Sunday 15 April 2012

Temu Korban 65/Konferda YPKP 65  se Jawa Tengah
 Aman dan Lancar


Acara Temu Korban 65/Silaturahmi/Konferda YPKP 65 se Jawa Tengah yang berlangsung pada 08 April 2012 di Desa Bulumulyo, Kecamatan Batangan Kab. Pati Jawa Tengah aman, lancar dan sangat mengesankan. Semula ada kekhawatiran dari berbagai Kawan yang menyarankan sebaiknya jangan melakukan kegiatan yang demonstratif, di tempat umum mengingat situasi dan kondisi di negara kita ini yang dihadapi oleh para mantan Tahanan Politik 1965/66 masih belum kondusif. Romo Baskoro misalnya, menyarankan agar acara digelar di lingkungan kampus, dengan mengadakan diskusi ilmiah secara akademik, kasihan kalau terjadi apa-apa,  para mantan Tapol yang sudah sepuh-sepuh itu.............

Ternyata, pertemuan Silaturahmi/Temu Korban 65/ Konferda YPKP 65 berjalan lancar. 
Semalam sebelum acara dimulai yaitu Sabtu 07 April 2012 pukul 17.00 - 21.00  telah berduyun-duyun berdatangan  para delegasi YPKP 65 dari berbagai kota kabupaten di seluruh Jawa Tengah. Malahan, ada delegasi dari luar Jawa Tengah yang juga hadir: Jawa Barat ( Bandung, Cirebon dan Majalengka), Jawa Timur ( Surabaya, Gresik, Kertosono ), Sumatera Barat (Bukittinggi, Padang Pariaman). Para tamu menginap di rumah kawan Korban 65, berbaring di tikar bersama-sama. Suatu ciri kesederhanaan kawan-kawan 65.

Para tamu/delegasi disuguhi hidangan musik gamelan, uyon-uyon, dari tim musik gamelan Jawa YPKP 65 Pati dibawah pimpinan Pak Supardi.

Keesokan harinya, Minggu 08 April 2012 tepat pukul 09.00 sudah berkumpul tamu-tamu pejabat militer dan sipil (berpakaian seragam mau pun preman), massa Korban 65 Kabupaten Pati sebanyak 150 orang. Dari perkiraan yang akan dihadiri hanya 100-150 orang, ternyata  acara itu dihadiri 250 massa Korban 65.

YPKP 65 Perekat Korban 65

Diskusi Publik dihadiri juga oleh perwakilan Organisasi seperjuangan: LPRKROB, LP-YAPHI, Sekber 65 Solo, Agra, GRI, Perpeni, dll.
Dari pejabat Negara/Lembaga Negara yang hadir yaitu Komisioner  Ibu Lili Pintauli Siregar, S.H dari LPSK (Lembaga Perlindungan saksi dan Korban). Komnas HAM berhalangan hadir, namun Ketua Tim Penyelidik pro  justisia Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM Bapak Nurkholis memberi sambutan tertulis yang dibacakan di depan para peserta diskusi. ( Mengenai isi Sambutan Komnas HAM dan bahan-bahan diskusi LPSK maupun Pidato Ketua YPKP 65 akan kami siarkan secara terpisah).
Sekretaris Jenderal LPRKROB Bpk Mujayin juga memberi sambutan, demikian juga Bung Yusuf dari YAPHI.
Nampak dari semua yang hadir merasa bahagia, gembira setelah hampir setengah abad terdiskriminasi - sampai sekarang juga- . Hari ini Kawan-Kawan Korban 65 bisa berteriak menuntut, mendesak dan merebut Hak-Haknya yang selama ini terampas secara tidak sah oleh negara.

Di sela-sela Diskusi dipentaskan Tari Anjangsono oleh Ibu-Ibu relawan YPKP 65 Pati. Pada 1965 Ibu-Ibu tersebut adalah penari yang tergabung dalam LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Ibu-Ibu tersebut juga ditangkap,ditahan bertahun-tahun, hanya karena ikut menari Tari Anjangsono ini. Tari ini dipimpin oleh pak Bambang Soekotjo dengan  Penyanyi Lirik oleh Ibu Sumini.

Tak pelak lagi, aura suasana 1965 menyeruak, para saksi Korban berikan testimoni, mengeluarkan segala isi hatinya. Salah satunya, Bapak Soekarno ( biasa dipanggil Pak Karno) usia 80 tahun, berasal dari Sragen Jawa Tengah, menghampiri para pembicara di depan podium seraya meneteskan air mata, " Saya tidak percaya lagi kepada pak SBY (maksudnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-pen), ia hanya berikan  janji-janji palsu belaka.
Saya  ucapkan terima kasih kepada YPKP 65 sehingga saya dan Kawan-Kawan bisa berkumpul dan berbicara, serasa saya hidup lagi, tidak mati, terima kasih, terima kasih......". Pak Karno memeluk Pak Bedjo Untung sambil terbata-bata menangis tanda haru.

Acara Diskusi Publik  juga diisi dengan Peluncuran Buku" Mencari Kebenaran, Catatan Penelitian YPKP 65 Pati, Aku Iki Salahe Opo". Ditulis/dikumpulkan oleh Pak Bambang Soekotjo. Peluncuran Buku ini sekaligus sebuah Kado istimewa buat YPKP 65 yang tepat merayakan Hari Ultahnya  yang ke 13 pada 07 April 2012.

Pertemuan Silaturahmi/Temu Korban 65/ Konferda YPKP 65 se Jawa Tengah  ditutup  pada pukul 15.00 ( Acara Internal dilanjutkan sore harinya) dengan meneriakkan yel-yel: " Hidup Korban, BEBAS,BEBAS, BEBASSSSS ............." (Bersambung)

Salam,

Bedjo Untung
Ketua YPKP 65
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966
Jl. MH.Thamrin Gg. Mulia 21 Tangerang 
Tilp. 021-53121770; HP 082110678965



Saturday 14 April 2012

TIRAI PEMBISUAN SUDAH LAMA RUNTUH, APA LANGKAH SELANJUTNYA?


TIRAI PEMBISUAN SUDAH LAMA RUNTUH, APA LANGKAH SELANJUTNYA?
(Sandingan tulisan Sara Schonhardt “Veil of Silence lifted in Indonesia” di New York Time)

Oleh MD Kartaprawira*

Timbulnya tirai pembisuan dan suasana kebisuan

Seperti kita ketahui sejak akhir tahun 1965 di Indonesia praktis kekuasaan berada di tangan jenderal Suharto, meskipun secara “yuridis” Bung Karno baru dicopot kekuasaannya oleh MPRS (dbp. Jenderal A.H. Nasution) pada tahun 1967. Demikianlah proses kudeta merangkak Suharto mencapai titik puncak keberhasilannya. Penguasa baru yang bernama Pemerintah Orde Baru tanpa ditunda-tunda melakukan kebijakan-kebijakan yang fasistik dalam rangka memperkokoh dan mempertahankan kekuasaannya. Selain menginjak-injak nilai dan sistem demokrasi secara total (kekuasaan legislative, eksekutif,  dan lain-lainnya praktis ditangannya) rejim Orde Baru juga melaksanakan “politik-gebug” tanpa ampun terhadap siapa saja yang menentang, mengritik, dan mempunyai pendapat berbeda dengan garis politiknya. Tepatlah kaum patriot di luar negeri menamakan penguasa Orde Baru tersebut rejim Diktatur Militer Fasis (dikmilfas).  

Maka akibatnya rasa takut yang mendalam dan mencengkam bersemarak di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat terpaksa harus membisu  demi keselamatan jiwa dan sumber kehidupannya, terutama mereka yang dianggap komunis dan nasionalis-kiri pendukung Soekarno.  Mereka inilah yang pertama-tama menjadi korban kefasisan rejim Suharto,  sebagai korban pelanggaran HAM berat 1965-66 yang jumlahnya sekitar 3 juta orang, yang  tanpa dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum dibantai, dibuang ke Pulau Buru, Pulau Nusakambangan, dijebloskan ke penjara-penjara dan lain-lainnya. Demikianlah tirai pembisuan diciptakan oleh rejim Suharto telah mengakibatkan suasana kebisuan di Indonesia selama 32 tahun.

Rakyat Indonesia, khususnya para korban pelanggaran HAM, tentunya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan untuk menegakkan demokrasi, kebenaran dan keadilan tidak mungkin berhasil tanpa merobek-robek tirai pembisuan yang diciptakan oleh rejim Orde Baru. Untuk tujuan tersebut tidak mungkin tanpa “buka mulut” membeberkan fakta kebiadaban Orde Baru yang dialaminya. Dus, langkah-langkah demikian adalah conditio sine qua non – syarat yang tidak boleh tidak – untuk meruntuhkan tirai pembisuan dan bersamaan dengan itu pembeberan fakta kebiadaban Orde Baru tersebut sangat diperlukan bagi pelurusan sejarah yang telah diplintir dan dijungkir-balikkan oleh rejim Orba/Suharto. Sebab penguasa Orde Baru (dan para penyelenggara negara di era „reformasi“ sampai sekarang ini) tidak punya niat untuk dengan jujur mengakui adanya pelanggaran HAM berat atau Kejahatan kemanusiaan 1965-66. Apalagi mengakui kesalahannya, kemudian meminta maaf dan menuntaskan kasus tersebut  secara jujur, adil dan manusiawi. Kesaksian para korban tersebut sangat dibutuhkan sebagai alat bukti  dalam proses pengadilan demi kebenaran dan keadilan. 


Proses runtuhnya tirai pembisuan      

Runtuhnya tirai pembisuan adalah produk proses perjuangan panjang gerakan demokrasi rakyat  Indonesia, yang dilancarkan oleh berbagai macam unsur masyarakat, bukan monopoli suatu golongan tertentu saja. Tentu saja yang sangat berkepentingan adalah para korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim Suharto, terutama korban 1965. Ketika di tanah air situasi dan kondisinya belum memungkinkan, usaha-usaha meruntuhkan tirai pembisuan tersebut telah dilancarkan oleh mereka yang tinggal di luar negeri semenjak mula berdirinya rejim dikmilfas Suharto-Nasution/ Orde Baru. Tentu saja mereka langsung dicap oleh rejim dikmilfas sebagai sisa-sisa G30S di luar negeri yang mengadakan gerilya politik ( lih.Soegiarso Soerojo “Siapa menabur angin akan menuai badai”, Jakarta 1988, hal. 325).
Mereka di luar negeri mengadakan berbagai kegiatan untuk mendapatkan solidaritas internasional dengan menyelenggarakan berbagai seminar/sarasehan, menyebarkan bulletin-buletin perlawanan terhadap politik rejim Orde Baru ke Eropa, Indonesia dan ke mana saja. Misalnya, kelompok Marhaenis dan Nasionalis Pendukung Bung Karno di Moscow menerbitkan bulletin “Marhaen Menang” dan “Indonesia Berjuang” (Edisi bhs Inggris “Indonesia Struggle”)**. Dalam buletin2 tersebut dibelejeti habis-habisan politik rejim Orde Baru. Tapi sayangnya setelah 14 tahun berkiprah kedua bulletin tersebut terpaksa berhenti (1981), sebab penguasa setempat tidak menghendaki kelangsungan hidupnya, semenjak diberlakukannya  politik perestroika di Uni Soviet. Di samping itu  kelompok penentang rejim orba lainnya juga  menerbitkan bulletin “Tekad Rakyat” dan “Bulletin OPI” (Organisasi Pemuda Indonesia). Di Perancis juga terbit majalah “Kancah”. Oleh mereka yang tinggal di luar negeri tirai pembisuan sejak semula sudah dikoyak-koyak habis-habisan dengan menggunakan penerbitan bulletin/majalah secara efektif.
Dengan perkembangan internet yang begitu pesat, maka keruntuhan tirai pembisuan pun berlangsung lebih cepat lagi. Di luar negeri sarana internet tersebut dimanfaatkan tanpa ada yang bisa menghalang-halangi. Lain halnya di tanah air di masa rejim Orde Baru, masyarakat kurang berhasil memanfaatkan keadaan tersebut berhubung rasa khawatir yang masih mencekam. Sedang media cetak di dalam proses perjuangan demokratisasi sangat jauh tertinggal peranannya dibandingkan dengan media internet, sebab kontrol pemerintah dengan sanksi pembredelan sangat kuat.
Kita menyaksikan pada era kekuasaan Suharto di dunia internet telah bertebaran milis-milis yang menjadi arena untuk berdiskusi dan tukar informasi mengenai masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik aktual di Indonesia (misalnya Milis Apakabar/Indonesia-l, CARI, Nasional dan lain-lainnya). Di milis-milis tersebutlah borok-borok rejim Suharto ditelanjangi tanpa ampun, sehingga praktis milis-milis menjadi mimbar perjuangan demokratisasi di Indonesia. Tirai pembisuan yang dibangun Suharto tidak lagi mampu membuat rakyat menjadi bisu, sebab mereka yang berdomisili di tanah air pun bisa „buka mulut“ di milis-milis yang dikendalikan di  luar negeri dengan berbagai cara dan jalan. Perlu diacungi jempol peranan „Milis Indonesia-l“ (Milis Apakabar) yang dikelola oleh John McDougall (Univ Ohio, USA), yang beranggotakan puluhan ribu orang intelektual. Milis tersebut telah menyediakan dirinya sebagai arena diskusi dengan prinsip “keterbukaan” mengenai masalah aktual Indonesia. Maka di situ bermunculan opini kritis terhadap kebijakan rejim Suharto dan ide-ide maju tentang politik, ekonomi dan budaya pasca jatuhnya rejim Suharto. Bahkan untuk menghindari adanya tuduhan yang negatif, moderator John MacDougall tidak ikut serta dalam diskusi atau menulis dalam milis tersebut - Moderator seratus persen netral.
Di samping itu tirai pembisuan tersebut juga ramai-ramai dikoyak-koyak melalui berbagai cara: seminar, diskusi, sarasean, yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi masyarakat Indonesia yang melakukan oposisi terhadap rejim Orde Baru di luar negeri, baik secara rahasia (tertutup) maupun secara terbuka.  Kemudian semua hasil kegiatan tersebut  dipublikasikan lewat internet pula, sehingga tersebar ke seluruh dunia dengan cepat. Di Nederland kegiatan tersebut telah dirintis oleh organisasi Indonesia Legal Reform Working Group. Dewasa ini satu-satunya organisasi HAM yang didirikan masyarakat Indonesia di luar negeri secara resmi (terdaftar legal), yang mempunyai visi dan missi membela korban pelanggaran HAM berat 1965 adalah Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65),  Nederland.***

Keruntuhan total tirai pembisuan

Ketika datang era „reformasi“, setelah badai gerakan mahasiswa mengakibatkan lengsernya Suharto dari singgasana „kekuasaan“,  dapat dikatakan tirai pembisuan telah runtuh sama sekali, sehingga suasana kebisuan dan suasana takut di“gebuk“ lenyap pula. Maka  masyarakat  dapat memanfaatkan dan menikmatkan apa yang dinamakan kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa rasa takut, sekalipun berwujud kritik pedas terhadap penyelenggara negara. Kondisi inilah yang seyogyanya dimanfaatkan semua rakyat Indonesia secara efektif, terutama  para korban pelanggaran HAM berat 1965-66,  untuk menegakkan kembali demokrasi dan HAM yang telah diinjak-injak rejim Orde Baru.
Maka mulailah mereka – baik yang di tanah air, maupun yang di luar negeri --  satu demi satu tampil di media massa membeberkan pengalaman-pengalamannya di masa penindasan rejim Orde Baru dalam surat kabar,  radio, TV,  internet, film, buku, seminar, forum diskusi dan lain-lainnya. Mereka juga  dengan senang hati  memberikan wawancara-wawancara kepada para peneliti Indonesia maupun asing. 

Memang sebagian para korban masih ada yang tidak memanfaatkan momentum tersebut. Tetapi hal itu tidak perlu diganggu gugat. Sebab “buka mulut” itu bukan suatu kewajiban dan keharusan. Setiap orang berhak menentukan bagi dirinya, mana yang terbaik untuk melanjutkan  jalan kehidupan masing-masing, asal tidak merugikan masyarakat, bangsa dan Negara.

Bersamaan dengan itu banyak berdiri organisasi-organisasi yang berkaitan dengan masalah pelanggaran HAM. Terutama organisasi-organisasi yang didirikan oleh para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 di tanah air (a.l. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/YPKP1965, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru/LPR KROB), sedang di luar negeri Indonesia Legal Reform Working Group, Lembaga Pembela Korban 1965/LPK65. Organisasi-organisasi tersebut mengadakan sarasehan, seminar, dan lain-lain kegiatan berkaitan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.
Sarasehan/Seminar di luar negeri yang tampak gemanya terjadi di Leuven  th.2000. (Belgia), di  Zeist th. 2001, 2003 (Nederland) dan di Diemen th. 2005, 2007, 2010 (Nederland)****. Sarasehan tahun  2005 dan 2010 menghasilkan Pernyataan-pernyataan tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 ditujukan kepada Presiden SBY dan lampirannya kepada Alat-Alat Perlengkapan Negara Indonesia. (lih. http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/search?updated-min=2010-01-01T00:00:00%2B01:00&updated-max=2011-01-01T00:00:00%2B01:00&max-results=16). Semua pertemuan di Belanda selalu di hadiri kurang lebih 200 orang dari Belanda, Jerman, Perancis, Swedia.

Apa langkah selanjutnya?

Sejatinya Negara Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban menuntaskan semua kasus kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-66 sesuai hukum positif di Indonesia (termasuk semua konvensi yang sudah diratifikasi). Maka apabila penyelenggara negara lalai atau sengaja melalaikan kewajibannya, para korban berhak  menuntut agar kasus tersebut dituntaskan. Sedang pembeberan pengalaman penderitaannya sebagai korban pelanggaran HAM adalah penting sekali. Tapi hal tersebut baru salah satu  langkah awal dari proses perjuangan  untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, yang harus ditindak lanjuti dengan langkah-langkah aktif lainnya. Salah satunya adalah langkah yang berwujud  tuntutan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965 dalam pernyataan kegiatannya, yang ditujukan kepada siapa saja yang sedang memerintah  di Indonesia. Maka sangat disesalkan munculnya suara cengeng  di waktu pergelaran serius „Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965“ di Belanda tahun 2010, yang “mengritik” dilancarkannya pernyataan yang berisi tuntutan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono agar menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang telah berjalan 45 tahun tanpa kepedulian penegak hukum. Meskipun demikian, Panitia Peringatan dengan teguh dan tegas pernyataan tersebut tetap dilancarkan, tanpa takut dan khawatir bahwa nantinya tuntutan tersebut dimasukkan ke keranjang sampah. 

Justru yang harus dikhawatirkan ialah akan timbulnya pertanyaan, terutama dari generasi mendatang: „Apa yang bapak-bapak dan ibu-ibu lakukan setelah menceritakan penderitaan akibat dibuang ke pulau Buru, Nusakambangan, rumah-rumah tahanan lainnya,  ditelantarkan di luar negeri  karena dicabut paspornya, sehingga terpisah dari keluarga dan tanah airnya?“, “Apakah setelah bapak-bapak dan ibu-ibu membeberkan penderitaan di koran, TV, video, buku dan lain-lainnya masalah kebenaran, keadilan, dan kasus pelanggaran HAM sudah selesai?” „Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu hanya menantikan „kebaikan“ hati penyelenggara negara yang setelah reformasi berjalan  selama 14 tahun tetap membisu dalam masalah pelanggaran HAM berat1965-66?
Sungguh sayang sekali  kalau masalah tragedi nasional 1965/tragedi kemanusiaan  tersebut dianggap  sudah selesai setelah menceritakan penderitaan yang dialaminya. Justru seharusnya  perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan lebih ditingkatkan baik kwantitas maupun kwalitasnya dengan aksi-aksi nyata yang menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat  tersebut kepada penyelenggaran negara (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan lain-lainnya). Dan jangan sekali-kali lengah, silau, kepencut, dan ngiler terhadap pundi-pundi para donator asing, misalnya George Soros yang pada tahun 2010 menghadiahkan $100 juta kepada Human Rights Watch buat organisasi-organisasi HAM dan semacamnya (New York Time, September 6, 2010). Setelah politik neoliberalisme berhasil masuk ke bidang pendidikan dan kesehatan, maka kini masuk ke bidang hak asasi manusia (HAM).

Akhir kata

Sara Schonhardt, dalam artikelnya yang berjudul „Veil of Silence lifted in Indonesia” (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2012/01/veil-of-silence-lifted-in-indonesia-by.html) berhasil „memotret“ tingkat perkembangan proses demokratisasi di Indonesia di era  reformasi dewasa ini, di mana kebebasan mengeluarkan pendapat sudah berjalan dengan baik, akibat  „runtuhnya tirai pembisuan“. Hal tersebut ditandai oleh fakta-fakta bahwa para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 telah bisa dengan bebas membeberkan  pengalaman penderitaannya di masa kekuasaan Orde Baru, seperti 15 memoir yang terkumpul dalam  buku „ Memecah Pembisuan“ ( Breaking the Silence). Ada pertanyaan menyentil: apakah hal tersebut merupakan suatu ekspresi perlawanan? Menurut penulis jawabannya ialah:  kalau hal itu terjadi pada jaman rejim Suharto masih berkuasa, tentu benar. Tetapi kalau terjadi pada jaman “reformasi” yang sudah berjalan 14 tahun, di mana setiap orang bisa bebas bicara, jelas tidak tepat dan ketinggalan jaman. Sudah lama tirai pembisuan runtuh.
Dalam tulisan Sara Schonhardt kita tidak menemukan hal-hal yang baru dan kita tidak menemukan opini kritis  terhadap  penguasa-penguasa Negara Indonesia dari era Orde Baru sampai era „reformasi“, yang sampai sekarang belum mengakui adanya pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Orde Baru/Suharto dengan dukungan Amerika/CIA, Inggris/MI-6. Mungkin karena  kebijakan penguasa NYT hanya sampai sebatas itu? Meskipun  sejarah hitam tirai pembisuan yang dibangun  oleh rejim Suharto telah lama berakhir, tapi tidak berarti tanggung jawab rejim Suharto atas tindak kejahatannya dengan sertamerta juga berakhir. Sebab setiap pemerintah RI pasca lengsernya rejim Suharto mewarisi tanggung jawab untuk menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rejim Suharto. Dan impunitas harus tidak boleh terjadi di negara hukum Indonesia.  Setelah tirai pembisuan runtuh dan transparansi kebenaran bisa dengan mudah dilaksanakan, maka demi keadilan, tuntutan untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 harus terus aktif dilancarkan dalam berbagai macam dan bentuk aksi. Tidak cukup hanya menyesali dan meratapi penderitaan akibat kejahatan yang dilakukan rejim dikmilfas Orde Baru. Di dalam negara Indonesia kegiatan dan gerakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM adalah absolut syah, sebab sama sekali tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dewasa ini di Indonesia. Di samping itu kegiatan tersebut akan memberi sumbangan berharga kepada usaha-usaha pelurusan sejarah yang telah dimanipulasi oleh rejim Suharto. Sedang usaha-usaha seseorang menyumbat mulut orang lain (meski tidak secara langsung) agar tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menuntut ditegakkannya kebenaran dan keadilan, adalah usaha yang sangat tak terpuji.  Di tengah-tengah situasi rakyat Indonesia ramai-ramai menentang kenaikan harga BBM dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakayat dewasa ini, semoga masalah kejahatan kemanusiaan 1965-66 dan kaitannya dengan masalah impunitas, tidak tenggelam hilang karenanya.“

Nederland, 24 Januari 2012
CATATAN KAKI:
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland.
**) Misi perjuangan “Bulletin INDONESIA BERJUANG” (Media GERPINDO – Gerakan Patriot Indonesia, di luar negeri) kini dilanjutkan dalam bentuk “Weblog INDONESIA BERJUANG” (http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.com/), dikelola oleh MD Kartaprawira.
***) Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), secara terbuka berkiprah dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dan memberikan solidaritas bagi korban-korban HAM lainnya. LPK65 memegang prinsip Mandiri  -  tidak menggantungkan  donasi dari institusi-institusi asing.
****) Sarasehan/seminar tersebut di atas antara lain adalah:
1. Sarasehan di Leuven, Belgia 23 September 2000, “MAWAS DIRI: PERISTIWA SEPTEMBER ’65 DALAM TINJAUAN ULANG”, diselenggarakan oleh  Forum Diskusi Sejarah Indonesia  -- Eropa. Dalam seminar tampil sebagai narasumber: Sitor Situmorang – “Menelusuri Sejarah sebagai Dialog Terus-Menerus dengan Diri Sendiri dan Sesama”, Mr. Paul Mudikdo“Peristiwa 1965: Gerakan 30 September, Penghncuran Partai Komunis Indonesia dan Dampaknya”, Hersri Setiawan – “Sekitar G30S (Sebuah Renungan Pribadi)”, Dr. Coen Holtzappel --  “Keterlibatan Inggris dalam peristiwa G30S”, Carmel Budiardjo --  “The 1965 Tragedy of overshadows Indonesia’s present and future”, Tristam Moeliono – “Tinjauan Hukum Internasional Publik Terhadap Pembunuhan Massal tahun 65-66”, Nany Nurrachman-Sutoyo ( putri letjen Sutojo) – “Pergumulan nalar dan rasa: Rekoleksi ingatan dan refleksi pengalaman atas peristiwa G.30.S”.   
2. Sarasehan di Zeist (Nederland) 29 September  2001,  diselenggarakan oleh Indonesia Legal Reform Working Group (ILRWG) bekerja sama dengan  organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Belanda. Tampil sebagai narasumber:  : Hasan Raid (korban, Jakarta),  Murtini (korban, Palembang)  ,  Mr.Moedikdo (Univ. Utrecht, Belanda), Dr. Coen Holtzappel (Univ. Leiden).  Pimpinan sidang MD Kartaprawira, Moderator Wijanto Rachman.
3. Pertemuan masyarakat Indonesia dengan Delegasi Korban 1965 yang menghadiri sidang Komisi HAM PBB di Jenewa, pada 05 April 2003, di Diemen. Pertemuan diselenggarakan oleh Panitia Khusus (kerjasama organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Nederland, a.l. Perhimpunan Persaudaraan). Delegasi terdiri Bp. Setiadji Reksoprodjo (korban, mantan Menteri Kabinet Soekarno), Bp. Heru Atmodjo (korban, mantan Lekol. AURI), Ibu Ribka Ciptaning (Ketua PAKORBA – Paguyuban Korban Orde Baru). Moderator MD Kartaprawira.
4. Pertemuan masyarakat Indonesia  dengan Delegasi Korban 1965 sepulang dari sidang Komisi HAM PBB di Jenewa, pada 15 April 2003, di Zeist, diselenggarakan oleh Panitia Khusus tersebut di atas.  Moderator A. Sungkono.
5. Seminar di Zeist (Nederland), 28 September 2003 untuk memperingati Tragedi Nasional 1965, diselanggarakan oleh Indonesia Legal Reform Working Group  bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Belanda. Nara sumber: Mr. Moedikdo, Pimpinan sidang MD Kartaprawira, Moderator Wijanto Rachman.
6. Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965 “Tragedi Nasional 1965 dan Dampaknya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, 15 Oktober 2005,  diselenggarakan oleh Panitia bersama  (LPK65, Perhimpunan Persaudaraan, YSBI, SIS, SAS, DIAN, PERDOI, Sapu Lidi, Arisan Utrecht, Arisan Amsterdam).  Sebagai narasumber: MD Kartaprawira,  Cipto Arismunandar, dan Hilmar Farid.  Moderator A. Sungkono
7. Peringatan  Tragedi Nasional 1965, diselenggarakan tanggal 30 September 2007 di Diemen (Nederland) oleh Lembaga Pembela Korban 1965 bekerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Nederland.  Tampil sebagai narasumber: MD Kartaprawira, Cipto Arismunandar, Francisca Panggideij, Martha Meijer ( Belanda),  Moderator Sungkono.
8. Peringatan 45 Tahun Tragedy Nasional 1965 di Diemen (Belanda) 02-03 Oktober 2010 diselenggarakan oleh  Panitia bersama (LPK65, Perhimpunan Persaudaraan, YSBI, SIS, SAS, DIAN, PERDOI, Yayasan Sapu Lidi, Arisan Utrecht, Arisan Amsterdam).   Narasumber: MD Kartaprawira (Ketua Panitia), Putu Oka (Indonesia), Ibrahim Isa (Belanda), Umar Said (Perancis), Tom Iljas (Swedia), Arif Harsana (Jerman), Moderator A.Sungkono.
md***************************************************************************************************kp 

Amnesti Internasional Kirim Surat Terbuka ke Menkumham




Amnesti Internasional Kirim Surat Terbuka ke Menkumham
Sabtu, 7 April 2012 | 7:03
http://www.suarapembaruan.com/media/images/medium2/20120407070519048.jpg
[LONDON] Amnesti International melayangkan surat terbuka yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Amir Syamsuddin sehubungan dengan adanya berbagai pelanggaran yang terjadi di Indonesia.

Surat terbuka yang ditandatangani Wakil Direktur Amnesty Internasional Asia-Pasifik, Donna Guest di London, Jumat (6/4), menyerukan kepada pihak berwenang di Indonesia agar memastikan adanya investigasi yang cepat, teliti, dan efektif oleh badan independen dan imparsial, mengenai laporan penyiksaan dan perlakuan buruk lain yang dilakukan polisi selama ini.

Selain itu, Amnesti Internasional dalam surat terbukanya, dengan tembusannya ditujukan ke Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Timur Pradopo, memastikan agar mereka yang dicurigai terlibat dalam penyiksaan, termasuk orang yang memiliki tanggung jawab komando, dituntut dalam sidang pengadilan yang memenuhi standar internasional tentang keadilan, dan agar para korban diberikan hak reparasi.

Selain itu, Amnesti Internasional juga mengharapkan agar tidak ada seorang pun yang menjadi sasaran penangkapan sewenang-wenang, agar tahanan memiliki akses cepat terhadap keluarga dan penasihat hukum yang mereka pilih, dan terhadap pengadilan serta akses terhadap perawatan medis.

Diharapkan catatan medis yang mengindikasikan dugaan adanya penyiksaan dan perlakuan buruk, serta pelanggaran lain atas orang-orang yang ditahan tersedia bagi korban dan/atau keluarga korban serta penasihat hukum.

Amnesti dalam rekomendasinya minta agar semua petugas kepolisian memahami Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (No 8/2009).

Amnesti Internasional juga minta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merevisi dan mengesahkan pada kesempatan sedini mungkin KUHP dan KUHAP baru, yang sesuai dengan hukum dan standar HAM internasional; dan yang menyertakan ketentuan secara eksplisit untuk melarang tindakan penyiksaan.

Definisi penyiksaan dalam KUHP yang sudah direvisi harus konsisten dengan Pasal 1.1 Konvensi PBB menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan lainnya. [Ant/L-8]

Pernyataan Sikap Konferensi Daerah Korban 65 Cabang YPKP 65 Se-Jawa Tengah



Pernyataan Sikap
Konferensi Daerah Korban 65 Cabang YPKP 65 Se-Jawa Tengah
Ulang Tahun YPKP 65 ke 13
Pati, 8 April 2012

Sudah 46 tahun sejak Tragedi 1965 dan 12 tahun reformasi, korban Tragedi kemanusiaan dan politik 1965 belum juga mendapatkan keadilan. Hak-hak dasar korban masih dirampas oleh negara dan belum dipulihkan.

Di tengah ketidakpastian hukum dan politik penguasa, korban silih berganti wafat karena sakit dan usia lanjut. Pihak keluarga masih menanggung stigma negatif yang berakibat pada pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, dan politiknya. Sampai sekarang, banyak korban dan keluarganya dalam kondisi memprihatinkan.

Namun, di tengah keterbatasan dan ketidakpastian hukum dan politik penguasa, korban 65 tidak kenal menyerah. Korban 65 SeJawa Tengah berkumpul di Pati melakukan pertemuan untuk menegaskan sikap perjuangan dan memperkuat organisasi korban. Agenda ini juga dihadiri delegasi dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Barat.

Sekadar pengingat, korban terbanyak dari seluruh wilayah Indonesia adalah Jawa Tengah, sebanyak 800.000 orang. Selanjutnya Jawa Timur dan Bali.

Meski demikian, Korban 65 tak pernah menyerah. Korban 1965 yang diorganisasi YPKP 65 menuntut:
1.       Pemerintah untuk segera menyelesaikan Kejahatan Kemanusiaan Tragedi 1965/1966.
2.       Komnas HAM untuk segera mengumumkan hasil investigasi Tim Penyelidik pro yustisia Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM. Pastikan, tragedi 1965/1966 adalah Kejahatan Kemanusiaan.
3.       Jadikan temuan Komnas HAM  bahwa  Tragedi 1965 adalah Kejahatan Kemanusiaan sebagai dasar pemberian reparasi, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi bagi Korban 1965, termasuk Pengembalian/Pemulihan Hak-Hak yang selama ini dirampas secara tidak sah oleh Negara. 
4.       Presiden Republik Indonesia secepatnya meminta maaf secara terbuka kepada para Korban dan keluarga Korban 1965/66. Permintaan maaf adalah pintu masuk untuk penyelesaian secara menyeluruh atas terjadinya kasus pelanggaran HAM, termasuk pencabutan seluruh Undang-Undang/Peraturan Pemerintah  yang diskriminatif.
5.       Negara untuk menjamin tidak ada keberulangan pelanggaran HAM di masa mendatang, yaitu dengan menghukum kepada para pelaku kejahatan kemanusiaan.

Sekiranya sistem peradilan Dalam Negeri Republik Indonesia tidak bisa atau tidak mampu mengadili para penjahat kemanusiaan Tragedi 65, maka YPKP 65 dengan kemampuan yang ada akan membawa persoalan kejahatan kemanusiaan Pembunuhan massal 1965/1966 ke saluran hukum internasional: ICC (International Criminal Court), Dewan HAM PBB, UNWGED (United Nation Working Group on Enforced Disappearances), dll; dan melakukan upaya-upaya politis rakyat.

Demikian pernyataan sikap kami.

Hidup Korban!
Negara harus bertanggung jawab!


Pati, 8 April 2012.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65/66)