Sisi Kelam
Sejarah II
Orde Baru Tutupi Skandal Purwodadi Selasa, 22 November 2011 - 19:31:14 WIB
Dua bulan menjadi kontroversi di media massa, kasus
pembunuhan massal di Purwodadi lenyap begitu saja.
|
SEJAK diungkapnya kasus Purwodadi oleh Poncke Princen,
muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Menurut Poncke, jumlah korban
pembantaian mencapai dua ribu orang yang tersebar di beberapa daerah di
wilayah Grobogan. Bahkan menurutnya dalam satu malam pernah terjadi
pembunuhan terhadap 850 orang sekaligus. Banyak pihak yang meragukan
keterangan Poncke, namun tak sedikit pula yang berada di pihaknya.
Sebagian aktvis di luar negeri, khususnya di Belanda,
mengutuk keras aksi kejahatan itu. Prof. Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia
Tenggara, kolega Wertheim dalam wawancara pada Maret 2007 lampau di
kediamannya di Heideweg No 5, Soest, Belanda mengatakan keterlibatannya dalam
gerakan menentang Orde Baru berangkat dari solidaritasnya kepada rakyat
Indonesia yang ditindas oleh Suharto. “Saya mendengar berita tentang
pembunuhan massal itu dan saya menentang Suharto yang menginjak-injak
kemanusiaan,” kata dia.
Berbeda dengan Jan Pluvier, Wertheim dan para
Indonesianis lain yang umumnya mengecam rezim Orde Baru, Presiden World
Veteran Federation (WVF) W. Ch. J.M. van Lanschot justru memperlihatkan sikap
mendukung Orde Baru. Ia datang ke Indonesia disertai dua orang redaktur
majalah Elsevier, Martin W. Duyzings dan Drs. A. Hoogendijk. Dalam
kunjungannya itu, mereka menemui Menteri Penerangan Budiardjo. Mereka sepakat
bahwa tidak ada gunanya membesar-besarkan kasus Purwodadi.
Dunia Barat, pascapergolakan politik 1965 dan transisi
kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, semakin gencar mendekati Indonesia.
Ekonomi yang porak-poranda akibat situasi politik dalam negeri yang tidak
stabil selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno menjadi alasan utama
bagi pemerintah Soeharto untuk mengundang investasi luar negeri ke Indonesia.
Undang-undang Penanaman Modal
Asing No. 1/1967 diberlakukan untuk melempangkan jalan masuk modal asing. Tim
ekonomi yang dipimpin oleh Menko Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono IX gencar
melakukan lobi ke luar negeri.
Sebuah
iklan di koran The New York Times edisi 17 Januari 1969, sebulan
sebelum terungkapnya peristiwa Purwodadi, berbunyi: “5 Years From Now You
Could Be Sorry You Didn’t Read This Ad”. Iklan yang ditandatangani oleh
Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut mempromosikan Indonesia sebagai negeri
yang terbuka terhadap investasi sekaligus menjamin investor Amerika Serikat
untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Untuk membuat investasi di negeri
kami semakin bergairah, kami telah meloloskan sebuah undang-undang penanaman
modal asing yang menawarkan beberapa insentif seperti pembebasan pajak
perusahaan dan pajak atas deviden selama lima tahun,” demikian kata iklan
itu. Salah satu perusahaan Amerika Serikat yang memanfaatkan Undang-Undang
tersebut adalah Freeport yang beroperasi sejak 1967 di Papua.
Peristiwa
Purwodadi menjadi batu sandungan pertama di kala pemerintah Soeharto
berbenah, merias wajah Indonesia yang baru dan bebas dari komunisme. Berbagai
cara dilakukan untuk meredam eskalasi berita pembantaian massal di Purwodadi.
Tak lama setelah terungkapnya pembunuhan massal di Purwodadi, penguasa
militer di Jawa Tengah bersikap reaktif dengan mengawasi setiap pendatang ke
ibukota Kabupaten Grobogan itu. Setiap orang luar yang hendak memasuki kota harus
mendapat izin dari tentara. Mengenai hal ini, Harian Sinar Harapan,
edisi 9 Maret 1969 melaporkan: Ketika memasuki daerah itu para wartawan
diwajibkan terlebih dahulu melapor ke Penerangan Kodam VII/ Diponegoro. Sesudah itu harus pula minta ijin pada Asisten I dan
diberikan surat. Kemudian baru melaporkan diri pada Komandan Kodim setempat.
Ketika para wartawan tersebut memasuki kota Purwodadi, kelihatannya
masyarakat Purwodadi nampak suasana ketakutan.
Meningkatnya
pengawasan membuat situasi kota Purwodadi makin mencekam. Masyarakat tak
leluasa menjalankan aktivitasnya, lebih-lebih pada malam hari. Mereka
khawatir dituduh tentara sebagai anggota Gerilya Politik (Gerpol) PKI atau
“PKI Malam”.
Panglima
Kodam (Pangdam) VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono membantah terjadinya
pembantaian massal dalam kasus Purwodadi. Dia mengatakan berita tersebut
tidak benar. Dia curiga kabar tersebut menjadi bagian perang urat syaraf yang
dilancarkan oleh “PKI Malam”. Dia malah balik menuding bahwa semua tuduhan
itu semata-mata ditujukan untuk mengganggu stabilitas keamanan yang sedang
dibangun oleh pemerintah Orde Baru.
Sementara
itu Gubernur Jawa Tengah Munadi langsung mengundang seluruh wartawan baik
luar maupun dalam negeri untuk hadir dalam konferensi pers yang digelar pada
4 Maret 1969 di Restoran Geliga, Jakarta. Pada pertemuan itu, dia membantah
temuan Princen, bahkan menuduh Princen sebagai komunis (Kompas, 5
Maret 1969 dan Indonesia Raya, 6 Maret 1969). Dalam keterangan persnya
Munadi mengatakan,“yang dipersoalkan sekarang adalah tahun 1968. karena tahun
1965 tidak terkontrol. Saya minta supaya dibatasi pada tahun 1968 saja. Kalau
orang itu ditembak berjejer itu tidak mungkin.Tapi kalau dalam operasi
ada orang yang ditangkap, tapi kemudian coba-coba lari dan diberi peringatan
tapi tidak mengindahkan, mungkin saja ditembak.” (Kompas, 5 Maret
1969).
Bantahan
Munadi didukung oleh Frank Palmos dari Melbourne Herald dan Judy
Williams dari New York Times yang mengatakan tidak ditemukan adanya
tanda-tanda telah terjadi pembunuhan massal di daerah Kuwu-Purwodadi dan
daerah sekitarnya. Munculnya berita yang memperkuat pernyataan Munadi,
membuat Princen kian tersudut dan semakin santer diberitakan bahwa dia
seorang komunis.
Merasa
dirugikan oleh Munadi, Poncke menggugatnya ke Kejaksaan Agung dan
mendaftarkan kasusnya sebagai pencemaran nama baik. Kepada wartawan Poncke
mengatakan bahwa dia rela dituduh komunis, asalkan dapat membantu orang-orang
tak berdosa. Akhirnya Poncke ditahan dan interogasi oleh Kopkamtib dengan tuduhan
terlibat dalam gerakan komunis. Kepadanya ditanyakan tentang hubungannya dengan kaum
komunis, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia. Menjawab pertanyaan
wartawan seusai interogasi, ia mengatakan, “Saya hanya mengkonstatir adanya
suatu penyelewengan yang perlu ditindak. Hal ini segera saya telah sampaikan
kepada Presiden Soeharto sekembalinya dari Jawa Tengah sebagai seorang
patriot. Kami bukanlah seorang sentimentalis naif, tapi sebenarnya justru
dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan bergelombang di Purwodadi telah lebih
menguntungkan kaum komunis”. (Sinar Harapan, 7 Maret 1969)
Poncke juga mengatakan bahwa dia sangat jengkel pada
orang-orang yang menuduhnya komunis. Mereka seolah lupa bahwa di “zaman
Nasakom” mereka itulah yang justru paling getol bekerjasama dengan komunis.
Tidak jelas siapa yang dimaksudkan Poncke dengan “orang-orang” yang
menuduhnya sebagai komunis, mengingat hanya ada satu orang yang menyebut
dirinya sebagai komunis, yakni Gubernur Jawa Tengah Munadi.
Sementara itu beberapa tokoh yang memiliki kedekatan
secara pribadi dengan Poncke berusaha membelanya dengan menjelaskan siapa
Poncke sebenarnya. Wartawan Belanda Henk Kolb meyakini bahwa pembunuhan
massal di Purwodadi itu memang benar, dan dia yakin keterangan Poncke tidak
memuat kepentingan apa pun selain demi kemanusiaan. Dia juga menjelaskan
bahwa berita yang dimuat di korannya di Belanda bukanlah rekayasa. Selain
Henk Kolb, Mayor Jenderal Kemal Idris, Panglima Komando Antar Daerah
Indonesia Timur yang juga bekas atasan Princen, juga memberikan pembelaan
dengan mengatakan bahwa Princen bukan komunis seperti yang dituduhkan Munadi
(Indonesia Raya, 8 Maret 1969).
Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal M.
Panggabean, seusai Rapat Komando Angkatan Darat pada 7 Maret 1969 mengatakan
persoalan Purwodadi bisa diselesaikan “tanpa perlu rame-rame.” Dia
juga menolak dengan tegas jika ada yang mengatakan kalau Angkatan Darat
tukang bunuh orang. Jika memang ada jatuh korban, itu konsekuensi dari
operasi militer yang sedang dilakukan oleh Kodam VII/Diponegoro (Sinar
Harapan, 9 Maret 1969). Selanjutnya Panggabean menyatakan bahwa Kopkamtib
sedang menyusun sebuah tim untuk menyelidiki kasus Purwodadi.
Sehubungan dengan rencana kunjungan Soeharto ke luar
negeri pada medio 1969 dan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan
selama kunjungannya maka dia meminta Menteri Penerangan Budiardjo meninjau
langsung ke Purwodadi. Soeharto mulai terusik dengan adanya berita-berita
pembunuhan massal itu. Seperti laporan sebelumnya, Budiardjo pun melaporkan
tidak ada bukti pembunuhan massal di Purwodadi.
Di tengah kesimpang-siuran berita yang tak menentu,
para wartawan mendesak agar diizinkan melihat langsung kondisi di Purwodadi.
Desakan itu ditanggapi Pangdam VII/ Diponegoro, Mayjen. Surono dengan mengundang
beberapa wartawan, baik dari luar maupun dalam negeri, “Silahkan menceknya
sendiri” ujar Pangdam. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, beberapa
wartawan dari Jakarta dipaksa untuk pulang setelah sempat melakukan liputan.
Tidak seperti yang sering tersiar bahwa operasi
pembasmian komunis dilancarkan kepada mereka yang tak bertuhan, di Purwodadi
beberapa guru Katolik kena getahnya. Kalangan umat Katolik Jawa Tengah yang
dipimpin oleh Brigjen. dr. Soerojo berupaya keras untuk menyelamatkan tujuh
guru agama Katolik yang ditahan dalam penggerebekan di Pastoran Purwodadi,
mereka adalah Drs. Ngaini Imam Marsudi, Siswadi, B.A, Sutiono, B.A, Harnold,
B.A, Djaswadi, Sumarta, Sri Mulyono, Pardan, Imam Sutikno, Rusdiono, Bambang
Dasdiun, Bakri, dan Limaran (tewas). Soerojo
mengirim sebuah dokumen penting kepada Presiden Soeharto yang dititipkan
melalui wartawan New York Times, Judy Williams. Namun tidak diketahui
apa isi dokumen itu.
|
BERJUANG MENEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN BAGI KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965 DAN LAIN-LAINNYA. (STRUGGLE TO UPHOLD THE TRUTH AND JUSTICE FOR THE VICTIMS OF HUMAN RIGHTS VIOLATION IN 1965 AND OTHERS). http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com (sementara) E-mail: lbgpk.enamlima@gmail.com
Wednesday 30 November 2011
ORDE BARU TUTUPI SKANDAL PURWODADI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment