Saturday 20 August 2011


KABAR KONFERENSI
Hapuskan Mitos untuk Rekonsiliasi
Rabu, 19 Januari 2011 - 01:38:03 WIB

Pemahaman secara mendalam dan berimbang terhadap peristiwa pada kurun 1959-1969 syarat menuju rekonsiliasi.
Konferensi internasional sekaligus pameran bertajuk  “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” dibuka sore tadi (18/01). Sebelum acara dibuka, sejumlah pelajar yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Pelajar Islam (PII) berunjuk rasa di halaman gedung Goethe Institute, Jl. Sam Ratulangie, Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar acara dihentikan, bahkan salah seorang orator menuntut dibubarkannya PKI, “bubarkan PKI!” katanya diikuti demonstran lain.

Sebuah kejadian lain pun terjadi. Penulis buku Economists With Gun, Bradley Simpson yang menjadi pembicara dalam peluncuran bukunya di Goethe dimintai keterangan oleh sejumlah polisi terkait dokumen keimigrasiannya.  Acara pameran dan konferensi yang akan digelar sampai 21 Januari itu pun diwarnai ketegangan.

Sejumlah tokoh memberikan sambutan dalam pembukaan pameran dan konferensi tersebut. Letjen (Purn) Agus Widjojo yang juga anak dari pahlawan revolusi Mayjen (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo dalam sambutannya mengatakan perlunya mengambil jarak dengan peristiwa 1965 kendati sulit. “Tidak mudah memang bagi pihak yang terlibat untuk mengambil jarak dan melihat peristiwa masa lalu dari perspektif saat ini tanpa keterlibatannya,” kata dia.

Menurut Agus, diperlukan pengorbanan dari semua pihak yang terkait agar peristiwa yang sudah lebih dari empat dasawarsa itu bisa didudukkan sesuai dengan porsinya. Agus ingin melihat persoalan itu lebih berimbang dengan menempatkan PKI dan Angkatan Darat pada pusaran utama penyebab peristiwa yang terjadi pada 46 tahun lalu itu.

Sementara itu Mardiyah Chamin dari Tempo Institute dalam pembukaan pameran mengatakan bahwa salah satu upaya untuk memahami peristiwa yang terjadi pada kurun 1959-1969 adalah satu tahap penting sebelum kita bisa berdamai dan menyembuhkan luka sejarah. “Pameran ini, harapan kami, bisa memberi kontribusi dalam membangun pemahaman tentang panggung Indonesia dan dunia, di hari-hari penuh gejolak,” kata dia. 

Senada dengan Mardiyah, Agus Widjojo pun berpendapat bahwa salah satu hal terpenting yang perlu dilakukan agar rekonsiliasi berjalan baik adalah kemampuan untuk melihat peristiwa secara lebih dalam tanpa pemitosan. “Kesiapan untuk memasuki proses rekonsiliasi memerlukan penghancuran mitos seolah korban adalah monopoli satu pihak dan penyebab tindak kekerasan adalah pihak yang lain,” ujarnya.

Turut hadir dalam acara pembukaan pameran dan konferensi internasional itu antara lain Direktur Goethe Institute Jakarta Frans Xavier Agustin, Direktur FES Indonesia Erwin Schweisshelm,  wartawan senior Aristides Katoppo, sejumlah sejarawan seperti Asvi Warman Adam, Hilmar Farid dan Baskara T Wardaya.  [MF MUKTHI DAN BONNIE TRIYANA]

KABAR KONFERENSI HARI I
Menjernihkan Pemahaman Tragedi 1965
Kamis, 20 Januari 2011 - 12:15:30 WIB

Rekonsiliasi sebuah keniscayaan untuk Indonesia tapi tak mudah mewujudkannya
Berbeda dengan Afrika Selatan yang akhirnya berhasil melakukan rekonsiliasi di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, Indonesia hingga kini masih terus berjuang mewujudkannya – terkait kasus 1965. Berbagai upaya terus dilakukan. Namun, hanya pemerintahan Gus Dur yang berani dan mau melakukannya. Selebihnya, upaya rekonsiliasi dikerjakan hanya oleh bagian-bagian kecil yang ada di negeri ini.

Tentu tidak adil membandingkan upaya dan hasil rekonsiliasi kedua negara. Meskipun sama-sama bekas negara jajahan, Indonesia dan Afrika Selatan punya banyak perbedaan. Dalam banyak hal, Indonesia jauh lebih beragam dibanding Afrika Selatan. Yang tidak kalah penting adalah, pemahaman terhadap Peristiwa 1965 sendiri.

Sebagaimana berwarnanya kehidupan yang dimiliki Indonesia, masalah 1965 pun sangat berwarna sudut pandang dan penafsirannya. Peristiwanya sendiri pun sangat kaya warna kepentingan. Tidak hanya kepentingan-kepentingan dari dalam negeri, dari luar negeripun turut serta, berkait kelindan.

Konteks perpolitikan global dekade 1960-an yang diwarnai oleh makin meningginya intensitas Perang Dingin, jelas sangat berandil terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia. Kedua blok berupaya mempengaruhi Indonesia menjadi sekutunya. Berbagai upaya terus mereka lakukan.

Bagi Indonesia sendiri,  kemerdekaan dari “cengkeraman” kedua blok tetap masih kuat. Presiden Sukarno yang sejak Juli 1959 menjadi semakin kuat, terus mencoba menjaga keseimbangan posisi Indonesia. Sukarno bahkan menggalang negara-negara baru untuk membentuk blok tersendiri di luar Blok Barat dan Timur. Bersama PM Nehru (India), Marsekal Tito (Yugoslavia) dan beberapa tokoh negara-negara dunia ketiga lain, Sukarno berhasil membentuk Non Blok. Sepakterjangnya di pentas perpolitikan global kian menguat. Sukarno terus mengupayakan terbentuknya satu tatanan global yang baru. Soekarno terus membangun kesan sebagai motor terwujudnya dunia baru. Selain Ganefo, “Ganyang Malaysia” menjadi salah satu kampanye terpopuler Sukarno saat itu.

Bagi Barat, upaya pengencangan pengaruh kepada Indonesia makin penting. Melalui jenderal-jenderal di Angkatan Darat dan beberapa intelektual, kerjasama terus mereka upayakan. Bantuan juga terus mereka kucurkan –dan yang lebih besar tetap mereka janjikan. Mereka juga aktif merekayasa berita. Inggris melakukannnya dengan tujuan untuk membuat situasi jadi chaos. Dengan begitu, “Ganyang Malaysia” bisa dilupakan. Sedangkan AS, selain tetap tidak menginginkan Indonesia jadi komunis, juga tetap ingin mengendalikan sumber daya alam Indonesia yang begitu melimpah.

Halangan terbesar bagi Barat dalam mewujudkan kepentingannya, tentu saja Sukarno dan PKI. Tidak bisa tidak, keduanya harus disingkirkan. Mereka terus memanfaatkan orang-orang yang berseberangan dengan Sukarno dan PKI, terutama yang di Angkatan Darat. Mereka juga terus menunggu momentum yang tepat.

Dalam periode yang sama, perpecahan antara Soviet dan China terjadi. China tidak ingin kekuasaan terpusat di Moscow saja. Selain itu, China menganggap dirinya merupakan satu kekuatan tersendiri. Soviet terancam. Baginya, ancaman dari China jauh lebih penting diperhatikan.

Indonesia yang awalnya condong ke blok Timur, terpaksa harus lebih keras menjaga keseimbangan terhadap kedua negara itu. Ada kalanya Indonesia lebih “mesra” dengan Soviet, ada kalanya juga lebih “romantis” dengan China. Dan, “mereka saat itu berhasil mengatur hal tersebut,” tulis Bernd Schafer dalam makalahnya, “Setting of the Cold War”, yang dipresentasikan pada Konferensi internasional “Indonesia and the World in 1965” yang dihelat dari 18 -21 Januari 2011. Dan, “di situlah PKI memainkan peran, PKI lebih condong ke China,” tulis Schafer.

Kondisi dalam negeri Indonesia sendiri terus memanas sejak kabar sakitnya Sukarno tersiar luas. Pihak-pihak yang berada di sekitar Sukarno mulai resah mengenai siapa penggantinya. Yang juga tidak kalah penting, perekonomian nasional terus memburuk hari demi hari. Inflasi membumbung hingga 600 persen. Pemotongan nilai uang terpaksa dilakukan. Pihak-pihak yang tidak puas kepada Sukarno terus memanfaatkan momentum tersebut untuk terus merongrong Sukarno. Dari dalam, terutama perwira-perwira di AD terus bermanuver. Dari luar, AS pun makin aktif mengontak orang-orangnya –ini dibuktikan dari banyaknya dokumen yang kemudian ditemukan. Lalu ada China yang memanfaatkan hubungan partai komunisnya dengan PKI. Sementara Soviet sendiri hubungannya dengan Indonesia kian menurun semenjak Indonesia lebih condong ke Peking. Ketika G30S pecah, sebagaimana ditulis Ragna Boden dalam “The Soviet Union and the Gestapu Events” yang dipresentasikan, Soviet hampir tidak memiliki keterlibatan. “Dukungan Soviet kepada PKI itu tidak bersifat resmi. Jadi reaksi pada saat itu bersifat oportunistik,” tulis Boden.

Pecahnya G30 menjadi titik balik bagi kekuatan-kekuatan utama di dalam segitiga politik Indonesia saat itu –PKI, Sukarno, dan Angkatan Darat – dan juga banyak orang di tingkat bawah. PKI dipecundangi, Sukarno disingkirkan, dan Angkatan Darat memegang kendali kekuasaan.

Orang-orang yang terkait atau yang dikaitkan dengan PKI, lalu diburu dan ditangkapi. Partainya dibubarkan dan jutaan dari anggota atau simpatisannya dibunuh atau hilang tanpa pernah diadili. Momen tersebut juga dijadikan ajang balas dendam orang-orang yang tidak suka kepada PKI atau dalam banyak kasus, ajang fitnah. Sebagaimana dikatakan Baskara T. Wardaya, perintah pembunuhan datang dari atas. Pembantaian terhadap mereka menjadi peristiwa berdarah terkelam dalam sejarah perjalanan Republik.

Apa yang terjadi pada 30 September (dini hari 1 Oktober) dan pembantaian massal yang mengikutinya, menurut John Roosa merupakan dua hal yang berlainan. Dalam paper-nya, “Soeharto, Faust, Yudhisthira and the Killing of Prisoners”, Roosa tetap ingin mempertahankan argumennya bahwa G30S merupakan dalih untuk membantai para anggota PKI dan mereka yang dituduh PKI.

Pemahaman lebih jernih atas kedua peristiwa tersebut bagi Roosa sangat penting. Sebab, hingga kini banyak hal yang belum bisa kita pahami. Tujuannya, untuk mencapai harmonisasi antara internal-internasional.  “Dikotomi tersebut,” jelas Roosa, “tidak bisa kita tiadakan, tetapi kita bisa memandangnya lebih terstruktur.”

Demikian antara lain benang merah konferensi hari pertama “Indonesia and the World in 1965”, yang dihelat di Goethe Institute Jakarta. Dalam konferensi hari pertama ini, pemakalah yang hadir adalah, Bernd Schafer dengan makalah “The Setting of the Cold War”, Baskara T. Wardaya dengan makalah “The 1965 Massacre in Indonesia and Its Context, John Roosa dengan makalah “Soharto, Faust, Yudhisthira and the Killing of Prisoners”, Bradley Simpson dengan makalah Introductory lecture ‘International Dimensions of the 1965-66 Killings in Indonesia’”, Yosef Djakababa, Ragna Boden dengan makalah “The Soviet Union and the Gestapu events”, Susanto Pudjomartono.

Sementara itu pada sesi kedua, yang menghadirkan pemakalah Jovan Cavoski dengan makalah “On the Road to the Coup: Indonesia between the Nonaligned and China, 1955-1965”, dan Natalia Soebagjo, antara lain mengetengahkan keterlibatan China yang masih misterius. Sebagaimana yang umum diketahui, pra G30S Aidit dan beberapa pimpinan PKI berkunjung ke China. Oleh lawan politiknya, itu dijadikan dalih sebagai bukti bahwa China memang resmi mendukung. Salah satu bukti dalih mereka yang sebetulnya rumor, China pernah mengirimkan bantuan untuk membantu PKI. “Selama arsip-arsip pemerintah China dan Indonesia tidak dibuka, maka kita tidak akan bisa sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.”[TIM MAJALAH HISTORIA ONLINE]

Monday 8 August 2011

Korban 65 Ajukan Judisial Review ..... Batalkan Keppres 28/1975


Korban 65 Ajukan Judisial Review
Gugat Presiden RI
Batalkan Keppres 28/1975

Jakarta  06 April 2011 (YPKP 65)

Hari Kamis 04 April 2011 pukul 14.45 WIB  secara resmi telah didaftarkan  ke Mahkamah Agung R.I dengan Nomor Perkara: 08/2011/HUM. Gugatan tersebut ditujukan  kepada Presiden Republik Indonesia  Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu berupa Judisial Review ( Uji/Peninjauan  Material) atas Keppres No 28 Tahun 1975 mengenai perlakuan diskriminatif atas mantan Tahanan politik Tragedi Kemanusiaan 1965/66*
          Judisial Review (JR) ini disampaikan oleh Pemohon yang tergabung dalam  Tim    
          Advokasi Hak Konstitusional Warga Negara, yaitu Haris Azhar, S.H., MA
          Koordinator  Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras),  
          Sandra Yati Moniaga Ketua Badan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi
          Masyarakat (ELSAM), Erna  Ratnaningsih, S.H., LL.M. Ketua  Lembaga
          Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Bedjo Untung Ketua  Yayasan Penelitian
          Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Sumaun Utomo Ketua Umum
           Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KORB), dan   
         sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, antara lain: Nursyahbani   
         Katjasungkana (Advokat), Zumrotin K. Soesilo (Aktivis Sosial/mantan
         Komisioner Komnas HAM), Tjasman Setyo Prawiro ( mantan Pegawai    
         Kehutanan/ Tapol Pulau Buru 1966-1979),  Rusdiarno (mantan Pegawai
         Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Tapol Pulau Buru 1965- 1979),
         Ngatemin ( mantan Pegawai Negeri Markas Besar Angkatan Laut Jakarta, Tapol  
        1965 – 1977  Salemba Jakarta), Suriah dan  Rianto.

          Ada pun Kuasa Hukum Pemohon  terdiri dari para Aktivis Hak Asasi Manusia,
          Pengacara  yang selama ini konsisten membela kepentingan para Korban       
          Pelanggaran HAM, khususnya Korban 65, yaitu: Ali Nursahid, SHI.,  
          Crisbiantoro, SH., Daud Beureuh, SH., Edy Halomoan Gurning, SH.,Feby
          Yonesta, SH., Maruli Tua Rajagukguk, SH.,Pratiwi Febri, SH.,Restaria F.
          Hutabarat, SH., Sinung Karto, SH.,Sri Suparyati, SH, LLM., Wahyu Wagiman,  
          SH.,Zainal Abidin, SH., Alghiffari Aqsa, SH.,  Ikhana Indah B, SH.,Indria  
          fernida, SH.,Ki Agus Ahmad.BS, SH.,Muhammad Isnur, SHI.,Muhammad  
          Sidiq, SHI.,Nurkholis Hidayat, SH.,Syamsul Alam, SH.,Tommy Albert Tobing,   
          SH., Wahyudi  Djafar, SH., Yati Andriyani, SHI. dan  Putri Kanesia, SH.

          Gugatan/Judisial Review ini dilandasi oleh latar belakang persoalan yang  
          prinsipil, yaitu:

          Dari sudut sejarah dan politik akibat peristiwa yang terjadi pada tahun    
         1965/66), sampai  saat ini masih menyisakan pertanyaan. Hal ini terjadi karena
           pemerintah tidak melakukan upaya–upaya pengungkapan kebenaran dan  
keadilan atas kasus  Tragedi Kemanusiaan 1965/66.

Dari sisi kemanusiaan akibat peristiwa 1965 jutaan  orang yang  ‘dituduh’ berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dibunuh tanpa melalui pembuktian proses hukum.

Akibat peristiwa 1965 menyebabkan orang–orang yang dituduh berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah mengalami sejumlah pelanggaran HAM, baik hak–hak Sipil Politik (SIPOL) maupun Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB), berupa pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengasingan, pemerkosaan, kekerasan seksual, perampasan hak milik, tanah, pemecatan pekerjaan, stigmatisasi sosial dan politik baik bagi mereka secara langsung maupun secara tidak langsung  bagi keluarga dan keturunannya.

Sampai saat ini belum ada proses hukum, dan atau putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap terhadap mayoritas orang–orang yang mengalami pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengasingan, pemerkosaan, kekerasan seksual, perampasan hak milik, tanah, pemecatan pekerjaan, stigmatisasi sosial dan politik akibat peristiwa 1965.

Akibat dari ketiadaan upaya pemerintah melakukan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965, pelanggaran HAM dalam bentuk stigma sosial, politik dan diskriminasi perundang-undangan terhadap orang–orang yang ‘dituduh’ berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih terus terjadi sampai dengan saat ini.

Salah satu diskriminasi perundang–undangan tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S Golongan C. Undang –Undang ini menghalangi pemberian hak pensiun bagi orang–orang yang diduga terkait dengan PKI dan masuk dalam golongan C, meskipun sampai saat ini tidak ada keputusan pengadilan ataupun hasil pemeriksaan yang membuktikan orang–orang tersebut terlibat dalam peristiwa G 30 S;

Pada Tragedi kemanusiaan 1965/66 tersebut banyak para Pegawai Negeri Sipil yang ‘dianggap’ bersalah terlibat dalam gerakan politik G 30 S, sehingga dari hal itu ribuan orang diberhentikan tanpa prosedur hukum dan kepastian hukum, sehingga menimbulkan trauma dan ketidakadilan;

Untuk melegalkan pemberhertian tersebut kemudian Pemerintah mengeluarkan KEPPRES RI No.28 Tahun 1975 dan dilanjutkan dengan Keputusan Pangkopkamtib No. Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban;

Sebelumnya, pada tahun 1966/1967 telah dikeluarkan beberapa Surat Keputusan Gubernur, seperti halnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur yang acuannya adalah Instruksi Presiden RI No.09/KOGAM/5/66, yang memberhentikan Pegawai Negeri Sipil tersebut sejak 1 Desember 1965 dan/atau 1 September 1966 yang kemudian dikuatkan dengan KEPPRES RI No. 28 Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat G.30 S Golongan C dan Keputusan Pangkopkamtib No.Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Kedua peraturan tersebut, secara nyata telah melahirkan perlakukan diskriminatif terhadap Pegawai Negeri Sipil yang sudah bertugas dan mengabdi kepada negara bertahun tahun.

Sejak dikeluarkanya peraturan tersebut di atas, ribuan Pegawai Negeri Sipil telah kehilangan pekerjaan dan pengabdian pada negara, yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang, menjatuhkan martabat, dan tidak mendapatkan uang pensiun sebagaimana Pegawai Negeri Sipil pada umumnya;

Pemberhentian ribuan Pegawai Negeri Sipil tersebut, dilakukan tanpa proses hukum yang seharusnya, akan tetapi hanya disandarkan pada interpretasi peraturan di atas, yang pada praktiknya di lapangan, justru dilakukan sesuai dengan selera pejabat atasannya, sehingga penyimpangan dan kesewenang-wenangan terus  terjadi;

Hingga saat sekarang KEPPRES RI No. 28 Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat G 30 S Golongan C dan dilanjutkan dengan Keputusan Pangkopkamtib No. Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, sampai saat ini masih berlaku dan belum ada ketentuan yang mencabut peraturan tersebut.

Pada tahun 2000 ada perkembangan baru dengan keluarnya KEPPRES No. 38 Tahun 2000 tentang Pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (yang dibentuk atas dasar KEPRES No.29 Tahun 1988) dan KEPPRES No. 39 Tahun 2000 tentang Pencabutan KEPRES No.16 Tahun 1990 tentang Penelitian Khusus Pegawai Nageri Rl.

Dengan keluarnya kedua Keppres tersebut di atas, sesungguhnya bertujuan untuk menghilangkan unsur subjektif dalam pemerintahan, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil diperlakukan sama sebagai Warga Negara di depan hukum, sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Pada intinya KEPRES No. 38 Tahun 2000 tersebut secara substansial sudah menghapus isi yang ada dalam KEPPRES No.28 Tahun 1975 yang mengatur tentang perlakuan Pegawai Negeri Sipil Golongan C yang terlibat G 30 S;

KEPPRES No. 28 Tahun 1975 dan Keputusan Pangkopkamtib No. 03/KOPKAMIVHI/1975 tersebut secara formal masih berlaku, sehingga menyebabkan terus terlanggarnya hak-hak pensiun para mantan Tapol.

Selain latar belakang penyampaian Judisial Review tersebut, para Kuasa Hukum Pemohon juga mendalilkan beberapa argumen/alasan hukum  sehingga patut dipertimbangkan oleh Yang Mulia  Majelis Hakim Mahkamah Agung.

Alasan-Alasan tersebut adalah:

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa serta bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi. Hukum tidak hanya dimaksudkan untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa keadilan bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

Objek sengketa melanggar negara hukum, rule of law dan prinsip  due process of law

Bahwa dalam negara hukum yang demokratis, pelarangan terhadap sesuatu oleh Pemerintah, Instansi maupun Pejabat Negara lainnya, pemberhentian secara tidak hormat pegawai negeri, harus menghormati prinsip due process of Law dimana hanya institusi pengadilanlah yang berwenang untuk melakukannya.

Hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan hukum dan keadilan haruslah dilakukan oleh badan peradilan yang merdeka dan independen, sebagaimana ditegaskan di dalam  Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan, “kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Untuk penegakkan hukum dan keadilan, menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Pelakunya adalah kekuasaan kehakiman  yaitu sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

Negara hukum seperti Indonesia, mutlak adanya due process of Law yaitu penegakkan hukum dalam suatu sistem peradilan, dalam kerangka menjamin hak-hak warga negaranya, khususnya hak atas keadilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan sehingga suatu  penghakiman dan atau pemberhentian seseorang pegawai negeri secara sewenang-wenang dengan tuduhan masuk dalam golongan c berdasarkan Keppres No. 28 Tahun 1975,  tidak dapat lagi diterima tanpa melalui suatu putusan pengadilan.

Objek Sengketa melanggar Asas Materi Muatan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan asas pembentukan peraturan perudang-undangan. Dalam asas pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan harus memperhatikan:
a.Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat . Akibat Pemberlakukan  Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tidak menunjukan diterapkannya asas pengayoman, karena sejumlah korban tidak bisa mengakses sejumlah haknya untuk mendapatkan hak berupa pensiun atas pengabdian mereka terhadap negara dengan menjadi Pegawai Negeri.

b.Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Dengan adanya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tidak mencerminkan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta harkat dan martabat manusia pada umumnya, karena pemohon tidak mendapatkan haknya sebagai PNS dan dalam proses pengurusanya mendapatkan banyak hambatan dari instansi pemerintah yang berwenang.

c.Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali, sehingga dengan adanya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 bersifat diskriminatif karena tidak melalui proses hukum untuk membuktikan status seseorang apakah dia bersalah atau tidak.

d.Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan  pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Akibat dari Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975, pemerintah telah menempatkan posisi sejumlah warga negara yang tidak setara di depan hukum, dimana dalam proses pemenuhan hak sejumlah pegawai diabaikan.

Objek Sengketa Bertentangan dengan Peraturan Perudang-Undangan yang ada di atasnya
Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan “kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan”. Pada penjelasannya disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari asas ini terlihat pertentangan antara Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 dengan Undang-undang di atasnya, seperti:

 Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 yaitu :

a.  Pasal 27 ayat (1)
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

b. Pasal 28 D ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 :
 "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum"

c.  Pasal 28 D ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 :
 "Setiap warga negara  berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan"

d.  Pasal 28 I ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 :
"Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan  berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu"

Keppres 28/1975  bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, yang menegaskan apabila seseorang diduga terkena pidana, maka proses hukum yang harus dilakukan adalah dimuka pengadilan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Pasal 4
Tiada seorang juapun dapat dihadapkan didepan pengadilan selain daripada yang ditentukan, baginya oleh Undang-undang.

Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang.
Dalam  hukum  acara  pidana,  hak  setiap  orang  atas “pengakuan,  jaminan,  perlindungan,  dan  kepastian  hukum  yang  adil” tercermin  antara  lain  dari  dihormatinya  dan  diakuinya  asas-asas  hukum yang bertujuan melindungi keluhuran harkat serta martabat manusia  (vide Penjelasan  Umum  KUHAP  butir  3).  Salah  satu  asas  hukum  yang dihormati dan diakui eksistensinya dalam hukum acara pidana Indonesia adalah asas “praduga tidak bersalah” atau  presumption of  innocence”. Seperti ditegaskan dalam Penjelasan  Umum KUHAP  angka  3  huruf  c, yang menyebutkan, “Setiap  orang  yang disangka,  ditangkap,  ditahan, dituntut  dan/atau  dihadapkan  di  muka sidang  pengadilan,  wajib  dianggap  tidak  bersalah  sampai  ada  putusan pengadilan yang  menyatakan  kesalahannya  dan  memperoleh  kekuatan hukum tetap”.

Keppres 28/1975 Bertentangan dengan Pasal Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 menyebutkan: 
(1)  Pegawai  Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena:
      Permintaan sendiri; telah mencapai usia pensiun; adanya penyederhanaan   
      organisasi Pemerintah; tidak  cakap  jasmani  atau  rohani  sehingga  tidak   
     dapat  menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2)  Pegawai Negeri  Sipil  yang meninggal dunia dengan  sendirinya dianggap  
      diberhentikan dengan hormat.
(3)  Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat, karena:
      melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan 
      Negeri, atau Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; dihukum  penjara,     
      berdasarkan  keputusan  pengadilan  yang  sudah  mempunyai kekuatan   
      hukum  yang  tetap  karena  dengan  sengaja melakukan  sesuatu  tindak 
      pidana  kejahatan  yang  diancam  dengan hukuman  penjara  setinggi-
     tingginya  4  (empat)  tahun  atau  diancam dengan hukuman yang lebih
     berat.
(4)  Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat, karena:
     dihukum penjara  atau kurungan, berdasarkan keputusan pengadilan yang 
     sudah  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap  karena melakukan 
     sesuatu  tindak  pidana  kejahatan  jabatan  atau  tindak pidana kejahatan
     yang ada hubungannya dengan jabatan;

Keppres 28/1975 bertentangan dengan Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”
Keppres  28/1975 Bertentangan dengan Pasal 26 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  12  Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)

Pasal 26 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan:
“Semua orang berkedudukan sama di depan hukum dan berhak, tanpa diskriminasi apapun, atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda, status kelahiran atau status lainnya.

Keppres 28/1975 Bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor  12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pada putusan MK tersebut, dalam salah satu pertimbanganya dikatakan:
…..terlepas pula dari tetap berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,  tetapi orang perorang bekas anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi massa yang bernaung dibawahnya, harus diperlakukan sama dengan warga negara yang lain tanpa diskriminasi;
.......Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan  rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan  rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Bahwa berdasarkan keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Seharusnya maka secara otomatis Keppres No.28/1975 dan keputusan pangkopkamtib No. 03/KOPKAM/VII/75 tentang pelaksanaan Keppres No. 28/1975 harusnya tidak berlaku, karena lembaga yang menjalankan sudah dibubarkan.

Bahwa dalam menuntut hak atas pensiun pegawai negeri di departemen terkait masih memakai Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 dan Keputusan Panglima Komando Oprasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Nomor: KEP-03/KOPKAM/VIII/1975, bahwa harus ada bukti keputusan perubahan penggolongan non-klasifikasi oleh instansi yang berwenang atau keputusan yang telah ditetapkan oleh Pangkopkamtib atau Laksus Pangkopkamtibda, sementara kedua instansi negara yang menangani persoalan tersebut sudah dinyatakan  bubar.

Bahwa sudah ada keputusan dari beberapa lembaga negara yang meminta untuk Presiden untuk merehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban atas tuduhan/cap/stigma PKI.

Beberapa keputusan tersebut antara lain:

a.Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 12 Juni 2003, telah menyurati Presiden RI dengan Nomor: KMA/403/VI/2003 tentang permohonan rehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban dengan tuduhan/cap/stigma PKI yang isinya adalah menyarankan kepada Presiden agar mengambil langkah-langkah penyelesaian tuntutan Rahabilitas dengan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga negara sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

b.Dewan Perwakilan  Rakyat Republik Indonesia Pada tanggal 25 Juli 2003, telah menyampaikan surat kepada Presiden RI Nomor: KS.02/3947/DPR-RI/2003 tentang tindak lanjut surat Mahkamah Agung yang  isinya adalah meneruskan permohonan dan aspirasi para korban peristiwa tahun 1965, dan menyarankan kepada Presiden untuk menggunakan hak prerogatifnya dalam menjawab permohonan tersebut.

c.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Republik Indonesia Pada 25 Agustus 2003, telah menyampaikan surat kepada Presiden RI Nomor. 147/TUA/VIII/2003 tentang Rehabilitasi Terhadap korban G.30/S. yang  isinya ialah meminta kepada Presiden RI untuk memberikan rehabilitasi kepada para korban G.30/S. mengingat bahwa Mahkamah Agung RI telah memberikan pertimbangannya kepada Presiden RI untuk memberikan Rehabilitasi terhadap korban G.30/S. lewat surat Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/403/VI/2003 tentang permohonan rehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban

PERMOHONAN

Dengan latar belakang serta argumen dalil-dalil pengajuan Judisial review atas Keppres 28/1975, maka kuasa hukum pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, agar:

1.Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975  
   tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang diduga Terlibat G.30.S Golongan C,
   yang dikeluarkan pada tanggal 25 Juni 1975 beserta seluruh peraturan di
   bawahnya;

2.Presiden segera mengeluarkan Peraturan Presiden guna membatalkan
   Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap
   Mereka yang diduga Terlibat G.30.S Golongan C yang dikeluarkan pada  
   tanggal 25 Juni 1975,
3.Presiden segera merehabilitasi para korban dengan mengembalikan harkat
   dan martabatnya sebagai warga negara, yang ditindaklanjuti dengan
   mengeluarkan Peraturan Presiden yang mengatur mengenai langkah-langkah
   dan mekanisme rehabilitasi bagi para korban Keputusan Presiden Nomor 28
   Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang dituduh  Terlibat
   G.30.S Golongan C.

         Demikian rangkuman  permohonan Judisial Review atas Keppres 28/1975 yang
         disampaikan oleh Tim Advokasi Hak Konstitusional Warga Negara kepada
         Mahkamah Agung RI. Hadir dalam penyampaian berkas antara lain:
         Pratiwi Febri, SH. (LBH), Putri Kanesia, SH. (Kontras), Bedjo Untung (YPKP
         65), Mujayin (LPR-KORB), Witaryono  dan Kusnendar




*). Keppres yang dimaksud lengkapnya adalah : ( Keppres No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C.)