TIRAI PEMBISUAN SUDAH LAMA RUNTUH,
APA LANGKAH SELANJUTNYA?
(Sandingan tulisan Sara Schonhardt
“Veil of Silence lifted in Indonesia” di New York Time)
Oleh MD Kartaprawira*
Timbulnya tirai pembisuan dan suasana kebisuan
Seperti kita ketahui sejak
akhir tahun 1965 di Indonesia praktis kekuasaan berada di tangan jenderal
Suharto, meskipun secara “yuridis” Bung Karno baru dicopot kekuasaannya oleh
MPRS (dbp. Jenderal A.H. Nasution) pada tahun 1967. Demikianlah proses kudeta
merangkak Suharto mencapai titik puncak keberhasilannya. Penguasa baru yang
bernama Pemerintah Orde Baru tanpa ditunda-tunda melakukan kebijakan-kebijakan
yang fasistik dalam rangka memperkokoh dan mempertahankan kekuasaannya. Selain menginjak-injak
nilai dan sistem demokrasi secara total (kekuasaan legislative, eksekutif, dan lain-lainnya praktis ditangannya) rejim Orde
Baru juga melaksanakan “politik-gebug” tanpa ampun terhadap siapa saja yang
menentang, mengritik, dan mempunyai pendapat berbeda dengan garis politiknya. Tepatlah kaum patriot di
luar negeri menamakan penguasa Orde Baru tersebut rejim Diktatur Militer Fasis
(dikmilfas).
Maka akibatnya rasa takut yang mendalam dan mencengkam bersemarak di dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat terpaksa harus membisu demi keselamatan jiwa dan sumber kehidupannya,
terutama mereka yang dianggap komunis dan nasionalis-kiri pendukung
Soekarno. Mereka inilah yang pertama-tama
menjadi korban kefasisan rejim Suharto, sebagai korban pelanggaran HAM berat 1965-66
yang jumlahnya sekitar 3 juta orang, yang tanpa dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum
dibantai, dibuang ke Pulau Buru, Pulau Nusakambangan, dijebloskan ke
penjara-penjara dan lain-lainnya. Demikianlah tirai pembisuan diciptakan oleh
rejim Suharto telah mengakibatkan suasana kebisuan di Indonesia selama 32 tahun.
Rakyat Indonesia, khususnya para korban pelanggaran HAM, tentunya menyadari
sepenuhnya bahwa perjuangan untuk menegakkan demokrasi, kebenaran dan keadilan
tidak mungkin berhasil tanpa merobek-robek tirai pembisuan yang diciptakan oleh
rejim Orde Baru. Untuk tujuan tersebut tidak mungkin tanpa “buka mulut”
membeberkan fakta kebiadaban Orde Baru yang dialaminya. Dus, langkah-langkah demikian
adalah conditio sine qua non – syarat yang tidak boleh tidak – untuk meruntuhkan
tirai pembisuan dan bersamaan dengan itu pembeberan fakta kebiadaban Orde Baru
tersebut sangat diperlukan bagi pelurusan sejarah yang telah diplintir dan
dijungkir-balikkan oleh rejim Orba/Suharto. Sebab penguasa Orde Baru (dan para
penyelenggara negara di era „reformasi“ sampai sekarang ini) tidak punya niat
untuk dengan jujur mengakui adanya pelanggaran HAM berat atau Kejahatan kemanusiaan
1965-66. Apalagi mengakui kesalahannya, kemudian meminta maaf dan menuntaskan
kasus tersebut secara jujur, adil dan
manusiawi. Kesaksian para korban tersebut sangat dibutuhkan sebagai alat bukti dalam proses pengadilan demi kebenaran dan
keadilan.
Proses runtuhnya tirai pembisuan
Runtuhnya tirai pembisuan adalah produk proses perjuangan
panjang gerakan demokrasi rakyat Indonesia, yang dilancarkan oleh berbagai
macam unsur masyarakat, bukan monopoli suatu golongan tertentu saja. Tentu saja
yang sangat berkepentingan adalah para korban pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh rejim Suharto, terutama korban 1965. Ketika di tanah air situasi dan
kondisinya belum memungkinkan, usaha-usaha meruntuhkan tirai pembisuan tersebut
telah dilancarkan oleh mereka yang tinggal di luar negeri semenjak mula berdirinya
rejim dikmilfas Suharto-Nasution/ Orde Baru. Tentu saja mereka langsung dicap
oleh rejim dikmilfas sebagai sisa-sisa G30S di luar negeri yang mengadakan
gerilya politik ( lih.Soegiarso Soerojo “Siapa menabur angin akan menuai
badai”, Jakarta 1988, hal. 325).
Mereka di luar negeri mengadakan berbagai kegiatan untuk
mendapatkan solidaritas internasional dengan menyelenggarakan berbagai seminar/sarasehan,
menyebarkan bulletin-buletin perlawanan terhadap politik rejim Orde Baru ke
Eropa, Indonesia dan ke mana saja. Misalnya, kelompok Marhaenis dan Nasionalis
Pendukung Bung Karno di Moscow menerbitkan bulletin “Marhaen Menang” dan
“Indonesia Berjuang” (Edisi bhs Inggris “Indonesia Struggle”)**. Dalam buletin2
tersebut dibelejeti habis-habisan politik rejim Orde Baru. Tapi sayangnya setelah
14 tahun berkiprah kedua bulletin tersebut terpaksa berhenti (1981), sebab
penguasa setempat tidak menghendaki kelangsungan hidupnya, semenjak diberlakukannya politik perestroika di Uni Soviet. Di samping itu kelompok penentang rejim orba lainnya juga menerbitkan bulletin “Tekad Rakyat” dan “Bulletin
OPI” (Organisasi Pemuda Indonesia). Di Perancis juga terbit majalah “Kancah”. Oleh
mereka yang tinggal di luar negeri tirai pembisuan sejak semula sudah
dikoyak-koyak habis-habisan dengan menggunakan penerbitan bulletin/majalah
secara efektif.
Dengan perkembangan internet yang begitu pesat, maka keruntuhan
tirai pembisuan pun berlangsung lebih cepat lagi. Di luar negeri sarana
internet tersebut dimanfaatkan tanpa ada yang bisa menghalang-halangi. Lain
halnya di tanah air di masa rejim Orde Baru, masyarakat kurang berhasil memanfaatkan
keadaan tersebut berhubung rasa khawatir yang masih mencekam. Sedang media
cetak di dalam proses perjuangan demokratisasi sangat jauh tertinggal
peranannya dibandingkan dengan media internet, sebab kontrol pemerintah dengan
sanksi pembredelan sangat kuat.
Kita menyaksikan pada era kekuasaan Suharto di dunia
internet telah bertebaran milis-milis yang menjadi arena untuk berdiskusi dan
tukar informasi mengenai masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik aktual di
Indonesia (misalnya Milis Apakabar/Indonesia-l, CARI, Nasional dan
lain-lainnya). Di milis-milis tersebutlah borok-borok rejim Suharto
ditelanjangi tanpa ampun, sehingga praktis milis-milis menjadi mimbar
perjuangan demokratisasi di Indonesia. Tirai pembisuan yang dibangun Suharto
tidak lagi mampu membuat rakyat menjadi bisu, sebab mereka yang berdomisili di
tanah air pun bisa „buka mulut“ di milis-milis yang dikendalikan di luar negeri dengan berbagai cara dan jalan. Perlu
diacungi jempol peranan „Milis Indonesia-l“ (Milis Apakabar) yang dikelola oleh
John McDougall (Univ Ohio, USA), yang beranggotakan puluhan ribu orang intelektual.
Milis tersebut telah menyediakan dirinya sebagai arena diskusi dengan prinsip
“keterbukaan” mengenai masalah aktual Indonesia. Maka di situ bermunculan opini
kritis terhadap kebijakan rejim Suharto dan ide-ide maju tentang politik,
ekonomi dan budaya pasca jatuhnya rejim Suharto. Bahkan untuk menghindari adanya
tuduhan yang negatif, moderator John MacDougall tidak ikut serta dalam diskusi
atau menulis dalam milis tersebut - Moderator seratus persen netral.
Di samping itu tirai pembisuan tersebut juga ramai-ramai
dikoyak-koyak melalui berbagai cara: seminar, diskusi, sarasean, yang
diselenggarakan oleh organisasi-organisasi masyarakat Indonesia yang melakukan
oposisi terhadap rejim Orde Baru di luar negeri, baik secara rahasia (tertutup)
maupun secara terbuka. Kemudian semua
hasil kegiatan tersebut dipublikasikan
lewat internet pula, sehingga tersebar ke seluruh dunia dengan cepat. Di
Nederland kegiatan tersebut telah dirintis oleh organisasi Indonesia Legal
Reform Working Group. Dewasa ini satu-satunya organisasi HAM yang didirikan masyarakat
Indonesia di luar negeri secara resmi (terdaftar legal), yang mempunyai visi
dan missi membela korban pelanggaran HAM berat 1965 adalah Lembaga Pembela Korban
1965 (LPK65), Nederland.***
Keruntuhan total tirai pembisuan
Ketika datang era „reformasi“, setelah badai gerakan mahasiswa
mengakibatkan lengsernya Suharto dari singgasana „kekuasaan“, dapat dikatakan tirai pembisuan telah runtuh
sama sekali, sehingga suasana kebisuan dan suasana takut di“gebuk“ lenyap pula.
Maka masyarakat dapat memanfaatkan dan menikmatkan apa yang
dinamakan kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa rasa takut, sekalipun berwujud
kritik pedas terhadap penyelenggara negara. Kondisi inilah yang seyogyanya
dimanfaatkan semua rakyat Indonesia secara efektif, terutama para korban pelanggaran HAM berat
1965-66, untuk menegakkan kembali
demokrasi dan HAM yang telah diinjak-injak rejim Orde Baru.
Maka mulailah mereka – baik yang di tanah air, maupun yang di luar negeri
-- satu demi satu tampil di media massa
membeberkan pengalaman-pengalamannya di masa penindasan rejim Orde Baru dalam
surat kabar, radio, TV, internet, film, buku, seminar, forum diskusi
dan lain-lainnya. Mereka juga dengan senang hati memberikan wawancara-wawancara kepada para
peneliti Indonesia maupun asing.
Memang sebagian para
korban masih ada yang tidak memanfaatkan momentum tersebut. Tetapi hal itu
tidak perlu diganggu gugat. Sebab “buka mulut” itu bukan suatu kewajiban dan keharusan.
Setiap orang berhak menentukan bagi dirinya, mana yang terbaik untuk
melanjutkan jalan kehidupan
masing-masing, asal tidak merugikan masyarakat, bangsa dan Negara.
Bersamaan dengan itu banyak berdiri organisasi-organisasi yang berkaitan
dengan masalah pelanggaran HAM. Terutama organisasi-organisasi yang didirikan
oleh para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 di tanah air (a.l. Yayasan
Penelitian Korban Pembunuhan 1965/YPKP1965, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi
Korban Orde Baru/LPR KROB), sedang di luar negeri Indonesia Legal Reform
Working Group, Lembaga Pembela Korban 1965/LPK65. Organisasi-organisasi
tersebut mengadakan sarasehan, seminar, dan lain-lain kegiatan berkaitan
penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.
Apa langkah selanjutnya?
Sejatinya Negara Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban menuntaskan
semua kasus kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-66 sesuai hukum
positif di Indonesia (termasuk semua konvensi yang sudah diratifikasi). Maka
apabila penyelenggara negara lalai atau sengaja melalaikan kewajibannya, para
korban berhak menuntut agar kasus
tersebut dituntaskan. Sedang pembeberan pengalaman penderitaannya sebagai
korban pelanggaran HAM adalah penting sekali. Tapi hal tersebut baru salah satu
langkah awal dari proses perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, yang
harus ditindak lanjuti dengan langkah-langkah aktif lainnya. Salah satunya
adalah langkah yang berwujud tuntutan penuntasan kasus pelanggaran HAM
berat 1965 dalam pernyataan kegiatannya, yang ditujukan kepada siapa saja yang sedang memerintah di Indonesia. Maka sangat disesalkan
munculnya suara cengeng di waktu pergelaran
serius „Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965“ di Belanda tahun 2010, yang “mengritik”
dilancarkannya pernyataan yang berisi tuntutan kepada Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono agar menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang
telah berjalan 45 tahun tanpa kepedulian penegak hukum. Meskipun demikian,
Panitia Peringatan dengan teguh dan tegas pernyataan tersebut tetap dilancarkan,
tanpa takut dan khawatir bahwa nantinya tuntutan tersebut dimasukkan ke
keranjang sampah.
Justru yang harus dikhawatirkan ialah akan timbulnya pertanyaan, terutama
dari generasi mendatang: „Apa yang bapak-bapak dan ibu-ibu lakukan setelah menceritakan
penderitaan akibat dibuang ke pulau Buru, Nusakambangan, rumah-rumah tahanan
lainnya, ditelantarkan di luar
negeri karena dicabut paspornya, sehingga
terpisah dari keluarga dan tanah airnya?“, “Apakah setelah bapak-bapak dan
ibu-ibu membeberkan penderitaan di koran, TV, video, buku dan lain-lainnya masalah
kebenaran, keadilan, dan kasus pelanggaran HAM sudah selesai?” „Apakah
bapak-bapak dan ibu-ibu hanya menantikan „kebaikan“ hati penyelenggara negara
yang setelah reformasi berjalan selama
14 tahun tetap membisu dalam masalah pelanggaran HAM berat1965-66?
Sungguh sayang sekali
kalau masalah tragedi nasional 1965/tragedi kemanusiaan tersebut dianggap sudah selesai setelah menceritakan
penderitaan yang dialaminya. Justru seharusnya perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan lebih ditingkatkan baik kwantitas maupun kwalitasnya dengan aksi-aksi
nyata yang menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat tersebut kepada penyelenggaran negara
(Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan lain-lainnya). Dan jangan sekali-kali lengah,
silau, kepencut, dan ngiler terhadap pundi-pundi para donator asing, misalnya
George Soros yang pada tahun 2010 menghadiahkan $100 juta kepada Human Rights
Watch buat organisasi-organisasi HAM dan semacamnya (New York Time, September
6, 2010). Setelah politik neoliberalisme berhasil masuk ke bidang pendidikan
dan kesehatan, maka kini masuk ke bidang hak asasi manusia (HAM).
Akhir kata
Sara Schonhardt, dalam artikelnya yang berjudul „Veil of
Silence lifted in Indonesia” (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2012/01/veil-of-silence-lifted-in-indonesia-by.html)
berhasil „memotret“ tingkat perkembangan proses demokratisasi di Indonesia di
era reformasi dewasa ini, di mana
kebebasan mengeluarkan pendapat sudah berjalan dengan baik, akibat „runtuhnya tirai pembisuan“. Hal tersebut
ditandai oleh fakta-fakta bahwa para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 telah
bisa dengan bebas membeberkan pengalaman
penderitaannya di masa kekuasaan Orde Baru, seperti 15 memoir yang terkumpul
dalam buku „ Memecah Pembisuan“ ( Breaking the Silence). Ada pertanyaan menyentil: apakah hal
tersebut merupakan suatu ekspresi perlawanan? Menurut penulis jawabannya ialah:
kalau hal itu terjadi pada jaman rejim
Suharto masih berkuasa, tentu benar. Tetapi kalau terjadi pada jaman “reformasi”
yang sudah berjalan 14 tahun, di mana setiap orang bisa bebas bicara, jelas
tidak tepat dan ketinggalan jaman. Sudah lama tirai pembisuan runtuh.
Dalam
tulisan Sara Schonhardt kita tidak menemukan hal-hal yang baru dan kita tidak menemukan
opini kritis terhadap penguasa-penguasa Negara Indonesia dari era
Orde Baru sampai era „reformasi“, yang sampai sekarang belum mengakui adanya
pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Orde Baru/Suharto dengan
dukungan Amerika/CIA, Inggris/MI-6. Mungkin karena kebijakan penguasa NYT hanya sampai
sebatas itu? Meskipun sejarah hitam tirai
pembisuan yang dibangun oleh rejim
Suharto telah lama berakhir, tapi tidak berarti tanggung jawab rejim Suharto
atas tindak kejahatannya dengan sertamerta juga berakhir. Sebab setiap
pemerintah RI pasca lengsernya rejim Suharto mewarisi tanggung jawab untuk
menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rejim Suharto. Dan impunitas
harus tidak boleh terjadi di negara hukum Indonesia. Setelah tirai pembisuan runtuh dan transparansi
kebenaran bisa dengan mudah dilaksanakan, maka demi keadilan, tuntutan untuk penuntasan
kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 harus terus aktif dilancarkan dalam berbagai
macam dan bentuk aksi. Tidak cukup hanya menyesali dan meratapi penderitaan
akibat kejahatan yang dilakukan rejim dikmilfas Orde Baru. Di dalam negara Indonesia
kegiatan dan gerakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan
pelanggaran HAM adalah absolut syah, sebab sama sekali tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku dewasa ini di Indonesia. Di samping itu kegiatan
tersebut akan memberi sumbangan berharga kepada usaha-usaha pelurusan sejarah
yang telah dimanipulasi oleh rejim Suharto. Sedang usaha-usaha seseorang
menyumbat mulut orang lain (meski tidak secara langsung) agar tidak
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menuntut ditegakkannya kebenaran dan
keadilan, adalah usaha yang sangat tak terpuji. Di tengah-tengah situasi rakyat Indonesia ramai-ramai
menentang kenaikan harga BBM dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
pro-rakayat dewasa ini, semoga masalah kejahatan kemanusiaan 1965-66 dan kaitannya
dengan masalah impunitas, tidak tenggelam hilang karenanya.“
Nederland,
24 Januari 2012
CATATAN KAKI:
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban
1965 (LPK65), Nederland.
**) Misi perjuangan “Bulletin
INDONESIA BERJUANG” (Media GERPINDO – Gerakan Patriot Indonesia, di luar
negeri) kini dilanjutkan dalam bentuk “Weblog INDONESIA BERJUANG” (http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.com/), dikelola oleh MD Kartaprawira.
***) Lembaga Pembela Korban 1965
(LPK65), secara terbuka berkiprah dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan
keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dan memberikan
solidaritas bagi korban-korban HAM lainnya. LPK65 memegang prinsip Mandiri -
tidak menggantungkan donasi dari
institusi-institusi asing.
****) Sarasehan/seminar tersebut di
atas antara lain adalah:
1. Sarasehan di Leuven, Belgia 23
September 2000, “MAWAS DIRI: PERISTIWA SEPTEMBER ’65 DALAM TINJAUAN ULANG”,
diselenggarakan oleh Forum Diskusi
Sejarah Indonesia -- Eropa. Dalam
seminar tampil sebagai narasumber: Sitor Situmorang – “Menelusuri Sejarah
sebagai Dialog Terus-Menerus dengan Diri Sendiri dan Sesama”, Mr. Paul Mudikdo“Peristiwa
1965: Gerakan 30 September, Penghncuran Partai Komunis Indonesia dan Dampaknya”,
Hersri Setiawan – “Sekitar G30S (Sebuah Renungan Pribadi)”, Dr. Coen Holtzappel
-- “Keterlibatan Inggris dalam peristiwa
G30S”, Carmel Budiardjo -- “The 1965
Tragedy of overshadows Indonesia’s present and future”, Tristam Moeliono –
“Tinjauan Hukum Internasional Publik Terhadap Pembunuhan Massal tahun 65-66”,
Nany Nurrachman-Sutoyo ( putri letjen Sutojo) – “Pergumulan nalar dan rasa:
Rekoleksi ingatan dan refleksi pengalaman atas peristiwa G.30.S”.
2. Sarasehan di Zeist (Nederland) 29
September 2001, diselenggarakan oleh Indonesia Legal Reform
Working Group (ILRWG) bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di
Belanda. Tampil sebagai narasumber: :
Hasan Raid (korban, Jakarta), Murtini
(korban, Palembang) , Mr.Moedikdo (Univ. Utrecht, Belanda), Dr. Coen Holtzappel
(Univ. Leiden). Pimpinan sidang MD
Kartaprawira, Moderator Wijanto Rachman.
3. Pertemuan masyarakat
Indonesia dengan Delegasi Korban 1965 yang menghadiri sidang Komisi HAM PBB di
Jenewa, pada 05 April 2003, di Diemen. Pertemuan diselenggarakan oleh Panitia
Khusus (kerjasama organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Nederland, a.l.
Perhimpunan Persaudaraan). Delegasi terdiri Bp. Setiadji Reksoprodjo (korban,
mantan Menteri Kabinet Soekarno), Bp. Heru Atmodjo (korban, mantan Lekol.
AURI), Ibu Ribka Ciptaning (Ketua PAKORBA – Paguyuban Korban Orde Baru). Moderator
MD Kartaprawira.
4. Pertemuan
masyarakat Indonesia dengan Delegasi
Korban 1965 sepulang dari sidang Komisi HAM PBB di Jenewa, pada 15 April 2003,
di Zeist, diselenggarakan oleh Panitia Khusus tersebut di atas. Moderator A. Sungkono.
5. Seminar di
Zeist (Nederland), 28 September 2003 untuk memperingati Tragedi Nasional 1965,
diselanggarakan oleh Indonesia Legal Reform Working Group bekerja sama dengan organisasi-organisasi
masyarakat Indonesia di Belanda. Nara sumber: Mr.
Moedikdo, Pimpinan sidang MD Kartaprawira, Moderator Wijanto Rachman.
6. Peringatan 40 Tahun Tragedi
Nasional 1965 “Tragedi Nasional 1965 dan Dampaknya dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara”, 15 Oktober 2005, diselenggarakan oleh Panitia bersama (LPK65, Perhimpunan Persaudaraan, YSBI, SIS,
SAS, DIAN, PERDOI, Sapu Lidi, Arisan Utrecht, Arisan Amsterdam). Sebagai narasumber: MD Kartaprawira, Cipto Arismunandar, dan Hilmar Farid. Moderator A. Sungkono
7. Peringatan Tragedi Nasional 1965, diselenggarakan tanggal
30 September 2007 di Diemen (Nederland) oleh Lembaga Pembela Korban 1965
bekerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di
Nederland. Tampil sebagai narasumber: MD
Kartaprawira, Cipto Arismunandar, Francisca Panggideij, Martha Meijer (
Belanda), Moderator Sungkono.
8. Peringatan 45 Tahun Tragedy
Nasional 1965 di Diemen (Belanda) 02-03 Oktober 2010 diselenggarakan oleh Panitia bersama (LPK65, Perhimpunan
Persaudaraan, YSBI, SIS, SAS, DIAN, PERDOI, Yayasan Sapu Lidi, Arisan Utrecht,
Arisan Amsterdam). Narasumber: MD
Kartaprawira (Ketua Panitia), Putu Oka (Indonesia), Ibrahim Isa (Belanda), Umar
Said (Perancis), Tom Iljas (Swedia), Arif Harsana (Jerman), Moderator
A.Sungkono.
md***************************************************************************************************kp