Tuesday 24 November 2015

INTERNASIONALISASI KASUS 1965

INTERNASIONALISASI KASUS 1965
Gatra, 19-26 November 2015
Asvi Warman Adam
Bertepatan dengan peringatan hari Pahlawan di Indonesia, di Den Haag dibuka pengadilan rakyat internasional mengenai kasus 1965 (IPT 65). Pengadilan ini memang bersifat internasional dengan tujuh orang hakim berkewarganegaraan asing. Seorang jaksa berkebangsaan Jerman dan enam lainnya dari Indonesia dipimpin pengacara senior Todung Mulya Lubis.
Majelis Hakim sudah berpengalaman luas dalam mahkamah internasional, diketuai Zak Yacoob mantan hakim mahkamah konstitusi Afrika Selatan, terdiri dari Sir Geoffrey Nice (Inggris), Helen Jarvis (Australia dan Kamboja), Mireille Fanon Mendes France (Perancis), John Gittings (Inggris), Shadi Sadr (eksil Iran), Cees Flinterman (Belanda). Nice pernah menjadi penuntut umum dalam kasus Slobodan Milosevic. Helen Jarvis terlibat dalam mahkamah international untuk Khmer Merah di Kamboja. Fasih berbahasa Indonesia ia menerjemahkan karya Tan Malaka “Dari Penjara ke Penjara” dalam bahasa Inggris.
International People’s Tribunal adalah bentuk pengadilan yang digelar oleh kelompok masyarakat dan bersifat internasional untuk membahas kasus pelanggaran HAM berat. Mekanisme ini berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Kekuatannya berasal dari suara para korban serta masyarakat sipil nasional dan internasional. Reputasinya akan teruji dalam kapasitasnya memeriksa bukti-bukti, melakukan pencatatan sejarah yang akurat mengenai kejahatan kemanusiaan yang terjadi, dan menerapkan prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional (the international customary law) pada fakta-fakta yang ditemukan. Tribunal ini tidak dimaksud untuk menggantikan peran negara dalam proses hukum.

IPT memiliki format pengadilan HAM secara formal dengan membentuk Tim Peneliti profesional dan menyusun Panel Hakim internasional. Tim Peneliti bertugas menghimpun dan mengkaji data serta kesaksian, lalu merumuskannya secara hukum dan menyerahkannya kepada Tim Jaksa Penuntut. Tim Jaksa ini akan menyusun dakwaan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang meluas dan sistematis yang dilakukan negara. Bukti-bukti tersebut berupa dokumen tertulis, audio visual dan keterangan para saksi.
Peristiwa 1965 diajukan karena pembantaian massal tersebut dan seluruh rangkaian prosesnya merupakan bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia yang selama ini diabaikan oleh pengadilan negara hingga membawa dampak besar bagi bangsa Indonesia sekarang dan mendatang. Meskipun sudah banyak bukti yang terungkap, pemerintah Indonesia belum berhasil mengadili para pelaku kejahatan tersebut.
Apa manfaat IPT 65 ini ? Kegiatan ini tidak dibiayai dengan APBN sehingga negara tidak usah mengeluarkan ongkos. Meski keputusannya tidak otomatis mengikat negara Indonesia secara legal-formal, namun karena sifatnya sebagai mekanisme Pengadilan Rakyat di tingkat internasional, ini dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat untuk mendesak negara agar mampu menegakkan keadilan atas tragedi 1965 sekaligus menghentikan impunitas bagi para pelakunya. Hasil pengadilan ini dapat menjadi sumber legitimasi bagi negara Indonesia untuk membuktikan diri sebagai negara yang mampu memenuhi pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat masa lalu; dan menjadi bagian dari masyarakat internasional yang dihormati karena tanggap dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat tersebut. Sementara itu pada masyarakat akan tumbuh kesadaran bahwa politik kekerasan maupun kejahatan kemanusiaan tidak dapat ditolerir. .
Untuk para penyintas dan keluarganya hasil pengadilan ini dapat berkontribusi pada proses pemulihan mereka sebagai korban kejahatan kemanusiaan. Dampak lain yang diharapkan adalah penghapusan stigma terhadap para korban dan keluarganya sebagai pihak yang secara langsung atau tak langsung pernah terkait pada Gerakan 30 September 1965. Penghapusan stigmatisasi tersebut diharapkan disertai pemulihan kedudukan hukum para korban, penyintas dan keluarganya.
Pengadilan rakyat di Den Haag tidak bertujuan menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia apalagi berkhianat kepada bangsa. Temuan selama persidangan menurut komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi sejalan dengan kesimpulan dari Penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus 1965 tahun 2012 yang sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Dianto mengutip kesimpulan executive summary laporan tersebut yang sudah diterbitkan Komnas HAM. Yang baru menurut sang komisioner Komnas HAM adalah gugatan kekerasan seksual melalui kesaksian di balik layar oleh seorang perempuan korban yang dianiaya seorang guru besar UGM Yogyakarta. Mariana Amiruddin komisioner Komnas Perempuan yang berangkat ke Den Haag menghadiri pengadilan ini dengan surat ijin dari Presiden Republik Indonesia mengatakan kasus kekerasan seksual termasuk laporan penelitian lembaga tersebut.
Mengapa Den Haag, Belanda, dipilih menjadi tempat penyelenggaraan IPT 1965 tanggal 10-13 November 2015 ? Jawaban lugas, tidak mungkin dilakukan di Indonesia; diskusi buku 1965 saja seperti pada Festival Ubud Bali diintervensi aparat keamanan. Sementara itu, Den Haag merupakan kota simbol keadilan dan perdamaian internasional. Lembaga-lembaga seperti International Court of Justice (Mahkamah Pidana Internasional) dan sejumlah pengadilan khusus dan penting, seperti Tribunal Yugoslavia, diselenggarakan, atau memiliki kantor Sekretariat, di sini. Tribunal Tokyo (Pengadilan Perempuan Internasional atas Kejahatan Perang tentang Perbudakan Seksual Militer Jepang) menyelenggarakan sidang putusannya di Den Haag (2001).
Pengadilan rakyat ini juga bertujuan mendapatkan pengakuan internasional atas keterlibatan sejumlah negara Barat dalam tragedi 1965. Sebuah gugatan diajukan menyangkut peran AS, Inggris dan Australia dalam kasus ini dengan saksi ahli sejarawan Bradley Simpson. Dia menulis buku Economists with guns: Authoritarian Development and US-Indonesian Relations, 1960-1968 yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Menurut Simpson “pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara barat lain sudah lebih dari setahun mengusahakan terjadinya konflik senjata antara tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan harapan tentara Indonesia bisa menghancurkan PKI”.
Setelah meletus G30S AS membantu dana untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu sebanyak Rp 50 juta serta memberikan daftar pengurus PKI. Pemerintah Amerika Serikat memulai sebuah operasi yang ditutup-tutupi untuk mendukung militer Indonesia dalam menghancurkan PKI. Pemerintah Amerika menyediakan senjata, bantuan dana dan dukungan politik, supaya Jenderal Soeharto dan sekutunya mengetahui bahwa mereka mendapat dukungan penuh, walaupun dukungan diberikan diam-diam. Saat itu, untuk Amerika, terang-terangan mendukung Soeharto dan tentara Indonesia melawan Sukarno, mengandung resiko politik tinggi.
Simpson juga bersaksi bahwa Amerika sepenuhnya sadar akan rangkaian pembunuhan yang terjadi dan jumlah orang yang tewas selama pembunuhan berlangsung. Amerika tidak protes atau berusaha menghentikan peristiwa tersebut dan malah membantu pemerintah Indonesia dengan menyediakan apapun yang dibutuhkan untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia. Padahal mereka tahu benar bahwa bantuan digunakan juga untuk membunuhi rakyat tak bersenjata.
Dari dokumen yang dipublikasikan, pemerintah Amerika mulai mendukung militer Indonesia sejak akhir Oktober 1965.
Pemerintah Inggris, seperti juga Australia, melakukan operasi propaganda rahasia mendukung tentara Indonesia waktu itu. Pemerintah Jepang memberi dukungan dana, juga sejumlah negara Barat yang meyediakan bantuan intelijen, bahkan juga pemerintah Uni Soviet pada waktu itu. Pada masa terjadi konflik antara Uni Soviet dengan Cina soal ideologi komunisme, tidaklah mengherankan kalau Indonesia yang lebih dekat dengan Cina menjadi sasaran Uni Soviet.
Selama 50 tahun studi G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris, Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang, dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Bulan September 2015 di Jakarta dipresentasikan laporan penelitian yang dikerjakan tim peneliti Universitas Waseda, Tokyo, Jepang. Salah seorang peneliti Jepang, sejarawan senior Aiko Kurasawa mengatakan bahwa Jepang tidak terlibat dalam peristiwa G30S. Namun Jepang adalah termasuk negara yang paling diuntungkan dengan peristiwa 1965 yang memakan korban sampai 500.000 orang. Jepang menjadi negara investor pertama pada awal Orde Baru. Hal ini agar disadari pula oleh pemerintah dan masyarakat Jepang.

Diharapkan negara-negara asing yang terlibat dalam tragedi 1965 atau yang diuntungkan oleh peristiwa tersebut untuk membantu Indonesia dalam penyelesaian masalah HAM berat masa lalu, misalnya dalam pendanaan program pemulihan trauma para korban. (Dr Asvi Warman Adam, sejarawan)

Sunday 22 November 2015

Kaum Eksil Dukung Putusan IPT

Chalik Hamid
Today at 5:24 AM
Kaum Eksil Dukung Putusan IPT

Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65) negeri Belana pada tanggal 21 November 2015 mengadakan sebuah pertemuan silaturahmi dengan saudara Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65). Bedjo datang ke negeri Belanda  memenuhi acara International People’s Tribunal yang berlangsung tanggal 10 – 13 November 2015 di Den Haag. Pertemuan silaturahmi yang berlangsung di gedung Inloophuis Vollenhove di kota Zeist itu dihadiri penuh sesak oleh para kaum eksil yang biasa di sebut orang-orang terhalang pulang.
Pertemuan silaturahmi tersebut diisi dengan acara bertukar pikiran, bersama-sama berusaha menentukan dan menyatukan langkah ke depan perjuangan Korban 1965, suatu langkah kemitraan strategis kongkrit dan membangun sinergi antara perjuangan kawan-kawan di Tanah Air dan yang berada di Luar Negeri serta Kerjasama antara YPKP 65 dengan LPK 65 dalam perjuangan bersama berjangka panjang. Dalam acara silaturahmi tersebut, para hadirin banyak mengajukan pertanyaan, hingga terbentuk sebuah diskusi hangat dan menyegarkan. Berbagai macam bentuk pertanyaan mendapatkan jawaban dari saudara Bedjo Untung dan teman-teman lainnya.
Para kaum eksil yang biasa disebut orang-orang terhalang pulang, bahkan oleh Gusdur dinyatakan sebagai ‘’orang-orang kelayaban’’,  dengan sepenuh hati mendukung diadakannya Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag yang telah menyimpulkan terjadinya kejahatan kemanusiaan berat di Indonesia pada tahun 1965 yang melanggar hukum Internasional. Pada waktu itu Indonesia telah mendorong terjadinya pelanggaran HAM melalui militernya, dengan rantai komando militer yang tersusun rapi dari atas ke bawah. Hal ini sesuai dengan yang telah disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim Pangadilan Rakyat Internasional Zak Jacoob yang menyatakan telah terjadi pembantaian massal, pemenjaraan orang tanpa pengadilan,  perlakuan tak manusiawi terhadap para tahanan, terjadi penyiksaan dan kerja paksa yang mirip dengan perbudakan. Telah terjadi banyak kekerasan seksual terhadap perempuan yang sistematis dan rutin ketika para tahanan ditangkap dan diasingkan. Para hakim IPT juga meyakini bahwa rezim Orde Baru memiliki maksud politik untuk menyingkirkan PKI, anggota dan simpatisannya, loyalis Sukarno, serikat buruh dan lain-lain.
Pertemuan silaturahmi yang dimoderatori oleh ketua LPK65 negeri Belanda M.D.Kartaprawira berjalan lancar dan hangat, diakhiri dengan pambacaan sebuah puisi oleh seorang peserta. (CH).

Friday 20 November 2015

IPT DAN VERSI-VERSI SEJARAH 1965

IPT DAN VERSI-VERSI SEJARAH 1965
http://www.bolehmerokok.com/ipt-dan-versi-versi-sejarah-1965/
ipt-dan-versi-versi-sejarah-1965
P
anel hakim Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tentang peristiwa 1965, dalam putusan sementara menetapkan bahwa negara bersalah terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat pasca Peristiwa G30S. Panel hakim IPT juga mempertimbangkan lebih jauh dakwaan jaksa tentang keterlibatan negara-negara lain: Amerika, Inggris dan Australia. Seperti diketahui dalam sidang IPT jaksa mendakwa, Amerika Serikat, Inggris dan Australia turut terlibat aktif dan membantu kediktatoran Pemerintah Soeharto menumpas PKI.
“Seluruh materi, tanpa diragukan lagi, menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang diajukan ke hakim memang terjadi,” kata Zak Yacoob, mantan hakim konstitusi asal Afrika Selatan itu.
Dalam putusannya, majelis hakim merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan persoalan ini. Terlebih, lanjutnya, Komnas HAM sejak 2012 sudah merampungkan laporan adanya dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa 1965.
Tentu hal ini mengundang pro dan kontra. Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan juga menyiratkan sikap kontra atas proses ini, “Untuk siapa kau minta maaf? Keluarga korban mana? Pembantaian mana? Sekarang saya tanya Westerling kalau mau, buka-bukaan dong, berapa banyak orang Indonesia dibunuh? Jadi jangan suara bule aja yang kalian dengerin, suara Indonesia juga didengerin,” kata mantan Jendral bintang tiga itu.
Tak ketinggalan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu melalui media massa mengatakan bahwa pengadilan di Belanda tersebut tak usah ditanggapi karena Belanda dulu juga banyak melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Ya, isu nasionalisme pun digoreng sebegitu rupa. Jelas, konteks IPT telah disalah pahami banyak orang. Secara historis, IPT diprakarsai dan dibentuk oleh aktivis masyarakat sipil internasional. Karena itu IPT berada di luar domain negara maupun lembaga formal seperti PBB. IPT sama sekali enggak memiliki hubungan formal dengan Pemerintah Belanda. Pilihan lokasi persidangan di Belanda karena pertimbangan Kota Den Haag dianggap sebagai “simbol keadilan dan perdamaian internasional.” Di sana bermarkas International Court of Justice. Selain itu, juga karena sebagian besar panitia penyelenggara IPT adalah warga Indonesia (eksil) yang bermukim di Belanda.
Orang-orang yang menginisiasi IPT peristiwa 1965 juga bukan orang bule, melainkan warga Indonesia sendiri. IPT peristiwa 1965 dikoordinasi oleh Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan dan pejuang HAM. Sementara Todung Mulya Lubis, pengacara yang juga dikenal sebagai aktivis HAM, menjadi ketua jaksa penuntut umum.
Todung menilai, meskipun keputusan IPT ini masih bersifat sementara, namum putusan sela ini jadi tonggak sejarah dan momen untuk mengungkapkan kebenaran setelah masa penantian 50 tahun. “Sulit bagi saya untuk mengekspresikan perasaan saya. Ini adalah moment of the truth,” ujar Todung.
Sementara Nursyahbani mengatakan, putusan IPT jadi semacam obat penyembuh bagi korban karena setidaknya organisasi HAM internasional atau bahkan masyarakat internasional telah mengakui adanya kejahatan HAM berat pasca Peristiwa G30S. Lebih jauh, putusan IPT 1965 nantinya akan dijadikan sebagai dokumen lobi kepada organisasi-organisasi internasional baik LSM maupun PBB, terlebih seandainya enam bulan atau maksimum satu tahun ke depan pemerintah Indonesia tidak melakukan kewajibannya seturut ketentuan hukum nasional maupun internasional.
Selain itu, putusan IPT juga penting sebagai upaya pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah agar generasi muda mendapatkan gambaran tentang fakta sejarah negaranya secara jujur dan obyektif, ujar Nursyahbani.
Ya, bicara Peristiwa G30S di sana-sini masih kita temui banyak hal gelap. 50 tahun setelah peristiwa subuh dini hari itu, selain dikenal versi sejarah resmi atau negara, juga muncul beberapa teori yang memiliki tafsiran berbeda-beda terhadap siapa dalang sesungguhnya di balik Peristiwa G30S, antara lain:
Tabel Ringkasan Teori Seputar G30SSumber: Buku “BAYANG-BAYANG PKI”. Penerbit: Institut Studi Arus Informasi
Munculnya beragam tafsiran mengisyaratkan, bahwa peristiwa G30S1965 bukanlah sebuah realitas sederhana. Terlebih mengingat konstelasi politik Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur di satu sisi; garis kebijakan politik Presiden Soekarno yang cenderung dianggap telah bergeser ke Kiri beserta kedekatannya dengan PKI di sisi lain; yang kesemuanya itu berdampak memantik sikap pro dan kontra yang “panas” dalam kontelasi politik dalam negeri.
Artinya jelas sangat mungkin berbagai irisan kepentingan dan kerja-kerja intelijen spionase dari kedua blok itu pasti menyulut ketegangan politik yang semakin memanas hingga akhirnya bermuara pada Peristiwa G30S tersebut.
Namun seandainya kemudian ditanyakan, dari berbagai teori di atas manakah perspektif tafsiran yang paling benar? Tentu susah dijawab secara hitam-putih, dan jawabannya pasti juga bukanlah hitam-putih. Tapi, seandainya ditanyakan siapakah yang paling menangguk keuntungan besar pasca Peristiwa G30S? Maka jawabannya tentu lebih mudah.
Terhitung belum genap lima tahun sejak Peristiwa G30S tercatat lahir UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua regulasi ini memudahkan modal asing mengalir dari Blok Barat ke Indonesia, hal yang selama beberapa waktu lalu terhambat oleh serangkaian kebijakan politik Presiden Soekarno dan PKI.

RELATED ITEMS1965G30SIPT


Thursday 19 November 2015

Di Balik Tirai Hitam

Di Balik Tirai Hitam

Selama IPT 65 berlangsung 10-13 November yang lalu, saya yakin banyak orang-orang yang bertanya-tanya, apa di balik tirai hitam di belakang kanan meja para hakim? Di situ, di balik tirai hitam itu, beberapa saksi menyampaikan ceritanya. Misterius, tanpa wajah dan memakai nama samaran. Ada apa di balik tirai hitam?
Di balik tirai hitam ada kekuatan.
Mereka duduk menunggu dan menyaksikan seluruh proses tribunal dari sebuah layar televisi dengan sabar hingga tiba giliran masing-masing untuk berkata-kata di depan pengeras suara. Duduk sejak setengah jam sebelum acara dimulai jam 9 pagi persis setiap harinya hingga jam 5 sore, menikmati teh kopi serta makan siang di tempat yang sama, merebahkan dirinya di deretan kursi panjang untuk sekedar beristirahat, datang dan pulang lewat pintu belakang khusus, serta menggunakan toilet khusus buat mereka yang bebas antrian, membuat mereka terkesan ekslusif dan teralienasi. Tapi tidak, mereka merasa menyatu dengan audiens, dan merasa menjadi bagian dari sejarah yang dibuat di sebuah ruang besar di Niew Kerk. Mereka kuat menunggu, menjalani, dan mengikuti seluruh proses. Kekuatan mereka tidak luntur oleh usia, yang rata-rata sudah di atas 60 tahun, bahkan di atas 80 tahun. Kekuatan mereka bukan saja tertempa karena pengalaman fisik dan mental yang tertempa dari kejahatan atas tubuh dan memori mereka, tetapi juga kekuatan itu berasal dari sebuah harapan akan keadilan dan pengakuan atas apa yang mereka alami. Kekuatan itu juga berasal dari keinginan mereka untuk mengembalikan martabat dan memulihkan rasa sakit selama setengah abad.
Di balik tirai hitam ada cinta.
Cinta membuat mereka kuat. Kecintaan kepada keluarga membuat mereka yakin pilihan untuk bersaksi di balik tirai tidak saja mengembalikan harkat martabat keluarga tapi juga memberi rasa aman dan kepercayaan keluarga atas pilihan mereka. Pun dengan sahabat dan komunitas mereka, terutama para korban yang di hari-hari itu tidak bisa ikut memberi kesaksian. Kecintaan terhadap Indonesiapun membuat mereka kuat memilih dan mengikuti semua proses tribunal dengan sepenuh hati. Kecintaan yang aneh buat saya, karena kecintaan mereka terhadap Indonesia membuat mereka berjuang untuk negara dan kemudian malah dipenjara karenanya. Kecintaan yang masih membara meskipun mereka disiksa, diperkosa hak-haknya, dipinggirkan, dan distigma sebagai setan dan penghianat selama bertahun-tahun oleh masyarakat dan pemerintahnya sendiri. Kecintaan ini malah semakin besar, karena negara tak kunjung bisa adil dan bijaksana. Hadir di tribunal ini bagi mereka, adalah cara untuk meyakinkan negara untuk juga mencintai mereka dan jutaan warganya di tanah air.
Di balik tirai hitam ada emosi yang pekat.
Marah, bahagia, terharu, sedih, lega. Semua jadi satu dalam ruang lebar sekitar 4x6 meter persegi itu. Kemarahan muncul ketika mereka harus mengingat dan diingatkan tentang si A, B, C dari institusi X,Y,Z yang membuat luka-luka di tubuh dan ingatan mereka, menghilangkan keluarga-keluarga yang mereka sayangi, atau merampas hak mereka sebagai warga yang merdeka. Sedih mengikuti kemarahan itu, sedih mengingat betapa mereka merasa diperlakukan seperti barang rongsokan, sampah, virus penyakit, dan tahun-tahun yang tersia-sia dalam ketidak adilan. Mereka semua gemetar karena amarah pada saat bersaksi. Dua saksi malah harus beberapa kali menghentikan tuturannya dan nyaris rubuh karena amarah dan kesedihan. Sedih mengingat nasib keluarga dan kawan yang hilang hingga hari ini, dan sedih memikirkan kesedihan orang lain yang bersedih atas kekejaman ini. Meski marah dan sedih, tapi mereka sama sekali tidak takut. Ketika saya tanya kepada salah satu saksi, “takutkah, tegangkah?”, jawabnya: “ini tidak ada artinya dibandingkan ketakutan dan ketegangan sewaktu pemeriksaan dulu, Dik”. Saya bungkam membayangkan teror yang mereka alami dulu, Uncomparable! Tapi ketika mereka selesai berkata-kata, yang ada adalah lega yang luar biasa. Lega karena mereka mendapatkan tempat terhormat di depan warga dunia untuk menyatakan ketidak adilan yang dialami dan kebenaran yang selama ini dibungkam di negeri sendiri. Dan haru yang menyeruak, membuat mereka menangis. Menatap puluhan relawan yang membantu mereka memberi kesaksian tanpa bayaran sedikitpun, ketulusan dan kebersamaan yang ditunjukkan para kru IPT 65, para mahasiswa yang spontan ikut membantu menyiapkan terjemahan barang-barang bukti untuk para hakim, semua membuat mereka terharu dan bahagia. “Sejarah sudah dibuat, Dik, dan kalian lah yang memberi kami jalan untuk juga ikut dalam sebuah kesejarahan yang membebaskan”, kata salah satunya.
Tapi, di balik tirai hitam tidak ada kemerdekaan.
Tirai hitam adalah sebuah penanda, bahwa kemerdekaan belum jadi milik mereka. Mereka masih harus bersembunyi, meski Indonesia katanya memiliki demokrasi. Mereka hadir, ada, berwujud, tapi masih harus tersamar. Tidak, bukan karena mereka yang takut, tapi karena banyak orang dan kelompok di Indonesia yang ketakutan pada mereka, ketakutan pada kebenaran, ketakutan pada sejarah kelam bangsa ini.

Den Haag, 18 November 2015.

Catatan ini saya dedikasikan kepada para saksi yang menginspirasi setiap jiwa yang menyaksikan IPT65: Kingkin Rahayu, Ngesti, Intan Permatasari, Soerono, Aminah, Basuki, Martin Aleida Astaman Hasibuan Bedjo Untung, Yusuf Pakasi, Martono, para saksi ahli, para hakim dan prosecutors, para kru setempat termasuk Nursyahbani Katjasungkana, Aboeprijadi Santoso, Lea Pamungkas, Reza Muharam, Sri Tunruang, Ratna Saptari, Joss Wibisono, Basilisa Dengen dkk, tim Indonesia, serta semua orang berhati jernih yang terlibat, membantu, dan mendukung IPT65. Terima kasih...

Pernyataan akhir Majelis Hakim Tribunal Rakyat Internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pada 1965

Pernyataan akhir Majelis Hakim Tribunal Rakyat Internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pada 1965 pada

pada penutupan bukti tanggal 13 November 2015
Tribunal yang ditunjuk oleh Yayasan IPT 1965 untuk meninjau pergolakan dan kekerasan yang menggoncang Indonesia selama dan sesudah September-Oktober 1965, untuk memastikan bahwa kejadian-kejadian ini merupaan kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mengeluarkan kesimpulan apakah negara Indonesia dan/atau negara lain harus bertanggung jawab bagi kejahatan ini dan merekomendasikan langkah-langkah apa yang dapat diambil supaya bisa mencapai kedamaian berkeadilan serta kemajuan sosial di Indonesia.
Majelis Hakim menyesalkan bahwa baik pemerintah Indonesia maupun negara lain yang sudah diundang tidak mengirim wakilnya untuk hadir dalam tribunal ini.
Pernyataan ini ditulis pada tanggal 13 November 2015, pada akhir dengar pendapat kesaksian para korban dan saksi ahli yang berlangsung selama empat hari, demikian pula setelah memperhatikan latar belakang sejarah yang luas, hasil-hasil penelitian, tulisan-tulisan serta pendapat dan khususnya:
a. Pernyataan Komnas HAM pada tanggal 23 Juli 2012 tentang hasil Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat Peristiwa 1965-1966;
b. Laporan Komnas Perempuan yang berjudul: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965; serta
c. Kesimpulan observasi Komite Hak-Hak Asasi Manusia PBB yang pada tahun 2013 menyatakan prihatin terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia tahun 1965 dan sesudahnya, pengulangan keprihatinan itu pada tahun 2015, termasuk keprihatinan yang dinyatakan pada tahun 2012 oleh Komite PBB bagi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
Latar belakang sejarah yang luas mencakup bahan-bahan yang berkaitan dengan pemerintah Indonesia sebelum peristiwa 1965, laporan peristiwa ini dan dampaknya, tahun-tahun kediktatoran Soeharto sampai menjelang pergantian abad, konstitusi baru yang lebih reformis yang diangkat setelah penolakan menyeluruh terhadap rezim Soeharto seperti juga kejadian-kejadian sesudah itu.
Majelis Hakim secara khusus memperhatikan kenyataan bahwa tidak ada bahan-bahan terandal yang membantah adanya pelanggaran berat hak-hak asasi manusia ini, diloloskannya UU kebenaran dan rujuk nasional Indonesia dalam upaya menerima kenyataan bahwa peristiwa ini memang telah terjadi, tidak adanya penyangkalan oleh pemerintahan di Indonesia terhadap peristiwa ini serta janji Presiden Joko Widodo bahwa pelanggaran ini akan ditangani. Semua bahan yang ada ini memastikan di luar keraguan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia serius yang diajukan kepada para hakim memang benar-benar telah terjadi.
Majelis Hakim beranggapan bahwa pernyataan jaksa tentang telah terjadinya pembunuhan yang kejinya tak terperikan serta pembunuhan massal terhadap lebih dari puluhan ribu orang, pemenjaraan ratusan ribu orang yang tak dapat dibenarkan tanpa pengadilan dan dalam waktu yang terlalu lama serta dalam keadaan penuh sesak, kemudian penerapan siksaan yang tidak manusiawi serta kejam dan kerja paksa yang bisa mengarah pada perbudakan, semua itu sepenuhnya mendasar. Juga telah ditunjukkan bahwa kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, berlangsung secara sistematis dan rutin, khususnya pada periode 1965-1967, bahwa banyak lawan politik dianiaya dan diasingkan, dan ribuan orang yang, menurut wacana propaganda dan kebencian, dianggap tidak cukup mendukung kediktatoran Soeharto, telah hilang. Semua ini dibenarkan dan didorong melalui propaganda yang bertujuan untuk menegakkan pendirian palsu bahwa mereka yang melawan rezim militer sudah langsung tidak bermoral dan sangat bejat.
Sudah dibuktikan bahwa negara Indonesia sepanjang periode itu melalui sayap militer dan polisinya melakukan dan mendorong pelaksanaan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang serius ini secara sistematis dan meluas. Majelis Hakim juga percaya bahwa ini dilakukan demi tujuan politik: untuk membasmi PKI dan mereka yang dianggap sebagai anggota atau simpatisannya, juga lebih luas lagi para pendukung Sukarno, aktivis serikat buruh dan serikat guru. Rancangan seperti ini bertujuan untuk memunculkan rezim diktator yang bengis yang dengan benar telah dimasukkan dalam sejarah oleh rakyat Indonesia. Tak diragukan lagi bahwa tindakan-tindakan ini, yang semula dievaluasi secara terpisah untuk kemudian disatukan, telah merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, baik secara hukum internasional maupun menurut kaidah dan tata hukum zaman reformasi seperti telah diterima oleh rakyat Indonesia 17 tahun silam. Tribunal ini telah mendengar bukti secara terperinci dan mengharukan yang dikemukakan oleh para korban serta keluarga mereka, seperti juga bukti-bukti yang dikemukakan oleh para pakar. Majelis Hakim melihat rangkaian bukti ini sebagai puncak gunung es, dengan beberapa contoh nyata dan jelas tapi memilukan tentang bagaimana kehidupan manusia dicabik-cabik, bukan saja yang ditampilkan di hadapan Majelis Hakim tapi juga keseluruhan jaringan kehidupan manusia sebagai bagian besar masyarakat Indonesia.
Jaksa penuntut juga menunjukkan bahwa negara-negara lain telah membantu rezim bengis Soeharto untuk mencapai semua ini dalam upayanya mencapai tatanan internasional tertentu pada kerangka Perang Dingin. Kami akan mempertimbangkan hal ini dalam keputusan akhir nanti.
Bahan-bahan yang disampaikan kepada hakim bisa membuktikan bahwa telah dilakukan tindak pidana berat lain. Masalah ini juga akan diuraikan pada putusan akhir itu.
Majelis Hakim merasa cukup puas dengan kesimpulan mereka sehingga bisa mengumumkannya sekarang. Walau begitu kami masih butuh waktu untuk bisa secara terperinci menguraikan pelbagai alasan yang merupakan dasar untuk sampai pada kesimpulan ini. Dalam bulan-bulan mendatang, kami akan menyampaikan keputusan akhir yang menguraikan setiap kesimpulan dan pendapat yang ada pada penyataan ini.
Majelis Hakim berpendapat bahwa negara Indonesia bertanggung jawab bagi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan seperti itu, karena rantai komando diselenggarakan dari atas ke bawah seperti sebuah lembaga institusional.
Walaupun pada tahun 1998 di Indonesia sudah terjadi perubahan-perubahan penting dan positif yang lebih menekankan pentingnya hak-hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan, tapi itu ternyata belum juga menyebabkan pemerintah menangani pelanggaran berat hak-hak asasi manusia masa lampau yang berlangsung begitu sistematis.
Sebagai tambahan kesimpulan di atas, Tribunal yakin bahwa bukti yang diajukan mengenai alat-aat propaganda sebelum 1965 yang mendorong anggapan bukan manusia sehingga terjadi pembunuhan ribuan orang juga menyangkut kebohongan. Secara khusus pengulang-ulangan bahwa para jenderal telah dipotong kemaluan mereka sudah lama dibuktikan tidak besar melalui visum et repertum dan laporan ini sudah juga diketahui oleh pelbagai pemerintahan di Indonesia. Merupakan tugas Presiden dan pemerintah Indonesia untuk secepat mungkin mengakui kepalsuan ini, meminta maaf sepenuhnya tanpa ragu-ragu atas kebohongan yang telah dilakukan, dan menjalankan penyidikan kemudian juga mengadili pelaku yang masih hidup. Tribunal menduga bahwa Presiden tentu saja akan melakukan semua ini serta memenuhi janji pemilu. Lebih dari itu, pelbagai arsip harus dibuka dan kebenaran bagi kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus ditegakkan.
Berkaitan dengan ini, Majelis Hakim mencatat bahwa Komnas HAM sudah melakukan penelitian pada tahun 2008 dan pemerintah Indonesia sudah menerima laporan serta rekomendasi Komnas HAM. Pemerintah belum melaksanakan rekomendasi itu dan menurut kami harus melaksanakannya sebagai sesuatu yang mendesak. Rekomendasi ini mencakup santunan yang memadai bagi para korban.
Kami menghargai Yayasan IPT65 dan banyak orang yang sudah menghabiskan waktu dan energi serta dana atau sumberdaya lain untuk Tribunal ini. Tanpa semua keterlibatan dan tekat ini, Tribunal tidak akan mungkin terlaksana. Kami percaya bahwa jerih payah mereka akan memperoleh justifikasi jika ada respons memadai baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Mireille Fanon-Mendes France
Cees Flinterman
John Gittings
Helen Jarvis
Geoffrey Nice
Shadi Sadr
Zak Yacoob


Tuesday 17 November 2015

Amerika Dukung Dana dan Senjata untuk Soeharto Membasmi PKI

Bradley Simpson dalam Sidang Pengadilan Masyarakat Internasional (IPT- International People’s Tribunal) 1965 di Den Haag November 2015 (Ist)‏Bradley Simpson dalam Sidang Pengadilan Masyarakat Internasional (IPT- International People’s Tribunal) 1965 di Den Haag November 2015 (Ist)‏JAKARTA- Salah satu dakwaan yang diajukan tim jaksa penuntut pada Pengadilan Masyarakat Internasional (IPT- International People’s Tribunal) 1965 di Den Haag adalah keterlibatan negara-negara lain dalam pelaksaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Untuk dakwaan ini tim jaksa IPT 1965 mengajukan Bradley Simpson sebagai saksi. Sejarawan Bradley Simpson sudah lama meneliti keterlibatan pemerintah Amerika dalam banjir darah 1965-1966 di Indonesia. Dia menulis buku tentang keterlibatan Amerika yang berjudul Economists with guns: Authoritarian Development and US-Indonesian Relations, 1960-1968. Dibawah ini wawancara yang dilansir 13 November 20115 oleh website http://1965tribunal.org,

IPT65: Anda baru saja memberi kesaksian di depan IPT 1965 Den Haag tentang keterlibatan pemerintah Amerika Serikat pada peristiwa banjir darah di Indonesia tahun 60-an. Hal penting apa yang Anda coba kemukakan?
Bradley Simpson: Satu hal penting yang ingin saya kemukakan bahwa pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara barat lain sudah lebih dari setahun mengusahakan terjadinya konflik senjata antara tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan harapan tentara Indonesia bisa menghancurkan PKI.
Setelah G30S, pemerintah Amerika memulai sebuah operasi yang ditutup-tutupi untuk menyokong dan menyemangati militer Indonesia supaya menghancurkan PKI. Pemerintah Amerika menyediakan senjata, bantuan dana dan dukungan politik, supaya Jenderal Soeharto dan sekutunya tahu bahwa mereka mendapat dukungan penuh, walaupun dukungan diberikan diam-diam. Saat itu, untuk Amerika, terang-terangan mendukung Soeharto dan tentara Indonesia melawan Sukarno, mengandung resiko politik tinggi.
Saya juga bersaksi bahwa Amerika sepenuhnya sadar akan rangkaian pembunuhan yang terjadi dan jumlah orang yang tewas selama pembunuhan berlangsung. Amerika tidak protes atau berusaha menghentikan peristiwa tersebut dan malah membantu pemerintah Indonesia dengan menyediakan apapun yang dibutuhkan untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia. Padahal mereka tahu benar bahwa bantuan digunakan untuk membunuhi rakyat tak bersenjata.
IPT65: Berapa lama operasi itu berlangsung?
Bradley Simpson: Dari dokumen yang dipublikasikan, pemerintah Amerika mulai mendukung militer Indonesia sejak akhir Oktober 1965.
IPT65: Jadi singkatnya ini uang Amerika, senjata Amerika dan restu diam-diam Amerika?
Bradley Simpson: Ya, seperti yang saya tekankan, dukungan materi sangat kecil waktu itu, karena terang-terangan mendukung militer Indonesia melawan Sukarno resikonya besar buat Amerika. Sukarno waktu itu masih presiden dan Soeharto tidak populer di Indonesia. Jadi CIA dan pemerintah Amerika harus berhati-hati sekali dalam memberi dukungan, supaya tidak ketahuan publik. Jika ketahuan bisa mendiskreditkan tentara Indonesia yang tengah berusaha mengukuhkan citra sebagai penguasa sah Indonesia saat itu. Para petinggi militer tidak mau Amerika membahayakan prospek mereka untuk merebut kekuasaan.
Jadi situasinya memang rawan, Amerika mau saja memberi dukungan, tapi bagaimana caranya supaya tidak berlebihan dan tidak ketahuan, sehingga membahayakan militer Indonesia mencapai tujuan besar menghancurkan PKI, menggulingkan Sukarno dan merebut kekuasaan.
IPT65: Sudah tentu pemerintah Amerika tidak sendirian dalam hal ini, bukan? Ada keterlibatan negara lain?
Bradley Simpson: Sedikit sekali, atau bahkan sebenarnya tidak ada negara lain yang benar-benar melakukan sesuatu yang berarti untuk menghentikan rangkaian pembunuhan ini. Pemerintah Inggris, seperti juga Australia, melakukan operasi propaganda rahasia mendukung tentara Indonesia waktu itu. Pemerintah Jepang memberi dukungan dana, juga sejumlah negara barat yang meyediakan bantuan intelijen, bahkan pemerintah Uni Soviet pada waktu itu. Waktu itu terjadi konflik antara Uni Soviet dengan Cina soal ideologi komunisme. Tidaklah mengherankan kalau Indonesia yang lebih dekat dengan Cina menjadi sasaran Uni Soviet. (Web Warouw)
Sumber: http://www.bergelora.com/nasional/politik-indonesia/2586-amerika-dukung-dana-dan-senjata-untuk-soeharto-membasmi-pki.html

Concluding Statement of the Judges of the International People's Tribunal on the 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia At Th

Concluding Statement of the Judges of the International People's Tribunal
 on the 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia At Th
ABOEPRIJADI SANTOSO·SATURDAY, NOVEMBER 14, 2015
At The Close of Evidence on 13 November 2015
The judges of this Tribunal were appointed by the Foundation of the International People's Tribunal on the 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia to evaluate the upheaval and violence that plagued Indonesia during and after September-October 1965, to determine whether these events amounted to crimes against humanity, to express a conclusion on whether the state of Indonesia and/or any other state should assume responsibility for these crimes and to recommend what may be done in the interests of lasting and just peace and social progress in Indonesia. The judges regret that neither the government of Indonesia, nor any other state to whom notice was given have made any submissions before this tribunal despite having been invited. This Statement is made on the 13th day of November 2015, at the end of the hearing of oral testimony of the victims, and of expert witnesses, over four days, having taken into account the broad historical background, much research material, writing and opinion and, in particular: a. the 23 July 2012 Statement by Komnas HAM (National Commission for Human Rights) on the Results of its Investigations into Grave Violations of Human Rights During the Events of 1965-1966; b. the 2007 report Gender-Based Crimes Against Humanity : Listening to the Voices of Women Survivors of 1965 by Komnas Perempuan (Indonesian Commission for Violence against Women); and c. the Concluding Observations of the UN Human Rights Committee in 2013 raising concerns about human rights violations in Indonesia in 1965 and after, the reiteration of those concerns in 2015, as well as the concerns expressed in 2012 by the UN Committee on the Elimination of Discrimination Against Women. The broad historical background includes material concerning the government in Indonesia before the events of 1965, accounts of these events and their impact, the years of the Suharto dictatorship until about the turn of the century, the new reformist constitutional era ushered in after the round rejection of the Suharto regime as well as events after that. The judges have had particular regard to the fact that there is no credible material disputing the occurrence of these grave violations of human rights, the passage in Indonesia of truth and reconciliation legislation in an effort to come to terms with the fact that these events had indeed occurred, the absence of any denial by any government of Indonesia that these events had occurred and the
1
promise made by the President of Indonesia, Joko Widodo, to ensure that these violations will be redressed. All the material demonstrates beyond any doubt that the serious violation of human rights brought to the judges’ attention did occur. The judges consider that allegations by the prosecution of cruel and unspeakable murders and mass murders of over tens of thousands of people, of unjustifiable imprisonment of hundreds of thousands of people without trial and for unduly long periods in crowded conditions, and the subjection of many of the people in prison to inhumane and ruthless torture and to forced labour that might well have amounted to enslavement, are well founded. It has also been demonstrated that sexual violence, particularly against women, was systematic and routine, especially during the period 1965-1967, that many political opponents were persecuted and exiled, and that many thousands of people who, according to propagandist and hate discourse, were thought not to support the Suharto dictatorship with sufficient fervour, disappeared. All of this was justified and encouraged by propaganda aimed at establishing the false proposition that those opposed to the military regime were by definition grossly immoral and unspeakably depraved. It has been established that the State of Indonesia during the relevant period through its military and police arms committed and encouraged the commission of these grave human rights violations on a systematic and widespread basis. The judges are also convinced that all this was done for political purposes: to annihilate the PKI and those alleged to be its members or sympathizers, as well as a much broader number of people including Sukarno loyalists, trade unionists and teachers. The design was also to prop up a dictatorial violent regime which the people of Indonesia have rightly consigned to history. It cannot be doubted that these acts, evaluated separately and cumulatively, constitute crimes against humanity, both in International Law and judged by the values and the legal framework of the new reformist era accepted by the people of Indonesia seventeen years ago. This Tribunal has heard the detailed and moving evidence of victims and families as well as the evidence of established experts. It saw this evidence as no more than the mere tip of the iceberg, a few tangible, graphic and painful examples of the devastation of the human beings who appeared before them, as well as the wholesale destruction of the human fabric of a considerable sector of Indonesian society. The prosecution made the case that other states have aided Suharto’s ruthless regime to achieve these results in the pursuit of the establishment of a particular international order in the context of the Cold War. We will consider this in our final judgment.
2
The material presented to the judges may amount to proof that other grave crimes have been committed. This issue is also left open for the final judgment. The judges are sufficiently satisfied of their conclusions to make them public now with confidence. However we need more time to set out in detail the basis upon which we have come to these conclusions. We shall file a final judgment justifying, with reasons, every conclusion and opinion in this statement within the coming months. The judges consider the state of Indonesia responsible in the commission of such crimes against humanity as the chain of command was organised from top to bottom of the institutional bodies. Despite the important and positive changes that took place in Indonesia in 1998, emphasising the importance of human rights in governance, this has not led to a situation in which the successive governments have genuinely addressed past grave and systematic human rights violations. In addition to the above conclusions the Tribunal is convinced on the evidence presented that material propaganda advanced in 1965 that motivated the dehumanisation and thus the killing of thousands of people included many lies. In particular, the repeated assertion that the generals were castrated has long been disproved by autopsy reports and these reports have been known to successive governments of Indonesia. It is the duty of the president and government of Indonesia forthwith to acknowledge this falsity, to apologise unreservedly for the harm that these lies have done, and to institute investigations and prosecutions of those perpetrators who are still alive. The Tribunal would have thought that the President would, of course, do all this and be eager to keep his electoral promise. Furthermore, the archives should be opened and the real truth on these crimes against humanity should be established. In this regard, the Members of this Tribunal note that Komnas HAM commenced investigations in 2008 and that the government of Indonesia has received the commission’s report and recommendations. The government has not implemented these recommendations and in our view should do so as a matter of urgency. These recommendations include appropriate reparation for victims. We commend the Foundation and the many people who have invested time and energy as well as financial and other resources on this Tribunal. Without all that involvement and determination, such such a tribunal would not have been possible. We trust that their efforts will be justified by an appropriate national and international response.
3
Mireille Fanon-Mendes France
Cees Flinterman
John Gittings
Helen Jarvis
Geoffrey Nice
Shadi Sadr
Zak Yacoob
4

https://www.facebook.com/notes/aboeprijadi-santoso/concluding-statement-of-the-judges-of-the-international-peoples-tribunal-on-the-/10153684369484400

IPT sebagai Mahkamah Sejarah

IPT sebagai Mahkamah Sejarah

INTERNATIONAL People Tribunal (IPT) 1965 atau Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 yang digelar 10—13 November di Den Haag, Belanda, telah mengeluarkan putusan. Majelis Hakim yang terdiri dari Geoffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman, dan Zak Yacoob menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia serius di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965. 

Majelis Hakim menyatakan telah terjadi pembunuhan massal puluhan ribu orang, pemenjaraan ilegal tanpa pengadilan dan untuk waktu lama, juga perlakuan tak manusiawi terhadap tahanan, juga terjadi penyiksaan dan kerja paksa yang menyerupai perbudakan. Putusan tersebut diberikan setelah menjalani sidang yang digelar secara maraton 10—13 November. 

Pada sidang tersebut, Pemerintah Indonesia didakwa atas pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa, dan penganiayaan melalui propaganda terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Sejak sidang ini digelar, beragam reaksi bermunculan atas digelarnya sidang ini. Meski tak memiliki kekuatan hukum tetap, topik sensitif ini pastinya akan melahirkan kontroversi. Maklum, soal ‘65 adalah soal yang sensitif meskipun peristiwannya telah 50 tahun berlalu. 

Padahal, jika kita cermati IPT 1965 sendiri bukan digelar untuk membela PKI, melainkan untuk mengungkap kebenaran dalam kasus kejahatan kemanusiaan periode 1965 sebagaimana disimpulkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam hasil investigasinya. Penulis lebih suka menyebut pengadilan rakyat ini sebagai mahkamah sejarah. 

Salah satu reaksi datang dari Menkopolhukam, "Untuk siapa kau minta maaf? Keluarga korban mana? Pembantaian mana? Sekarang saya tanya Westerling kalau mau, buka-bukaan dong, berapa banyak orang Indonesia dibunuh? Jadi jangan suara bule saja yang kalian dengerin, suara Indonesia juga didengerin," kata Luhut seperti dilansir berbagai media. 

Reaksi Luhut tentu dapat dipahami, sekali lagi kasus 1965 adalah peristiwa sensitif. Wajar jika Luhut mungkin lupa, jika perbandingannya adalah kasus Westerling, bukankah pada 2013 Pemerintah Belanda telah mengakui, meminta maaf, dan memberikan kompensasi atas gugatan para korban. 

Hal tersebut bukan sekonyong-konyong, melainkan putusan Pengadilan Den Haag yang secara tegas menyebut tindakan tersebut adalah ilegal (onrechtmatig) dan memerintahkan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian di Desa Rawagede, Jawa Barat. 

Kembali ke topik, meski pengadilan ini, sekali lagi tak memiliki kekuatan hukum, penulis tertarik mengikuti berbagai gugatan dan kesaksian yang dihadirkan. Kesaksian-kesaksian yang disampaikan sesungguhnya hendak mengonfirmasi berbagai hasil penelitian yang sebelumnya telah terpublikasi luas. 

Ada yang memang telah menjadi cerita umum, ada juga hal yang baru penulis dengar. Satu kesaksian yang menarik dan baru penulis dengar adalah keterlibatan salah seorang mendiang guru besar dari sebuah universitas ternama dalam penyiksaan terhadap orang-orang yang dituduh menjadi anggota PKI. Kesaksian ini tak ayal menjadi kepingan lembaran hitam sejarah Indonesia. 

Tekanan Politik 

Penting untuk dipahami bahwa meskipun International People's Tribunal (IPT) merupakan forum pengadilan rakyat yang digagas pegiat HAM, keluarga korban, akademisi, dan praktisi hukum. IPT tidak terkait dengan lembaga resmi seperti International Criminal Court atau badan HAM tertentu di Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Meski demikian, satu hal yang pasti adalah bahwa pengadilan rakyat kasus 65 ini akan didengar dunia dan dengan adanya media sosial dan keterbukaan. Berkaca dari pengalaman, sebelumnya juga telah digelar Tokyo’s People Tribunal: The Women’s International War Crimes Tribunal for the Trial of Japan’s Military Sexual Slavery, Japan (TPT) yang dibentuk tahun 2000 sebagai respons atas kejahatan seksual yang dilakukan Jepang pada Perang Dunia II. 

Hal serupa juga dilakukan dalam Russell Tribunal on Palestine (RtoP). RToP pada tahun 2009 sebagai reaksi publik atas diamnya komunitas internasional terhadap berbagai pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel terhadap Palestina. 

Pada gilirannya, Indonesia tak lagi bisa menghindar dari sorotan dunia atas sejarah kelam yang pernah terjadi. Terlebih, selama persidangan, bukti dan saksi hidup yang pernah menjadi korban pada peristiwa 1965 dihadirkan di muka umum. Satu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Putusan pengadilan rakyat ini sekali lagi meskipun tidak punya kekuatan hukum mengikat, tetapi bisa memperkuat advokasi, baik di level nasional maupun internasional. 

Terlebih, sebelumnya pada 2012 Komnas HAM juga telah menyampaikan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung, tetapi sampai detik ini belum juga ditindaklanjuti.
Bagi para korban sendiri, terutama yang masih hidup, Pengadilan Rakyat Internasional 1965 menjadi mahkamah sejarah untuk menyuarakan nasibnya sekaligus membuktikan bahwa masih ada warga dunia yang mengulurkan tangan. Mereka seakan hendak melawan apa yang dikatakan oleh Bertrand Russell sebagai kejahatan atas kebungkaman (crime of silence). 

Sebagaimana dikatakan Martin Aleida, salah seorang saksi bahwasanya memberikan kesaksian adalah episode terakhir dalam hidupnya di mana ia hendak melakukan sesuatu untuk bangsannya.
Bagaimanapun negeri-negeri yang bergulat dari masa transisi menuju demokrasi, kejahatan kemanusian di masa lalu acap menjadi beban di masa kini. Di negeri-negeri lain keadilan yang sempat terabaikan di masa lalu perlahan mulai kembali ditegakkan. 

Di Indonesia penuntasaan kasus masa lalu masih berpusar pada persoalan mau atau tidak mau, berani atau tidak berani. Padahal, penuntasan kasus pelanggaran berat HAM adalah salah satu janji kampanye Jokowi dalam Nawacita, sekaligus termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014—2019. 

Pengadilan Rakyat Internasional ini hendaknya dilihat dengan cara pandang yang jernih guna manghadirkan kebenaran dan rekonsiliasi nasional. Akhirnya, Nelson Mandela pernah mengatakan, "Reconciliation means working together to correct the legacy of past injustice." 

http://lampost.co/berita/ipt-sebagai-mahkamah-sejarah