Tuesday 31 July 2012


Bedjo Untung, Tak Lelah Mencari Keadilan
Vidi Batlolone | Senin, 30 Juli 2012 - 15:02:21 WIB
Dibaca : 76


(SH/Edy Wahyudi)
Peristiwa itu tidak akan pernah dilupakan olehnya.
Sudah empat dekade terlewat, tetapi Bedjo Untung masih mengingat jelas apa yang terjadi pada pagi hari 24 Oktober 1970 itu. Dia merekam peristiwa kelam itu seolah baru terjadi kemarin pagi.
Bedjo yang saat itu berumur 22 tahun adalah pemuda yang boleh berbangga hati. Dia karyawan di Sarinah Departemen Store, pusat perbelanjaan besar yang pertama dan satu-satunya di Jakarta. Seperti biasa, penuh semangat dia datang pagi itu, ikut membuka toko.
Namun baru 10 menit bekerja, anak muda itu terhenyak. Dua petugas datang, menyeretnya ke mobil dan membawanya ke sebuah rumah di Gunung Sahari. “Tanpa surat perintah penangkapan saya ditahan,” katanya kepada SH, Jumat pekan lalu.
Bedjo bahkan masih ingat nama pertugas yang menangkapnya: Letnan Dudung dan Letnan Suprapto, anggota Tim Operasi Kalong. Tim itu terkenal garang dalam menciduk orang-orang yang diduga komunis. Brigjen Suprapto, tentara yang diduga terlibat gerakan G-30 S PKI dan tokoh PKI Anwar Sanusi juga diganyang dalam operasi ini.
Bedjo ditangkap karena ketika masih pelajar setingkat SMU, aktif dalam Ikatan Pelajar Pemuda Indonesia (IPPI). Sebenarnya organisasi ini, tidak ada sangkut pautnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun karena mendukung kebijakan Soekarno soal Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom), penguasa Orde Baru tidak mau tahu. Aktivis IPPI itu pun diciduk.
Pada 1979 , setelah berpindah-pindah penjara, pramuniaga malang itu baru bisa bebas. Sembilan tahun masa mudanya menguap di penjara dan kamp kerja paksa. Mulai dari penjara Salemba hingga kamp kerja paksa di Cikokol Tangerang.
Tahanan PKI bukanlah tahanan biasa. Perlakuan yang mereka terima lebih buruk dari perampok dan pembunuh sekalipun. Setidaknya, perampok dan pembunuh masih bisa diberi kesempatan membela diri di pengadilan, sedangkan orang-orang yang diduga PKI dijebloskan begitu saja ke tahanan.
Operasi Kalong
Bedjo masih ingat penjara di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Sebenarnya itu rumah biasa seluas 400 meter yang disulap jadi penjara, tapi penghuninya sangat banyak. Saking banyaknya, toilet pun dugunakan untuk mengurung orang. Menurut Bedjo, hampir semua orang yang diciduk Operasi Kalong ditempatkan di situ.
Setiap malam, kata Bedjo, selalu terdengar jeritan dan raungan orang yang disiksa. Memilukan jika mendengarnya. “Mungkin itu gambaran neraka.” katanya.
Dia pun tak luput dari siksaan. Ia pernah disetrum yang rasanya amat menyakitkan atau disabet dengan cambuk ikan pari yang mengoyakan daging.
Makanan yang diberikan pun amat buruk, setiap orang kebagian jatah nasi sekitar lima sendok yang kadang masih bercampur gabah dan pasir, lauknya lebih sering secuil tempe. Banyak yang kelaparan dan kurus kering. Bedjo sendiri sampai terkena penyakit beri-beri. Dengan siksaan dan tekanan begitu hebat, ada tahanan yang bunuh diri.
Setahun di tahanan Gunung Sahari, dia dipindah ke penjara Salemba. Nasib lebih parah dialaminya saat dipindahkan lagi ke Cikokol, Tangerang. Tempat itu, kata Bedjo, seperti kamp konsentrasi bagi tawanan yang diduga terlibat komunis.
Mereka dipaksa bekerja, tetapi hampir tidak pernah mendapat makanan. Bekerja mengolah lahan hampir seluas 110 hektare, tetapi tidak diberi alat-alat yang memadai.
"Untuk bisa bertahan hidup, banyak yang terpaksa makan bekicot, kecoa, belalang, tikus, bahkan ular," ujarnya. Sekarang lokasi itu sudah menjadi perumahan dan pertokoan. Bedjo pun saat ini berdomisili di Tangerang.
Setelah Orde Baru tumbang, tahun 1999 Bedjo bersama bekas tahanan politik lainnya berani mendirikan Yayasan Penelitian Korban (YPK) 1965-1966. Perlakuan hina dan tidak adil yang diterima selama di penjara, juga setelah lepas dari tahanan, menjadi bensin penyemangatnya. Mereka memperjuangkan keadilan dipenuhi, sejarah diluruskan, serta diskriminasi dan stigmatisasi dihentikan.
Pemerintah Harus Minta Maaf
Bedjo kini menjadi Ketua YPK 1965-1966. Dia mengapresiasi rekomendasi Komnas HAM yang keluar beberapa waktu lalu yang isinya menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat pada tragedi 1965-1966.
Komnas juga merekomendasikan penyelesaian kasus tersebut secara yudisial dan non-yudisial. Meski tak yakin benar rekomendasi ini ditindaklanjuti pemerintah dan penegak hukum, namun Bedjo mengatakan rekomendasi Komnas menjadi titik masuk untuk memenuhi keadilan bagi para korban. Berikut wawancara SH dengan Bedjo.

Apakah rekomendasi Komnas HAM bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi keadilan?

Korban dan keluarga korban 1965-1966 umumnya merasa selama 47 tahun ini negara melupakan dan sama sekali tidak menghormati hak kami. Tuntutan kami sejak awal mendesak sidang paripurna Komnas HAM mendeklarasi tragedi 1965-1966 adalah pelanggaran HAM berat. Kami merasa terharu karena tuntutan kami telah dipenuhi Komnas HAM.
Ini pembuka yang sangat kecil, tetapi berharga. Kami mengapresiasi, namun demikian ini baru pembuka awal untuk membuka seluruh kejahatan 1965. Saya sadar bisa jadi itu akan terganjal di Kejaksaan Agung, tapi Presiden sudah memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti. Kita tunggu saja. Kita siap yang terpahit.

Apakah rekomendasi Komnas sudah memadai dan memenuhi keinginan korban?
Ya. Dalam rekomendasi tersebut sifatnya bermacam-macam. Secara non-yudisial pemerintah harus menyatakan minta maaf di depan publik, mereparasi hak korban dan merehabilitasi. Jadi sekarang kembali kepada kemauan politik. Saat ini momentum tepat Presiden melaksanakan itu agar kredibilitas presiden tidak jatuh.
Apakah penyelesaian yudisial atau non-yudisial yang sebaiknya didahulukan?
Non-yudisial ini yang lebih tepat dilakukan presiden sebab mekanisme yudisial akan berliku-liku dan akan memerlukan waktu diproses.
Bisa jadi di Kejaksaan Agung dipetieskan, mungkin juga bisa dikembalikan ke Komnas HAM dengan alasan kurang bukti. Kalaupun nanti diterima, masih harus ke DPR yang juga sangat politis. Namun kita tetap perlu kepastian hukum. Perlu dibentuk pengadilan HAM ad hoc supaya ada kepastian hukum.
Mekanisme non-yudisial lebih cepat, Presiden nggak perlu menunggu lagi. Kasusnya sudah ada, korbannya juga. Presiden bisa segera menerbitkan surat keppres untuk memberikan kompensasi, rehabilitasi dan atas nama negara meminta maaf secara terbuka di depan publik.
Bisa-bisa dua-duanya jalan karena sulit mencari pelaku, karena bukan per orang tapi institusi, Komkatib, Kodim, Kodam, Lakseda. Di surat pembebasan kami sudah jelas orang-orangnya.
Selama ini rekomendasi Komnas cenderung tidak ditanggapi Kejaksaan Agung. Jadi Anda masih yakin?

Tidak ada kendala kalau ada kemauan politik dari pemerintah. Masalahnya pemerintah sekarang ini masih bagian Orba, jenderal dan kroni-kroninya. Tetapi kalau bicara hukum kejahatan tidak boleh pandang bulu.

Kejaksaan Agung bisa saja sulit menelusuri kasus ini karena banyak orang yang diduga pelaku sudah meninggal?

Masih banyak yang hidup. Bisa dicek, bisa mengontak cabang-cabang kami (YKP). Banyak saksi karena yayasan penelitian korban 1965-1966 ada di 200 daerah.

Berapa sebenarnya jumlah korban 1965-1966 yang masih hidup?
Korban dalam hal ini bukan saja yang mengalami langsung, tetapi juga keluarganya yang mengalami stigmatisasi dan diskriminasi dalam masyarakat. Kami sedang mengadakan penelitian dan pendataan, ada lebih dari 10 orang juta dari korban dan keluarga korban. Kami punya cabang di berbagai tempat dan banyak sekali di daerah kuburan-kuburan massal korban.

Jika rekomendasi tidak ditanggapi? Apa yang akan dilakukan?
Kami sudah merancang, sekarang fokus akan kami arahkan ke kejaksaaan dan Presiden. Tetapi kalau tidak ditindaklanjuti, artinya sama saja negara mengabaikan persolan pelanggaran dan itu kejahatan kemanusiaan. YPKP akan membawa persoalan ini ke jalur hukum internasional. Misalnya, ke Amnesti Internasional atau Palang Merah Internasional.

Apakah sudah meninggalnya banyak saksi dan pelaku bisa menyulitkan Kejaksaan Agung untuk mengungkap kasus ini?


Persoalan HAM tidak mengenal kedaluwarsa. Orang hilang tidak ada alasan untuk mengatakan kedaluwarsa. Masih banyak yang hidup.
Kami punya data korban dan pelaku. Pengungkapan hukum penting supaya menjadi pembelajaran yang penting agar jangan ada lagi pembunuhan semena-mena dan pelakunya harus dihukum. Lain soal kalau ada nanti pelakunya diampuni, tetapi intinya harus hukum jelas.

Ada politikus yang menyarankan sebaiknya kasus ini dilupakan bagaimana YKP menanggapinya?
Kami mengecam menolak dan persoalan yang lalu dilupakan. Ini melecehkan. Dia wakil rakyat seharusnya membela kami yang mengadukan nasib. Selama Orba, kami dilupakan. Persoalan 65 belum dibuka ke publik.
Pisahkah dulu kepentingan politik. Kita bicara kemanusiaan. Ini pelanggaran HAM. Ini kita mau selesaikan dulu. Ada pembunuhan masal. Karena itu seharusnya berbicara demi kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan.
Salah satu rekomendasi adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?
Itu opsi non-yudisial, itu masih lama sebab harus ada undang-undang. Yang jelas Presiden sekarang harus segera mengeluarkan keppres bahwa negara benar melakukan kejahatan kemanusiaan, minta maaf, menyatakan korban tidak bersalah, dan pemerintah akan merehabilitasi dan memberikan kompensasi.
(Sinar Harapan) 

http://www.shnews.co/detile-5570-bedjo-untung-tak-lelah-mencari-keadilan.html

No comments:

Post a Comment