Di Balik Tirai Hitam
Selama IPT 65 berlangsung 10-13 November yang lalu, saya yakin banyak
orang-orang yang bertanya-tanya, apa di balik tirai hitam di belakang kanan
meja para hakim? Di situ, di balik tirai hitam itu, beberapa saksi menyampaikan
ceritanya. Misterius, tanpa wajah dan memakai nama samaran. Ada apa di balik
tirai hitam?
Di balik tirai hitam ada kekuatan.
Mereka duduk menunggu dan menyaksikan seluruh
proses tribunal dari sebuah layar televisi dengan sabar hingga tiba giliran
masing-masing untuk berkata-kata di depan pengeras suara. Duduk sejak setengah
jam sebelum acara dimulai jam 9 pagi persis setiap harinya hingga jam 5 sore,
menikmati teh kopi serta makan siang di tempat yang sama, merebahkan dirinya di
deretan kursi panjang untuk sekedar beristirahat, datang dan pulang lewat pintu
belakang khusus, serta menggunakan toilet khusus buat mereka yang bebas antrian,
membuat mereka terkesan ekslusif dan teralienasi. Tapi tidak, mereka merasa
menyatu dengan audiens, dan merasa menjadi bagian dari sejarah yang dibuat di
sebuah ruang besar di Niew Kerk. Mereka kuat menunggu, menjalani, dan mengikuti
seluruh proses. Kekuatan mereka tidak luntur oleh usia, yang rata-rata sudah di
atas 60 tahun, bahkan di atas 80 tahun. Kekuatan mereka bukan saja tertempa
karena pengalaman fisik dan mental yang tertempa dari kejahatan atas tubuh dan
memori mereka, tetapi juga kekuatan itu berasal dari sebuah harapan akan
keadilan dan pengakuan atas apa yang mereka alami. Kekuatan itu juga berasal
dari keinginan mereka untuk mengembalikan martabat dan memulihkan rasa sakit
selama setengah abad.
Di balik tirai hitam ada cinta.
Cinta membuat mereka kuat. Kecintaan kepada keluarga membuat mereka
yakin pilihan untuk bersaksi di balik tirai tidak saja mengembalikan harkat
martabat keluarga tapi juga memberi rasa aman dan kepercayaan keluarga atas
pilihan mereka. Pun dengan sahabat dan komunitas mereka, terutama para korban
yang di hari-hari itu tidak bisa ikut memberi kesaksian. Kecintaan terhadap
Indonesiapun membuat mereka kuat memilih dan mengikuti semua proses tribunal
dengan sepenuh hati. Kecintaan yang aneh buat saya, karena kecintaan mereka
terhadap Indonesia membuat mereka berjuang untuk negara dan kemudian malah
dipenjara karenanya. Kecintaan yang masih membara meskipun mereka disiksa,
diperkosa hak-haknya, dipinggirkan, dan distigma sebagai setan dan penghianat
selama bertahun-tahun oleh masyarakat dan pemerintahnya sendiri. Kecintaan ini
malah semakin besar, karena negara tak kunjung bisa adil dan bijaksana. Hadir
di tribunal ini bagi mereka, adalah cara untuk meyakinkan negara untuk juga
mencintai mereka dan jutaan warganya di tanah air.
Di balik tirai hitam ada emosi yang pekat.
Marah, bahagia, terharu, sedih, lega. Semua jadi
satu dalam ruang lebar sekitar 4x6 meter persegi itu. Kemarahan muncul ketika
mereka harus mengingat dan diingatkan tentang si A, B, C dari institusi X,Y,Z yang
membuat luka-luka di tubuh dan ingatan mereka, menghilangkan keluarga-keluarga
yang mereka sayangi, atau merampas hak mereka sebagai warga yang merdeka. Sedih
mengikuti kemarahan itu, sedih mengingat betapa mereka merasa diperlakukan
seperti barang rongsokan, sampah, virus penyakit, dan tahun-tahun yang
tersia-sia dalam ketidak adilan. Mereka semua gemetar karena amarah pada saat
bersaksi. Dua saksi malah harus beberapa kali menghentikan tuturannya dan
nyaris rubuh karena amarah dan kesedihan. Sedih mengingat nasib keluarga dan
kawan yang hilang hingga hari ini, dan sedih memikirkan kesedihan orang lain
yang bersedih atas kekejaman ini. Meski marah dan sedih, tapi mereka sama
sekali tidak takut. Ketika saya tanya kepada salah satu saksi, “takutkah, tegangkah?”,
jawabnya: “ini tidak ada artinya dibandingkan ketakutan dan ketegangan sewaktu
pemeriksaan dulu, Dik”. Saya bungkam membayangkan teror yang mereka alami dulu,
Uncomparable! Tapi ketika mereka selesai berkata-kata, yang ada adalah lega
yang luar biasa. Lega karena mereka mendapatkan tempat terhormat di depan warga
dunia untuk menyatakan ketidak adilan yang dialami dan kebenaran yang selama
ini dibungkam di negeri sendiri. Dan haru yang menyeruak, membuat mereka
menangis. Menatap puluhan relawan yang membantu mereka memberi kesaksian tanpa
bayaran sedikitpun, ketulusan dan kebersamaan yang ditunjukkan para kru IPT 65,
para mahasiswa yang spontan ikut membantu menyiapkan terjemahan barang-barang
bukti untuk para hakim, semua membuat mereka terharu dan bahagia. “Sejarah
sudah dibuat, Dik, dan kalian lah yang memberi kami jalan untuk juga ikut dalam
sebuah kesejarahan yang membebaskan”, kata salah satunya.
Tapi, di balik tirai hitam tidak ada
kemerdekaan.
Tirai hitam adalah sebuah penanda, bahwa
kemerdekaan belum jadi milik mereka. Mereka masih harus bersembunyi, meski
Indonesia katanya memiliki demokrasi. Mereka hadir, ada, berwujud, tapi masih
harus tersamar. Tidak, bukan karena mereka yang takut, tapi karena banyak orang
dan kelompok di Indonesia yang ketakutan pada mereka, ketakutan pada kebenaran,
ketakutan pada sejarah kelam bangsa ini.
Den Haag, 18 November 2015.
Catatan ini saya dedikasikan kepada para saksi
yang menginspirasi setiap jiwa yang menyaksikan IPT65: Kingkin Rahayu, Ngesti,
Intan Permatasari, Soerono, Aminah, Basuki, Martin Aleida Astaman Hasibuan Bedjo Untung, Yusuf Pakasi, Martono, para saksi ahli, para
hakim dan prosecutors, para kru setempat termasuk Nursyahbani Katjasungkana, Aboeprijadi Santoso, Lea Pamungkas, Reza Muharam, Sri Tunruang, Ratna Saptari, Joss Wibisono, Basilisa Dengen dkk, tim Indonesia, serta semua orang berhati
jernih yang terlibat, membantu, dan mendukung IPT65. Terima kasih...
No comments:
Post a Comment