Sunday 1 January 2012



KORBAN 65
TEMUI  STAFF  PRESIDEN
  Oleh Bedjo Untung


Delegasi   Korban 65 sebanyak  30 orang yang datang dari berbagai kota: Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Majalengka, Cirebon, Kuningan,Solo,Pekalongan, Bukittinggi dan  Medan  mendatangi Istana RI pada Kamis 06 Oktober 2011 pukul 09.30 WIB, mereka  para Korban Tragedi 65 yang tergabung dalam YPKP 65, LPRKROB mau pun perseorangan. Kedatangan para mantan Tapol yang umumnya telah uzur  itu diterima di  ruang  Bina Graha samping kiri oleh Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM Denny Indrayana (sekarang menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM).

Pada kesempatan yang langka itu, para Korban 65 mengeluarkan segala unek-uneknya, tuntutannya berkaitan dengan tragedi kemanusiaan 1965/1966. Bedjo Untung  sebagai Ketua YPKP 65 yang mendapat kesempatan pertama  berbicara atas nama Korban 65 mendesak kepada Pemerintah/Negara  harus segera menyelesaikannya, selagi para Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mantan Tapol itu masih hidup. Umumnya, para mantan Tapol sudah pada meninggal dunia. Kamilah yang tersisa. Tunjukkanlah Indonesia sebagai Negara yang menghormati Hak Asasi Manusia  dan Demokrasi  yang selama ini dibangga-banggakan. Mengapa kita tidak belajar dengan Pemerintah Belanda yang minta maaf kepada para Korban pembunuhan Massal di Rawagede? Belanda yang bekas kolonial justru lebih paham tentang HAM, mengapa pemerintah Indonesia tidak lakukan itu,  padahal Indonesia memiliki Pancasila?

Lebih lanjut Bedjo berkata,  setelah 46 tahun berlalu, tidak diketemukan suatu bukti apa pun yang menunjukkan keterlibatan  Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan. Justru para mantan Tapol  yang dituduh sebagai  anggota  PKI  atau pun simpatisannya yang dengan sukarela melaporkan diri ke  kantor-kantor pemerintah mau pun instalasi militer, Mereka akhirnya justru ditahan, dipenjarakan, dipekerjakan secara paksa, dan ada yang diculik kemudian dibunuh.Itulah sebabnya, YPKP 65 mendesak agar Negara segera memulihkan nama baik, mengembalikan Hak-Hak politik mau pun ekonomi, sosial yang selama ini dirampas secara tidak sah.

Bapak Mujayin  yang pernah ditahan di Pulau Buru selama puluhan tahun tanpa proses hukum yang juga mewakili organisasi LPRKROB mengatakan, kurang apa lagi? Lembaga Tinggi Negara seperti Mahkamah Agung, Komnas HAM dan DPR/RI telah merekomendasikan kepada Presiden untuk segera menerbitkan Keppres Rehabilitasi. Namun sang Presiden  tidak lakukan itu. Ada apa ini?.Lebih lanjut Pak Mujayin menambahkan, meskipun Mahkamah Konstitusi telah mencabut  Pasal 60 huruf  g  Undang-Undang  No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang membolehkan mantan Tahanan Politik 1965 menjadi Calon legislatif dan menduduki jabatan eksekutif, namun dalam kenyataan di lapangan tidak dilaksanakan. Di berbagai daerah, anak-anak 
Korban 65 gagal menjadi lurah atau pegawai negeri, gara-gara ayahnya adalah bekas anggota PKI.

Lain lagi yang dikemukakan Ibu Nadiani seorang mantan Tapol dari Bukittinggi yang juga sebagai ketua Wilayah YPKP 65 Sumatera Barat,  diskriminasi dan stigmatisasi masih terus dilestarikan oleh pemerintah SBY. Sebagai mantan pegawai negeri sipil Guru Sekolah di Bukittinggi, ia berusaha mencari keadilan yaitu menuntut uang pensiun yang seharusnya ia peroleh. Namun pejabat yang mengurusnya  selalu bilang  harus ada rekomendasi dari Kopkamtib atau Bakorstanasda yang  berkaitan dengan penggolongan Tahanan A,B,C, dll. Lho, bukankah Kopkamtib sudah bubar ketika di jaman pemerintahan Gus Dur?.

Masih soal yang dialami Ibu Nadiani. Ketika suami dan dirinya di dalam tahanan, sebidang tanah yang terletak di pusat kota Bukittinggi  diserobot oleh PT. Telkom. Merasa dirinya tidak pernah menjual ke instansi tersebut, ia kemudian menggugat ke Pengadilan Negeri Bukittinggi. Namun, lagi-lagi karena Ibu Nadiani adalah mantan Tahanan Politik 1965, gugatannya tidak diladeni oleh Pengadilan.  Ini betul-betul tindakan diskriminatif yang dilakukan atas nama Negara.

Sementara itu, Bapak Ir. Djoko Sri Moelyono yang pernah belajar di Universitas Patrice Lumumba Moskwa  jurusan Metalurgy, karena keikutsertaannya dalam organisasi HSI Himpunan Sarjana Indonesia,   ia  dibuang ke kamp kerja paksa Pulau Buru selama belasan tahun. Ia berkata, bahwa dirinya tidak yakin pemerintahan SBY  akan menuntaskan kasus pelanggaran  HAM berat  karena dirinya termasuk bagian dari kroni Suharto Orde Baru  yang tentunya ingin melindungi kolega-koleganya. Seharusnya, kalau memang mau perubahan tangkap itu jenderal-jenderal penjahat   HAM. Apa mau?

Lain lagi yang dilontarkan Pak St. Sudarno  dari YPKP 65 Cabang Pekalongan. Sambil mengeluarkan copy Surat Pembebasan  dari penahanan  Pulau Buru yang ditandatangani  Komandan Kamp, menyatakan sesudah dilakukan penahanan dan pemeriksaan  selama 14 tahun, dirinya tidak terbukti keterlibatan dalam apa yang dinamakan Gerakan 30 September 1965. Tetapi nyatanya, dirinya selalu diperlakukan tidak manusiawi, selalu diintimidasi .Setiap kali mengadakan rapat-rapat yayasan selalu dicurigai ingin membangun kembali  Partai Komunis. Ayahnya telah dibunuh  oleh tentara pada  akhir 1965, rumahnya dibakar. Dan, dirinya selaku mantan pegawai negeri di Kantor Kabupaten Pekalongan tidak mendapatkan ganti rugi, uang pensiun yang seharusnya  ia dapatkan. Di mana keadilan?

Dan masih banyak lagi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Korban 1965 yang  curhat kepada Denny Indrayana orang yang dekat dengan presiden SBY. Nah, sekarang giliran sang Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM, angkat bicara.

Secara khusus, Denny Indrayana  menyampaikan rasa prihatin  dan simpati yang mendalam atas apa yang disampaikan para mantan Tapol. Presiden telah
menginstruksikan dalam setiap arahan kepada dirinya, agar mencari solusi terbaik dan komprehensip untuk penanganan kasus Korban  pelanggaran HAM berat ini. Dalam  2-3 bulan terakhir ini sudah dan sedang dilakukan upaya  ke arah penyelesaian itu, yaitu dngan membentuk Tim Penuntasan  Kasus Pelanggaran HAM masa lalu  yang diketuai oleh Menkopolhukam Bpk Djoko Suyanto. Tim terdiri dari kantor Kepresidenan dalam hal ini adalah diwakili oleh Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM, Kantor Menkopolhukam, Komnas HAM , serta Dirjen Kementerian Hukum dan HAM. Tim ini sudah berjalan dan melakukan diskusi-diskusi mencari format penyelesaian kasus berdasar atas pertimbangan hukum mau pun kemanusiaan, mencari terobosan penyelesaian tidak sekedar melalui jalur legal formal, tetapi adalah bagaimana Korban memperoloeh keadilan. Lebih lanjut Denny Indrayana  menegaskan, bahwa  dalam sisa pengabdiannya – yang tinggal  2 tahun ke depan – pemerintahan  SBY  ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM warisan masa lalu agar tidak membebani pemerintah  yang akan menggantikannya.

Pertemuan dengan  Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM ini hanya berlangsung selama 10 menit  karena  ia  sudah ditunggu untuk bertemu dengan Presiden untuk urusan persoalan hukum yang lain.

Pembicaraan Presiden SBY, Komnas HAM dan  Usman Hamid

Sementara itu, pada pertengahan Juli 2011 ada  pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim  dan Usman Hamid Koordinator Kontras. Presiden SBY didampingi staff khusus Presiden Bidang penegakan Hukum dan HAM Denny Indrayana. Pertemuan membahas masukan, ide mau pun saran untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Berlangsung  selama hampir 2 jam dari pukul 20.00 sampai pukul 22.00 WIB. Dari informasi yang disampaikan oleh Bung Usman Hamid di berbagai kesempatan  di hadapan para Korban dan Keluarga Korban  Pelanggaran HAM memang seolah-olah  “ada niat” SBY untuk selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, tetapi realisasinya selalu tidak ada, takut mengambil resiko, terlalu berhati-hati mengambil keputusan, alhasil, momentumnya jadi terlambat.
Ketika itu, Usman Hamid memberi masukan,

“ Dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM  juga termasuk Korban 65, karena mereka para Korban 65 sudah uzur, sakit-sakitan dan mereka telah mengalami penderitaan lahir bathin  hampir selama 46 tahun, mereka orang-orang yang semestinya mendapat perhatian pemerintah karena mereka termasuk orang-orang yag tidak bersalah.”

Mendengar saran Bung Usman Hamid, presiden SBY diam sejenak dan berkata:

 “ Ya, saya akan lakukan, tapi saya akan mencari format penyelesaiannya agar saya tidak dipersalahkan oleh ‘pelatih ‘ saya. Kiranya pak Usman faham apa  yang saya maksudkan itu”

Dari sejak pertemuan Komnas HAM, Kontras  dengan Presiden  dan dilanjutkan dengan pertemuan Korban 65 di Istana  sudah berlalu hampir 6 bulan. Namun belum ada tanda-tanda  perbaikan mau pun kemajuan berarti tentang penuntasan Kasus Pelanggaran HAM. Negara/pemerintah masih bungkam, tidak pernah menyampaikannya ke depan publik tentang rencananya. Format penyelesaian yang digagas juga belum jelas dasar  hukumnya. Sementara itu Komnas HAM yang berjanji akan segera mengumumkan hasil investigasi Tim Penyelidikan pro yustisia Peristiwa 1965-66 yang sudah berlangsung selama 3 tahun,  masih  terus tertunda. Kini muncul berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang baru yaitu  Kasus Pembunuhan Massal petani Mesuji di lampung mau pun kasus penembakan Aksi Massa di Pelabuhan Supe Bima yang menewaskan demonstran. Yang tentunya, Negara akan mendahulukan kasus yang  lebih baru itu.  Nampaknya persoalan semakin berakumulasi, menumpuk terus dan SBY kembali ingkar janji.***
\

Delegasi Korban 65 bergambar bersama setelah diterima Staff Khusus Presiden bidang Penegakan Hukum  dan HAM di depan Istana Negara RI

No comments:

Post a Comment