Tuesday 31 July 2012


Jalan Pembuka Menyingkap Tragedi 1965-1966
Vidi Batlolone | UNIVERSITAS INDONESIA, Senin, 30 Juli 2012 - 15:10:23 WIB
Dibaca : 104


(dok/antara)
Titik terang mulai tampak di tengah kegelapan walau perjalanan masih panjang dan berliku.
Peristiwa tragedi 1965-1966 merupakan bagian sejarah terkelam Indonesia. Tidak ada jumlah pasti berapa banyak orang dibunuh atas nama pengganyangan komunisme.
Ribuan lainnya masuk penjara tanpa proses peradilan. Tak hanya itu, keluarga korban tragedi yang tidak bersangkut paut sama sekali, bertahun-tahun mendapat perlakuan diskriminatif.
Stigmatisasi sebagai golongan komunis, bengis, dan tidak ber-Tuhan, membuat aktivitas mereka selalu dicurigai. Hak politik dicabut, mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri pun tidak bisa.

Namun sampai saat ini penyelesaian kasus tragedi 1965–1966 tidak pernah jelas. Pelaku tidak pernah diungkap secara gamblang, apalagi dimintai pertanggungjawaban. Korban dan keluarga korban pun tidak pernah mendapat keadilan. Belum ada upaya sungguh negara untuk merehabilitasi dan memulihkan hak-hak mereka.

Komnas HAM berhasil merampungkan hasil penyelidikan mereka atas peristiwa 1965 dan Petrus 1982-1985.
Hasilnya, Komnas HAM menyatakan adanya cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Kopkamtib disebut sebagai pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban atas tragedi 1965.

Kopkamtib

"Kami menduga bahwa pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban atas tragedi 1965 adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) berdasarkan struktur pelanggaran HAM berat yang terjadi dari 1965 sampai 1968 dan 1970 sampai 1978," ujar Nur Kholis, Ketua tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (23/7).   
Kesimpulan menurut Nur Kholis berdasarkan keterangan 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa tersebut.
"Para saksi dari seluruh Indonesia menyatakan Kopkamtib melakukan aksi kejahatan atas kemanusiaan itu secara sistematis dan meluas dengan jumlah korban diperkirakan 500.000 hingga 3 juta jiwa," kata dia. Kopkamtib merupakan organisasi yang dibentuk pada 10 Oktober 1965 untuk membasmi unsur PKI/Komunis.

Secara yudisial, Kejaksaan Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan memulai langkah penyidikan. Penyelidikan Komnas juga bisa diselesaikan lewat mekanisme non-yudisial, misalnya dengan memulihkan hak-hak korban dan keluarga, memberi kompensasi, hingga membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya," desak dia.

Rekomendasi Komnas HAM memang menerbitkan harapan terpenuhinya keadilan. Koordinator Ikatan Orang Hilang (IKOHI) Mugiyanto menyebutkan laporan Komnas itu patut diapresiasi. Komnas telah berani membuat kesimpulan yang bertentangan dengan persepsi publik selama ini. Persepsi yang ditanam pemerintah Orde Baru yang memang mengawali kekuasaannya beralaskan tragedi 1865-1966.

“Itu adalah modal awal besar bagi kita semua untuk menyelesaikan beban masa lalu yang tersisa," ujar Mugiyanto.

Komitmen Presiden

Langkah selanjutnya bagi rekomendasi Komnas ini bergantung kepada komitmen Kejaksaan Agung dan pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Secara gamblang Presiden SBY telah memerintahkan Kejaksaan Agung mempelajari rekomendasi tersebut. Presiden juga menyatakan masalah di masa lalu harus diselesaikan dengan adil.

“Negara memiliki kewajiban moral dan visi politik untuk menyelesaikan semua yang terjadi di negara ini seadil-adilnya, setepat-tepatnya, kalau itu berkaitan dengan saudara sebut sebagai pelanggaran ham berat,” paparnya.

Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan bakal mempelajari laporan Komnas tersebut. ”Paling tidak saya ikuti instruksi Presiden,” katanya.

Mantan Hakim Konstitusi, Laica Marzuki mengatakan, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh dibiarkan sebagai endapan utang bagi perjuangan HAM. Pemerintah, kata Laica, harus ingat penuntasan kasus pelanggaran HAM merupakan kewajiban yang harus dituntaskan demi HAM yang dijamin konstitusi.

"Hal itu harus disidik terus dan ditangani oleh kejaksaan. Tidak boleh dibiarkan sebagai suatu endapan utang bagi perjuangan hak asasi," kata Laica.

Jaksa Agung, katanya, tidak perlu menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc yang tertuang di dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. "Tidak perlu juga menunggu presiden," ujarnya.

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 Bedjo Untung menyatakan sangat terharu dengan keluarnya rekomendasi Komnas HAM. Perjuangan panjang para korban membuahkan hasil dengan penagkuan Komnas HAM bahawa memang telah terjadi kejahatan kemanusiaan berat.

Bedjo Untung tahu rekomendasi tersebut bukan akhir perjuangan. “Ini baru entry point (titik masuk) untuk membuka semua mengenai kejahatan 1965-1966,” ungkapnya.
Rekomendasi ini juga diharapkannya menjadi pembuka jalan untuk mengakhiri diskriminasi yang selama ini diterima para korban dan keluarganya. “Sampai saat ini diskriminasi itu masih terjadi,” katanya. (Ruhut Ambarita/M Bachtiar Nur)
(Sinar Harapan) 
http://www.shnews.co/detile-5572-jalan-pembuka-menyingkap-tragedi-19651966.html

No comments:

Post a Comment