Saturday 14 April 2012

TIRAI PEMBISUAN SUDAH LAMA RUNTUH, APA LANGKAH SELANJUTNYA?


TIRAI PEMBISUAN SUDAH LAMA RUNTUH, APA LANGKAH SELANJUTNYA?
(Sandingan tulisan Sara Schonhardt “Veil of Silence lifted in Indonesia” di New York Time)

Oleh MD Kartaprawira*

Timbulnya tirai pembisuan dan suasana kebisuan

Seperti kita ketahui sejak akhir tahun 1965 di Indonesia praktis kekuasaan berada di tangan jenderal Suharto, meskipun secara “yuridis” Bung Karno baru dicopot kekuasaannya oleh MPRS (dbp. Jenderal A.H. Nasution) pada tahun 1967. Demikianlah proses kudeta merangkak Suharto mencapai titik puncak keberhasilannya. Penguasa baru yang bernama Pemerintah Orde Baru tanpa ditunda-tunda melakukan kebijakan-kebijakan yang fasistik dalam rangka memperkokoh dan mempertahankan kekuasaannya. Selain menginjak-injak nilai dan sistem demokrasi secara total (kekuasaan legislative, eksekutif,  dan lain-lainnya praktis ditangannya) rejim Orde Baru juga melaksanakan “politik-gebug” tanpa ampun terhadap siapa saja yang menentang, mengritik, dan mempunyai pendapat berbeda dengan garis politiknya. Tepatlah kaum patriot di luar negeri menamakan penguasa Orde Baru tersebut rejim Diktatur Militer Fasis (dikmilfas).  

Maka akibatnya rasa takut yang mendalam dan mencengkam bersemarak di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat terpaksa harus membisu  demi keselamatan jiwa dan sumber kehidupannya, terutama mereka yang dianggap komunis dan nasionalis-kiri pendukung Soekarno.  Mereka inilah yang pertama-tama menjadi korban kefasisan rejim Suharto,  sebagai korban pelanggaran HAM berat 1965-66 yang jumlahnya sekitar 3 juta orang, yang  tanpa dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum dibantai, dibuang ke Pulau Buru, Pulau Nusakambangan, dijebloskan ke penjara-penjara dan lain-lainnya. Demikianlah tirai pembisuan diciptakan oleh rejim Suharto telah mengakibatkan suasana kebisuan di Indonesia selama 32 tahun.

Rakyat Indonesia, khususnya para korban pelanggaran HAM, tentunya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan untuk menegakkan demokrasi, kebenaran dan keadilan tidak mungkin berhasil tanpa merobek-robek tirai pembisuan yang diciptakan oleh rejim Orde Baru. Untuk tujuan tersebut tidak mungkin tanpa “buka mulut” membeberkan fakta kebiadaban Orde Baru yang dialaminya. Dus, langkah-langkah demikian adalah conditio sine qua non – syarat yang tidak boleh tidak – untuk meruntuhkan tirai pembisuan dan bersamaan dengan itu pembeberan fakta kebiadaban Orde Baru tersebut sangat diperlukan bagi pelurusan sejarah yang telah diplintir dan dijungkir-balikkan oleh rejim Orba/Suharto. Sebab penguasa Orde Baru (dan para penyelenggara negara di era „reformasi“ sampai sekarang ini) tidak punya niat untuk dengan jujur mengakui adanya pelanggaran HAM berat atau Kejahatan kemanusiaan 1965-66. Apalagi mengakui kesalahannya, kemudian meminta maaf dan menuntaskan kasus tersebut  secara jujur, adil dan manusiawi. Kesaksian para korban tersebut sangat dibutuhkan sebagai alat bukti  dalam proses pengadilan demi kebenaran dan keadilan. 


Proses runtuhnya tirai pembisuan      

Runtuhnya tirai pembisuan adalah produk proses perjuangan panjang gerakan demokrasi rakyat  Indonesia, yang dilancarkan oleh berbagai macam unsur masyarakat, bukan monopoli suatu golongan tertentu saja. Tentu saja yang sangat berkepentingan adalah para korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim Suharto, terutama korban 1965. Ketika di tanah air situasi dan kondisinya belum memungkinkan, usaha-usaha meruntuhkan tirai pembisuan tersebut telah dilancarkan oleh mereka yang tinggal di luar negeri semenjak mula berdirinya rejim dikmilfas Suharto-Nasution/ Orde Baru. Tentu saja mereka langsung dicap oleh rejim dikmilfas sebagai sisa-sisa G30S di luar negeri yang mengadakan gerilya politik ( lih.Soegiarso Soerojo “Siapa menabur angin akan menuai badai”, Jakarta 1988, hal. 325).
Mereka di luar negeri mengadakan berbagai kegiatan untuk mendapatkan solidaritas internasional dengan menyelenggarakan berbagai seminar/sarasehan, menyebarkan bulletin-buletin perlawanan terhadap politik rejim Orde Baru ke Eropa, Indonesia dan ke mana saja. Misalnya, kelompok Marhaenis dan Nasionalis Pendukung Bung Karno di Moscow menerbitkan bulletin “Marhaen Menang” dan “Indonesia Berjuang” (Edisi bhs Inggris “Indonesia Struggle”)**. Dalam buletin2 tersebut dibelejeti habis-habisan politik rejim Orde Baru. Tapi sayangnya setelah 14 tahun berkiprah kedua bulletin tersebut terpaksa berhenti (1981), sebab penguasa setempat tidak menghendaki kelangsungan hidupnya, semenjak diberlakukannya  politik perestroika di Uni Soviet. Di samping itu  kelompok penentang rejim orba lainnya juga  menerbitkan bulletin “Tekad Rakyat” dan “Bulletin OPI” (Organisasi Pemuda Indonesia). Di Perancis juga terbit majalah “Kancah”. Oleh mereka yang tinggal di luar negeri tirai pembisuan sejak semula sudah dikoyak-koyak habis-habisan dengan menggunakan penerbitan bulletin/majalah secara efektif.
Dengan perkembangan internet yang begitu pesat, maka keruntuhan tirai pembisuan pun berlangsung lebih cepat lagi. Di luar negeri sarana internet tersebut dimanfaatkan tanpa ada yang bisa menghalang-halangi. Lain halnya di tanah air di masa rejim Orde Baru, masyarakat kurang berhasil memanfaatkan keadaan tersebut berhubung rasa khawatir yang masih mencekam. Sedang media cetak di dalam proses perjuangan demokratisasi sangat jauh tertinggal peranannya dibandingkan dengan media internet, sebab kontrol pemerintah dengan sanksi pembredelan sangat kuat.
Kita menyaksikan pada era kekuasaan Suharto di dunia internet telah bertebaran milis-milis yang menjadi arena untuk berdiskusi dan tukar informasi mengenai masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik aktual di Indonesia (misalnya Milis Apakabar/Indonesia-l, CARI, Nasional dan lain-lainnya). Di milis-milis tersebutlah borok-borok rejim Suharto ditelanjangi tanpa ampun, sehingga praktis milis-milis menjadi mimbar perjuangan demokratisasi di Indonesia. Tirai pembisuan yang dibangun Suharto tidak lagi mampu membuat rakyat menjadi bisu, sebab mereka yang berdomisili di tanah air pun bisa „buka mulut“ di milis-milis yang dikendalikan di  luar negeri dengan berbagai cara dan jalan. Perlu diacungi jempol peranan „Milis Indonesia-l“ (Milis Apakabar) yang dikelola oleh John McDougall (Univ Ohio, USA), yang beranggotakan puluhan ribu orang intelektual. Milis tersebut telah menyediakan dirinya sebagai arena diskusi dengan prinsip “keterbukaan” mengenai masalah aktual Indonesia. Maka di situ bermunculan opini kritis terhadap kebijakan rejim Suharto dan ide-ide maju tentang politik, ekonomi dan budaya pasca jatuhnya rejim Suharto. Bahkan untuk menghindari adanya tuduhan yang negatif, moderator John MacDougall tidak ikut serta dalam diskusi atau menulis dalam milis tersebut - Moderator seratus persen netral.
Di samping itu tirai pembisuan tersebut juga ramai-ramai dikoyak-koyak melalui berbagai cara: seminar, diskusi, sarasean, yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi masyarakat Indonesia yang melakukan oposisi terhadap rejim Orde Baru di luar negeri, baik secara rahasia (tertutup) maupun secara terbuka.  Kemudian semua hasil kegiatan tersebut  dipublikasikan lewat internet pula, sehingga tersebar ke seluruh dunia dengan cepat. Di Nederland kegiatan tersebut telah dirintis oleh organisasi Indonesia Legal Reform Working Group. Dewasa ini satu-satunya organisasi HAM yang didirikan masyarakat Indonesia di luar negeri secara resmi (terdaftar legal), yang mempunyai visi dan missi membela korban pelanggaran HAM berat 1965 adalah Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65),  Nederland.***

Keruntuhan total tirai pembisuan

Ketika datang era „reformasi“, setelah badai gerakan mahasiswa mengakibatkan lengsernya Suharto dari singgasana „kekuasaan“,  dapat dikatakan tirai pembisuan telah runtuh sama sekali, sehingga suasana kebisuan dan suasana takut di“gebuk“ lenyap pula. Maka  masyarakat  dapat memanfaatkan dan menikmatkan apa yang dinamakan kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa rasa takut, sekalipun berwujud kritik pedas terhadap penyelenggara negara. Kondisi inilah yang seyogyanya dimanfaatkan semua rakyat Indonesia secara efektif, terutama  para korban pelanggaran HAM berat 1965-66,  untuk menegakkan kembali demokrasi dan HAM yang telah diinjak-injak rejim Orde Baru.
Maka mulailah mereka – baik yang di tanah air, maupun yang di luar negeri --  satu demi satu tampil di media massa membeberkan pengalaman-pengalamannya di masa penindasan rejim Orde Baru dalam surat kabar,  radio, TV,  internet, film, buku, seminar, forum diskusi dan lain-lainnya. Mereka juga  dengan senang hati  memberikan wawancara-wawancara kepada para peneliti Indonesia maupun asing. 

Memang sebagian para korban masih ada yang tidak memanfaatkan momentum tersebut. Tetapi hal itu tidak perlu diganggu gugat. Sebab “buka mulut” itu bukan suatu kewajiban dan keharusan. Setiap orang berhak menentukan bagi dirinya, mana yang terbaik untuk melanjutkan  jalan kehidupan masing-masing, asal tidak merugikan masyarakat, bangsa dan Negara.

Bersamaan dengan itu banyak berdiri organisasi-organisasi yang berkaitan dengan masalah pelanggaran HAM. Terutama organisasi-organisasi yang didirikan oleh para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 di tanah air (a.l. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/YPKP1965, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru/LPR KROB), sedang di luar negeri Indonesia Legal Reform Working Group, Lembaga Pembela Korban 1965/LPK65. Organisasi-organisasi tersebut mengadakan sarasehan, seminar, dan lain-lain kegiatan berkaitan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.
Sarasehan/Seminar di luar negeri yang tampak gemanya terjadi di Leuven  th.2000. (Belgia), di  Zeist th. 2001, 2003 (Nederland) dan di Diemen th. 2005, 2007, 2010 (Nederland)****. Sarasehan tahun  2005 dan 2010 menghasilkan Pernyataan-pernyataan tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 ditujukan kepada Presiden SBY dan lampirannya kepada Alat-Alat Perlengkapan Negara Indonesia. (lih. http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/search?updated-min=2010-01-01T00:00:00%2B01:00&updated-max=2011-01-01T00:00:00%2B01:00&max-results=16). Semua pertemuan di Belanda selalu di hadiri kurang lebih 200 orang dari Belanda, Jerman, Perancis, Swedia.

Apa langkah selanjutnya?

Sejatinya Negara Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban menuntaskan semua kasus kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-66 sesuai hukum positif di Indonesia (termasuk semua konvensi yang sudah diratifikasi). Maka apabila penyelenggara negara lalai atau sengaja melalaikan kewajibannya, para korban berhak  menuntut agar kasus tersebut dituntaskan. Sedang pembeberan pengalaman penderitaannya sebagai korban pelanggaran HAM adalah penting sekali. Tapi hal tersebut baru salah satu  langkah awal dari proses perjuangan  untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, yang harus ditindak lanjuti dengan langkah-langkah aktif lainnya. Salah satunya adalah langkah yang berwujud  tuntutan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965 dalam pernyataan kegiatannya, yang ditujukan kepada siapa saja yang sedang memerintah  di Indonesia. Maka sangat disesalkan munculnya suara cengeng  di waktu pergelaran serius „Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965“ di Belanda tahun 2010, yang “mengritik” dilancarkannya pernyataan yang berisi tuntutan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono agar menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang telah berjalan 45 tahun tanpa kepedulian penegak hukum. Meskipun demikian, Panitia Peringatan dengan teguh dan tegas pernyataan tersebut tetap dilancarkan, tanpa takut dan khawatir bahwa nantinya tuntutan tersebut dimasukkan ke keranjang sampah. 

Justru yang harus dikhawatirkan ialah akan timbulnya pertanyaan, terutama dari generasi mendatang: „Apa yang bapak-bapak dan ibu-ibu lakukan setelah menceritakan penderitaan akibat dibuang ke pulau Buru, Nusakambangan, rumah-rumah tahanan lainnya,  ditelantarkan di luar negeri  karena dicabut paspornya, sehingga terpisah dari keluarga dan tanah airnya?“, “Apakah setelah bapak-bapak dan ibu-ibu membeberkan penderitaan di koran, TV, video, buku dan lain-lainnya masalah kebenaran, keadilan, dan kasus pelanggaran HAM sudah selesai?” „Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu hanya menantikan „kebaikan“ hati penyelenggara negara yang setelah reformasi berjalan  selama 14 tahun tetap membisu dalam masalah pelanggaran HAM berat1965-66?
Sungguh sayang sekali  kalau masalah tragedi nasional 1965/tragedi kemanusiaan  tersebut dianggap  sudah selesai setelah menceritakan penderitaan yang dialaminya. Justru seharusnya  perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan lebih ditingkatkan baik kwantitas maupun kwalitasnya dengan aksi-aksi nyata yang menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat  tersebut kepada penyelenggaran negara (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan lain-lainnya). Dan jangan sekali-kali lengah, silau, kepencut, dan ngiler terhadap pundi-pundi para donator asing, misalnya George Soros yang pada tahun 2010 menghadiahkan $100 juta kepada Human Rights Watch buat organisasi-organisasi HAM dan semacamnya (New York Time, September 6, 2010). Setelah politik neoliberalisme berhasil masuk ke bidang pendidikan dan kesehatan, maka kini masuk ke bidang hak asasi manusia (HAM).

Akhir kata

Sara Schonhardt, dalam artikelnya yang berjudul „Veil of Silence lifted in Indonesia” (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2012/01/veil-of-silence-lifted-in-indonesia-by.html) berhasil „memotret“ tingkat perkembangan proses demokratisasi di Indonesia di era  reformasi dewasa ini, di mana kebebasan mengeluarkan pendapat sudah berjalan dengan baik, akibat  „runtuhnya tirai pembisuan“. Hal tersebut ditandai oleh fakta-fakta bahwa para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 telah bisa dengan bebas membeberkan  pengalaman penderitaannya di masa kekuasaan Orde Baru, seperti 15 memoir yang terkumpul dalam  buku „ Memecah Pembisuan“ ( Breaking the Silence). Ada pertanyaan menyentil: apakah hal tersebut merupakan suatu ekspresi perlawanan? Menurut penulis jawabannya ialah:  kalau hal itu terjadi pada jaman rejim Suharto masih berkuasa, tentu benar. Tetapi kalau terjadi pada jaman “reformasi” yang sudah berjalan 14 tahun, di mana setiap orang bisa bebas bicara, jelas tidak tepat dan ketinggalan jaman. Sudah lama tirai pembisuan runtuh.
Dalam tulisan Sara Schonhardt kita tidak menemukan hal-hal yang baru dan kita tidak menemukan opini kritis  terhadap  penguasa-penguasa Negara Indonesia dari era Orde Baru sampai era „reformasi“, yang sampai sekarang belum mengakui adanya pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Orde Baru/Suharto dengan dukungan Amerika/CIA, Inggris/MI-6. Mungkin karena  kebijakan penguasa NYT hanya sampai sebatas itu? Meskipun  sejarah hitam tirai pembisuan yang dibangun  oleh rejim Suharto telah lama berakhir, tapi tidak berarti tanggung jawab rejim Suharto atas tindak kejahatannya dengan sertamerta juga berakhir. Sebab setiap pemerintah RI pasca lengsernya rejim Suharto mewarisi tanggung jawab untuk menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rejim Suharto. Dan impunitas harus tidak boleh terjadi di negara hukum Indonesia.  Setelah tirai pembisuan runtuh dan transparansi kebenaran bisa dengan mudah dilaksanakan, maka demi keadilan, tuntutan untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 harus terus aktif dilancarkan dalam berbagai macam dan bentuk aksi. Tidak cukup hanya menyesali dan meratapi penderitaan akibat kejahatan yang dilakukan rejim dikmilfas Orde Baru. Di dalam negara Indonesia kegiatan dan gerakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM adalah absolut syah, sebab sama sekali tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dewasa ini di Indonesia. Di samping itu kegiatan tersebut akan memberi sumbangan berharga kepada usaha-usaha pelurusan sejarah yang telah dimanipulasi oleh rejim Suharto. Sedang usaha-usaha seseorang menyumbat mulut orang lain (meski tidak secara langsung) agar tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menuntut ditegakkannya kebenaran dan keadilan, adalah usaha yang sangat tak terpuji.  Di tengah-tengah situasi rakyat Indonesia ramai-ramai menentang kenaikan harga BBM dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakayat dewasa ini, semoga masalah kejahatan kemanusiaan 1965-66 dan kaitannya dengan masalah impunitas, tidak tenggelam hilang karenanya.“

Nederland, 24 Januari 2012
CATATAN KAKI:
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland.
**) Misi perjuangan “Bulletin INDONESIA BERJUANG” (Media GERPINDO – Gerakan Patriot Indonesia, di luar negeri) kini dilanjutkan dalam bentuk “Weblog INDONESIA BERJUANG” (http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.com/), dikelola oleh MD Kartaprawira.
***) Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), secara terbuka berkiprah dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dan memberikan solidaritas bagi korban-korban HAM lainnya. LPK65 memegang prinsip Mandiri  -  tidak menggantungkan  donasi dari institusi-institusi asing.
****) Sarasehan/seminar tersebut di atas antara lain adalah:
1. Sarasehan di Leuven, Belgia 23 September 2000, “MAWAS DIRI: PERISTIWA SEPTEMBER ’65 DALAM TINJAUAN ULANG”, diselenggarakan oleh  Forum Diskusi Sejarah Indonesia  -- Eropa. Dalam seminar tampil sebagai narasumber: Sitor Situmorang – “Menelusuri Sejarah sebagai Dialog Terus-Menerus dengan Diri Sendiri dan Sesama”, Mr. Paul Mudikdo“Peristiwa 1965: Gerakan 30 September, Penghncuran Partai Komunis Indonesia dan Dampaknya”, Hersri Setiawan – “Sekitar G30S (Sebuah Renungan Pribadi)”, Dr. Coen Holtzappel --  “Keterlibatan Inggris dalam peristiwa G30S”, Carmel Budiardjo --  “The 1965 Tragedy of overshadows Indonesia’s present and future”, Tristam Moeliono – “Tinjauan Hukum Internasional Publik Terhadap Pembunuhan Massal tahun 65-66”, Nany Nurrachman-Sutoyo ( putri letjen Sutojo) – “Pergumulan nalar dan rasa: Rekoleksi ingatan dan refleksi pengalaman atas peristiwa G.30.S”.   
2. Sarasehan di Zeist (Nederland) 29 September  2001,  diselenggarakan oleh Indonesia Legal Reform Working Group (ILRWG) bekerja sama dengan  organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Belanda. Tampil sebagai narasumber:  : Hasan Raid (korban, Jakarta),  Murtini (korban, Palembang)  ,  Mr.Moedikdo (Univ. Utrecht, Belanda), Dr. Coen Holtzappel (Univ. Leiden).  Pimpinan sidang MD Kartaprawira, Moderator Wijanto Rachman.
3. Pertemuan masyarakat Indonesia dengan Delegasi Korban 1965 yang menghadiri sidang Komisi HAM PBB di Jenewa, pada 05 April 2003, di Diemen. Pertemuan diselenggarakan oleh Panitia Khusus (kerjasama organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Nederland, a.l. Perhimpunan Persaudaraan). Delegasi terdiri Bp. Setiadji Reksoprodjo (korban, mantan Menteri Kabinet Soekarno), Bp. Heru Atmodjo (korban, mantan Lekol. AURI), Ibu Ribka Ciptaning (Ketua PAKORBA – Paguyuban Korban Orde Baru). Moderator MD Kartaprawira.
4. Pertemuan masyarakat Indonesia  dengan Delegasi Korban 1965 sepulang dari sidang Komisi HAM PBB di Jenewa, pada 15 April 2003, di Zeist, diselenggarakan oleh Panitia Khusus tersebut di atas.  Moderator A. Sungkono.
5. Seminar di Zeist (Nederland), 28 September 2003 untuk memperingati Tragedi Nasional 1965, diselanggarakan oleh Indonesia Legal Reform Working Group  bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Belanda. Nara sumber: Mr. Moedikdo, Pimpinan sidang MD Kartaprawira, Moderator Wijanto Rachman.
6. Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965 “Tragedi Nasional 1965 dan Dampaknya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, 15 Oktober 2005,  diselenggarakan oleh Panitia bersama  (LPK65, Perhimpunan Persaudaraan, YSBI, SIS, SAS, DIAN, PERDOI, Sapu Lidi, Arisan Utrecht, Arisan Amsterdam).  Sebagai narasumber: MD Kartaprawira,  Cipto Arismunandar, dan Hilmar Farid.  Moderator A. Sungkono
7. Peringatan  Tragedi Nasional 1965, diselenggarakan tanggal 30 September 2007 di Diemen (Nederland) oleh Lembaga Pembela Korban 1965 bekerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Nederland.  Tampil sebagai narasumber: MD Kartaprawira, Cipto Arismunandar, Francisca Panggideij, Martha Meijer ( Belanda),  Moderator Sungkono.
8. Peringatan 45 Tahun Tragedy Nasional 1965 di Diemen (Belanda) 02-03 Oktober 2010 diselenggarakan oleh  Panitia bersama (LPK65, Perhimpunan Persaudaraan, YSBI, SIS, SAS, DIAN, PERDOI, Yayasan Sapu Lidi, Arisan Utrecht, Arisan Amsterdam).   Narasumber: MD Kartaprawira (Ketua Panitia), Putu Oka (Indonesia), Ibrahim Isa (Belanda), Umar Said (Perancis), Tom Iljas (Swedia), Arif Harsana (Jerman), Moderator A.Sungkono.
md***************************************************************************************************kp 

No comments:

Post a Comment