Wednesday 15 May 2013

Ragil Nugroho - Tata Cara Membantai Orang-orang Komunis


Tata Cara Membantai Orang-orang Komunis

Oleh: Ragil Nugroho
Dalam menghidangkan makanan perlu dipersiapkan dengan baik agar tak membunuh selera makan. Pun, dengan sebuah pembantaian.
Kira-kira umur saya baru 12 tahun. Ibu saya sering bercerita kalau dirinya membenci Banser—sayap pemuda Ansor yang beralifiasi dengan Nahdathul Ulama [NU]. Penggambaran ibu saya terhadap Banser tak simpatik: berambut gondrong, memakai peci dan selalu membawa kelewang, parang dan linggis kemana-mana. Kala itu saya belum tahu apa yang terjadi. Saat umur saya bertambah, baru mendapatkan cerita yang utuh.

Seperti ini peristiwanya: Suatu malam di bulan Desember 1965, adik ibu saya, Suroso—Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] Kabupaten Blitar—dicokok oleh segerombolan anggota Banser di rumah kami di sebuah desa di Blitar. Konon Suroso dibawa ke Koramil, tak jauh dari kantor kecamatan. Dan, sejak saat itu tak kembali sampai sekarang.

Seingat saya, sampai bertahun-tahun orang-orang yang senasib dengan ibu saya, setiap malam Jumat meletakkan bunga sesajian pada mangkok daun pisang di perempatan kampung kami. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan suami, istri, anak, orangtua maupun saudara yang terjadi dalam epik pengejaran orang-orang Komunis di Indonesia tahun 1965.

Paman saya yang lain, Sihono, juga mempunyai kebencian yang sama terhadap Ansor. Ia punya pengalaman sendiri sehingga rasa tak suka itu muncul. Ketika balik ke kampung untuk liburan dari tugas mengajar di Jember menjelang peristiwa 1965, paman saya didatangi kawannya. Maksud kedatangan sang kawan untuk meminjam uang. Peristiwa itu berlangsung biasa-biasa saja. Sampai akhirnya awal tahun 1966 paman saya dijemput tentara. Ia dibawa ke kantor Koramil, diintrograsi, dihajar dan dijebloskan ke penjara. Apa masalahnya? Padahal paman saya tak ada sangkut pautnya dengan PKI. Usut punya usut, paman saya ditangkap karena meminjami uang kawannya yang ternyata anggota BTI [Barisan Tani Indonesia]. Dan yang melaporkan adalah tetangganya sendiri, seorang anggota Ansor. Sejak saat itu paman saya keluar masuk penjara; tiga bulan di penjara, dilepaskan, diambil lagi, begitu seturusnya sampai tahun 1970. Dan dipecat dari tugasnya sebagai guru.

Begitulah kebencian itu muncul. Mungkin sedikit yang perlu saya ceritakan adalah saat-saat menjelang pembantaian dimulai. Bahan cerita ini saya kumpulkan dari obrolan tidak resmi dengan orang-orang kampung sewaktu saya SMA dulu. Kira-kira 500 meter dari rumah saya dilahirkan, segerombolan pemuda Ansor berkumpul. Senjata tajam diasah. Setelah selai, senjata tersebut dicoba terlebih dahulu untuk mengetahui sejauh mana ketajamannya. Caranya, buah nangka muda—di desa saya disebut tewel—dipegang tangkainya kemudian ditebas dengan sajam pas tengah-tengahnya. Kalau sekali tebas sudah langsung terbagi dua tewel itu, pertanda senjata sudah tajam, kalau belum maka senjata perlu diasah lagi. Setelah siap kemudian digunakan untuk berburu orang-orang komunis. Mengapa saya pakai kata “berburu”? Karena tingkah mereka memang persis orang berburu binatang: sasaran diintai, kemudian dikepung, dilumpuhkan, dan akhirnya dibantai. Persis tingkah orang-orang pada tarap Zaman Kebuasaan—tahap perkembangan peradaban menurut Engels—ketika peradaban masih dalam masa transisi dari hewan ke manusia.

Sekarang saya baru tahu, Banser merupakan bagian dari ampat hidjau seperti yang disampaikan W.F. Wertheim. Sebagaimana dikutip  Julia Soulhwood dan Patrik Flanagan dalam bukunya  Indonesia; Law, Propaganda and Terror, Wertheim menyatakan ada ampat hidjau yang menghancurkan dan terlibat dalam perburuan terhadap orang-orang Komunis tahun 1965. Apa saja empat hidjau itu? Ungkap Wertheim: â€œHijau adalah warna Islam, warna baret tentara, warna kesatuan mahasiswa KAMI dan terakhir tapi yang tidak kalah pentingnya, Duta Besar Kebangsaan Amerika Marshall Green.”
Sebelum ampat hidjau muncul, situasi di desa saya baik-baik saja. Bapak saya anggota Masyumi (Islam), ibu saya anggota PNI (Nasionalis), dan paman saya anggota PKI (Komunis). Tak pernah saya mendengar mereka ribut masalah beda ideologi dan partai. Baru setelah ampat hidjau merajalela, situasi jadi ruyam. Sesama keluarga bisa saling curiga, dengan tetangga saling mengawasi. Situasi mendidih.

Nah, sebetulnya bagaimana tata cara pembantaian terhadap orang-orang komunis itu? Agar cerita saya di muka tidak dianggap mengada-ada, akan saya tunjukkan beberapa rujukan. Tentu saja sumbernya buku-buku yang sudah terbit.
Saya berangkat dari buku The Indonesia Killings of 1965-1966: Studies from Jawa and Bali, yang dieditori Robert Cribb. Pada halaman 279 [edisi Indonesia] terdapat tulisan berjudul Data Tambabahan Tentang Kekejaman Kontra Revolusoner di Indonesia Khususnya di Jawa Timur. Penulisnya anonim. Menurut keterangan editor, rentang waktu dalam tulisan itu antara Desember 1965 sampai Januari 1966. Data-data yang disampaikan cukup mengasyikkan untuk dibaca. Beberapa saya cuplik di sini agar kita tahu bagaimana sih cara membantai orang-orang komunis itu. Asyik ga sih caranya. Ayo kita simak.
  • Lawang, Kabupaten Malang:
“Para anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh diikat tanggannya. Kemudian segerombolan pemuda Ansor, dengan disertai dan dilindungi oleh satu unit tentara,…, membawa mereka ke tempat pembantaian, yaitu di desa Sentong dan Kebun Raya di  Purwodadi…Kemudian mereka dipukuli dengan pentungan-pentungan dan besi dan benda-benda keras lainnya. Setelah para korban tewas, kepala mereka dipenggal.”[halaman 280]

Metode di atas umum digunakan. Orang-orang komunis dikumpulkan. Diikat seperti binatang ternak. Dikumpulkan di tempat tertetu. Dipukuli dulu dengan beraneka macam alat. Baru setelah klenger dibantai. Kepalanya dipenggal. Tak mengherankan kalau di beberapa desa Jawa setelah pembantaian 1965 kemudian muncul hantu yang disebut “gundul pringis”. Hantu ini konon berbentuk kepala saja [persis dengan kelapa] yang mringis mulutnya. Katanya banyak penduduk yang sering ditemui ketika berjalan malam-malam di tempat sepi. Tentu saja di mana pun hantu berkaitan dengan konteks sosial. Di Eropa tidak ada hantu pocong sedangkan di Indonesia ada karena memang lingkungan sosial berbeda; di Indonesia orang mati sebagian besar [karena mayoritas Islam] maka dikubur dengan cara dikafani, sedangkan Eropa yang mayoritas Kristen tidak mengenal cara penguburan seperti itu. Pun, dengan hantu “gundul pringis” di atas; ia muncul setelah 1965 ketika banyak kepala-kepala orang-orang komunis [atau yang dianggap ada sangkutpautnya] dipenggal dan seringkali tidak dikuburkan, digeletakkan begitu saja atau dibuang ke sungai.
Ayo ndak usah berlama-lama dengan hantu “gundul pringis”. Kita lanjut ke metode yang lain. Siapa tahu lebih asyik.
  • Singosari, Kabupaten Malang:
“Seorang remaja lelaki anggota IPI [Ikatan Pelajar Indonesia] dan anak Pak Tjokrodiharjo, yang adalah seorang anggota komite PKI setempat [CSS] di Kecamatan Singosari, ditangkap oleh Ansor. Kemudian tubuhnya diikat ke sebuah jib dan diseret di belakanggnya hingga tewas.”[halaman 281]
Metode yang tak kalah serunya. Silakan dibaca sambil menyereput kopi atau teh. Saya pernah membaca salah satu cerpen Pramoedya Ananta Toer dalam Percikan Revolusi dan Subuh, sebuah kisah yang terjadi pada masa revolusi. Seorang yang dianggap mata-mata ditangkap oleh warga. Kemudian dipukuli ramai-ramai tapi tidak mati-mati. Akhirnya terduga mata-mata Belanda itu diikat di belakang truk dan kemudian diseret. Sama persis dengan pemuda di Singosari tadi cara membantainya. Kalau zaman Belanda dulu bukan pakai mobil, tapi pakai kuda. Terhukum diikat kakinya pada dua kuda yang kemudian ditarik dengan arah berlawanan. Sang korban pun terbelah tubuhnya. Tentang bagaimana darah yang berceceran dan organ-organ tubuh yang terburai, silakan bayangkan sendiri.

Baiklah, kita tinggalkan kuda, lanjut ke metode yang lain. Tak kalah ngeri-ngeri sedapnya:
“Oerip Kalsum, seorang wanita lurah desa Dongkol di Singosari, adalah seorang anggota PKI. Sebelum dibunuh, dia disuruh membuka semua pakaiannya. Tubuh dan kehormatannya [kemaluannya] dibakar. Lalu dia diikat, dibawa ke desa Sentong di Lawang, di mana lehernya diikat dan dia disiksa sampai tewas.”[halaman 281]
Tata cara mengasyikkan bukan? Para pembaca sudah makan siang belum? Ini ada metode yang lain lagi. Nah, ini di daerah saya, Blitar.
  • Nglegok
“Japik, seorang tokoh terkemuka di Gerwani cabang setempat…dibunuh bersama suaminya…. Japik diperkosa berkali-kali dan kemudian tubuhnya dibelah mulai dari payudara hingga kemaluannya.”[halaman 283]
Wow, dibelah. Kayak belah durian saja. Mungkin ada yang kelewatan saya baca. Sebelum pembantaian 1965 metode “pembelahan” ini sepertinya belum dikenal. Bisa saja saya salah. Tapi yang pasti metode “belah tengah” ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai urat saraf seperti Hanibbal. Kita lanjut. Metode berikut ini juga menarik untuk disimak oleh para pembaca yang budiman:

“Nursam, juga seorang anggota PGRI Non Vaksentral dipotong-potong tubuhnya dan potongan-potongan tubuhnya itu digantung di rumah-rumah kawan-kawannya.”[halaman 283]
Anggap saja seperti memotong-motong kambing di Hari Raya Kurban. Memotong tubuh alias memutilasi tentu membutuhkan keahlian khusus. Saya pernah membaca novel Out karya Natsuo Kirino, sebuah kisah tentang kasus mutilasi di Jepang. Ternyata perlu metode-motode tertentu untuk melakukan mutilasi. Dan, di novel tersebut dikisahkan perempuan yang jago karena sudah terbiasa memotong-motong daging ketika memasak. Tapi sepertinya para pembantai orang-orang komunis itu tidak memiliki kemampuan seperti itu. Dari situ dapat diduga Nursam dipotong-potong secara serampangan saja. Alangkah mengerikannya.

Nah, metode berikut ini asyik dibaca sembari makan malam:
“Sutjipto, bekas lurah Nglegok dan seorang anggota PKI,dikebiri dan kemudian dibunuh. Ini dilakukan oleh segerombolan Ansor.”[halaman 283]
Ansor lagi pelakunya. Bagaimana mereka memperlakukan seorang perempuan? Nikmati berikut ini:
  • Garum
“Ny. Djajus, seorang perempuan yang menjadi lurah desa Tawangsari di Garum…., sedang hamil pada saat terjadinya kudeta. Tubuhnya dibelah sebelum dibunuh. Pak Djajus, suaminya, dicacah wajahnya dengan belati hingga tewas.”[halaman 283]
Lagi-lagi dibelah, Bro. Weh, ini dibelah dulu baru dibunuh. Bagaimana klejet-klejetnya Ny. Djayus waktu dibelah, ya? Sekarang para humanis gadungan sudah bengok-bengok [teriak-teriak] ketika ada aksi perusakan ini itu—seolah-olah paling humanis sedunia akhirat. Dulu ada yang lebih dahsyat,Men. Dan sekarang mereka hanya usul saling memaafkan dan salam-salaman saja antara korban ’65 dengan pelaku pembantaian. Maaf, para humanis gadungan di Indonesia memang para murid Srimulat sejati: pandai ndagel.
Sekarang pindah ke Kediri, Jawa Timur. Dijamin tak ada dalam film Jagal metode pembunuhannya. Mari diikuti. Jangan lupa pisang gorengnya dinikmati sebelum dingin.
  • Pare
“…Di tengah perjalan pulang, mereka [Suranto dan istrinya] dicegat dan ditangkap oleh segerombolan Ansor….Kepala Suranto dipenggal dan perut istrinya dibelah, janinnya dikeluarkan dan dicincang.”[halaman 285]
Berani mefilmkan adegan seperti itu? Janin dicincang, saudara-saudaraku terkasih. Sungguh luar biasa. Saya kadang tak yakin ini kisah nyata atau mimpi. Kita lanjutkan saja lah daripada membayangkan janin yang tentu belum lengkap organ tubuhnya itu dicincang. Oke, lanjut. Berikut ini juga aduhai tata cara membunuh orang komunis
  • Gurah
“Kasman, seorang guru di desa Ngasem, …ditangkap oleh sekelompok pemuda Ansor…Ketika akhirnya dia ambruk, mereka memenggal kepalanya, menusuknya pada sebilah bambu runcing dan meletakkannya di sebuah pos jaga…”[halaman 283]

Tak perlu dibahas lebih lanjut kan? Silakan renungkan sendiri bagaimana kepala yang ditusuk dengan bambu runcing itu. Itulah sedikit cuplikan dari buku The Indonesia Killings of 1965-1966.Lebih lengkapanya silakan baca sendiri bukunya. Sekarang ada baiknya kita pindah ke buku yang lain agar lebih bervariasi pengetahuan kita tentang tata cara membantai orang komunis.
Sekarang ke buku Making Indonesia yang dieditori oleh Daniel S. Lev dan Ruth McVey. Di halaman 201 [versi bahasa Indonesia] terdapat tulisan Geoffrey Robinson yang berjudul Pembantai Pasca Kup di Bali. Begini beberapa uraiannya:

“Kaum komunis itu ditangkap dan diangkut dengan truk ke sebuah desa lain di mana mereka dibantai dengan kelewang atau di tembak mati…Untuk mencegah tindakan-tindakan balas dendam di kemudian hari, dalam bagian besar kejadian, seluruh keluarga, atau bahkan keluarga besar dibunuh.” [halaman 240]

Metode yang hampir serupa:
“Kemudian berlangsunglah esekusi-esekusi komunal setelah desa itu mengumpulkan kaum komunis dan memukuli atau menikam mereka hingga mati.” [halaman 240]
Cara lainnya:

“Seorang akan menikam seorang korban sedangkan seorang lainnya akan memukulnya di atas kepala dengan batu karang.” [halaman 241]
Pembantaian terhadap orang-orang komunis tersebut kadang disebut sebagai nyupat, yaitu penyingkatan hidup seseorang agar segera terlepas dari penderitaan. Dengan begitu membunuh orang komunis bisa disebut sebagai amal karena telah membantu si komunis cepat kelar dari derita dunia. Luar biasa.

Sekarang ke buku Saskia Eleonora Wieringa, The Politization of Gender Relations in Indonesia Women’s Movement and gerwani Until the New Order State [edisi Indonesia berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia]. Pada halaman 510 tertulis begini:
“Kira-kira satu kilometer di utara pabrik gula Ngadiluwih [Kediri], di sana banyak terdapat tempat-tempat pelacuran. Pada waktu pembersihan terhadap orang-orang Komunis sedang berlangsung, banyak langganan yang tidak muncul untuk mencari kepuasaan seks. Alasannya: langganan itu—dan juga para pelacur—umunya sangat ketakutan. Karena di depan rumah-rumah banyak bergantungan kemaluan para perempuan Komunis—seperti gantungan pisang-pisang yang dijual…”[cetak tebal dari saya]

Saya dulu pernah kuliah dua semester di Fakultas Kedokteran Hewan. Sebagai bahan pratikum beberapa kali pernah menyayat kodok, merpati, ular sampai kambing. Dalam menyayat dibutuhkan kehati-hatian karena ingin melihat struktur anatomi hewan-hewan tersebut. Tapi saya belum bisa membayangkan bagaimana menyayat vagina seperti yang dilakukan para pembantai orang-orang komunis itu. Struktur vagina berlapis-lapis tentu akan rumit melakukan penyayatan sehingga didapatkan hasil yang baik; bahkan seperti yang ditulis Saskia: seperti gantungan pisang-pisang.
Paling tidak dari tiga buku tersebut kita bisa melihat tata cara membantai orang-orang komunis. Unik-unik bukan metodenya? Seorang anggota Ansor mengungkapkan kepada Hughes sebagai berikut [dalam buku Indonesia; Law, Propaganda and Terror]“Tidak sulit membunuh mereka. Mereka bagaikan burung yang ketakutan. Sungguh puitis: bagaikan burung yang ketakutan. Betul banget. Dengan ketakutan mereka kemudian disembelih.

Banser merupakan sayap paramiliter Ansor, menurut Julia Soulhwood dan Patrik Flanagan dalam bukunya digambarkan berpakaian hitam-hitam dalam melakukan operasi perburuan orang-orang komunis. Mereka begitu kuat di Jawa Timur sehingga tanpa bantuan tentara bisa melakukan pembantaian. Para korban hasil buruan dikumpulkan di tanah lapang di sebuah desa, dan kemudian diesekusi dengan cara yang telah dibabar di atas.

Lantas sekarang yang mucul adalah kata “memaafkan” dan “rekonsiliasi”. Orang-orang komunis yang lolos dari pembantaian tapi di penjara, yang sekarang umurnya sudah tua, dikumpulkan oleh anak-anak muda. Mereka diberikan pengertian agar mau menerima rekonsiliasi. Hasilnya kemudian di foto atau dijadikan buku. Lantas dikirim pada ndoro panding di Eropa sana sembari dikasih sedikit penyedap: telah terjadi rekonsiliasi. Lantas anak-anak muda itu menambahkan dalam kurikulum vitainya: telah terlibat dalam proses rekonsiliasi. Lantas dikirimkan sebagai pelengkap mencari beasiswa untuk sekolah di Eropa sana. Asyik. Tak tahu saya, masih muda sudah korup intelektualitasnya. Entalah.

Semua ini adalah masalah keberanian mengatakan apa adanya. Pada akhirnya saya bisa memahami mengapa Pramoedya Ananta Toer tak mau menerima maaf-maafan dan rekonsiliasi omong kosong itu. Kalau ada anak muda kampaye rekonsiliasi di depan saya, pada detik itu juga akan saya injak-injak mulutnya.***

Lereng Merapi.11.05.2013 
 
 

No comments:

Post a Comment