Sunday 18 December 2011

Topeng Buram Penegakan HAM


12.12.2011 09:50
Topeng Buram Penegakan HAM
Penulis : M Bachtiar Nur/ Lili Sunardi/Tutut Herlina

Di depan Istana Negara, seorang ibu masih setia berdiri beberapa jam setiap Kamis sore. Seluruh rambutnya telah memutih dan tubuhnya selalu berbalut kain hitam.
Di sana ia tak sendiri, beberapa kawan aktivis selalu setia menemaninya. Perempuan itu adalah Sumiarsih, ibunda Bemardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan. Anak laki-laki itu meninggal karena peluru aparat yang bersarang di tubuhnya. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.
Kegiatan itu rutin ia lakukan. Ia berharap, suatu saat penguasa di dalam Istana bisa tergugah dan kasus kematian anaknya suatu saat nanti bisa dibawa ke pengadilan hak asasi manusia (HAM).

Asa yang sama bersemai di diri keluarga maupun kawan-kawan Widji Toekoel, penyair yang puisi-puisinya menggelorakan semangat melawan rezim diktator di bawah Soeharto. Syair-syairnya itu pula yang membuatnya harus “menghilang”. Hingga kini, Widji Toekoel tidak pernah ketahuan nasibnya. Sejumlah saksi menyebut ia diculik aparat keamanan.
“Sekarang sudah banyak orang yang tidak ingat. Tapi usaha untuk mengingatkan terus-menerus perlu dilakukan walapun kecil tetap diperlukan supaya kita tidak benar-benar lupa,” kata Aan Rusdianto, korban penculikan Aktivis 1998.
Kasus pelanggaran HAM saat ini memang kecil kemungkinannya untuk bisa berujung ke pengadilan. Bahkan, kasus-kasus baru banyak yang muncul, sementara kasus lama tak jelas penanganannya.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdal Kasim mengatakan, penuntasan kasus pelanggaran HAM kian meredup. Ini terjadi karena ketiadaan kemauan politik dari penguasa.
Pukum kasus pelanggaran berat terhadap HAM pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa dikatakan 0 persen. Kejaksaan Agung (Kejagung) juga terlihat takut memproses kasus pelanggaran HAM berat yang berkasnya telah masuk ke pihak mereka.

Sejak lama, berkas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat sebenarnya telah masuk ke Kejagung. Namun hingga kini, berkas tersebut tidak diproses. Bahkan, jika dihitung, berkas itu menumpuk di Kejagung sudah lebih dari lima tahun. "Ada beberapa pelanggaran HAM berat sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung,” kata Ifdal ketika dihubungi, Minggu (11/12).

Kasus itu antara lain penculikan aktivis 98 pro demokrasi, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Talang Sari Lampung tahun 1984, Kasus Trisakti (Semanggi I dan II), serta Kasus Wasior dan Wamena tahun 2005. "Sampai sekarang tidak ada kelanjutannya di Jaksa Agung. Kasus-kasus ini sudah lebih dari lima tahun," ujarnya.
Ia sangat berharap Jaksa Agung berani membuka kasus-kasus tersebut kembali, meski pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. "Pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk bukan kendala. Kalau memang tidak bisa diajukan ke pengadilan, harus dikeluarkan surat penghentian penyidikan (SP-3) sehingga ada kejelasan. Masyarakat jadi tidak menunggu yang tak pasti," papar Ifdal.

Kejagung belum melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat karena adanya kekhawatiran sensitivitas dalam politik. Pelaku pelanggaran HAM itu umumnya adalah tokoh-tokoh yang masih berkuasa di panggung politik saat ini.
Oleh karena itu, upaya menyeret pelaku ke pengadilan tidak pernah menjadi prioritas utama. "Langkah (penegakan HAM) sepertinya tidak menjadi upaya utama oleh pemerintah dibandingkan pemberantasan korupsi.
Yang banyak terjadi hanyalah perbaikan kerangka melalui legislasi, tapi pemerintah sangat menahan diri untuk tidak melakukan penyelidikan atau tidak mau menyentuh kasus-kasus pelanggaran HAM yang sensitif," katanya.

Hak Ekosob

Pembentukan Pengadilan HAM di empat kota menjadi ruang kosong akibat hanya menjadi simbol belaka, tanpa realiasi penegakan HAM yang sesungguhnya. Padahal, pengadilan HAM yang berada di Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya itu seharusnya mampu menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 2000 ke atas.
Namun faktanya, kasus Wasior dan Wamena yang terjadi pada 2005 hingga kini belum dapat disidangkan karena belum mulainya penyidikan oleh Kejagung. "Pelanggaran HAM di wilayah Papua, pengadilan HAM di Makassar. Seharusnya kejaksaan langsung menyidik kasus itu (kasus Wasior-Wamena). Jika dianggap tidak ada bukti yang kuat, keluarkan SP3," papar Ifdal.

Ifdal menjelaskan, sejak kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, praktis tidak ada lagi pengadilan HAM yang berlangsung. "Pada zaman Megawati, pernah ada satu kali pengadilan HAM di Makassar. Pada era Gus Dur, pengadilan HAM banyak dilakukan. Pada jaman SBY 0 persen," katanya.
Selain bentuk pelanggaran HAM berupa fisik seperti kekerasan dan penculikan, Komnas HAM pada 2011 juga menerima ribuan laporan pelanggaran HAM terkait ekonomi, sosial, dan budaya.
"Tahun ini, kita terima 6.000-an kasus dalam bentuk pelanggaran hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, sengketa lahan perkebunan, pertambangan. Paling banyak akibat pertikaian di perkebunan," ujar Ifdal.

Angka laporan yang diterima Komnas HAM tinggi karena berbagai faktor, seperti tingginya PHK di berbagai pekerjaan serta keleluasaan dari pemerintah terhadap mereka yang hendak berinvestasi di perkebunan dan pertambangan besar.
"Fasilitas terlalu banyak pada pihak perkebunan dan mengabaikan hak masyarakat asli. Pemerintah daerah diberikan kewenangan terutama dalam hal tambang. Konsesi tambang yang diberikan justru merusak lingkungan dan merugikan masyarakat," imbuhnya.
Namun Jaksa Agung, Basrief Arief mengatakan, pembentukan pengadilan HAM sangat sulit dilakukan. Saat ini masih belum ada kejelasan mengenai aturan, meski telah ada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Pasal tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai alur proses pembentukan pengadilan yang didirikan secara ad hoc. Aturan itu mengharuskan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang diserahkan ke penyidik untuk dilakukan penyelidikan, padahal penyelidikan tersebut perlu pengadilan HAM itu sendiri.

Selain itu, kemauan politik dari DPR dan pemerintah pun ikut memengaruhi penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan. Ini karena dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, disyaratkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc tergantung dari rekomendasi DPR dan yang kemudian ditindaklanjuti dalam keputusan presiden.
Tak hanya itu, kewenangan aparat hukum ad hoc yang tidak dapat menyangkakan tindak pidana lain di luar pelanggaran HAM juga ikut mempersulit pengadilan HAM tersebut.
"Bagaimana jika terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi cukup bukti melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang berdasarkan delik pembunuhan yang diatur dalam KUHP," jelas Basrief.

No comments:

Post a Comment