Saturday 18 May 2013

15 Tahun Reformasi, Apa Kabar Kasus HAM?


 
15 Tahun Reformasi, Apa Kabar Kasus HAM?
Ninuk Cucu Suwanti | Senin, 13 Mei 2013 - 14:52:38 WIB
 

(Foto:dok/ist)
Insiden Trisakti 1998.
Berkas kasus Trisakti dan Semanggi sudah tujuh kali bolak-balik Komnas HAM-Kejaksaan Agung.

Pada peristiwa Mei 1998, seluruh Indonesia membuka rezim baru. Reformasi lahir. Hal itu ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto setelah berkuasa hampir 32 tahun. Era reformasi tidak muncul dengan sendirinya, tapi melalui perjuangan panjang. 

Ada harga yang mahal dan harus dibayar untuk sebuah tekad reformasi. Menurut data yang ada, dari beberapa lokasi kejadian di Jakarta, tanggal 13-15 Mei 1998 mengakibatkan 293 orang meninggal dunia, 1.334 bangunan, 1.009 kendaraan roda empat dan 205 kendaraan roda dua rusak dibakar. Di Solo, pada 14-15 Mei 1998 mengakibatkan 19 orang meninggal dunia, 694 bangunan dan 324 kendaraan bermotor rusak dibakar. Kemudian di Palembang, tanggal 13-15 Mei 1998 mengakibatkan 1.232 bangunan dan 49 kendaraan bermotor rusak dibakar.

Namun, harga mahal itu tidak dibarengi dengan menjadikan reformasi sebagai pertaruhan masa depan bangsa Indonesia. Salah satunya, tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi ketika proses lahirnya reformasi. 

Bahkan di usia 15 tahun reformasi, penegakan hukum atas pelanggaran HAM belum ada yang berhasil dilakukan. Kenyataan ini semakin melegalkan jika menegakkan hukum terhadap pelanggaran HAM seperti jalan panjang dan berliku dalam mencari kebenaran dan keadilan. Padahal, menegakkan hukum atas pelanggaran HAM juga sama pentingnya dengan memerangi dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ironis, 15 tahun usia reformasi ternyata masih tercatat sejarah kekerasan dan belum ada penyelesaiannya. Tentu ini akan tetap mengapung selama Kejaksaan Agung dan Komnas HAM belum mampu menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM. Bahkan, hasil penyelidikan yang dilaporkan Komnas HAM terkait pelanggaran 1965/1966 ke Kejaksaan Agung dan dikembalikan kejaksaan agar dilengkapi sesuai petunjuk tidak jelas keberadaannya.

Ketika itu, Jaksa Agung Basrief Arief menganggap laporan Komnas HAM belum memenuhi syarat pro-justicia setelah menunjuk 12 jaksa untuk meneliti. Pada 9 November, Basrief Arief mengutarakan jika laporan tersebut telah dikembalikan ke Komnas HAM. Selanjutnya, Basrief memastikan terkait keseriusan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM dengan membentuk Direktorat Khusus Kasus Pelanggaran HAM.

Jumat (10/5), saat ditanya SH apakah laporan dugaan pelanggaran HAM yang dikembalikan ke Komnas HAM sudah diserahkan lagi kejaksaan, Basrief menjawab, laporan yang disertai petunjuk tersebut belum dikembalikan ke Kejaksaan Agung.

"Dia (Komnas HAM-red) belum memenuhi petunjuk yang sudah diberikan oleh Kejaksaan Agung," ujarnya.

Siti Noorlaila, Ketua Komnas HAM yang dikonfirmasi oleh SH, Minggu (12/5), membantah jika laporan tersebut belum dilengkapi. Tidak memastikan tanggal berapa, Siti Noorlaila mengaku Komnas HAM sudah mengembalikan laporan tersebut.

Terlepas dari hal itu, Siti Noorlaila menuturkan sesuai dengan UU, kewenangan Komnas HAM telah melakukan penyelidikan. Jika dalam laporan yang disampaikan Komnas HAM dianggap kurang, maka hal tersebut menjadi kewenangan Kejaksaan Agung sebagai penyidik untuk mendalami.

"Jadi gini, Kejaksaan Agung itu kan meminta untuk dilakukan sumpah terhadap pemeriksaan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Nah kita melihatnya, tidak ada itu aturannya penyelidikan harus dilakukan di bawah sumpah. Kasus Priuk yang sudah disidangkan di Pengadilan itu tidak di bawah sumpah dan itu masuk ranah pengadilan. Kenapa ada double standart gitu Kejaksaan Agung," kata Siti Noorlaila.

Bukan hanya itu, Siti Noorlaila mengkritik peran kosong Kejaksaan Agung terkait kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang diduga ada peran jenderal. Ia juga mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM lain tapi tidak ada Direktorat Khusus Kasus Pelanggaran HAM. 

Butuh Keberanian
Reformasi sudah 15 tahun, Siti Noorlaila mengimbau Kejaksaan Agung mempunyai keberanian dan niat baik untuk mengungkap pelanggaran HAM berat sehingga masyarakat tidak punya beban sejarah.

Bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, 15 tahun reformasi tidak ada perbaikan di penanganan hukum kasus pelanggaran HAM. Eva justru merasa ragu hingga pemerintahan berakhir akan ada terobosan. Itu karena yang muncul hanya pernyataan minta maaf sementara pendirian pengadilan HAM ad hoc dianulir semua.

"Ini berkaitan dengan politik atau komitmen penegakan HAM oleh pemerintah saat ini yang lemah. Rekomendasi Komnas HAM dan DPR tidak ada yang ditindaklanjuti. Presiden tidak mementingkan penyelesaian kasus-kasus HAM. Terbukti dalam 10 tahun pemerintahan tidak ada satu pun yang diselesaikan (bahkan kasus OKU, geng motor, dan Cebongan melenyap)," kata Eva Kusuma Sundari.

Padahal, rekomendasi Komisi III DPR  sudah diangkat jadi rekomendasi paripurna untuk penuntasan. Apalagi dikuatkan rekomendasi Pansus Orang Hilang, terutama untuk pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc juga tidak ada wujudnya hingga kekuasaan mau berakhir, ia menambahkan. Hal tersebut tak lain karena sikap presiden yang tidak serius ke soal HAM dan menular ke kementerian dan lembaga.

Merunut data yang diperoleh SH, perkara pelanggaran HAM yang berat 2004 sampai dengan sekarang telah dilakukan penanganan hukum oleh Kejaksaan Agung, seperti perkara Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, Trisakti (Semanggi I dan Semanggi II), Kerusuhan Mei 98, Wasior dan Wamena, Penghilangan Orang Secara Paksa, dan Talangsari.

Lantas, peristiwa pelanggaran HAM yang berat atas perkara Trisakti pada 12 Mei 1998 bertempat di Universitas Trisakti yang menyebabkan empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan 517 orang luka-luka, Semanggi I pada 13-14 November 1998 bertempat di Jembatan Semanggi Jakarta yang mengakibatkan sejumlah masyarakat meninggal dunia dan luka-luka, serta Semanggi II pada 23-24 September 1999 bertempat di Jembatan Semanggi Jakarta yang mengakibatkan sejumlah masyarakat meninggal dunia dan luka-luka dalam perkembangan penanganan perkaranya sejak 2002, terjadi pengembalian berkas perkara hingga tujuh kali antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.

Berkaitan dengan permasalahan penangan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS), yaitu DPR (periode 1999-2004) telah memutuskan bahwa kasus tersebut direkomendasikan untuk ditangani oleh Pengadilan Umum/Militer yang penanganannya sudah dilakukan. 

Komisi III DPR (periode 2004-2009) akan mengirim surat kepada Pimpinan Dewan tentang Pendapat Komisi III yang menyetujui untuk diadakan Peninjauan Kembali terhadap Keputusan DPR periode 1999-2004 berdasarkan mekanisme yang ada di DPR. Hingga saat ini, belum ada usulan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Sumber : Sinar Harapan
__._,_.___

No comments:

Post a Comment