INTERNASIONALISASI KASUS 1965
Gatra,
19-26 November 2015
Asvi Warman Adam
Bertepatan dengan
peringatan hari Pahlawan di Indonesia, di Den Haag dibuka pengadilan rakyat
internasional mengenai kasus 1965 (IPT 65). Pengadilan ini memang bersifat
internasional dengan tujuh orang hakim berkewarganegaraan asing. Seorang jaksa
berkebangsaan Jerman dan enam lainnya dari Indonesia dipimpin pengacara senior
Todung Mulya Lubis.
Majelis Hakim sudah
berpengalaman luas dalam mahkamah internasional, diketuai Zak Yacoob mantan
hakim mahkamah konstitusi Afrika Selatan, terdiri dari Sir Geoffrey Nice
(Inggris), Helen Jarvis (Australia dan Kamboja), Mireille Fanon Mendes France
(Perancis), John Gittings (Inggris), Shadi Sadr (eksil Iran), Cees Flinterman
(Belanda). Nice pernah menjadi penuntut umum dalam kasus Slobodan Milosevic.
Helen Jarvis terlibat dalam mahkamah international untuk Khmer Merah di
Kamboja. Fasih berbahasa Indonesia ia menerjemahkan karya Tan Malaka “Dari
Penjara ke Penjara” dalam bahasa Inggris.
International People’s
Tribunal adalah bentuk pengadilan yang digelar oleh kelompok masyarakat dan
bersifat internasional untuk membahas kasus pelanggaran HAM berat. Mekanisme ini berada di luar negara dan lembaga formal
seperti PBB. Kekuatannya berasal dari suara para korban serta masyarakat sipil
nasional dan internasional. Reputasinya akan teruji dalam kapasitasnya
memeriksa bukti-bukti, melakukan pencatatan sejarah yang akurat mengenai
kejahatan kemanusiaan yang terjadi, dan menerapkan prinsip-prinsip hukum
kebiasaan internasional (the international customary law) pada fakta-fakta yang
ditemukan. Tribunal ini tidak dimaksud untuk menggantikan peran negara dalam
proses hukum.
IPT memiliki format pengadilan HAM secara formal dengan membentuk Tim Peneliti profesional dan menyusun Panel Hakim internasional. Tim Peneliti bertugas menghimpun dan mengkaji data serta kesaksian, lalu merumuskannya secara hukum dan menyerahkannya kepada Tim Jaksa Penuntut. Tim Jaksa ini akan menyusun dakwaan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang meluas dan sistematis yang dilakukan negara. Bukti-bukti tersebut berupa dokumen tertulis, audio visual dan keterangan para saksi.
Peristiwa 1965 diajukan karena pembantaian massal tersebut dan seluruh
rangkaian prosesnya merupakan bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah
Indonesia yang selama ini diabaikan oleh pengadilan negara hingga membawa
dampak besar bagi bangsa Indonesia sekarang dan mendatang. Meskipun sudah
banyak bukti yang terungkap, pemerintah Indonesia belum berhasil mengadili para
pelaku kejahatan tersebut.
Apa manfaat IPT 65 ini ? Kegiatan ini tidak dibiayai dengan APBN sehingga
negara tidak usah mengeluarkan ongkos. Meski keputusannya tidak otomatis
mengikat negara Indonesia secara legal-formal, namun karena sifatnya sebagai
mekanisme Pengadilan Rakyat di tingkat internasional, ini dapat menjadi
landasan hukum bagi masyarakat untuk mendesak negara agar mampu menegakkan
keadilan atas tragedi 1965 sekaligus menghentikan impunitas bagi para
pelakunya. Hasil pengadilan ini dapat menjadi sumber legitimasi bagi negara
Indonesia untuk membuktikan diri sebagai negara yang mampu memenuhi
pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat masa lalu; dan menjadi bagian
dari masyarakat internasional yang dihormati karena tanggap dalam menyelesaikan
pelanggaran HAM berat tersebut. Sementara itu pada masyarakat akan tumbuh
kesadaran bahwa politik kekerasan maupun kejahatan kemanusiaan tidak dapat
ditolerir. .
Untuk para penyintas dan keluarganya hasil pengadilan ini dapat
berkontribusi pada proses pemulihan mereka sebagai korban kejahatan
kemanusiaan. Dampak lain yang diharapkan adalah penghapusan stigma terhadap
para korban dan keluarganya sebagai pihak yang secara langsung atau tak
langsung pernah terkait pada Gerakan 30 September 1965. Penghapusan stigmatisasi
tersebut diharapkan disertai pemulihan kedudukan hukum para korban, penyintas
dan keluarganya.
Pengadilan rakyat di Den Haag tidak bertujuan menjelek-jelekkan pemerintah
Indonesia apalagi berkhianat kepada bangsa. Temuan selama persidangan menurut komisioner
Komnas HAM Dianto Bachriadi sejalan dengan kesimpulan dari Penyelidikan Komnas
HAM mengenai kasus 1965 tahun 2012 yang sudah diserahkan kepada Kejaksaan
Agung. Dianto mengutip kesimpulan executive summary laporan tersebut
yang sudah diterbitkan Komnas HAM. Yang baru menurut sang komisioner Komnas HAM
adalah gugatan kekerasan seksual melalui kesaksian di balik layar oleh seorang
perempuan korban yang dianiaya seorang guru besar UGM Yogyakarta. Mariana
Amiruddin komisioner Komnas Perempuan yang berangkat ke Den Haag menghadiri
pengadilan ini dengan surat ijin dari Presiden Republik Indonesia mengatakan
kasus kekerasan seksual termasuk laporan penelitian lembaga tersebut.
Mengapa Den Haag, Belanda, dipilih menjadi tempat penyelenggaraan IPT 1965
tanggal 10-13 November 2015 ? Jawaban lugas, tidak mungkin dilakukan di
Indonesia; diskusi buku 1965 saja seperti pada Festival Ubud Bali diintervensi
aparat keamanan. Sementara itu, Den Haag merupakan kota simbol keadilan dan
perdamaian internasional. Lembaga-lembaga seperti International Court of
Justice (Mahkamah Pidana Internasional) dan sejumlah pengadilan khusus dan
penting, seperti Tribunal Yugoslavia, diselenggarakan, atau memiliki kantor
Sekretariat, di sini. Tribunal Tokyo (Pengadilan Perempuan Internasional atas
Kejahatan Perang tentang Perbudakan Seksual Militer Jepang) menyelenggarakan
sidang putusannya di Den Haag (2001).
Pengadilan rakyat ini juga bertujuan mendapatkan pengakuan internasional
atas keterlibatan sejumlah negara Barat dalam tragedi 1965. Sebuah gugatan
diajukan menyangkut peran AS, Inggris dan Australia dalam kasus ini dengan
saksi ahli sejarawan Bradley Simpson. Dia menulis buku Economists
with guns: Authoritarian Development and US-Indonesian Relations, 1960-1968
yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Menurut Simpson “pemerintah
Amerika Serikat dan negara-negara barat lain sudah lebih dari setahun
mengusahakan terjadinya konflik senjata antara tentara dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dengan harapan tentara Indonesia bisa menghancurkan PKI”.
Setelah meletus G30S AS membantu dana untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu sebanyak Rp 50 juta serta memberikan daftar pengurus PKI. Pemerintah Amerika Serikat memulai sebuah operasi yang ditutup-tutupi untuk mendukung militer Indonesia dalam menghancurkan PKI. Pemerintah Amerika menyediakan senjata, bantuan dana dan dukungan politik, supaya Jenderal Soeharto dan sekutunya mengetahui bahwa mereka mendapat dukungan penuh, walaupun dukungan diberikan diam-diam. Saat itu, untuk Amerika, terang-terangan mendukung Soeharto dan tentara Indonesia melawan Sukarno, mengandung resiko politik tinggi.
Simpson juga bersaksi bahwa Amerika sepenuhnya sadar akan rangkaian pembunuhan yang terjadi dan jumlah orang yang tewas selama pembunuhan berlangsung. Amerika tidak protes atau berusaha menghentikan peristiwa tersebut dan malah membantu pemerintah Indonesia dengan menyediakan apapun yang dibutuhkan untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia. Padahal mereka tahu benar bahwa bantuan digunakan juga untuk membunuhi rakyat tak bersenjata. Dari dokumen yang dipublikasikan, pemerintah Amerika mulai mendukung militer Indonesia sejak akhir Oktober 1965.
Pemerintah Inggris, seperti juga Australia, melakukan operasi propaganda rahasia mendukung tentara Indonesia waktu itu. Pemerintah Jepang memberi dukungan dana, juga sejumlah negara Barat yang meyediakan bantuan intelijen, bahkan juga pemerintah Uni Soviet pada waktu itu. Pada masa terjadi konflik antara Uni Soviet dengan Cina soal ideologi komunisme, tidaklah mengherankan kalau Indonesia yang lebih dekat dengan Cina menjadi sasaran Uni Soviet.
Selama 50 tahun studi G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris, Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang, dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Bulan September 2015 di Jakarta dipresentasikan laporan penelitian yang dikerjakan tim peneliti Universitas Waseda, Tokyo, Jepang. Salah seorang peneliti Jepang, sejarawan senior Aiko Kurasawa mengatakan bahwa Jepang tidak terlibat dalam peristiwa G30S. Namun Jepang adalah termasuk negara yang paling diuntungkan dengan peristiwa 1965 yang memakan korban sampai 500.000 orang. Jepang menjadi negara investor pertama pada awal Orde Baru. Hal ini agar disadari pula oleh pemerintah dan masyarakat Jepang.
Setelah meletus G30S AS membantu dana untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu sebanyak Rp 50 juta serta memberikan daftar pengurus PKI. Pemerintah Amerika Serikat memulai sebuah operasi yang ditutup-tutupi untuk mendukung militer Indonesia dalam menghancurkan PKI. Pemerintah Amerika menyediakan senjata, bantuan dana dan dukungan politik, supaya Jenderal Soeharto dan sekutunya mengetahui bahwa mereka mendapat dukungan penuh, walaupun dukungan diberikan diam-diam. Saat itu, untuk Amerika, terang-terangan mendukung Soeharto dan tentara Indonesia melawan Sukarno, mengandung resiko politik tinggi.
Simpson juga bersaksi bahwa Amerika sepenuhnya sadar akan rangkaian pembunuhan yang terjadi dan jumlah orang yang tewas selama pembunuhan berlangsung. Amerika tidak protes atau berusaha menghentikan peristiwa tersebut dan malah membantu pemerintah Indonesia dengan menyediakan apapun yang dibutuhkan untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia. Padahal mereka tahu benar bahwa bantuan digunakan juga untuk membunuhi rakyat tak bersenjata. Dari dokumen yang dipublikasikan, pemerintah Amerika mulai mendukung militer Indonesia sejak akhir Oktober 1965.
Pemerintah Inggris, seperti juga Australia, melakukan operasi propaganda rahasia mendukung tentara Indonesia waktu itu. Pemerintah Jepang memberi dukungan dana, juga sejumlah negara Barat yang meyediakan bantuan intelijen, bahkan juga pemerintah Uni Soviet pada waktu itu. Pada masa terjadi konflik antara Uni Soviet dengan Cina soal ideologi komunisme, tidaklah mengherankan kalau Indonesia yang lebih dekat dengan Cina menjadi sasaran Uni Soviet.
Selama 50 tahun studi G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris, Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang, dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Bulan September 2015 di Jakarta dipresentasikan laporan penelitian yang dikerjakan tim peneliti Universitas Waseda, Tokyo, Jepang. Salah seorang peneliti Jepang, sejarawan senior Aiko Kurasawa mengatakan bahwa Jepang tidak terlibat dalam peristiwa G30S. Namun Jepang adalah termasuk negara yang paling diuntungkan dengan peristiwa 1965 yang memakan korban sampai 500.000 orang. Jepang menjadi negara investor pertama pada awal Orde Baru. Hal ini agar disadari pula oleh pemerintah dan masyarakat Jepang.
Diharapkan negara-negara asing yang terlibat dalam tragedi 1965 atau yang
diuntungkan oleh peristiwa tersebut untuk membantu Indonesia dalam penyelesaian
masalah HAM berat masa lalu, misalnya dalam pendanaan program pemulihan trauma
para korban. (Dr Asvi Warman Adam, sejarawan)