KEBENARAN DAN
KEADILAN DI GELAPKAN, SEDANG IMPUNITAS DILANGGENGKAN
Timbulnya “
Gerakan Tigapuluh September” (G30S) pada pagi hari 01 Oktober 1965 dan peristiwa-peristiwa politik pasca dihancurkannya gerakan
tersebut, mengakibatkan perubahan drastis
tata kehidupan negara dan bangsa Indonesia – Indonesia praktis di bawah
kekuasaan militer jenderal Suharto.
Dengan tujuan memuluskan jalan kudeta terhadap pemerintah Soekarno,
rejim militer melakukan pembantaian dan penahanan massal tanpa proses hukum terhadap
orang-orang yang dianggap lawan politiknya . Inilah kejahatan kemanusian yang maha dahsyat yang hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi
Hitler dalam Perang Dunia II. Meski sudah 46 tahun berlalu kasus kurang lebih 3
juta orang korban kejahatan kemanusiaan
tersebut sampai detik ini tidak
mendapatkan keadilan sesuai hukum yang berlaku. Padahal Indonesia adalah Negara
Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).
Penguasa Negara dengan
segala cara memutar-balikkan fakta sejarah seakan-akan pada tahun 1965-66 tidak
pernah terjadi kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat. Demikianlah kebenaran dan keadilan digelapkan, sedang impunitas dilanggengkan. Percuma dicantumkan norma-norma hukum HAM
dalam perundang-undangan Negara Indonesia kalau hanya untuk pajangan saja. Percuma
dibentuk UU Peradilan HAM, Pengadilan HAM dan KOMNAS HAM kalau sampai
sekarang tidak bisa menuntaskan
kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (terutama yang berkaitan peristiwa 1965-66). Dan sangat disesalkan
justru institusi-institusi penegak hukum malah menjadi sarang mafia-hukum?
Juga sangat memalukan
bahwa Penyelenggara Negara Indonesia sedikitpun tidak mempunyai kepedulian terhadap
para korban kejahatan kemanusiaan (pembantaian massal) yang dilakukan oleh tentara
Belanda pada tahun 1947 atas 431 orang penduduk
di Rawagede. Tetapi pada tanggal 14
September 2011 Pengadilan Den Haag (Belanda) yang mengadili Kasus Rawagede atas
gugatan para janda korban telah menjatuhkan putusan yang memenangkan para janda
korban. Putusan Pengadilan di Den Haag tersebut
membuktikan bahwa institusi yudikatif
Negeri Belanda telah menjalankan tugasnya dengan baik, artinya tidak
terpengaruh oleh pihak-pihak yang tidak respek kepada Republik Indonesia dan
tidak rela dirinya dinamakan aggressor berhubung keterlibatannya dalam agresi terhadap negara muda Indonesia pada tahun 1945-1949 yang mengorbankan ribuan rakyat. Putusan Pengadilan Den Haag tersebut merupakan
suatu tamparan muka bagi penegak hukum Indonesia yang sampai sekarang tidak
juga mau menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu terhadap warganegara
Indonesia sendiri, bangsanya sendiri.
Semua kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu (kasus 1965-66) dan juga Kasus Rawagede ternyata bukan masalah gede bagi penyelenggara Negara
Indonesia. Dari penyelenggra Negara belum ada yang berani mengatakan yang benar
adalah benar dan yang salah adalah salah. Mata hatinya masih tertutup dengan
kenikmatan hasil penghambaan pada neoliberalisme-neokolonialisme, meskipun
mengorbankan rakyat banyak. Mereka masih asyik menginjak-injak Pasal 33 UUD
1945, sebab jiwa Orde Baru pada hakekatnya masih erat melekat sampai dewasa
ini.
Pembunuhan, penyiksaan, penahanan puluhan tahun di pulau
Buru, Nusakambangan dan penjara-penjara lainnya
yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap 3 juta rakyat Indonesia tanpa
proses hukum tidak boleh tidak adalah
Kejahatan Kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat - tidak pandang apapun agama, ideologi, pandangan politik,
suku, etnis para korban. Kejahatan Kemanusiaan tersebut,
seperti halnya kejahatan rejim NAZI Hitler, adalah kejahatan yang tidak berampun, harus dituntaskan demi penegakan kebenaran
dan keadilan. Para penjahat NAZI Hitler di mana pun bersembunyi dikejar terus,
ditangkap kemudian dihadapkan di depan pengadilan. Di Argentina
para jenderal yang tersangkut dalam tindak kejahatan kemanusiaan 30 tahun yang lalu telah dan sedang
antri untuk diadili. Tidak seperti halnya
di Indonesia, penjahatnya sudah jelas, bukti kejahatannya di depan mata, tapi
mereka dibiarkan saja leha-leha menikmatkan surga kehidupan dunia di atas
kesengsaraan jutaan rakyat tak berdosa. Jadi, hukum tidak berjalan secara semestinya di
Indonesia, sebagai Negara Hukum.
Kapan pun para korban berhak
menuntut penuntasan kasus tersebut kepada institusi penegak hukum, sebaliknya
penegak hukum berkewajiban untuk
melaksanakan penuntasan kasus tersebut di atas. Kalau kewajiban tersebut tidak dilaksanakan
oleh penegak hukum, berarti mereka melalaikan tugasnya. Kalau pelalaian tugas terjadi
secara umum maka dapat dikatakan penyelenggara Negara telah gagal melakukan
tugasnya seperti yang tertera dalam UUD 1945. Inilah yang terjadi selama 46
tahun, sampai detik ini di Indonesia.
Menuntut keadilan adalah hak para korban pelanggaran HAM,
maka demi menegakkan keadilan perlu hak
tersebut dilaksanakan dalam segala bentuknya. Jangan kita takut pada “hantu”
yang diciptakan oleh berbagai pihak tertentu agar para korban tidak melakukan
tuntutan, membiarkan penjahat selamat dari tanggung jawab hukum.
Masyarakat Indonesia korban pelanggaran HAM berat 1965-66
baik di tanah air maupun di luar negeri (a.l. yang tergabung dalam Perhimpunan
Persaudaraan Indonesia, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia, Lembaga Pembela
Korban 1965, dan lain-lainnya) tetap menjunjung tinggi prinsip pemisahan 3
kekuasaan – legislative, eksekutif dan yudikatif . Tetapi dengan tidak
tuntasnya (tidak dituntaskannya) kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang
merupakan juga Kejahatan Kemanusiaan, meski sudah berlangsung 46 tahun, membuktikan bahwa di Indonesia
prinsip tersebut tidak berjalan. Maka
rakyat Indonesia harus sadar dan bangkit untuk menyetop berlangsungnya terus
rejim Neo-ORBA demi tegaknya kebenaran , keadilan, demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia.
MD Kartaprawira
Nederland, 01 Oktober
2011
Sumber: Bullertin INFORMASI, Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Nederland
No comments:
Post a Comment