Monday 24 December 2012

Resensi Film: Cermin Jiwa Kekuasaan Jagal


Resensi Film: Cermin Jiwa Kekuasaan Jagal

BERDIKARIONLINE, Minggu, 23 Desember 2012 | 16:01 WIB   ·   0 Komentar
The Act of Killing

The Act OF Killing/Jagal (2012)
Sutradara         : Joshua Ophenheimer
Produksi          : Signe Byrge Sørensen
Durasi              : 159 menit
Bahasa             : Indonesia
Tahun              : 2012
Apakah judul di atas tepat atau tidak untuk memahami film “Jagal” (The Act of Killing) ini, tak bisa saya pastikan. Tapi film ini telah memaksa penonton mendalami sisi batiniah dari para pelaku pembunuhan massal tahun 1965-1966. Begitu dalamnya, sehingga seorang Anwar Congo, tokoh utama dalam film ini, dapat berbalik 180 derajat kejiwaannya dalam perbandingan antara awal dan akhir cerita film. Juga begitu dalamnya, sehingga jeroan ‘jiwa-jiwa’para penjagal itu jadi nampak benderang sedang bertahta di atas sebuah jiwa raksasa bernama “negara”, atau tepatnya, sebuah rejim kekerasan kesayangannya modal asing.
Di awal cerita, di suatu pelataran lantai atas gedung yang tampak terbuka, Anwar Congo mengisahkan pembantaian yang ia dan kelompoknya lakukan terhadap orang-orang komunis atau yang diduga komunis. Begitu santai dan ringan, tanpa beban, ia ceritakan semua tindakannya. Terperinci! Bagaimana ia melakukan (penjagalan) itu sambil menengak “…sedikit alkohol, sedikit marijuana, sedikit ekstasi, dan menari cha cha cha” agar terasa “lebih rileks”. Agar pembunuhan dapat dilakukan dengan gembira, katanya.
Pada akhir cerita, setelah melalui berbagai dialog, barangkali juga melalui perenungan setelah dirinya memerankan korban yang dijerat lehernya pakai kawat, Anwar Congo muntah-muntah ketika coba menceritakan lagi semua. Kejadian ini di tempat yang sama ketika ia pertama kali ceritakan kelakuan keji itu dengan santainya. Kali ini Anwar tak lagi santai. Tampak ia bercerita dengan terbata-bata, bermuram durja, dan diselingi dampak fisik berupa muntah-muntah tadi. Seperti ada beban raksasa yang dipaksa keluar dari uluhati, melalui rongga dadanya yang tipis, hingga bagian terbesar dari beban itu kembali tertelan.
Sampai di sini saya punya pendapat kecil, bahwapribadi Anwar Congo sedikit berbeda dibanding jagal lain, yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Bahkan salah seorang di antaranya, Adi Zulkardi, menantang sutradara (Joshua) untuk membawanya ke mahkamah internasional di Den Haag atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Anwar tidak seperti Adi yang ‘berhasil’ membenarkan tindakannya atas nama negara.
Pendapat ini sama sekali bukan untuk ‘memaafkan’ Anwar Congo secara politik, apalagi memberi pemakluman atas kekejiannya. Saya hanya menemukan penyesalan pada diri Anwar, sehingga (sejenak) ia bisa tampil sebagai manusia umumnya. Meskipun kemudian, dalam wawancara dengan televisi Aljazeera, ia mengatakan tidak menyesal, tapi pernyataan ini terkesan kering dan klise bila dibandingkan apa yang tersaji di menit-menit akhir film.
Seperti sudah diulas dalam beberapa review, “Jagal” merupakan film dokumenter pertama yang mengungkap pengakuan langsung para pelaku lapangan pembantaian 1965-1966.Pengakuan para dedengkot tingkat atas,antara lain pernah disampaikan oleh Sarwo Edi Wibowo, Sudomo, dan Kemal Idris.

Peristiwa pembantaian massal ini sudah menjadi rahasia umum di Indonesia. Karena berbagai motif, sebagian besar orang memilih diam, atau ‘mengambil jarak’, atau menolak membicarakannya sama sekali. Sebagian kecil berusaha mengungkap, juga dengan berbagai cara dan motif, tapi suara ini kembali tenggelam dalam riuh arus berita dan informasi lainnya.
“Jagal” bukan hanya mengungkap pengakuan biasa, tapi rangkuman pengakuan yang vulgar, sehingga kerap adegan atau pernyataan di dalamnya jadi sangat mengerikan (atau menjijikkan) ketika disimak. Di dalamnya ada pengakuan pelaku lapangan (eksekutor), pengakuan ketua umum salah satu ormas kepemudaan, pengakuan seorang pesohor pers Sumatera Utara, pengakuan seorang Gubernur, dan pengakuan seorang deputi menteri.Semua pengakuan ini kemudian menginspirasi majalah Tempo menggali hal yang sama dari sumber-sumber lain dalam satu bundel laporan khusus bulan oktober lalu, dan kemudian diikuti oleh televisi Aljazeera baru-baru ini.
Keberhasilan Joshua adalah menjadi pelopor untuk menyibak lembar hitam sejarah bangsa dari sisi pelaku lapangan. Mengapa bisa? Selain karena keuletan sang sutradara sendiri,juga karena para pelaku tersebut tidak merasa, apalagi berpikir, bahwa mereka bersalah. Atau lebih tepatnya, karena mereka merasa, dan juga berpikir, ada kekuatan besar yang senantiasa melindungi mereka dari segala jenis pengadilan. Kekuatan besar itu bisa negara, atau bahkan sesuatu yang mereka anggap Tuhan. Ya, kenapa tidak, meski sangat menggelikan. Di salah satu scene, presenter TVRI Sumatera Utara yang mewawancarai Anwar dkk., menyatakan alasan, “…karena Tuhan benci PKI!”Entah kapan dan di mana presenter itu menerawang hati dan pikiran Tuhansecara begitu spesifik.
Dari segi teknik penyajian, “Jagal” adalah sebuah film di dalam film. Joshua mendokumentasikan proses pembuatan film yang dilakukan Anwar, cs., tentang apa yang mereka lakukan di “masa muda”. Anwar, saat itu seorang preman calo karcis bioskop, merasa terancam oleh kampanye PKI menolak film-film produksi Hollywood. Motif yang terkesan sangat sederhana ini bisa membawa Anwar menjadi seperti yang kita lihat sekarang. Dalam pembuatan film ini Anwar diberi keleluasaan untuk mendramatisasi pengalamannya membantai; dengan memilih kostum, adegan, dan dandanan para pemain.
Sebagai sebuah film dokumenter, berdurasi 159 menit, dengan dialog dan peragaan penuh sadisme dan kekerasan, bagi sebagian orang tak mudah dicerna sampai selesai. Penulis dapati beberapa penonton yang ‘menyerah’ dan meninggalkan pertunjukkan tanpa menyelesaikannya. Kalangan dari kelompok politik beserta keluarga yang menjadi korban dengan mudah tersulut kebencian yang, meniru ekspresi Anwar,“..sangat…sangat…sangat…” kepada Anwar, cs., bila tidak menyaringnya dengan cara tertentu. Sementara kalangan dari kelompok politik beserta keluarga yang menjadi pelaku mungkin akan marah bila tidak menjadi malu.
Saya tergelitik, untuk tidak mengatakan tersentuh, saat menyaksikan dialog tele-konferensi antara Anwar dan Joshua yang disiarkan Aljazeera baru-baru ini. Anwar, yang selama bertahun-tahun hidup bersama Joshua dalam proses pembuatan film ini—sehingga menurut saya mereka cukup dekat, dengan emosional mengaku film tersebut “membuatnya susah”. Kemudian Anwar tampak tak bisa lagi menahan dirinya saat Joshua menerangkan bahwa keberanian dan kejujuran Anwar mengakui perbuatannya tidak akan dilupakan sampai ia (Joshua) mati. Sontak Anwar bangun meninggalkan Joshua di seberang jaringan dan berjalan masuk ke ruangan lain sambil mengusap mata. Entah marah, entah kecewa kepada Joshua, atau suatu perasaan lain yang hanya diketahui Anwar.
Gejolak kejiwaan Anwar Congo di satu sisi, serta dingin dan hampanya jiwa Adi Zulkardi di sisi lain, semata-mata akibat dari diamnya negara terhadap masalah ini. Diam di sini dalam pengertian membiarkan pembantaian tanpa pengadilan terhadap jutaan manusia terus menjadi bagian dari tubuh dan jiwa kekuasaan. Keadaan ini tentu berdampak lebih hebat terhadap korban dan keluarganya dibanding terhadap Anwar Congo. Dan lebih hebat lagi bagi bangsa ini, yang kehilangan kesempatan untuk memaknai “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai salah satu dasar dari bangunan kepribadiannya.
Persoalan hanya akan semakin runyam, karena arah dari kondisi yang disengaja oleh penguasa negara ini adalah merawat bibit konflik horisontal demi kepentingan vertikal. Penguasa membiarkan kebodohan ini berlanjut. Mesin kekuasaan terus mengipas-ngipas agar preman pengumpul limbah pabrik merasa terancam perutnya oleh pemogokan buruh menuntut kenaikan upah. Kebencian ‘pribumi’ di tanah-tanah kaya terhadap ‘para pendatang’ terus dihembuskan, sembari menyelamatkan tuan modal pengeruk yang sebenar-benarnya pendatang. Politik teror yang disemai sejak 1965 terus dilanggengkan agar, mengutip Pramudya Ananta Toer, “rakyat tetap takut lantas manut”. Inilah jiwa dan watak kekuasaan jagal; tanpa nurani, tanpa akal-budi, apalagi kecintaan pada rakyat. Dan film “Jagal” adalah cermin ajaib yang memantulkan bayangannya.
Dominggus OktavianusSekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD)

3 comments:

  1. Film yang disutradarai Joshua Ophenheimer menarik sekali, sebab memberi replika tentang kekejaman (pembunuhan massal) yang terjadi pasca gagalnya Gerakan Tigapuluh September) yang dipimpin Letkol. Untung. Memang sangat mengerikan dan biadab sekali. Sesuai jumlah korbannya yang luar biasa (500.000 - 3000.000) disamping kriteria-kriteria lainnya haruslah disebut sebagai kejahatan kemanusiaan.

    Tapi sayangnya dalam film tersebut hanya ditayangkan para pelaku/jagal dari kalangan warga sipil. Padahal jagal-jagal sipil tersebut tidak mungkin berani melakukan tindak kejahatan demikian gampangnya kalau tidak ada kekuatan maha besar (ABRI) yang berdiri di belakang membackingnya. Jadi ABRIlah yang bertanggung jawab penuh atas pembunuhan massal 1965-66.

    Jadi sebagai seri lanjutan film The Acts of Killing, perlu dibuat film tentang peranan ABRI dalam membacking para jagal. Para jagal sipil seperti penari Bali, Anwar Congo dan lain-lainnya hanyalah pion-pion fanatik yang tak berotak. Di sinilah letak masalah pokok dalam sejarah pelanggaran HAM berat 1965-66 yang harus dibuka. Sanggupkah Joshua melakukan penyelidikan dan interview terhadap para mantan anggota ABRI yang pada tahun 1965-66 ikut membacking para jagal sipil?

    ***MD Kartaprawira, 25-12-2013***

    ReplyDelete
  2. Ulasan yang sangat bagus tentang Film Killing Field. Saya menyaksikan di youtube ulasan tentang film ini, sedang film utuhnya belum sempat menyaksikan. sayang sekali. Memahami sejarah 65 memang tidak mudah karena semua pihak berbicara berdasarkan keyakinan. Sementara antara fakta sejarah, cerita dan propaganda tidak mudah diurai pada masa dimana memang kebenaran-kebenaran dikaburkan. Salah satu alasan terjadinya gelombang pembunuhan adalah sebagai bentuk tekanan kepada Presiden Soekarno untuk menyerahkan kekuasaannya. Ini bagian dari yang disebut kudeta merangkak dari Soeharto. Pembunuhan ini juga berhasil menebar ketakutan, trauma panjang yang menjadi fondasi langgengnya orde baru hingga 32 tahun. Bahkan setelah 20 tahun pembantaian, orang masih takut untuk mengucapkan kata PKI secara terbuka. Jadi secara politik pembantaian tersebut memang sangat efektif bagi berdiri dan tegaknya orde baru. Tetapi pembantaian adalah kejahatan HAM yang sangat berat, apapun juga alasannya.

    ReplyDelete
  3. kudeta militer kaum kanan dimana2 diseluruh dunia sama saja, iran, kongo, indonesia, hampir diseluruh negara amerika latin (kecuali kuba) pemerintahnya dikuasai seorang jenderal lwt kudeta berdarah program cia,mosad,dll (nekolim) menggulingkan pemerintah yg sah pilihan & pro rakyat. dg alasan bahaya & pembantaian kaum kiri (komunis) mereka bertujuan menjajah politik ekonomi di negara2 tsb. antara lain menyusupkan perusahaan2 tambang mereka (migas, emas, dll) menguras habis harta milik rakyat. diantara negara2 yg pernah terjajah (spt iran, venezuela, dll) skrg sadar bhw neo kolonialisme tsb merugikan rakyat dan hrs ada perlawanan demi menyelamatkan harta milik rakyat&martabat bangsa, mgkn hanya indonesialah negara yg msh malu2 & blm mau sadar utk mengadakan perlawanan thdp penjajahan gaya baru tsb krn ada sekelompok manusia berkuasa yg dilindungi aparat (dijaman orba militer, skrg polisi/preman?) meraup keuntungan besar mendpt cipratan harta milik rakyat yg di jarah perusahaan tambang asing (exxon, freeport, dll). sehingga salah satu negara terkaya sda&sdm ini menjadi salah satu negara termiskin&terkorup didunia. kesalahan2 sejarah sjk thn '65 hrs diungkap tuntas, hrs ada garis pemisah yg jelas antara yg salah&benar utk kepentingan masyarakat luas. pelaku & korban kejahatan hrs ada konsekwensi hukumnya. sejarah hrs dibuat oleh sejarawan dg bantuan para korban bukan oleh pelaku kejahatan. sehingga dimasa depan masyarakat luas negara tercinta ini bisa menikmati sda&sdm pemberian dari sang pencipta alam semesta. amin .

    ReplyDelete