http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2012/12/laksanakan-norma-norma-hak-asasi.html
LAKSANAKAN NORMA-NORMA HAK ASASI MANUSIA TANPA MANIPULASI DAN DISKRIMINASI
LAKSANAKAN NORMA-NORMA HAK ASASI MANUSIA TANPA MANIPULASI DAN DISKRIMINASI
(Sambutan dan
Pesan pada Hari Hak Asasi Manusia
Sedunia , 10-12-2012)
Oleh MD
Kartaprawira
Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1948 telah memberikan pengaruh
besar terhadap perkembangan norma-norma
HAM di Indonesia. Sehingga banyak ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia
yang tercantum dalam berbagai konvensi PBB diadopsi dalam perundang-undangan
kita setelah diratifikasi. Bahkan UUD 1945 setelah diamandemen tercantum begitu lengkap
ketentuan-ketentuan hak asasi manusia. Sedang sebagai realisasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan
di dalam UUD 1945 telah dibentuk
undang-undang organik: UU No.39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM.
Bahwasanya hukum di Indonesia sudah mencakup banyak norma hak asasi manusia
tentunya dapat diberi acungan jempol. Bangsa Indonesia bisa berbangga karenanya
– merasa sebagai bangsa yang beradab dan berkemanusiaan di banyak lapangan
kehidupan. Dan karenanya bisa bertepuk dada di dunia internasional. Memang
demikian seharusnya, kalau pelaksanaan ketentuan hukum tersebut dipatuhi sesuai
dengan yang tertulis di dalam perundang-undangan HAM secara jujur dan adil, tanpa manipulasi.
Di dalam kehidupan kenyataannya
sangat berbeda dengan apa yang tercantum dalam perundang-undangan hak
asasi manusia. Di dalam kehidupan ternyata norma-norma HAM banyak yang tidak
dilaksanakan, tetapi tetap sebagai norma-norma mati di atas kertas belaka. Tidak
hanya tidak dilaksanakan sebagaimna mestinya, tapi bahkan banyak dilanggar dan
dimanipulasi oleh penguasa negara. Sehingga kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia sudah begitu banyak menumpuk di meja penegak hukum, yang tidak hanya sengaja tidak ditangani
sesuai prosedur hukum yang berlaku, tetapi karena mereka sudah kewalahan (tidak
berpotensi lagi) untuk menangani tumpukan kasus pelanggaran HAM tersebut,
khusunya kasus pelanggaran HAM masa lalu (paling khusus adalah kasus
pelanggaran HAM berat 1965-66: diterbengkalaikan sampai 47 tahun).
Baru tahun 2008 kasus pelanggaran
HAM dicantumkan dalam agenda kerja struktur Komnas HAM. Maka didirikan Tim khusus
dalam Komnas HAM yang diberi wewenang sangat terbatas untuk melakukan
penyelidikan dugaan adanya pelanggaran HAM berat 1965-66. Langkah tersebut dimaksudkan
untuk memberi bukti kepada publik bahwa penguasa Negara mempunyai keseriusan
menangani kasus pelanggaran HAM 1965-66.
Harus diakui Tim ad hoc Komnas HAM yang dipimpin Sdr. Nurkholis telah
berusaha melakukan tugasnya dengan baik, sehingga dalam jangka waktu 4 tahun
telah berhasil mengumpulkan data-data penyelidikan yang merupakan bukti
(permulaan) adanya pelanggaran HAM berat 1965-66. Sesuai prosedur data-data
temuan Komnas HAM tersebut (beserta Rekomendasinya) pada 20 Juli 2012 telah dilimpahkan
kepada Jaksa Agung untuk ditindak lanjuti. Beberapa minggu kemudian sesuai
prosedur pula berkas Komnas HAM tersebut oleh Jaksa Agung telah dikembalikan
lagi ke Komnas HAM agar kekurangan-kekurangannya dilengkapi. Prosedur tersebut
di atas adalah normal, tetapi yang kita khawatirkan adalah terjadinya permainan
“pingpong” antara Komnas HAM dan Jaksa Agung sesuai taktik “mengulur-ulur”
kasus Pelanggaran HAM berat 1965 sedemikian rupa, sehingga para korban dan
pelaku mati semua. Maka dengan demikian diharapkan kasus tersebut hilang
menguap, sesuai strategi lihai Machiavelistik yang tersembunyi.
Lepas dari kenyataan bahwa peta politik Orde Baru tetap tidak berubah
sampai dewasa ini, aksi menuntut
kebenaran dan keadilan adalah hak para korban yang dijamin dan dlindungi UUD
1945. Karena hal itu adalah salah-satu senjata ampuh perjuangan yang dipunyai para
korban, maka hak tersebut haruslah dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam bentuk
apa pun dan dalam kesempatan apa pun. Jangan digubris ocehan orang-orang yang
secara langsung dan tidak langsung mencemoohkan dan mengkritik terhadap para-korban/organisasi-korban
yang menuntut kebenaran dan keadilan, dengan alasan bahwa tuntutan-tuntutan
tersebut selalu dicampakkan ke keranjang sampah oleh penguasa.
Dan para korban tidak usah berkecil hati dan patah semangat terhadap ocehan
sementara orang yang mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 adalah
kasus perdata (atau menjadi perdata). Tidak !!! Kasus pelanggaran HAM berat
1965-66 adalah kasus Pidana (Kriminal). Kasus tersebut kapan pun tetap kasus pidana.
Tidak mungkin berubah menjadi kasus Perdata, bahkan kalau para korban dan
pelakunya mati semua. Memang dapat dimengerti kasus pelanggaran HAM berat
1965-66 adalah kasus pelanggara HAM/kejahatan kemanusiaan yang maha dahsyat
setelah kasus kejahatan Nazi Hitler, sehingga pihak-pihak tertentu yang harus
bertanggung jawab terus berusaha sekuat
tenaga untuk menggagalkan penuntasan kasus tersebut.
Dalam perjuangan untuk penegakan HAM berkaitan kasus pelanggaran HAM berat
1965-66 kita harus tidak menggantungkan bantuan luar/asing (apalagi mengikat). Sesungguhnya
kalau kita menggantungkan bantuan dari luar - berarti kita pasang gantungan
terhadap diri sendiri. Sebab tidak ada bantuan yang tanpa pamrih di era
neoliberalisme sekarang ini. Perlu kewaspadaan.
Pengalaman perjuangan para korban selama ini bisa menjadi pelajaran
berharga. Pada bulan April 2003 delegasi para korban untuk menghadiri Sidang
Komisi HAM PBB di Jenewa yang terdiri dari Ir. Setiadi Reksoprodjo (Ketua,
bekas menteri Kabinet Bung Karno), Ribka Ciptaning dan Heru Atmodjo (bersama
para korban dari Belanda) telah memberikan laporan tentang situasi di Indonesia berkaitan kasus pelanggaran HAM
berat 1965-66. Setahun kemudian berangkat juga delegasi para korban ke Sidang
Komisi HAM PBB di Jenewa, yang dipimpin oleh Sdr. Soewarno. Tapi hasil kunjungan
dua delegasi tersebut ternyata nul besar, sebab Komisi HAM PBB sama sekali
tidak memberi respon dan tidak menunjukkan solidaritasnya. Bahkan di dalam
dokumen HAM PBB sama sekali masalah kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak
disinggung.
Kalau Komisi HAM PBB di Jenewa sebagai institusi resmi tertinggi PBB tidak
menaruh perhatian kepada masalah pelanggaran HAM berat 1965-66, tentu kita
harus menyadari bahwa kepentingan para korban tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Beberapa
kali kunjungan kunjungan komisioner HAM
PBB ke Indonesia menunjukkan bukti lagi
tentang konstatasi di atas. Kunjungan Komisioner HAM PBB Navi Pillay bulan Nopember 2012 sama sekali dalam
pernyataan-pernyataannya tidak menyinggung kasus HAM berat 1965-66. Hal
tersebut adalah bukti bahwa Komisi HAM PBB tidak punya perhatian terhadap
masalah kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Tapi meskipun demikian, pernyataan
Pillay yang mendesak pemerintah agar kasus Munir dibuka kembali, dan kasus-kasus
pelanggaran HAM di Papua dan Aceh harus diselidiki adalah suatu pernyataan yang
positif.
Dari kenyataan tersebut di atas, seharusnya Komisioner HAM PBB tidak
melakukan diskriminasi dalam menunaikan kewajibannya. Norma-norma hak asasi manusia
sesuai Deklarasi HAM Sedunia 1948 harus diberlakukan bagi semua tanpa diskriminasi.
Juga penegak hukum di Indonesia berkewajiban melaksanakan norma-norma HAM tanpa diskriminasi - berlaku terhadap semuanya,
tidak tergantung pada: ras, suku, agama/kepercayaan, ideologi dan partai politik
yang dimiliki. Inilah yang belum berhasil dilaksanakan di Indonesia. Inilah
sebabnya kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 setelah 47 tahun terbengkelai, baru mulai dilihat dan dikaji oleh Jaksa Agung:
„apakah ada pelanggaran HAM berat 1965-66“ berdasarkan berkas data-data hasil
penyelidikan Komnas HAM yang diterimanya. Inilah kenyataan yang menyedihkan dan
memalukan.
Hari ini (10 Desember 2012) di Surabaya digelar aksi yang sangat penting, yaitu Diskusi publik dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UPN bersama Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP65).
Hari ini (10 Desember 2012) di Surabaya digelar aksi yang sangat penting, yaitu Diskusi publik dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UPN bersama Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP65).
Kami dan Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland, menyatakan dukungannya dan mengharapkan sukses
besar.
Di samping itu kami mengharapkan
agar:
- - Para
korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dan organisasinya terus berjuang dan
menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
- - Para
korban pelanggaran HAM seluruhnya (baik kasus masa lalu maupun kasus
non-masalalu) menggalang persatuan dan solidaritas bersama agar
perundang-undangan HAM di Indonesia dilaksanakan secara jujur dan adil tanpa
diskriminasi demi tegaknya kebenaran, keadilan
dan demokrasi di Indonesia.
Nederland, 10 Desember 2012
MD Kartaprawira (Ketua Umum LPK65 Nederland)
No comments:
Post a Comment