi anggota Dewan HAM tersebut bagi rakyat Indonesia (terutaama) dan bagi masyarakat internasional pada umumnya. Bukannya menepuk dada dengan rasa bangga seolah-olah telah berjasa besar menegakkan haak asasi manusia. Selama tidak ada kepedulian terhaadap para korban pelanggaran HAM, terutama pelanggaran HAM berat masa lalu, maka tidak sepantasnya penguasa negara berbangga diri. Bahkan keanggotaan Indonesia dalam Dewan HAM PBB selama ini, yang tidak/belum memberi manfaat bagi para korban pelanggaran HAM di Indonesia - merupakan suatu ironi besar yang memalukan.

Selain mawas diri, seharusnya juga mawas ke dunia luar. Yaitu melihat kemajuan-kemajuan negara-negara lain dalam menangani dan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM (terutama masa lalu) di negara-negara tersebut, misalnya Peru, Cili, Argentina, Kambodia, bahkan di Spanyol. Di Peru Presiden Toledo atas nama negara dengan tegas meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, yang kemudian mantan presiden Fujimuri dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Lima. Di Argentina Diktator Jenderal Videla dan beberapa jenderal lainnya dihukum seumur hidup/25 tahun. Di Spanyol Parlemen beberapa tahun yang lalu telah berhasil menyelesaikan masalah korban pelanggran HAM yang dilakukan Diktator Franco menjelang Perang Dunia II..

Bagaimana pun beratnya situasi dewasa ini rakyat Indonesia tetap terus berjuang sampai kebenaran dan keadilan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Nederland, 27 Mei 2011



Tuesday 24 May 2011

PERNYATAAN MENTERI NATALEGAWA YANG MEMALUKAN

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2011/05/pernyataan-menteri-natalegawa-yang.html

SOROTAN

PERNYATAAN MENTERI NATALEGAWA YANG MEMALUKAN


Oleh MD Kartaprawira*



Terbetik berita bahwa Sidang Umum PBB di New York, 20 Mei 2011 telah memilih Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2011-2014. Tentu saja Natalegawa (dan para petinggi RI lainnya) boleh-boleh saja berbangga menyatakan sebagai pengakuan masyarakat internasional atas kemajuan HAM di Indonesia” (http://www.indonesiamedia.com/2011/05/22/ri-terpilih-lagi-jadi-anggota-dewan-ham-pbb-korban-ham-sby-tak-lebih-baik-dari-soeharto/).
Mungkin Natalegawa lupa membubuhkan pernyataan bahwa kemjuan HAM di Indonesia tersebut berkat jasa Pemerintahan SBY selama dua masa kerjanya.


Tentu saja para korban pelanggaran HAM di Indonesia (terutama para korban pelanggaran HAM berat 1965-66) akan ternganga bengong melihat pernyataan Natalegawa tersebut. Apa yang Natalegawa maksud kemajuan HAM di Indonesia?
Memang harus diakui bahwa di dalam perundang-undangan di Indonesia sudah banyak norma-norma hukum yang mengatur tentang hak asasi manusia, baik di dalam UUD 1945, UU Organik dan peraturan-peraturan Internasional yang telah diratifikasi. Tetapi perundang-undangan tersebut hanya di atas kertas saja tanpa memberi manfaat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebab tidak dilaksanakan dengan konsekwen. Peraturan perundang-undangan tersebut hanya sebagai pajangan, hanya sebagai reklame/propaganda bahwa Indonesia adalah negara Hukum yang menegakkan Keadilan dan HAM. Benarkah demikian?

Ketidak-konsekwenan pelaksanaan norma-norma hukum HAM hanya bisa dilihat dan dibuktikan dengan praktek penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM selama ini. Ternyata meskipun rejim zalim Suharto sudah turun dari kekuasaan, rejim era “reformasi” juga tidak banyak bedanya – tidak konsekwen melaksanakan norma-norma hukum HAM. Terutama dalam masalah penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (mis.kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, kasus Mei 1998 dan lain-lainnya) Penguasa Negara tidak punya kemauan menangani secara serius. Saya kira presiden SBY tidak mungkin bisa membantah kenyataan tersebut, apa lagi menteri Natalegawa. Jadi di mana letak kemajuan HAM di Indonesia???
Dibanggakan juga bahwa Indonesia terpilih untuk ketiga kalinya menjadi anggota Dewan HAM PBB. Kita mempertanyakan lagi kepada Natalegawa (Pemerintah) apa yang dikerjakan selama duduk di Dewan HAM PBB tersebut. Dalam kaitannya penegakan kebenaran dan keadilan bagi para korban HAM berat: NOL besar! Tentu saja pejabat Indonesia yang duduk dalam Dewan tersebut tidak punya kepentingan untuk menentang politik Penguasa Negara yang tidak mempunyai kemauan politik dan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat (masa lalu).

Pada tahun 2003 delegasi Indonesia – para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 (Sdr. Setiadi Reksoprodjo – mantan menteri Kabinet Bung Karno, Sdr. Heru Atmodjo, dan Sdri.Ribka Ciptaning) datang ke Jenewa untuk perjuangan mendapatkan solidaritas internasional agar kasus pelanggaran HAM berat bisa dituntaskan, sehingga penguasa negara Indonesia menaruh perhatian terhadap masalah tersebut. Ternyata sampai sekarang masalah tersebut sama sekali tidak mendapat perhatian dari Dewan HAM PBB, seperti juga halnya Penguasa Indonesia. Jadi, apa yang telah dikerjakan Indonesia yang berturut-turut menjadi anggota Dewan tersebut demi penegakan kebenaran dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di Indonesia? Jawabannya: NOL besar. Jangan-jangan kegiatan mereka di Dewan HAM malah sebaliknya - merugikan kepentingan para korban. Luar biasa, Natalegawa berani mengecoh publik bahwa “proses dan kemajuan HAM di Indonesia semakin kokoh”.

Memang adalah kenyataan bahwa Indonesia bertutut-turut tiga kali sukses besar (dengan suara mayoritas) terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Kejadian tersebut oleh Natalegawa dianggap sebagai “apresiasi masyarakat internasional terhadap peran dan kepemimpinan Indonesia dalam memajukan agenda-agenda Hak Asassi Manusia, baik di kawasan maupun di forum internasional”. Wao, mengurus dan menangani masalah-masalah kasus pelanggaran HAM di dalam negeri saja tidak becus, kok ngurusi masalah HAM di kawasan dan forum internasional. .Itulah “kehebatan” (baca kelihaian dan kelicikan) pejabat Indonesia dalam mereklamekan Indonesia sebagai negara maju di bidang HAM di masyarakat internasional (PBB), meskipun kenyataan di lapangan yang sukar dibantah siapa pun, Penguasa Negara terus menerus memacetkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat (terutama kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang korbannya jutaan warga yang tidak bersalah). Sungguh memalukan dan memprihatinkan.


Nederland, 24 Mei 2011
* Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65)




Bisa dibaca tulisan-tulisan bulan Mei 2011:

Wednesday 18 May 2011

PERNYATAAN KONFERENSI HAM-ASEAN - LPK65 MENDUKUNG PENUH


[Attachment(s) from yayasan penelitian included below]
Pernyataan Konferensi HAM-ASEAN
Forum Masyarakat Sipil ASEAN: *)

Mendesak Indonesia 
Segera Tuntaskan Pelanggaran HAM
Tragedi 1965/66 dan
Bentuk Mahkamah Pidana Regional

Jakarta 18 Mei 2011 (YPKP 65)

Dalam pernyataan akhir Konferensi HAM-ASEAN ( Konferensi Forum Masyarakat Sipil ASEAN/ the 2011 ASEAN Civil Society Conference/ ASEAN Peoples’ Forum yang diselenggarakan di Hotel Ciputra, Jakarta, Indonesia pada 3-5 Mei 2011, meloloskan sebuah resolusi bersejarah bagi perjuangan Korban Tragedi Kemanusiaan 1965/66, yaitu:

Menyerukan kepada pemerintah Republik Indonesia untuk segera menuntaskan semua kasuspelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya Tragedi Kemanusiaan 1965/66.
Dalam pernyataan setebal 33 halaman itu, diterangkan lebih lanjut bahwa, pada Tragedi Kemanusiaan 1965/66 telah terjadi pembantaian massal di mana sekitar 2 juta orang tewas dan ratusan ribu orang dipenjarakan tanpa proses
pengadilan. Ini merupakan kejahatan Hak Asasi Manusia berat dan sistematis dalam skala besar yang sangat penting dan perlu untuk diselidiki sehingga kebenaran bisa ditegakkan, hak-hak Korban untuk mendapatkan keadilan dan reparasi terpenuhi.
Resolusi juga menyerukan agar pemerintah Republik Indonesia membuat permintaan maaf kepada Korban 1965,
Juga, perlunya dibentuk Mahkamah Pidana Regional ASEAN untuk mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan di tingkat regional ASEAN sebagai instrument pencarian keadilan bagi Korban pelanggaran HAM di wilayah kawasan ASEAN.

Seluruh isi pernyataan konferensi terdapat 143 pasal yang terdiri dari berbagai referensi penegakkan HAM : ekonomi, social, budaya , pendidikan, politik, hukum, buruh, kaum tani, ekologi,kesehatan, isu perempuan, pemuda, kelompok minoritas, anak dan pelanggaran HAM lainnya.
Khusus mengenai Indonesia berada di pasal 81.
Delegasi Indonesia yang menjadi peserta konferensi mewakili Korban Tragedi Kemanusiaan 1965 yaitu Bedjo Untung Ketua YPKP 65 pusat dan Bapak Sanuar dari YPKP 65 Pariaman Sumatera Barat. Ada pun Bapak Hersri Setiawan menjadi pembicara di hari pertama dengan makalahnya yang berjudul Membenahi Masa Lalu untuk Menatap ke Depan.

Dengan diloloskannya isu Tragedi 1965/66 dalam pernyataan konferensi HAM -ASEAN ini, Pemerintah Indonesia harus segera menindaklanjuti dengan membuka persoalan ini ke publik, jangan lagi ditutup-tutupi yaitu dengan mengumumkan hasil Temuan Tim Penyelidik pro justicia Komnas HAM Kasus Peristiwa 1965-66.
Pemerintah Indonesia tidak lagi bisa mengklaim sebagai negara yang “bersih” dari praktik kejahatan pelanggaran HAM malahan berbusung dada sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di Dunia.

Kalau ingin cuci tangan, selesaikan dahulu persoalan Tragedi 1965/66 dan segala kasus pelanggaran HAM sesudahnya.

Bedjo Untung
Ketua YPKP 65
YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966 (YPKP 65)
Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre
SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007
Tambahan Berita Negara RI Nomor 45 tanggal 5 Juni 2007 , PENGURUS PUSAT
Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia no. 21 Kp. Warung Mangga,RT 01 RW 02
Panunggangan , Kecamatan Pinang, Kab/Kota Tangerang 15143 
Banten,INDONESIA Phone : (+62 -21) 53121770, Fax 021-53121770
E-mail ypkp_1965@yahoo.combeejew01@yahoo.co.uk

PERNYATAAN LPK65
Bersama ini LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK65) menyatakan: mendukung sepenuhnya pernyataan Konferensi HAM-ASEAN.
Khusus yang berkaitan dengan Indonesia, LPK65  menyerukan penggalangan solidaritas dan persatuan demi tegaknya kebenaran dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965-66.
Nederland, 18 Mei 2011, a/n Lembaga Pembela Korban 1965,
MD Kartaprawira (Ketum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)

Sunday 15 May 2011

SERIUSKAH AJAKAN PRESIDEN MAJUKAN HAM



SOROTAN

SERIUSKAH AJAKAN PRESIDEN MAJUKAN HAM?

Oleh MD Kartaprawira*

Posting Sandy Dwiyono di Milis Nasional,13 Mei 2011) yang hanya berisi informasi tentang ajakan Presiden SBY kepada Komnasham untuk mensinergikan tugas memajukan dan melindungi HAM dan ucapan terima kasih Presiden kepada Komnasham atas apa yang telah dilakukan selama ini. Titik, tidak ada informasi lainnya, misalnya langkah-langkah apa yang akan dilakukan Presiden dalam mensinergikan tugas memajukan dan melindungi HAM. Dan tidak ada informasi tentang tanggapan Komnasham atas ajakan presiden tersebut, usulan-usulan apa yang diajukan kepada presiden supaya HAM di Indonesia betul-betul bisa ditegakkan. Saya kira Komnasham berduyun-duyun datang menghadap Presiden tidak hanya semata-mata untuk mendengar ajakan dan menerima ucapan terima kasih Presiden kepada Komnasham. Mungkin setelah pertemuan Komnasham akan memberikan siaran khusus tentang pertemuan tersebut di atas?

Kedua, lepas dari berita yang miskin informasi tersebut ajakan presiden kepada Komnasham untuk mensinergikan tugas memajukan dan melindungi hak asasi manusia adalah suatu hal positif. Meskipun demikian kita tidak bisa lepas dari kesangsian atas ajakan tersebut. Sebab selama ini masalah kasus pelanggaran HAM berat tidak secara serius dan tuntas ditangani oleh penyelenggara negara. Buktinya, Presiden SBY dan Kejaksaan Agung sampai sekarang tidak tampak gregetnya dalam penyelesaian masalah kasus korban pelanggaran HAM masa lalu (Kasus 1965-66, Mei 1998, Tri Sakti, Semanggi, Jalan Diponegoro, Talangsari dan lain-lainnya). Bahkan Kasus Pembunuhan Munir, yang tidak termasuk kasus masa lalu, sampai sekarang masih dalam balut kabut tebal. Apalagi kasus masa lalu - pelanggaran HAM berat 1965-66 dengan korban jutaan orang, yang sudah berlalu 45 tahun tetap saja tidak tampak perspektifnya. Tetap saja penyelenggara negara diam seribu bahasa. Tetap saja para korban tidak digubris nasibnya. Maka tidak jelas apa maksud ajakan mensinergikan tugas memajukan dan melindungi HAM, kalau Presiden bersama kabinetnya (terutama Jaksa Agung) sampai dewasa ini belum menampakkan kemauan serius untuk menyelesaikannya. Mungkinkah hal tersebut hanya manuver politik SBY yang tengah menghadapi berbagai kekalutan dalam pemerintahannya?

Sesungguhnya SBY sebagai Presiden RI kalau mau jujur dan benar-benar serius mau melakukan usaha-usaha memajukan dan melindungi HAM, bisa memerintahkan Kejaksaan Agung untuk merealisasikannya. Sebab di tangan Kejaksaan Agunglah suatu kasus HAM berat bisa diajukan ke sidang pengadilan atau tidak. Sementara ini Komnasham yang kerja keras mengumpulkan BAP (Berita Acara Penyelidikan) yang kemudian dikirimkan ke Kejaksaan Agung untuk disortir dan ditentukan nilainya sebagai alat bukti. Memang legislator RI sangat lihai menciptakan sistem proses peradilan yang berbelit-belit melalui Komnasham, sehingga prosesnya sulit untuk sampai di sidang pengadilan. Mungkin sampai semua para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 habis pergi ke alam baka, kasusnya belum juga selesai. Maka ada yang berpendapat bahwa keadaan tersebut memang telah diskenariokan.





Friday 13 May 2011

Beban Sejarah Tragedi Mei



Wacana

13 Mei 2011

Beban Sejarah Tragedi Mei

  • Oleh Sutrisno
TRAGEDI Mei 1998 yang memicu kerusuhan berskala besar di Jakarta, dan merembet ke Bandung dan Surakarta (13-15 Mei), setelah penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisaksi Jakarta pada 12 Mei menjadi lembaran penting bagi perjalanan gerakan reformasi. 

Sudah 13 tahun peristiwa itu berlalu tapi hingga saat ini belum banyak yang bisa kita mengerti dan pelajari dari titik penting sejarah republik ini. Seolah-olah memahami sejarah kegelapan, yang sama halnya dengan menorehkan tinta hitam pada buku putih lembaran sejarah nasional yang selama ini ditulis dengan tinta emas peradaban, keagungan, dan kepahlawanan.

Penelitian tentang peristiwa itu pun seperti terlupakan. Tulisan mendalam yang berusaha memahami kompleksitas dimensi kultural dan sosial dalam peristiwa yang acap disebut Tragedi Trisakti itu barangkali tak lebih dari lima buah. Itu pun sebagian besar berupa karya disertasi peneliti asing.

Kekeringan pendekatan kritis untuk memahami kerusuhan tersebut yang tampak dalam rangkaian pengulangan metafora dan trope dalam narasi teks dan tayangan media dapat menjadi tragedi sendiri dalam penulisan sejarah bangsa ini. Haruskah kita menunggu sampai 30 tahun, seperti menunggu pengungkapan sejarah tahun 1965-1966 untuk memunculkan suara-suara mereka yang dibungkam oleh kekerasan politik?

Kita memerlukan sebuah sikap dan ketegaran untuk mengakui bahwa peristiwa besar itu memiliki dampak penting dalam pergolakan politik nasional. Di lain pihak, sikap dan ketegaran yang sama juga diperlukan untuk mengetahui bahwa peristiwa kekerasan sejatinya adalah pembongkaran ruang eksistensi individual.

Peristiwa kekerasan menjadi penting bukan karena menentukan lalu lintas politik nasional melainkan juga membongkar dan merekonstruksi cara manusia memaknai dunia sekelilingnya. Pemahaman rasional dan logis barangkali dapat menghasilkan pola, peta, dan logika kersuhan, kendati tak dapat menawarkan secercah sinar untuk menerangi liku-liku kompleksitas nilai yang manusia pakai memaknai kekerasan yang mereka hadapi.

Barangkali penyikapan kita selama ini terhadap kerusuhan Mei 1998 cenderung memperlakukannya sebagai peristiwa sejarah yang disikapi secara logika. Kita menganggap peristiwa itu penting karena menjadi jendela terhadap sesuatu: the logic of state, yakni cara berfungsi dan bekerjanya sebuah negara dan perangkatnya.

Pemegang kekuasaan tampaknya akan terus mendiamkan Tragedi Mei dan kasus-kasus kekerasan lainnya. Sikap itu sebenarnya mencerminkan pengingkaran kewajiban negara untuk mengingat sekaligus pengingkaran hak-hak korban seperti tercantum dalam Commission on Human Rights: Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violation (1997). Hak-hak korban adalah hak mengetahui peristiwa sebenarnya yang terjadi, hak mendapat kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan.

Skenario Lain 

Problem sulitnya mengungkapkan tragedi itu sepenuhnya terletak pada tidak adanya kemauan pemerintah untuk mengungkap secara tuntas. Bahkan memunculkan anggapan tragedi ini sengaja dilupakan seiring perjalanan sejarah. 
Ketidakmampuan negara dan sistem demokrasi untuk menguak kejahatan tersebut secara sistematis telah mendorong terjadinya impunitas atau pengampunan seacara diam-diam terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. 

Hal inilah dikhawatirkan menciptakan amnesia publik karena masyarakat  diarahkan untuk mengingkari konsensus reformasi, yaitu pemenuhan keadilan transisi. Pemerintahan SBY dituntut komitmen dan keseriusannya untuk mengungkapkan secara tuntas. Atas nama kemanusiaan dan kebangsaan, Presiden perlu mengabaikan perasaan takut, seandainya terbukti rumor yang menyebut bahwa kasus itu tak hanya dipicu oleh demontrasi terkait dengan krisis finansial tapi juga melibatkan skenario elite politik tertentu.

Kerusuhan Mei adalah utang masa lalu yang akan jadi beban sejarah, dan menjadi beban pemerintahan siapa pun, juga beban bangsa secara umum. Mengungkap sejarah yang kelam memang tidak mudah, apalagi bila menyangkut orang-orang tertentu yang bisa jadi masih berkuasa. Padahal sepahit apa pun, kebenaran sejarah harus diungkap bila bangsa ini ingin membangun masa depan yang lebih cerah. (10)

— Sutrisno SPd, guru SMP Negeri 1 Wonogiri

Tragedi Mei, Gelap di Tengah Cahaya



11.05.2011 15:37

Tragedi Mei, Gelap di Tengah Cahaya

Penulis : Teuku Kemal Fasya*  
Bulan Mei dikenang beberapa peringatan: gerakan buruh bersatu, hari Pendidikan Nasional, dan Kebangkitan Nasional.
Namun, bulan ini juga diingat sebagai hari tragedi kemanusiaan. Pada 13-15 Mei 1998, beberapa kota di Indonesia terbakar kerusuhan dan kejahatan rasial. Jakarta, Bandung, Surakarta, dan Medan hangus-legam.
Aksi brutal itu dipicu oleh tragedi Trisakti, 12 Mei, yang merenggut empat nyawa mahasiswa akibat tembakan aparat keamanan. Massa pun marah. Sebagian dari mereka mengambil keuntungan di tengah situasi rusuh yang tak terkendalikan. Sebagian lagi menjadi wayang yang dikendalikan  para dalang yang haus darah.
Di samping aksi penjarahan, pembakaran pertokoan dan manusia, ada juga aksi memilukan seperti pemerkosaan sekaligus pembunuhan “ratusan” perempuan keturunan China. Kata ratusan itu terpaksa diberi tanda petik, karena tidak ada data konkret berapa banyak jumlahnya yang menjadi  korban.
Pelbagai analisis muncul, terutama  untuk kasus pembakaran dan pemerkosaan. Menurut laporan tim investigasi resmi dan sukarelawan kemanusiaan, pemerkosaan bukanlah reaksi alamiah kerusuhan. Pemerkosaan terlihat sangat intensif dan semiotis, menjadi penanda bahwa ada ruang konspirasi yang melibatkan kepentingan elite-elite di lingkaran Soeharto.
Pemerkosaan massal juga memberikan pesan peyoratif bagi komunitas minoritas yang suka dilabelkan dengan penuh stereotipikal itu. Terbukti sampai hari ini, kasus-kasus tersebut tidak pernah terbongkar secara jelas. Ada kesaksian korban, bahkan hingga ke PBB, namun tidak pernah mampu menjadi transkrip resmi nasional.
Hanya ada buku dan cerpen, seperti milik Seno Gumira Adjidarma yang menceritakan luka tak terbahasakan itu: fiksi atas fakta yang tidak diakui. Mereka harus menjadi tumbal kebengisan yang begitu tumpah ruah di langit Nusantara saat itu.
Terperangkap Mimpi Buruk
Di tahun ketiga belas tragedi itu, kiranya masih sangat penting berbicara tentang nasib korban-korban pemerkosaan Mei 1998. Tidak perlu drama, karena memang sebagian dari mereka masih hidup. Mereka pun masih mungkin ditarik kesaksiannya untuk merekonstruksi seperti apa kejadian sesungguhnya.
Memang upaya untuk melakukan testimoni dari kejahatan genosida yang tak masuk akal seperti ini pasti tidak mudah. Pasti ada sobekan psikologis yang memengaruhi daya tuturnya. Namun, demi kepentingan kebenaran, hal seperti ini wajib diungkapkan.
Tidak perlu ada politisasi isu bahwa pembongkaran kasus ini akan memunculkan kembali sentimen rasial atau instabilitas politik. Luka-luka yang dialami korban yang selamat (survivor) ini berada di pucuk altar semua ketakutan yang mungkin memerangkap jiwa di malam-malam penuh mimpi buruk.
Ketakutan yang dirasakan korban semua sama: suara parau dari kenyataan yang sangat sulit diungkapkan. Apalagi jika muncul stigmatisasi yang makin memojokkan. Sebenarnya, dari Sabang sampai Meurauke negeri ini penuh dengan untaian suara korban yang kalah bertarung dengan suara elitenya.
Aceh sebagai contoh. Meskipun telah mengalami kemajuan demokrasi dan pembangunan selama lima tahun terakhir, suara korban masih tercekat oleh kepentingan elite lokal yang sepertinya menghindar membicarakan kembali tragedi yang berdarah-darah di masa DOM (1989–1998) atau Darurat Militer (19 Mei 2003–18 Mei 2005).
Seorang pendeta dari Papua mengatakan kepada saya, bahwa seluruh rakyat Papua yang berasal dari ras Melanesia–keriting dan hitam–sampai saat ini masih dianggap sebagai separatis, terutama oleh TNI. Sketsa ironis ini menunjukkan bahwa nasib korban sebenarnya sangat tidak beruntung, walaupun di tengah situasi pembangunan dan penuh “kenormalan” seperti sekarang ini.
Namun mimpi buruk ini harus dihentikan. Mengungkap kebenaran dari korban yang selamat adalah tanggung jawab negara dalam menjamin hak asasi korban. Seperti dikatakan Lawrence L Langer, “the logic of law never sense of the illogic of genocide” (Admitting the Holocaust, 1995).
Logika hukum tak akan mampu memahami irasionalitas kejahatan luar biasa yang terjadi di masa lalu. Meskipun demikian, negara tidak bisa mundur seinci pun dari tanggung jawabnya untuk menjaga dan menghormati HAM seluruh warga negaranya.
Pemerintah dalam hal ini harus memenuhi kepentingan warga negara yang tidak beruntung itu untuk mendapatkan kembali haknya, terutama hak atas distribusi keadilan dan kebenaran, yang lebih utama dibandingkan bahkan dengan menghukum pelaku.
Hindari Pembohongan Publik
Beberapa kajian atas negara-negara yang mengalami transisi politik dengan masalah pelanggaran HAM menunjukkan fakta bahwa mereka lebih memilih menyelamatkan transisi politik ke demokrasi, dibandingkan memenuhi kewajiban dalam menegakkan HAM (Ifdal Kasim, Pencarian Keadilan di Masa Transisi, 2003). Indonesia dalam hal ini bukanlah pengecualian.
Retorika yang sering dimunculkan adalah, “mari lupakan masa lalu untuk membangun masa depan; mari menjadi bangsa yang memaafkan dan tidak mendendam; dahulukanlah kepentingan nasional dibandingkan hanya mengurusi kepentingan segelintir korban”, dan sebagainya.
Retorika yang terkesan seperti suara kenabian ini sesungguhnya mengecoh. Kita telah melihat fakta bahwa Timor Leste pun gagal melakukan konsolidasi demokrasi ketika elite negara itu menghindari berbicara tentang masalah HAM, terutama pasca-referendum 1999.
Reformasi yang seumur tragedi Mei ini juga menunjukkan kemacetannya. Salah satunya karena tidak ada sikap yang benar dalam mengungkapkan kebenaran masa lalu. Menumbalkan korban masa lalu selalu akan berakibat pada terkorbankannya demokrasi di masa sekarang.
Tragedi Mei seperti juga tragedi bangsa lainnya adalah bagian dari pahit getir sejarah bangsa. Ini tak mungkin terlupakan, dan akan terus masuk dalam siklus waktu. Setiap memasuki bulan Mei kita akan kembali dibawa pada situasi–seperti terungkap dalam bahasa sastrawan Prancis kelahiran Maroko, Tahar Ben Jelloun, “kelambanan yang subtil, akibat pembunuhan yang telah merenggut waktu, seluruh waktu yang dimiliki oleh laki-laki yang kini tidak tampak lagi, yang sebenarnya masih memperhatikan kita, tetapi sepenuhnya telah melupakan kita” (This Blinding Absence of Light, 2002).
Tahun ke-13 ini seharusnya menjadi tanda keberuntungan bagi korban Mei 1998. Pemerintahan SBY diharap mau menunjukkan kesungguhannya untuk mengungkapkan kasus ini selebar-lebarnya. SBY perlu mengabaikan perasaan takut–jika benar rumor bahwa kasus ini bukan kasus alamiah, tetapi melibatkan skenario elite tertentu–demi kepentingan kemanusiaan dan kebangsaan.
Tentu saja, hal itu perlu agar para korban tak terus buta di tengah terang-benderangnya cahaya Reformasi yang kini dinikmati politikus Senayan, melalui aksi studi banding dan rencana gedung mewahnya.
*Penulis adalah Dosen Antropologi di FISIP Universitas Malikussaleh.