Sunday 19 December 2010

Sambutan Tom Iljas pada peringatan 45 tahunTragedi Nassional 65

Diemen, Negeri Belanda 2 Okt 2010.

Kawan-kawan hadirin sekalian yang saya hormati,
Saya aturkan terima kasih kepada kawan-kawan Panitia yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk menyampaikan satu dua patah kata pada peringatan 45 tahun Tragedi Nasional 65 ini. Peringatan-peringatan seperti ini adalah sangat penting diadakan. Sekitar hari-hari ini di Jkt dan di berbagai tempat di Tanahair organisasi-organisasi korban 65 juga sedang mengadakan kegiatan-kegiatan serupa.

Kenapa pertemuan-pertemuan seperti ini adalah sangat penting artinya?
Terlepas dari jawaban pertanyaan siapa sesungguhnya yang menjadi dalang, pihak mana yang patut dipersalahkan sebagai pemicu peristiwa 1 Oktober 1965, gelombang pembunuhan massal dibawah komando militer yang mengamuk di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan propinsi-propinsi lainnya diseluruh Nusantara yang terjadi beberapa bulan kemudian adalah teramat penting untuk dilupakan. Genangan air sungai memerah dimana-mana. Mayat manusia, sebagiannya tanpa kepala, memenuhi jurang-jurang dan lereng-lereng bukit. Truk-truk militer sibuk bolak-balik ke hutan-hutan membawa para tahanan, terutama dimalam hari. Orang tak bisa lagi menghitung berapa besar jumlah korban sebenarnya. Sebagian besar mereka dihilangkan tak tentu rimbanya dibunuh tak tentu kuburnya. Sebagian besar sampai kini tak ditemukan jejak maupun jasadnya. Karena sasaran pemburuan adalah pendukung-pendukung bung Karno yang tersebar luas diseluruh Tanahair,  maka sukar ditemukan satu keluargapun yang tidak kehilangan sanak saudara yang dicintainya.
Selama 32 tahun lebih pengungkapan pembantaian massal 65/66 ini ditabukan, hingga tidak banyak diketahui oleh generasi yang dilahirkan sesudah tahun 1965 atau mereka yang pada waktu itu masih kanak-kanak. Untuk mencegah tragedi ini terulang dimasa datang ia harus diungkapkan, ingatan masyarakat harus dikuak. Generasi muda harus senantiasa diingatkan bahwa bangsa ini pernah mengalami peristiwa yang sangat mengenaskan dimana ratusan ribu warga tak bersalah dibantai oleh sesama anak bangsanya sendiri.
Pemerintah-pemerintah setelah lengsernya Suharto mengambil sikap masa bodoh. Tidak pernah ada pengakuan bahwa suatu kejahatan berat telah terjadi. Tidak pernah ada investigasi dilakukan. Sedangkan masyarakat tidak berdaya, tiada keberanian untuk mempertanyakan apalagi menggugat pelanggranan HAM di masa lalu. Karena itu berbagai kegiatan para korban seperti pertemuan kita hari ini adalah penting artinya untuk menghidupkan ingatan masyarakat, dengan tujuan utama agar kejadian serupa tidak terulang dimasa datang.
Kalau kita bandingkan dengan pembunuhan massal 65/66, Holocauste (pembunuhan orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman) telah berlalu lebih lama dan telah mendapatkan penyelesaian pula. Namun sampai kini berbagai pengungkapan terutama melalui televisi tetap diadakan. Pemburuan terhadap para algojo yang masih bersembunyi tetap dilakukan. Tujuan utama adalah pemulihan korban dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi dimasa datang.
Suatu hal lain yang perlu kita cermati ialah, selama 12 tahun lebih reformasi, pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu selama ini hanya memfokuskan perhatian pada korban Orde Baru pasca 1998. Jarang sekali korban tragedi nasional 65 dibicarakan. Keengganan menarik ingatan  sejarah lebih jauh ke 1965 memberi kesan seolah-olah pembunuhan massal 65 adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang harus diterima sebagai takdir. Pada hal 3 juta manusia telah dibantai, ratusan ribu dianiaya di penjara-penjara dan di kamp-kamp konsentrasi diseluruh Tanahair. Dari skala dan kekejamannya tragedi ini adalah kejahatan kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi sejak Perang Dunia ke-II. Karena itu penyelesaiannya seharusnya mendapatkan prioritas utama.

Penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
Sudah menjadi pengetahuan umum, sejak 12 tahun lebih reformasi tak satupun kasus pelanggaran HAM  masa lalu terselesaikan. Daftar kasus-kasus pelanggran HAM semakin bertambah panjang saja. Kasus pembunuhan massal 65/66, kasus petrus 1981-85,  Tanjung Priok 1984, Peristiwa Lampung 1989, peristiwa 27 Juli 96, kasus orang hilang 1997-1998, kasus Aceh 1989-1998, kasus Trisakti 1998, peristiwa Mei 1998, kasus Semanggi I 1998 dan Semanggi II  1999, Timor-Timur, Papua, pembunuhan terhadap Munir dan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya. Tak satupun terselesaikan dengan tuntas. Semuanya dibiarkan mengambang, tak karuan juntrungnya, sengaja disapu kebawah karpet. Kalau toh dilakukan pengusutan atas desakan organisasi-organisasi korban, institusi-institusi penegak hukum saling melempar tanggung-jawab sedangkan Presiden berpangku tangan.
Dipihak lain, Pemerintah dan lembaga legislatif kita sangat pandai berminyak air. Sangat pandai membangun citra. Ketentuan-ketentuan hak asasi manusia yang tercantum dalam dokumen PBB diretifikasi dan diabdopsi kedalam perundang-undangan Indonesia. Yang terbaru adalah beberapa hari yang lalu, dimana Menlu Natalegawa mewakili RI menandatangai Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Convention for The Protection of All Persons from Enforced Disappearances). Tetapi semua ini hanyalah sebagai pencitraan kedunia internasional. Hanya berfungsi sebagai kembang-kembang agar perundang-undangan kita kelihatan indah. Dalam kenyataannya tak pernah dilaksanakan.
Selama kekuasaan negara berada dibawah bayang-bayang Orde Baru memang kita tak mungkin mengharapkan adanya penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM masa lalu. Benar seperti yang dikatakan oleh bung Joesoef Isak Alm, ” Faktor terpenting yang merupakan syarat mutlak terjadinya rekonsiliasi ialah harus adanya metamerfose yang signifikan dalam watak kekuasaan itu sendiri”. Para elite yang berkuasa sejak lengsernya Suharto adalah produk dari Orde Baru. Sebagian besar adalah mereka yang dibesarkan, dididik, diuntungkan oleh rejim militer Orde Baru Suharto. Sebagiannya lagi bahkan berlepotan darah para korban atau mempunyai hubungan keluarga dengan para algojo itu sendiri.
Sikap mereka secara masif menolak pencabutan TAP MPRS  XXV/1966 yang tersohor itu serta segenap perturan perundangan-undangan dibawahnya yang sangat diskriminatif terhadap para korban peristiwa 65 serta sanak keluarganya.. Meskipun pelaksanaan peraturan perundang-undangan ini tidak lagi sekasar seperti dijaman Suharto namun ia sengaja tetap dipelihara, dipertahankan sebagai payung hukum untuk membungkam perlawanan Rakyat, disimpan sebagai palu godam untuk digunakan bila diperlukan untuk melegitimasi tindakan-tindakan kekerasan terhadap gerakan demokrasi. Peraturan perundang-undangan ini pulalah yang digunakan pula oleh organisasi-organisasi preman seperti FPI untuk melegitimasi tindakan-tindakan teror.
Presiden turun naik silih berganti. Semua menamakan diri ”Orde Reformasi”. Bagi kita para korban tidaklah terlalu sulit untuk mengukur, apakah sesuatu Pemerintah patut dinamakan Pemerintah Reformasi atau tidak. Hanya Pemerintah yang mempunyai kemauan politik, yang berani mengambil inisiatif menyelesaikan tragedi kemanusiaan 65/66 dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya yang bisa dikatakan Pemerintah Reformasi. Ini adalah salah satu kriteria yang sangat penting. Ada beberapa kriteria penting lainnya, ini adalah salah satunya.

Rebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Salah satu dosa tak berampun Orde Baru Suharto adalah penghancuran pembangunan nasion dan karakter bangsa Indonesia. Nation and character destruction yang dilancarkan Orde Baru dalam jangka waktu lama  telah menimbulkan kerusakan-kerusakan besar yang dampaknya kita warisi sekarang. Indonesia yang terpuruk disegala bidang.  Politik ekonomi Pemerintah-pemerintah sejak lengsernya Suharto yang berorientasi kepada neo-liberalisme menambah buruknya situasi. Bangsa kita benar-benar telah menjadi kuli dinegeri sendiri dan menjadi babu dinegeri orang. Fungsi Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya  hanyalah untuk memuluskan pengurasan aset-aset penting bangsa oleh modal besar asing. Diciptakan berbagai undang-undang seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Ketenagakerjaan, UU Migas, UU Minerba, UU Pelistrikan dsb untuk melegalkan dan memuluskan agenda neo-liberalisme di Indonesia. Indonesia benar-benar telah kembali menjadi negeri koloni, atau neo-koloni.
Karena itu saya kira semboyan kita yang tepat untuk jangka waktu cukup panjang kedepan ialah Rebut Kembali Kemerdekaan Indonesia! Aset-aset penting negeri yang sejak 1967 telah digadaikan oleh Suharto kepada modal besar asing harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, Rakyat Indonesia, sesuai pasal 33 UUD 1945. Hutang-hutang haram Orde Baru harus dihapuskan, sekurang-kurangnya dikurangi dengan jumlah yang dikorupsi oleh keluarga Suharto dan kroni-kroninya. Tiga prinsip utama perjuangan nasional, Trisakti,  harus menjadi pedoman dalam seluruh kebijakan.
Perjuangan ini sangat tidak mudah. Tidaklah mudah bagi orang awam untuk melihat bahwa Indonesia telah menjadi negeri jajahan. Karena yang mengawal kepentingan asing di Indonesia adalah Pemerintah kita sendiri, yang duduk di Senayan menciptakan berbagai UU yang memuluskan penguasaan modal besar asing atas ekonomi Indonesia adalah orang-orang kulit sawo matang, yang menjaga keamanan di Freeport, di tambang-tambang minyak dan di perusahaan-perusahaan besar asing itu bukan serdadu KNIL tetapi adalah tentara dan polisi kita sendiri. Karena itu sebelum tersedianya syarat-syarat yang memungkinkan pergantian kekuasaan negara dari status quo ke kekuasaan pro Rakyat diperlukan perjuangan panjang untuk pembangunan kesadaran politik dan kesadaran berorganisasi massa luas yang selama tiga dekade lebih diperbodohkan dengan politik ”massa mengambang”. Semua celah-celah demokrasi yang tersedia harus digunakan untuk pencerahan-pencerahan, untuk membangkitkan semangat patriotisme, untuk mengangkat kembali ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, dsb. Perjuangan ini lebih berat lagi karena ada saja satu dua orang ”diantara kita” yang mencurahkan seluruh energinya untuk menohok dari belakang. Orang-orang ini dari pagi sampai malam kerjanya hanya mengintip dari balik komputer. Begitu muncul tulisan-tulisan yang sifatnya memberikan pencerahan-pencerahan, membangkitkan patriotisme, segera saja ditimpa dengan sinisme yang tidak kepalang tanggung. Apalagi bila tulisan-tulisan itu berasal dari websitenya bung Umar Said.
Kawan-kawan dan Saudara-saudara sekalian yang terhormat,
Kembali berbicara tentang korban tragedi kemanusiaan 65/66 kita harus mengakui bahwa kebanyakan kita sudah 70 plus dan tak sedikit pula yang menderita berbagai penyakit. Di luarnegeri barangkali hanya bung Sarmadji saja yang mencatat sudah berapa puluh pula kawan-kawan kita telah pergi untuk selamanya sejak kita berkumpul disini 5 tahun yang lalu, pada peringatan 40 tahun tradedi kemanusiaan ini. Namun kita patut bergembira dan optimis, di Tanahair telah mulai tumbuh berbagai organisasi massa dan partai progresif dari kalangan muda. Meskipun masih kecil dan terfragmentasi namun ia merupakan titik-titik terang diterowongan gelap yang panjang. Walau masih terfragmentasi, namun kalau kita cermati semuanya mengusung semboyan yang sama: pembebasan Indonesia dari  cengkeraman neo-liberlisme. Adalah tugas-tugas kita untuk membantu dan mengintegrasikan diri dengan perjuangan generasi baru ini disamping terus berjuang untuk keadilan bagi korban pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu.
Perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagi para korban tragedi nasional 65 adalah bagian integral dari perjuangan merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Keduanya memprasyaratkan pembangunan kekuasaan negara yang pro Rakyat. Karena itu disamping terus berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi para korban, mari sisa hidup ini kita abdikan untuk membantu perjuangan generasi penerus yang mulai tumbuh di Tanahair.

Sekian, terima kasih.
Tom Iljas.

No comments:

Post a Comment