KASUS RAWAGEDE DAN
BEBERAPA PERMASALAHANNYA
(Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63)
Oleh MD Kartaprawira*
# Kasus Rawagede yang terlantar 64 tahun
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63 tahun
ini bertepatan dengan peristiwa penting sehubungan dengan Putusan Pengadilan
Den Haag tanggal 14 September 2011 yang memenangkan gugatan para
korban kejahatan kemanusiaan oleh tentara Belanda tahun 1947 atas 431 orang
penduduk Rawagede dan pernyataan maaf Pemerintah Belanda secara resmi kepada
para korban penduduk Rawagede, yang dilakukan oleh Tjeerd de
Zwaan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia pada tanggal 9 Desember 2011. Siapapun tidak mungkin bisa menyangkal kenyataan adanya
peristiwa kejahatan kemanusiaan terhadap bangsa
Indonesia di Rawagede. Yang masih bisa diperdebatkan hanya masalah jumlah
korban, yang menurut versi Indonesia 431 orang, sedang versi Belanda kira-kira
150 orang.
Selama 64 tahun pemerintah Belanda tidak
punya kepedulian serius atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentaranya
di Rawagede. Pada hal dalam hubungan internasional Belanda (dan Negara-negara
Barat lainnya) selalu teriak keras mengkritisi terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia di negara-negara lain. Apakah hal tersebut bukan kemunafikan? Yang lebih
memalukan lagi adalah tidak-adanya usaha
dari pemerintah Indonesia untuk menangani kasus Rawagede tersebut demi kebenaran dan keadilan bagi para korban, yang
notabene adalah warganegaranya sendiri.
Dari tahun 1947 sampai 1965 memang
Indonesia selain berjuang untuk pembangunan negara di segala lapangan, tapi
juga menghadapi banyak masalah berat, yang tidak hanya menjadi penghalang perjuangan pembangunan Negara, tapi juga mengakibatkan
tidak adanya kesempatan menangani kasus Rawagede. Masalah-masalah berat yang
dimaksud adalah: 1. Konfrontasi dengan
Belanda setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai th. 1962 (kembalinya Irian
Barat ke pangkuan RI), 2. Perjuangan menumpas pemberontakan-pemberontakan RMS,
DI-TII-Batalion 426, PRRI-Permesta, 3. Pertentangan antara parpol-parpol akibat
diberlakukannya sistem parlementer sejak Oktober 1945, yang hanya menciptakan
kabinet-kabinet „seumur jagung“, yang berakibat tidak pernah bisa melaksanakan
plan pembangunan negara (terutama dalam bidang ekonomi), 4. Perjuangan
menghadapi politik intrig kaum nekolim yang mengancam kedaulatan RI di bidang
politik dan ekonomi.
Tapi ketika jenderal Suharto berhasil
melakukan kudeta (merangkak) melawan Pemerintahan Soekarno, rejim tersebut
hanya sibuk membabati musuh-musuh politiknya (kaum komunis dan kaum
nasionalis-Soekarnoist) demi melindungi kekuasaannya yang mengabdi kepada
kepentingan kaum neoliberalis. Juga pada jaman „reformasi“ para penguasa negara
sibuk mengurusi kepentingan pribadi, baik dengan cara2 KKN maupun sibuk memafaatkan „aji mumpung berkuasa“ untuk
menyukseskan bisnis pribadinya. Sehingga
kebijakan politik pemerintah di era reformasi
dalam hal penegakan hak asasi manusia tidak bisa dibanggakan hasilnya, terutama
yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-66).
Begitu pula kasus kejahatan kemanusiaan
yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede, Makasar dan lain-lainnya.
Pemerintaah hanya menonjol-nonjolkan ke
mana-mana bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menghormati hak asasi
manusia, seperti yang tercantum dalam UUD, UU beserta peraturan-peraturan
organiknya, konvensi-konvensi yang telah diratifikasi dll. Tapi pelaksanaannya
ternyata minim sekali. Dapat dikatakan bahwa
norma-norma hukum hak asasi manusia tersebut hanya jadi pajangan saja untuk
menghiasi negara Indonesia agar disebut negara hukum.
Ketidak pedulian pemerintah Indonesia
menangani dan membela korban pelanggaran HAM/kejahatan kemanusiaan atas
penduduk Rawagede suatu hal yang tak mengherankan karenanya. Maka salut
sebesar-besarnya harus diberikan kepada Sdr. Jeffry Pondaag bersama koleganya di yayasan Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB) yang dengan gigih memperjuangkan digelarnya kasus Rawagede di Pengadilan
Negeri Den Haag dengan sukses kemenangan bagi
para korban. Seandainya Pemerintah Belanda tidak mau menerima putusan
Hakim Pengadilan Den Haag, bisa naik banding. Tetapi kalau naik banding
Pemerintah Belanda akan tambah tidak terhormat lagi di mata internasional,
sebab ngotot membela tindak kriminal (kejahatan perang/kejahatan
kemanusiaan/pelanggaran HAM berat) yang merupakan aib di mata dunia
internasional. Dan Pengadilan Banding pun kemungkinan besar akan membenarkan
putusan Pengadilan Den Haag. Sebab sulit sekali untuk membenarkan tindak kejahatan
kemanusiaan – pembantaian 431 pendudk Rawagede tersebut, yang tidak dapat
dibedakan dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang diadili di Mahkamah pengadilan PBB bagi
bekas Yugoslavia, Mahkamah Kejahatan Ininternasional
di Den Haag, Mahkamah Pengadilan PBB di Ruanda dan lain-lainnya. Jadi logislah
sikap pemerintah Belanda yang tidak mengajukan naik banding atas putusan
Pengadilan Den Haag.
# Kasus Rawagede dan Pernyataan Maaf
Pemerintah Belanda
Pernyataan permintaan maaf Pemerintah
Belanda memang selayaknya dinilai positif secara wajar, tidak perlu
berlebih-lebihan. Sebab permintaan maaf tersebut bukan tindakan suka rela,
melainkan karena Pemerintah Belanda kalah dalam perkara perdata atas gugatan
para korban yg jumlahnya 7 orang. Artinya, mau atau tidak mau harus mengakui
kesalahannya. Tentang pernyataan minta maaf hanyalah masalah moral, yang
sepatutnya diberikan oleh mereka yang melakukan kesalahan, terutama bagi mereka
yang menamakan dirinya bangsa beradab. Lain
halnya kalau tanpa gugatan di Pengadilan Pemerintah Belanda dengan sukarela dan
ketulusan hati meminta maaf dan kemudian membayar ganti rugi, meskipun sudah
terlambat 64 tahun. Langkah Pemerintah Belanda yang demikianlah yang bisa
disebut langkah besar dan terpuji.
Tentu saja setiap permintaan maaf dari
siapa saja yang merasa berbuat salah harus diterima dengan baik. Berkaitan dengan permintaan maaf pemerintah
Belanda kepada para korban pembantaian di Rawagede kita harus tidak kehilangan
obyektifitas historis dan yuridis. Pembantaian di Rawagede tersebut tidak bisa
dikatakan bukan kejahatan kemanusiaan, apalagi dari sudut peradaban Eropa yang
dianggap tinggi. Tetapi kenyataannya pernyataan maaf atas pembantaian tersebut,
yang berarti juga pengakuan kesalahan atas tindak kejahatan kemanusiaan, baru
dilakukan secara resmi tahun ini (09 Desember 2011), sesudah selama 64 tahun tidak digubris. Jelasnya, seperti
telah disinggung di atas permintaan maaf tersebut adalah akibat adanya putusan
Pengadilan Den Haag yang memenangkan kasus perdata para korban Rawagede yang
menuntut ganti kerugian kepada pemerintah Belanda.
Kalau tidak ada putusan Pengadilan Den
Haag tentu saja tidak jelas sampai kapan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut
diakui dan permintaan maaf dinyatakan oleh pemerintah Belanda. Maka dari itu,
penulis sama sekali tidak setuju atas pendapat bahwa sikap pemerintah Belanda
tersebut harus dicontoh sebagai pelajaran bagi pemerintah Indonesia (SBY dan
lain-lainnya) dalam menangani kasus korban pelanggaran HAM di Indonesia. Tetapi pemerintah
Indonesia siapapun presidennya harus tegas, jujur dan adil melaksanakan hukum
tentang hak asasi manusia tanpa ditunda-tunda (apalagi sampai puluhan tahun),
tanpa manipulasi dan diskriminasi.
# Masalah ganti rugi bagi para korban
pembantaian di Rawagede
Perlu dicatat bahwa ganti rugi bagi
para korban pembantaian di Rawagede hanya diberikan kepada 7 orang penggugat
(keluarganya) masing-masing sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per keluarga. Karena kasus tersebut adalah kasus perdata, maka
yang bukan penggugat tentu saja tidak masuk hitungan dalam daftar yang berhak
menerima ganti rugi. Mungkin dalam kasus
tersebut pihak KUKB kurang teliti dalam membicarakannya dengan DR Liesbeth Zegveld
(advokat). Padahal jumlah korban di Rawagede sebanyak 431 orang, yang semuanya
(keluarganya) berdasarkan keadilan seharusnya berhak juga menerima ganti
rugi. Adalah suatu langkah terpuji
apabila Pemerintah Belanda berinisiatif
sendiri untuk memberikan ganti rugi tidak hanya kepada 7 orang penggugat saja,
tetapi kepada semua korban di Rawagede lainnya, tanpa melalui proses
pengadilan. Barulah hal tersebut bisa dikatakan langkah besar.
Ada baiknya kita ketahui, bahwa dalam
kasus ganti rugi kepada para korban pemboman oleh teroris terhadap pesawat Pan
Am di Lockerbie, Scotland pada 1988 yang membawa korban 270 orang, Ghadafi
(yang tersangkut dengan kasus tersebut) diwajibkan membayar ganti rugi kepada
setiap keluarga korban sebanyak 10 juta US Dollar (Rp.90 milyar). Sungguh
jumlah ganti rugi yang sangat luar biasa besarnya, jika dibandingkan dengan
ganti rugi yang akan diterima setiap keluarga korban Rawagede hanya sejumlah 20.000
Ero (Rp. 220 juta). Meskipun demikian, kalau pemerintah Belanda dengan sukarela
tanpa melalui pengadilan bersedia memberikan ganti rugi kepada seluruh korban
Rawagede (431 keluarga) yang jumlahnya hanya kurang lebih 7 milyun Ero (Rp.75
milyar) saja, bangsa Indonesia akan
memberi apresiasi tinggi.
Bagi pemerintah Belanda dengan putusan
Pengadilan Den Haag tersebut masih ada kesempatan untuk memperbaiki citranya
atas kejahatan kemanusiaan lainnya yang telah dilakukan di daerah-daerah
Indonesia lainnya setelah berdirinya Republik Indonesia (a.l. pembantaian
ribuan penduduk di Makasar oleh tentara Belanda yang dipimpin kapten
Westerling). , yaitu tanpa melalui
pengadilan mengakui tindak kejahatan kemanusiaan tersebut, meminta maaf kepada
para korban dan kemudian memberikan ganti rugi. Hal itu satu-satunya jalan
untuk mengembalikan nama baik Belanda sesuai norme dan warde (norma dan nilai) hak asasi manusia yang beradab.
Tentu saja masih banyak masalah
hubungan Indonesia-Belanda yang harus diselesaikan, misalnya masalah pengakuan
kedaulataan Republik Indonesia, di mana Belanda tetap tidak mengakui de jure
pada 17 Agustus 1945. Tapi ini adalah masalah perselisihan hukum antara dua
negara yang tidak mudah untuk menyelesaikannya. Untuk itu harus maju ke Mahkamah Pengadilan
Internasional PBB (The International Court of Justice) di Den Haag. Apakah
Indonesia cukup siap berhadapan dengan
Belanda di Mahkamah tersebut, mengingat
dalam sengketa dengan Malaysia mengenai kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (tahun
2003) saja Indonesia kalah. Tampaknya pemerintah Indonesia tidak berniat untuk
mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah PBB, sebab tidak mau berisiko kalah dalam
pengadilan atau rusaknya hubungan Indonesia-Belanda dalam bidang politik,
ekonomi dan sosial-budaya yang sudah berjalan lancar. Misalnya dalam bidang pendidikan ribuan mahasiswa
Indonesia mendapatkan fasilitas belajar di Negeri Belanda. Tapi yang pasti, baik
Indonesia mau pun Belanda berusaha memelihara baik-baik hubungan bilateral yang
saling menguntungkan dewasa ini.
#
Penegak hukum Indonesia, belajarlah meski ke Argentina!!!
Harus diakui bahwa putusan pengadilan
Den Haag dalam kasus Rawagede ini menunjukkan keobyektifan para hakim dalam
memproses kasus tersebut. Mereka tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (pemerintah
Belanda) yang selama ini masih berat untuk melepaskan tekanan-tekanan
psikologis dari para veteran KNIL yang tidak mau disebut penjahat dalam kasus Rawagede
dan daerah-daerah lainnya ketika melakukan agresi ke Indonesia. Dalam kasus
Rawagede tersebut asas trias politica betul-betul ditegakkan: kekuasaan
yudikatif membuktikan fungsinya yang tidak tergantung kepada kekuasaan
eksekutif. Dalam kaitan inilah Institusi Yudikatif di Indonesia masih harus
kerja keras untuk membuktikan bahwa tidak tergantung kepada kekuasaan
eksekutif, tidak menjadi kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif dan bersih dari
kendali mafia hukum.
Dengan dimenangkannya para penggugat terbukti
juga bahwa Pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede tidak menempuh arus yang
bertentangan dengan praktek-praktek di mahkamah-mahkamah
Internasional (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan
International Criminal Court) yang telah atau sedang berjalan di Den Haag, yang
mengadili kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat di Yugoslavia, Sera Leon
dan lain-lainnya. Sayangnya kasus Rawagede di Pengadilan Den Haag tersebut hanya
diproses dalam bingkai kasus perdata, yang
menuntut ganti rugi kepada 7 korban. Maka dari itu bobotnya terlalu ringan, tidak
sebanding dengan korban jiwa 431 orang penduduk Rawagede, yang seharusnya
diproses dalam bingkai kasus pidana internasional.
Dalam rangka memperingati Hari Hak
Asasi Manusia Internasional kita perlu prihatin atas ketidak-berdayaan dan
ketidak-pedulian penegak hukum atau institusi yudikatif Indonesia menuntaskan
kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara serius, terutama kasus-kasus
masa lalu, dengan jujur dan adil. Kalau benar-benar institusi yudikatif/penegak
hukum Indonesia mau menegakkan kebenaran dan keadilan seharusnya belajar dari
kasus penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Argentina, Peru dan negara-negara
Amerika Latin lainnya. Di Argentina
di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchne (yang terpilih dalam pemilu
2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan
berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun
yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan
Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal
Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya
menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo
memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan maaf
kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html). Beranikah para penegak hukum di Indonesia mengambil
pelajaran dari pengalaman penegakan kebenaran dan keadilan di Argentina?
Belajarlah, meski ke Argentina!!!
Nederland, 10 Desember 2011
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban
1965 (LPK65), Nederland.
No comments:
Post a Comment