Wednesday 2 November 2011


Kunjungan Presiden SBY, Munir dan HAM di Eropa
Oleh : Berthy B Rahawarin | 31-Okt-2011, 14:41:27 WIB
KabarIndonesia - Kungjungan Presiden SBY ke Perancis pagi ini dalam rangka menghadiri pertemuan UNESCO di Paris dan KTT G20 di Canners hingga 4 November mendatang, boleh disinggung manfaatnya. Sebenarnya, secara diplomatis ataupun kadang terang, isu Hak Azasi Manusia (HAM) belum sepenuhnya lepas dari hubungan bilateral-multilateral.

Seberapa besar harapan pemantapan hubungan Indonesia-Perancis, atau Negara Eropa lain dalam kunjungan Presiden SBY? Isu HAM di Eropa telah menjadi syarat mutlak, conditio sine qua non untuk semua jenis aktivitasnya. Negara-negara yang pernah menjadi penjajah hampir di seantero dunia itu, malah menyadari kebobrokan leluhur mereka, dan tindak ingin meninggalkan stigma sebagai bangsa penjajah terus menerus kepada anak-cucunya.

Isu-isu korupsi yang juga secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan HAM, seperti pelemahan KPK dan Rekayasa kasus Antasari, bukan lagi masalah internal Indonesia, karena terlanjur menjadi isu-isu internasional.

Mengantisipasi kunjungan Presiden SBY untuk beberapa hari di Eropa, sebenarnya terlalu dini untuk mengatakan tidak banyak manfaat, kalau tidak mengatakan mubazir. Karena, pelbagai laporan pelanggaran HAM di dalam negeri di bawah pemerintahan Presiden SBY telah menjadikan rekam jejak Presiden untuk penanganan HAM dinilai berarapor merah.   


Kasus kematian Munir Said Thalib adalah salah satu isu terpenting catatan Eropa terhadap penanganannya. Munir yang dikenal gigih membela mereka yang dikriminalkan dalam wilayah konflik seperti Aceh, Papua, Maluku dan Sulawesi, telah mendapat perhatian serius Masyarakat Eropa. Tuntutan untuk mengusut tuntas kematian Munir masih menjadi isu HAM penting di Eropa.   

Kasus pelanggaran HAM terakhir yang dikritisi Masyarakat Eropa adalah penyerangan jema'ah Ahamadiyah di Cikeseuk. Adanya rekayasa dengan memobilisasi massa bayaran yang melakukan kekerasan hingga tewasnya beberapa jemaah Ahmadiyah, tidak diterima common sense masyarakat sekuler Eropa. Mereka menegaskan tidak mencampuri doktrin internal kelompok keyakinan, tetapi menolak pelanggaran HAM sebagai manusia. Rekayasa yang diduga dibangun setelah kritik pedas Tokoh Lintas Agama terhadap pembohongan publik oleh Pemerintahan SBY, termasuk klaim penegakkan HAM di Indonesia, semuanya mempersulit posisi Pemerintahan Jakarta di mata dunia.   

Bahwa, pengalihan isu yang satu dengan kekerasan demi kekerasan, telah menempatkan posisi Presiden SBY makin dalam posisi amat sulit. Kasus eksekusi Tibo Cs, Tragedi Ahmadiyah Cikeusik, berlanjut pengrusakan rumah ibadah Katolik di Jawa Tengah, bom di Polresta Cirebon, bom gereja Solo, dan sederet isu HAM lainnya, masih menjadi pertanyaan masyarakat Eropa. Dugaan pemboncengan isu Terorisme dan pengkriminalan kelompok aliran fundamental (yang wajar ada) dalam di tengah kelompok mayoritas Muslim Indonesia yang toleran, menjadi perlu klarifikasi oleh Pemerintah.

Bahwa pemboncengan isu Terorisme, seperti pemboncengan isu Komunisme di masa Soeharto, telah dan sedang menjadi tanda tanya masyarakat dunia. Laporan kekerasan HAM di Papua masih terlalu dini, tetapi adanya dugaan pelanggaran HAM, baik yang terjadi spontan atau terutama yang direkayasa, menjadikan Pemerintahan SBY tidak mudah memberi penjelasan yang dapat diterima. Diplomasi Indonesia yang menjadikan politik luar negeri bebas aktif akan terjerat ketidak-mampuan menegakkan tuntutan HAM. Diplomasi bebas-aktif hanya bisa berarti apabila Indonesia memiliki posisi tawar yang baik, termasuk dalam mengamankan isu HAM. Itu konsekuensi logis konstitusi UUD 1945.   

Kunjungan Presiden SBY ke Perancis dan beberapa negara lain di Eropa, tidak akan banyak dipublikasikan terutama perihal tuntutan HAM masyarakat Eropa terhadap penuntasan Kasus Munir, hingga tewasnya kaum Sipil di Papua. Kalaupun ada perjanjian kerja sama Jakarta dan Eropa, sejumlah syarat penegakkan HAM terpaksa harus disertakan.
Diplomasi ekonomi dan HAM di negara berkembang berjalan setara. Jika masyarakat UNESCO dan Negara KTT G20 menjadikan isu HAM sebagai syarat mutlak diplomasi dan setiap bentuk kerja-sama hingga saling pemahaman yang lebih baik saja sekalipun, perjalanan Presiden SBY hanya akan menghasilkan pernyataan politis nan hampa.

gambar: unduh Google


Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com/
 

No comments:

Post a Comment