12.12.2011
09:50
Topeng Buram
Penegakan HAM
Penulis : M Bachtiar Nur/ Lili Sunardi/Tutut Herlina
Di depan Istana Negara, seorang ibu masih setia berdiri
beberapa jam setiap Kamis sore. Seluruh rambutnya telah memutih dan tubuhnya
selalu berbalut kain hitam.
Di sana ia tak sendiri, beberapa kawan aktivis selalu
setia menemaninya. Perempuan itu adalah Sumiarsih, ibunda Bemardinus Realino
Norma Irmawan atau Wawan. Anak laki-laki itu meninggal karena peluru aparat
yang bersarang di tubuhnya. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Tragedi
Semanggi I.
Kegiatan itu rutin ia lakukan. Ia berharap, suatu saat penguasa
di dalam Istana bisa tergugah dan kasus kematian anaknya suatu saat nanti bisa
dibawa ke pengadilan hak asasi manusia (HAM).
Asa yang sama bersemai di diri keluarga maupun
kawan-kawan Widji Toekoel, penyair yang puisi-puisinya menggelorakan semangat
melawan rezim diktator di bawah Soeharto. Syair-syairnya itu pula yang
membuatnya harus “menghilang”. Hingga kini, Widji Toekoel tidak pernah ketahuan
nasibnya. Sejumlah saksi menyebut ia diculik aparat keamanan.
“Sekarang sudah banyak orang yang tidak ingat. Tapi usaha
untuk mengingatkan terus-menerus perlu dilakukan walapun kecil tetap diperlukan
supaya kita tidak benar-benar lupa,” kata Aan Rusdianto, korban penculikan
Aktivis 1998.
Kasus pelanggaran HAM saat ini memang kecil
kemungkinannya untuk bisa berujung ke pengadilan. Bahkan, kasus-kasus baru
banyak yang muncul, sementara kasus lama tak jelas penanganannya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
Ifdal Kasim mengatakan, penuntasan kasus pelanggaran HAM kian meredup. Ini
terjadi karena ketiadaan kemauan politik dari penguasa.
Pukum kasus pelanggaran berat terhadap HAM pada
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa dikatakan 0 persen.
Kejaksaan Agung (Kejagung) juga terlihat takut memproses kasus pelanggaran HAM
berat yang berkasnya telah masuk ke pihak mereka.
Sejak lama, berkas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat
sebenarnya telah masuk ke Kejagung. Namun hingga kini, berkas tersebut tidak
diproses. Bahkan, jika dihitung, berkas itu menumpuk di Kejagung sudah lebih
dari lima tahun. "Ada beberapa pelanggaran HAM berat sudah diserahkan ke
Kejaksaan Agung,” kata Ifdal ketika dihubungi, Minggu (11/12).
Kasus itu antara lain penculikan aktivis 98 pro
demokrasi, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Talang Sari Lampung tahun 1984, Kasus Trisakti
(Semanggi I dan II), serta Kasus Wasior dan Wamena tahun 2005. "Sampai
sekarang tidak ada kelanjutannya di Jaksa Agung. Kasus-kasus ini sudah lebih
dari lima tahun," ujarnya.
Ia sangat berharap Jaksa Agung berani membuka kasus-kasus
tersebut kembali, meski pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk.
"Pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk bukan kendala. Kalau memang
tidak bisa diajukan ke pengadilan, harus dikeluarkan surat penghentian
penyidikan (SP-3) sehingga ada kejelasan. Masyarakat jadi tidak menunggu yang
tak pasti," papar Ifdal.
Kejagung belum melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM
berat karena adanya kekhawatiran sensitivitas dalam politik. Pelaku pelanggaran
HAM itu umumnya adalah tokoh-tokoh yang masih berkuasa di panggung politik saat
ini.
Oleh
karena itu, upaya menyeret pelaku ke pengadilan tidak pernah menjadi prioritas
utama. "Langkah (penegakan HAM) sepertinya tidak menjadi upaya utama oleh
pemerintah dibandingkan pemberantasan korupsi.
Yang
banyak terjadi hanyalah perbaikan kerangka melalui legislasi, tapi pemerintah
sangat menahan diri untuk tidak melakukan penyelidikan atau tidak mau menyentuh
kasus-kasus pelanggaran HAM yang sensitif," katanya.
Hak
Ekosob
Pembentukan
Pengadilan HAM di empat kota menjadi ruang kosong akibat hanya menjadi simbol
belaka, tanpa realiasi penegakan HAM yang sesungguhnya. Padahal, pengadilan HAM
yang berada di Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya itu seharusnya mampu
menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 2000 ke atas.
Namun
faktanya, kasus Wasior dan Wamena yang terjadi pada 2005 hingga kini belum
dapat disidangkan karena belum mulainya penyidikan oleh Kejagung.
"Pelanggaran HAM di wilayah Papua, pengadilan HAM di Makassar. Seharusnya
kejaksaan langsung menyidik kasus itu (kasus Wasior-Wamena). Jika dianggap
tidak ada bukti yang kuat, keluarkan SP3," papar Ifdal.
Ifdal
menjelaskan, sejak kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, praktis tidak ada lagi
pengadilan HAM yang berlangsung. "Pada zaman Megawati, pernah ada satu
kali pengadilan HAM di Makassar. Pada era Gus Dur, pengadilan HAM banyak
dilakukan. Pada jaman SBY 0 persen," katanya.
Selain
bentuk pelanggaran HAM berupa fisik seperti kekerasan dan penculikan, Komnas
HAM pada 2011 juga menerima ribuan laporan pelanggaran HAM terkait ekonomi,
sosial, dan budaya.
"Tahun ini, kita terima 6.000-an kasus dalam bentuk
pelanggaran hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, sengketa lahan
perkebunan, pertambangan. Paling banyak akibat pertikaian di perkebunan,"
ujar Ifdal.
Angka laporan yang diterima Komnas HAM tinggi karena
berbagai faktor, seperti tingginya PHK di berbagai pekerjaan serta keleluasaan
dari pemerintah terhadap mereka yang hendak berinvestasi di perkebunan dan
pertambangan besar.
"Fasilitas terlalu banyak pada pihak perkebunan dan
mengabaikan hak masyarakat asli. Pemerintah daerah diberikan kewenangan
terutama dalam hal tambang. Konsesi tambang yang diberikan justru merusak
lingkungan dan merugikan masyarakat," imbuhnya.
Namun Jaksa Agung, Basrief Arief mengatakan, pembentukan
pengadilan HAM sangat sulit dilakukan. Saat ini masih belum ada kejelasan
mengenai aturan, meski telah ada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Pasal
tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai alur proses pembentukan
pengadilan yang didirikan secara ad hoc. Aturan itu mengharuskan
penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang diserahkan ke penyidik untuk
dilakukan penyelidikan, padahal penyelidikan tersebut perlu pengadilan HAM itu
sendiri.
Selain
itu, kemauan politik dari DPR dan pemerintah pun ikut memengaruhi penyelesaian
kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan. Ini karena dalam UU 26/2000 tentang
Pengadilan HAM, disyaratkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc tergantung
dari rekomendasi DPR dan yang kemudian ditindaklanjuti dalam keputusan presiden.
Tak
hanya itu, kewenangan aparat hukum ad hoc yang tidak dapat menyangkakan
tindak pidana lain di luar pelanggaran HAM juga ikut mempersulit pengadilan HAM
tersebut.
"Bagaimana
jika terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi cukup
bukti melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang berdasarkan delik pembunuhan
yang diatur dalam KUHP," jelas Basrief.
No comments:
Post a Comment