Wednesday 2 November 2011


YPKP 65:
LAPORAN PENELITIAN KORBAN 1965/66
SUMATERA BARAT
DALAM GAMBAR ( BAGIAN  I )
 
Pengantar
Salah satu rujukan dari Temu Nasional Korban 65 yang diselenggarakan oleh YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966) pada tanggal 08 -11 Desember 2009 di Depok, Bogor ialah melanjutkan program penelitian atas Tragedi kemanusiaan  maha dahsyat pada 1965/66 dimana jutaan manusia tidak berdosa dan  tidak bersalah, putra-putri terbaik bangsa ini harus mati secara sia-sia, ratusan ribu dipenjarakan, diasingkan ke Pulau Nusa Kambangan  dan Pulau Buru tanpa melalui proses hukum, sementara ratusan ribu lagi hidup di kamp-kamp penyiksaan di penjara Salemba, Jakarta, Cikokol Tangerang, Kalisosok Surabaya, Pulau Kemarau Palembang, dan di berbagai kamp-kamp konsentrasi di kota-kota  di seluruh Indonesia . dll. Penelitian ini  dimaksudkan untuk membuka kotak Pandora, siapa aktor di balik malapetaka nasional ini. Siapa yang salah harus mempertanggungjawabkannya di muka umum.  Tidak boleh tidak, Negara harus mengakui adanya pelanggaran HAM berat ini. Sampai hari ini Negara seolah cuci tangan, sementara Korban selama hampir setengah abad  hidup dalam ketidak-pastian hukum. YPKP 65 ingin buktikan, dan berikan fakta dan bukti keterlibatan militer dan aparat Negara  dalam aksi pembunuhan massal ini. Dan, sebagai tujuan akhir ialah agar kita mau belajar dari sejarah.
Cukup sudah kekerasan.
Tegakkan Hukum.
Pulihkan Hak-Hak  Korban
Bedjo Untung
Ketua YPKP 65 
YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966
Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre
SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007
Berita Negara RITanggal  5 Juni 2007 No.45
Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia no. 21 Kp. Warung Mangga,
Panunggangan ,Kecamatan Pinang, Tangerang 15143, Banten,  Indonesia
Phone : (+62  -21) 53121770, Fax 021-53121770 E-mail 
ypkp_1965@yahoo.com


 

 
Pada 24 September 2011 Tim Peneliti YPKP 65 yang terdiri dari Bedjo Untung, Eddi Sugiyanto dan Heru Suprapto berangkat dari Bandara Sukarno Hatta Jakarta pukul 10.30 dengan menumpang pesawat Batavia Air tiba di Bandar Udara Minangkabau Padang pukul 12.30. Dua penjemput dari YPKP 65 Wilayah Sumatera Barat yaitu Bapak Saunar Ahmad dan Bung Oki Muaz mengantarkan ke Bukittinggi dengan menggunakan kendaraan umum Bandara. Pukul 14.30 sampailah di Bukittinggi di rumah Ibu Nadiani (69 tahun), rumahnya ada di belakang kantor Telkom Bukitcangang, atau kira-kira 150 meter dari Museum Moh. Hatta, 500 meter dari Alun-alun Jam Gadang di tengah kota Bukittinggi.
 
Dengan duduk lesehan di atas karpet di rumah Ibu Nadiani yang cukup luas itu, telah banyak kawan-kawan Korban 65 yang menunggu meski pun belum saatnya mengadakan pertemuan. Mereka adalah Pak Samin dari YPKP 65 Riau, Bu Samin, Bu Yulidar, Bu Rosnina, Bu Masnar, dan Bu Manismar dari Bukittinggi. Tampak dalam gambar Pak Saunar Ahmad yang menjemput, Bung Eddi Sugiyanto anggota tim peneliti dari Jakarta . Membelakangi kamera adalah Ibu Nadiani si pemilik rumah yang juga sebagai ketua YPKP 65 Sumatera Barat.
 
Bapak-bapak dari berbagai kota di wilayah Sumatera Barat telah berdatangan dan menginap di rumah Ibu Nadiani ini. Ada yang datang dari Pesisir Selatan, Painan yang lama perjalanan mencapai 5-6 jam, ada yang dari Padang Pariaman, Payakumbuh, Lubuk Basung. Mereka datang ingin mendengar informasi perkembangan mau pun kemajuan perjuangan YPKP 65 dari Jakarta .
Setalah istirahat sejenak, untuk mengefektifkan waktu, wawancara pun dimulai.
 
Ibu Jamiaan (72 tahun ) mengisahkan pengalaman memilukan ketika ia bersama anak laki-lakinya yang masih berumur 7 tahun harus menyelamatkan diri dari kejaran massa dan militer. Ia masuk hutan belukar dan menuruni lurah (lembah) curam selama hampir 40 hari. Dengan penuh ketakutan karena hampir semua orang yang dicurigai sebagai anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia ) bila tertangkap pasti dibunuh atau disiksa secara kejam. Ibu Jamian dan anaknya berlari dan terus berlari di siang hari. Dan, bila malam tiba ia dan anaknya harus tidur di mana saja, di tempat yang ia rasa aman, di bawah pohon besar, di semak-semak, di rerumputan. Sampai pada suatu sore menjelang malam, di tengah hutan yang gelap gulita ia mendapatkan sebuah gua yang ia rasa aman dan terasa hangat. Ia dan anaknya duduk merebahkan diri dengan beralaskan tanah berbatu dalam gua itu. Tidak jauh dari tempat di mana ia merebahkan diri, ada sorotan biru bercahaya, ternyata mata seekor harimau. Nampak dari kejauhan harimau itu merasa terkejut ada tamu yang tak diundang memasuki goanya. Badan harimau itu beringsut dinaikkan, melengkung dengan bulunya tegak berdiri memandangi Ibu Jamian bersama anaknya. Tentu saja, ibu Jamian dan anaknya merasa ketakutan. Namun, dengan pasrah dan tenang bu Jamian berujar, “ Kyai, berilah aku pertolongan, aku dikejar, diburu untuk dibunuh, padahal aku tidak bersalah apa pun. Bila memang aku bersalah dan memang aku harus menemui ajalku, aku rela mati untukmu , ya kyai, lindungi aku, berilah pertolongan, aku dan anakku untuk menumpang bermalam berlindung di tempat ini”. Sang raja hutan itu mendengar apa yang diucapkan oleh Bu Jamian dengan mata terus memandanginya. Dengan sedikit menundukkan kepalanya dan badannya, tiba-tiba macan itu melompatinya dan keluar dari goa itu. Legalah Ibu Jamian bersama anaknya. Ia tidak mengerti, mengapa sang macan tidak menerkamnya. Ternyata, sang harimau lebih bijaksana dari orang-orang histeris yang diprovokasi militer untuk memburu sesama manusia.
 
Bapak Jamian (53 tahun ) anak Bu Jamiaan. menceritakan pengalamannya, ketika itu berusia 7 tahun bersama Bu Jamiaan, ibunya . Selama hampir 40 hari hanya makan dedaunan atau pun rumput yang bisa ia makan. Minum dari rembesan air yang membasahi pepohonan dengan cara menempelkan tangannya kemudian menghisapnya.
Seorang Korban 65 dari Painan menceritakan pengalaman pembunuhan massal di daerah Pesisir Selatan, Painan, Sumatera Barat. Ada yang dikubur hidup-hidup, ada yang dibakar, nyaris di sepanjang Pesisir Selatan Painan banyak ditemukan lokasi Kuburan massal. Ada kisah seorang anak perempuan, anak anggota fungsionaris PKI yang diperkosa oleh militer kemudian dibunuhnya. Catatan hasil penelitian di Painan ada di kantor YPKP 65 Sumatera barat.
 
Bu Saimaan mengisahkan pengalamannya ketika dikejar militer dan masuk hutan.
 
Minggu 25 September 2011 jam 07 berjalan pagi ke Alun-alun Jam Gadang di pusat kota Bukittinggi. Nampak membelakangi kamera bapak Saunar Ahmad, Bedjo Untung dan Eddi Sugiyanto. Heru Suprapto tidak tampak dalam gambar.
 
Relawan YPKP 65 sudah mulai berdatangan pada hari Minggu 25 September 2011 dan acara Temu Korban 65 se wilayah Sumatera Barat segera dimulai. Tampak dalam gambar Bapak Anistar seorang Guru Silat yang pernah dikirim ke Viet Nam dan Tiongkok dalam rangka persahabatan Indonesia Vietnam dan Indonesia Tiongkok oleh Bung Karno Presiden RI yang pertama.. Bapak Anistar sedang berbincang dengan Bedjo Untung. Karena kegiatannya itu, Bapak Anistar ditangkap, dijebloskan ke tahanan selama bertahun-tahun oleh rejim militer Orde Baru Suharto dengan alasan dan tuduhan yang tidak masuk akal dan aneh: “ Kamu simpan senjata dari China , ya”?
 
Acara pun dimulai tepat jam 10.00 dengan ucapan selamat datang oleh Ibu Hajah Azimar sebagai Pembawa Acara , diteruskan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran oleh Bu Manismar dan Bu Jamiaan.
 
Bu Manismar (74 tahun) mantan anggota Gerwani Kota Bukittinggi (gambar sebelah kiri), pernah ikut menentang terbentuknya Dewan Banteng yang ingin memisahkan diri dari Negara kesatuan RI. Karena keberaniannya itulah beliau ditangkap oleh tentara-tentara pendukung Dewan Banteng/ PRRI. Kini ibu Manismar sedang membacakan ayat-ayat suci al Quran. Bu Manismar aktif sebagi motor penggerak YPKP 65 di Sumatera Barat bersama Ibu Nadiani dan kawan-kawan untuk melakukan penelitian dan perjuangan menuntut keadilan, penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Gambar sebelah kanannya ialah Ibu Jamiaan yang pernah tersesat di dalam gua Harimau di hutan Sumatera Barat.
 
Oki Muaz (25 th ) putra Bapak Abdul Muaz dari Pesisir Selatan, Painan memberi kata sambutan dalam acara pertemuan di Minggu pagi itu dalam kapasitas sebagai Ketua Pelaksana Pertemuan. Ia termasuk salah satu anggota pengurus YPKP 65 wilayah Sumatera Barat. Ia bertekad ingin terus melanjutkan perjuangan cita-cita para bapak-bapak dan ibu-ibu Korban 65, para perintis kemerdekaan, yaitu perjuangan untuk pembebasan rakyat dari penindasan manusia oleh manusia, penindasan bangsa oleh bangsa lain.
 
Ibu Nadiani (69 tahun ) Ketua YPKP 65 Sumatera Barat memberikan laporan kerja, pengalaman menemui korban 65 yang tempatnya jauh terpencar-pencar, terkadang mendaki bukit dan menuruni lurah. Ini ia lakukan bersama relawan YPKP 65 yang lain dengan bermodalkan semangat kemandirian, karena yakin perjuangan YPKP 65 adalah benar yaitu untuk kemanusiaan, keadilan dan kebenaran dalam pengabdian untuk rakyat yang termarginalkan. Ia pernah menjadi anggota Palang Merah Indonesia untuk membantu korban perang kemerdekaan, khususnya ketika operasi pembasmian pemberontak PRRI di Sumatera Barat. Pada tahun 1965 ia bekerja sebagai tenaga pengajar dan berstatus sebagai pegawai negeri. Namun, karena ia dituduh sebagai aktivis Gerwani ,maka ia ditahan. Kini ia tidak memperoleh hak-hak pensiun yang semestinya ia peroleh. .
 
Seorang Relawan YPKP 65 Pesisir Selatan, Bapak Ilyas Rajo Lelo (71 tahun). Ia aktif mencari informasi keberadaan lokasi kuburan massal di daerah Pesisir Selatan, menemui penduduk kampung setempat dan mencatat apa yang diceritakan para saksi, kemudian mengecek dengan sumber berita yang lain, dan akhirnya menemukan lokasi kuburan massal yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan di sepanjang pantai. Pak Ilyas pernah ditahan pada 1965/1966, dipekerjakan secara paksa Ia adalah mantan tentara Angkatan Darat yang loyal terhadap Prsiden Sukarno, pernah aktif membasmi gerombolan separatis PRRI/Permesta. Kini ia hidup mandiri dengan membuka warung kecil di pasar Pesisir Selatan dengan berjualan obat-obatan tradisional, jahe, kencur, lempuyang, kunyit, dll.
 
Pak Samin Ketua YPKP 65 Pakan Baru, Riau sedang menyampaikan kata smbutannya berkenaan kunjungan kerja YPKP 65 pusat ke Bukittinggi untuk tugas-tugas penelitian, sosialisasi dan berbagi informasi tentang apa yang telah dilakukan oleh YPKP 65 pusat. Untuk Korban 65 di Riau umumnya sudah lanjut usia, sakit-sakitan dan mengalami trauma berat sehingga sulit untuk diajak berjuang kembali untuk merebut hak-hak yang selama ini terampas secara tidak sah oleh Negara.
 
Bapak Mora Harahap ( 70 tahun ) seorang Kawan dari Rao, Pasaman Timur,Sumatera Barat mengisahkan bahwa seluruh orang di desanya yang kebanyakan adalah pengikut Bung Karno dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dibunuh sampai ke anak, cucu dan istrinya. Orang-orang yang selamat ialah karena lari ke hutan atau ke luar daerah yang dianggap aman. Saudara atau pun kerabat tidak bisa beri perlindungan, karena kalau ini ketahuan oleh aparat, mereka juga akan ditangkap atau pun dibunuh oleh militer.
 
Fitrah (24 tahun ) seorang anak muda dari Riau juga tidak ketinggalan, bersemangat untuk mmbantu kerja-kerja YPKP 65: adakan penelitian, pendokumentasian korban, menandai kuburan massal, mencatat tempat-tempat penyiksaan yang dilakukan aparat militer terhadap para tahanan yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia, juga bersama korban pelanggaran HAM lainnya ikut berjuang untuk memperoleh pemulihan haknya.
 
Bedjo Untung Ketua YPKP 65 pusat dari Jakarta memaparkan strategi dan program perjuangan YPKP 65 ke depan menghadapai tantangan berat; Para Korban 65 sudah lanjut usia, banyak yang sudah meninggal dunia, hidup dari keterbatasan ekonomi, tidak miliki akses ekonomi, politik, hidup penuh diskriminasi. Karena itu menyerukan kepada kawan-kawan Korban 65 yang tersisa untuk melakukan regenerasi.Di bidang penelitian agar terus dilanjutkan, kepada setiap kawan kiranya perlu menuliskan memoir peristiwa Tragedi 1965 agar dapat dijadikan pelajaran bagi generasi mendatang.Penguasa orde baru masih terus lakukan pembodohan dan pemalsuan sejarah. Tugas kita untuk melakukan penulisan kembali sejarah yang digelapkan. Para mantan Tahanan Politik 1965 tidak bersalah. Komnas HAM telah mengisyaratkan hasil investigasinya yang akan diumumkan akhir desember 2011 bahwa Tragedi Kemanusiaan Peristiwa 1965/66 adalah kejahatan kemanusiaan, di mana Negara telah lakukan serangkaian pembiaran atas terjadinya pembunuhan massal 1965-1966.
 
Sebelum pertemuan berakhir, terlebih dahulu diadakan tanya jawab oleh para relawan YPKP 65 se Sumatera Barat dan dijawab oleh delegasi dari pusat : Bung Eddi Sugiyanto, Heru Suprapto dan Bedjo Untung. Pertemuan berakhir pada pukul 15.00 dilanjutkan dengan foto bersama di halaman depan rumah Ibu Nadiani. BERSAMBUNG Mengunjungi Lokasi Pembunuhan Massal di Lubuk Basuang, Pesisir Selatan, Painan, Sumatra Barat
 
Gambar 1
 
Pada 24 September 2011 Tim Peneliti YPKP 65 yang terdiri dari Bedjo Untung, Eddi Sugiyanto dan Heru Suprapto berangkat dari Bandara Sukarno Hatta  Jakarta pukul 10.30 dengan menumpang pesawat Batavia Air tiba di Bandar Udara Minangkabau  Padang  pukul 12.30. Dua penjemput  dari YPKP 65 Wilayah Sumatera Barat  yaitu Bapak Saunar Ahmad dan Bung Oki Muaz mengantarkan ke Bukittinggi  dengan menggunakan kendaraan umum Bandara. Pukul 14.30 sampailah di Bukittinggi di rumah Ibu Nadiani (69 tahun), rumahnya ada di belakang kantor Telkom Bukitcangang, atau kira-kira 150 meter dari Museum Moh. Hatta, 500 meter dari Alun-alun Jam Gadang  di tengah kota Bukittinggi.
 
Gambar 2
 
Dengan duduk lesehan  di atas karpet di rumah Ibu Nadiani  yang cukup luas itu, telah banyak kawan-kawan Korban 65 yang menunggu meski pun belum saatnya mengadakan pertemuan. Mereka adalah Pak Samin dari YPKP 65 Riau,  Bu Samin, Bu Yulidar, Bu Rosnina, Bu Masnar, dan Bu Manismar dari Bukittinggi. Tampak dalam gambar Pak Saunar Ahmad yang menjemput, Bung Eddi Sugiyanto anggota tim peneliti dari Jakarta. Membelakangi kamera adalah Ibu Nadiani  si pemilik rumah yang juga sebagai ketua YPKP 65 Sumatera Barat.
 
Gambar 3
 
Bapak-bapak dari berbagai kota di wilayah Sumatera Barat telah berdatangan dan menginap di rumah Ibu Nadiani ini. Ada yang datang dari Pesisir Selatan, Painan yang lama perjalanan mencapai 5-6 jam, ada yang dari Padang Pariaman, Payakumbuh, Lubuk Basung. Mereka  datang ingin mendengar informasi perkembangan mau pun kemajuan perjuangan YPKP 65 dari Jakarta.
 
Gambar 4
 
Setalah istirahat sejenak, untuk mengefektifkan waktu, wawancara  pun dimulai.
 
Gambar 5
 
Ibu Jamiaan (72 tahun )  mengisahkan  pengalaman memilukan ketika ia bersama anak laki-lakinya yang masih berumur 7 tahun harus menyelamatkan diri  dari kejaran massa dan militer. Ia  masuk hutan belukar dan menuruni lurah (lembah) curam  selama hampir  40 hari. Dengan penuh ketakutan karena hampir semua orang yang dicurigai sebagai anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) bila tertangkap pasti dibunuh  atau disiksa secara kejam. Ibu Jamian  dan anaknya berlari dan terus berlari di siang hari. Dan, bila malam tiba ia dan anaknya harus tidur di mana saja, di tempat yang ia rasa aman, di bawah pohon besar, di semak-semak, di rerumputan. Sampai pada suatu sore menjelang malam, di tengah hutan yang gelap gulita ia mendapatkan sebuah gua yang ia rasa aman dan terasa  hangat. Ia dan anaknya duduk merebahkan diri dengan beralaskan tanah berbatu dalam gua itu. Tidak jauh dari tempat di mana ia merebahkan diri, ada sorotan biru bercahaya, ternyata  mata seekor harimau. Nampak dari kejauhan harimau itu merasa terkejut ada tamu yang tak diundang memasuki goanya. Badan harimau itu  beringsut dinaikkan, melengkung dengan bulunya tegak berdiri memandangi  Ibu Jamian bersama anaknya. Tentu saja, ibu Jamian dan anaknya merasa ketakutan. Namun, dengan pasrah dan  tenang  bu Jamian berujar,
 “ Kyai, berilah aku pertolongan, aku dikejar, diburu untuk dibunuh, padahal aku tidak bersalah apa pun. Bila memang aku bersalah dan memang aku harus menemui ajalku, aku rela mati untukmu , ya kyai, lindungi aku, berilah pertolongan,  aku dan anakku untuk menumpang bermalam berlindung  di tempat ini”.
 
Sang raja hutan itu mendengar apa yang diucapkan oleh Bu Jamian  dengan mata terus memandanginya. Dengan sedikit menundukkan  kepalanya dan badannya, tiba-tiba  macan itu melompatinya dan keluar dari goa itu. Legalah Ibu Jamian bersama anaknya. Ia tidak mengerti, mengapa sang macan tidak menerkamnya.
Ternyata, sang harimau  lebih bijaksana dari orang-orang histeris yang diprovokasi militer  untuk  memburu sesama manusia.
 
Gambar 6
 
Bapak Jamian (53 tahun ) anak Bu  Jamiaan. menceritakan  pengalamannya, ketika itu berusia 7 tahun  bersama Bu Jamiaan, ibunya . Selama hampir 40 hari hanya makan dedaunan  atau pun rumput yang bisa ia makan. Minum dari rembesan air yang membasahi pepohonan dengan cara menempelkan tangannya kemudian menghisapnya.
 
Gambar 7
 
Selama wawancara berlangsung, bapak-bapak dan ibu-ibu Korban 65 yang lain  dengan seksama mendengarkan dan mengikuti kish-kisah yang diceritakan oleh para korban.
 
Gambar 8
 
Seorang Korban 65 dari Painan menceritakan  pengalaman pembunuhan massal di daerah Pesisir Selatan, Painan, Sumatera Barat. Ada yang dikubur hidup-hidup, ada yang dibakar,  nyaris di sepanjang Pesisir Selatan Painan banyak ditemukan lokasi Kuburan massal. Ada kisah seorang anak perempuan, anak anggota fungsionaris PKI yang diperkosa  oleh militer  kemudian dibunuhnya. Catatan hasil penelitian di Painan ada di kantor YPKP 65 Sumatera barat.
 
Gambar 9
 
Bu Saimaan mengisahkan pengalamannya ketika  dikejar militer dan masuk hutan.
 
Gambar 10
 
Minggu  25 September 2011 jam 07 berjalan pagi ke Alun-alun  Jam Gadang  di pusat kota Bukittinggi. Nampak membelakangi kamera bapak Saunar Ahmad, Bedjo Untung dan Eddi Sugiyanto. Heru Suprapto tidak tampak dalam gambar.
 
Gambar 11
 
Relawan YPKP 65 sudah mulai berdatangan pada  hari Minggu 25 September 2011 dan acara Temu Korban 65 se wilayah Sumatera Barat segera dimulai. Tampak dalam gambar Bapak  Anistar seorang Guru Silat yang pernah dikirim ke Viet Nam dan Tiongkok dalam rangka persahabatan Indonesia Vietnam dan Indonesia Tiongkok oleh Bung  Karno Presiden RI yang pertama.. Bapak Anistar sedang berbincang dengan Bedjo Untung. Karena kegiatannya itu, Bapak Anistar ditangkap, dijebloskan ke tahanan  selama  bertahun-tahun oleh rejim militer Orde Baru Suharto dengan alasan dan tuduhan  yang tidak masuk akal dan aneh: “ Kamu simpan senjata dari China, ya”?
 
 
Gambar 12
 
Acara pun dimulai  tepat jam 10.00 dengan ucapan  selamat datang  oleh Ibu Hajah Azimar  sebagai Pembawa Acara , diteruskan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran oleh  Bu Manismar dan Bu Jamiaan.
 
Gambar 13
 
Bu Manismar (74 tahun) mantan anggota Gerwani Kota Bukittinggi (gambar sebelah kiri), pernah ikut menentang terbentuknya Dewan Banteng yang ingin memisahkan diri dari Negara kesatuan RI. Karena keberaniannya itulah beliau ditangkap oleh tentara-tentara pendukung Dewan Banteng/ PRRI. Kini ibu Manismar sedang membacakan ayat-ayat suci al Quran. Bu Manismar aktif sebagi motor penggerak YPKP 65 di Sumatera Barat bersama Ibu Nadiani dan kawan-kawan untuk melakukan penelitian dan perjuangan menuntut keadilan, penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Gambar sebelah kanannya ialah Ibu Jamiaan yang pernah tersesat di dalam gua Harimau di hutan Sumatera Barat.
 
Gambar 14
 
Oki Muaz (25 th ) putra Bapak Abdul Muaz  dari Pesisir Selatan, Painan  memberi  kata sambutan dalam acara pertemuan di Minggu pagi itu dalam kapasitas sebagai Ketua Pelaksana Pertemuan. Ia termasuk salah satu anggota pengurus YPKP 65 wilayah Sumatera Barat. Ia bertekad ingin terus melanjutkan perjuangan cita-cita  para bapak-bapak  dan ibu-ibu Korban 65, para perintis kemerdekaan, yaitu perjuangan untuk pembebasan rakyat dari penindasan manusia oleh manusia, penindasan bangsa oleh bangsa lain.
 
 
Gambar 15
 
Ibu Nadiani (69 tahun ) Ketua YPKP 65 Sumatera Barat memberikan laporan kerja, pengalaman menemui korban 65 yang tempatnya jauh terpencar-pencar, terkadang mendaki  bukit dan menuruni lurah. Ini ia lakukan bersama relawan YPKP 65 yang lain dengan bermodalkan semangat kemandirian, karena yakin perjuangan YPKP 65 adalah benar  yaitu untuk kemanusiaan, keadilan dan kebenaran dalam pengabdian untuk rakyat yang termarginalkan.
 Ia pernah menjadi anggota Palang Merah Indonesia  untuk membantu korban perang kemerdekaan, khususnya ketika operasi pembasmian pemberontak PRRI di Sumatera Barat. Pada tahun 1965 ia bekerja sebagai tenaga pengajar dan berstatus sebagai pegawai negeri. Namun, karena ia dituduh sebagai aktivis Gerwani ,maka ia ditahan. Kini ia tidak memperoleh hak-hak pensiun yang semestinya ia peroleh.
.
 
 
 
 
Gambar 16
 
Seorang Relawan YPKP 65 Pesisir Selatan, Bapak Ilyas Rajo Lelo (71 tahun). Ia aktif mencari informasi keberadaan lokasi kuburan massal di daerah Pesisir Selatan, menemui penduduk kampung setempat dan mencatat apa yang diceritakan para saksi, kemudian mengecek dengan sumber berita yang lain, dan akhirnya menemukan lokasi kuburan massal yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan di sepanjang pantai. Pak Ilyas pernah ditahan pada 1965/1966, dipekerjakan secara paksa Ia adalah mantan tentara Angkatan Darat yang loyal terhadap Prsiden Sukarno, pernah aktif membasmi gerombolan separatis PRRI/Permesta. Kini ia hidup mandiri dengan membuka warung kecil di pasar Pesisir Selatan  dengan berjualan obat-obatan tradisional, jahe, kencur, lempuyang, kunyit, dll.
 
 
Gambar 17
 
Pak Samin Ketua YPKP 65 Pakan Baru, Riau sedang menyampaikan kata smbutannya  berkenaan kunjungan kerja YPKP 65 pusat ke Bukittinggi untuk tugas-tugas penelitian, sosialisasi dan berbagi informasi tentang apa yang telah dilakukan oleh YPKP 65 pusat. Untuk Korban 65 di Riau umumnya sudah lanjut usia, sakit-sakitan dan mengalami trauma berat sehingga sulit untuk diajak berjuang kembali untuk merebut hak-hak yang selama ini terampas secara tidak sah oleh Negara.
 
 
Gambar 18
 
Bapak Mora Harahap ( 70 tahun ) seorang Kawan dari  Rao, Pasaman Timur,Sumatera Barat  mengisahkan bahwa  seluruh orang di desanya yang kebanyakan adalah pengikut Bung Karno dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dibunuh sampai ke anak, cucu dan istrinya. Orang-orang  yang selamat ialah  karena  lari   ke hutan atau ke luar daerah yang dianggap aman. Saudara atau pun kerabat tidak bisa beri perlindungan, karena kalau ini ketahuan oleh aparat,  mereka juga akan ditangkap atau pun dibunuh oleh militer.
 
Gambar 19
Fitrah (24 tahun ) seorang anak muda dari Riau juga tidak ketinggalan, bersemangat untuk mmbantu kerja-kerja YPKP 65: adakan penelitian, pendokumentasian korban, menandai kuburan massal,  mencatat tempat-tempat penyiksaan yang dilakukan aparat militer terhadap para tahanan yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia, juga  bersama korban pelanggaran HAM lainnya ikut berjuang untuk memperoleh pemulihan haknya.
 
Gambar 20
 
Bedjo Untung Ketua YPKP 65 pusat  dari Jakarta memaparkan  strategi dan program perjuangan YPKP 65  ke depan menghadapai tantangan berat; Para Korban 65 sudah  lanjut usia, banyak yang sudah meninggal dunia, hidup dari keterbatasan ekonomi, tidak miliki akses  ekonomi, politik, hidup penuh diskriminasi. Karena itu menyerukan kepada kawan-kawan Korban 65 yang tersisa  untuk melakukan  regenerasi.Di bidang penelitian agar terus dilanjutkan, kepada setiap kawan kiranya perlu menuliskan memoir peristiwa Tragedi 1965 agar dapat dijadikan pelajaran bagi generasi mendatang.Penguasa orde baru masih terus lakukan pembodohan dan pemalsuan sejarah. Tugas kita untuk melakukan penulisan kembali sejarah yang digelapkan. Para mantan Tahanan Politik 1965 tidak bersalah. Komnas HAM telah mengisyaratkan hasil investigasinya yang akan diumumkan akhir desember 2011  bahwa Tragedi Kemanusiaan Peristiwa 1965/66 adalah kejahatan kemanusiaan, di mana Negara telah lakukan serangkaian pembiaran atas terjadinya pembunuhan massal 1965-1966.
 
Gambar 21
 
Sebelum pertemuan berakhir, terlebih dahulu diadakan tanya jawab  oleh para relawan YPKP 65 se Sumatera Barat  dan  dijawab oleh  delegasi dari pusat : Bung Eddi Sugiyanto, Heru Suprapto  dan Bedjo Untung. Pertemuan berakhir  pada pukul 15.00 dilanjutkan dengan foto bersama di halaman depan rumah Ibu Nadiani.
 
 
 
 
BERSAMBUNG
Mengunjungi Lokasi Pembunuhan  Massal di
Lubuak Basuang, Pesisir Selatan, Painan, Sumatra Barat

No comments:

Post a Comment