Wednesday 30 November 2011


KEBENARAN DAN KEADILAN DI GELAPKAN, SEDANG IMPUNITAS DILANGGENGKAN

Timbulnya “ Gerakan Tigapuluh September” (G30S) pada pagi hari 01 Oktober 1965 dan peristiwa-peristiwa  politik pasca dihancurkannya gerakan tersebut, mengakibatkan perubahan drastis  tata kehidupan negara dan bangsa Indonesia – Indonesia praktis di bawah kekuasaan militer jenderal Suharto.  Dengan tujuan memuluskan jalan kudeta terhadap pemerintah Soekarno, rejim militer melakukan pembantaian dan penahanan massal tanpa proses hukum terhadap orang-orang yang dianggap lawan politiknya .  Inilah kejahatan kemanusian yang maha dahsyat  yang  hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler dalam Perang Dunia II. Meski sudah 46 tahun berlalu kasus kurang lebih 3 juta orang korban kejahatan kemanusiaan  tersebut  sampai detik ini tidak mendapatkan keadilan sesuai hukum yang berlaku. Padahal Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).

Penguasa Negara dengan segala cara memutar-balikkan fakta sejarah seakan-akan pada tahun 1965-66 tidak pernah terjadi kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat. Demikianlah  kebenaran dan keadilan digelapkan, sedang  impunitas dilanggengkan.  Percuma dicantumkan norma-norma hukum HAM dalam perundang-undangan Negara Indonesia kalau hanya untuk pajangan saja. Percuma dibentuk UU Peradilan HAM, Pengadilan HAM dan KOMNAS HAM kalau sampai sekarang  tidak bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (terutama yang berkaitan  peristiwa 1965-66). Dan sangat disesalkan justru institusi-institusi  penegak hukum  malah menjadi sarang mafia-hukum?

Juga sangat memalukan bahwa Penyelenggara Negara Indonesia sedikitpun tidak mempunyai kepedulian terhadap para korban kejahatan kemanusiaan (pembantaian massal) yang dilakukan oleh tentara Belanda pada tahun 1947 atas 431 orang penduduk  di Rawagede. Tetapi pada tanggal  14 September 2011 Pengadilan Den Haag (Belanda) yang mengadili Kasus Rawagede atas gugatan para janda korban telah menjatuhkan putusan yang memenangkan para janda korban. Putusan Pengadilan di Den Haag tersebut  membuktikan bahwa institusi yudikatif  Negeri Belanda telah menjalankan tugasnya dengan baik, artinya tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang tidak respek kepada Republik Indonesia dan tidak rela dirinya dinamakan aggressor berhubung  keterlibatannya dalam  agresi terhadap negara  muda Indonesia  pada tahun 1945-1949  yang mengorbankan  ribuan rakyat.  Putusan Pengadilan Den Haag tersebut merupakan suatu tamparan muka bagi penegak hukum Indonesia yang sampai sekarang tidak juga mau menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu terhadap warganegara Indonesia sendiri, bangsanya sendiri.

Semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (kasus 1965-66) dan  juga Kasus Rawagede ternyata  bukan masalah gede bagi penyelenggara Negara Indonesia. Dari penyelenggra Negara belum ada yang berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Mata hatinya masih tertutup dengan kenikmatan hasil penghambaan pada neoliberalisme-neokolonialisme, meskipun mengorbankan rakyat banyak. Mereka masih asyik menginjak-injak Pasal 33 UUD 1945, sebab jiwa Orde Baru pada hakekatnya masih erat melekat sampai dewasa ini.

Pembunuhan,  penyiksaan, penahanan puluhan tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan penjara-penjara lainnya  yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap 3 juta rakyat Indonesia tanpa proses hukum  tidak boleh tidak adalah Kejahatan Kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat -  tidak pandang apapun agama, ideologi, pandangan politik, suku, etnis  para korban.  Kejahatan Kemanusiaan tersebut, seperti halnya kejahatan rejim NAZI Hitler, adalah kejahatan yang  tidak berampun,  harus dituntaskan demi penegakan kebenaran dan keadilan. Para penjahat NAZI Hitler di mana pun bersembunyi dikejar terus, ditangkap kemudian dihadapkan di depan pengadilan.  Di Argentina  para jenderal yang tersangkut dalam tindak kejahatan kemanusiaan  30 tahun yang lalu telah dan sedang antri  untuk diadili. Tidak seperti halnya di Indonesia, penjahatnya sudah jelas, bukti kejahatannya di depan mata, tapi mereka dibiarkan saja leha-leha menikmatkan surga kehidupan dunia di atas kesengsaraan jutaan rakyat tak berdosa. Jadi, hukum  tidak berjalan secara semestinya di Indonesia, sebagai Negara Hukum.

Kapan pun para korban berhak menuntut penuntasan kasus tersebut kepada institusi penegak hukum, sebaliknya penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan penuntasan kasus tersebut di atas. Kalau kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh penegak hukum, berarti mereka melalaikan tugasnya. Kalau pelalaian tugas terjadi secara umum  maka dapat dikatakan  penyelenggara Negara telah gagal melakukan tugasnya seperti yang tertera dalam UUD 1945. Inilah yang terjadi selama 46 tahun, sampai detik ini di Indonesia.

Menuntut keadilan adalah hak para korban pelanggaran HAM, maka demi menegakkan keadilan  perlu hak tersebut dilaksanakan dalam segala bentuknya. Jangan kita takut pada “hantu” yang diciptakan oleh berbagai pihak tertentu agar para korban tidak melakukan tuntutan, membiarkan penjahat selamat dari tanggung jawab hukum.

Masyarakat Indonesia korban pelanggaran HAM berat 1965-66 baik di tanah air maupun di luar negeri (a.l. yang tergabung dalam Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia, Lembaga Pembela Korban 1965, dan lain-lainnya) tetap menjunjung tinggi prinsip pemisahan 3 kekuasaan – legislative, eksekutif dan yudikatif . Tetapi dengan tidak tuntasnya (tidak dituntaskannya) kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang merupakan juga Kejahatan Kemanusiaan, meski sudah berlangsung  46 tahun, membuktikan bahwa di Indonesia prinsip tersebut  tidak berjalan. Maka rakyat Indonesia harus sadar dan bangkit untuk menyetop berlangsungnya terus rejim Neo-ORBA demi tegaknya kebenaran , keadilan,  demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia.

MD Kartaprawira

Nederland,  01 Oktober 2011
Sumber: Bullertin INFORMASI, Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Nederland

No comments:

Post a Comment