Saturday 18 December 2010

Masyarakat Indonesia Eropah Memperingati -- “45Th. PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL 1965”

Ibrahim Isa

‘Peristiwa Tragedi Nasional 1965’, yang terjadi EMPAT PULUH LIMA TAHUN yang lalu, telah diperingati dengan khidmat oleh masyarakat Indonesia di Eropah, hari Sabtu tanggal 02 Oktober 2010. Peringatan itu berlangsung di Gedung “Schakel”, Diemen, Holland.

Pembantaian masal orang-orang Indonesia tak bersalah tanpa proses pengadilan apapun, oleh kekuasaan militer Jendral Suharto, merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia Berbangsa. JELAS hal itu merupakan pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan oleh penguasa, sejak berdirinya Republik Indonesia. Namun, sedikitpun tak kelihatan tanda-tanda bahwa pemerintah-demi-pemerintah yang berdiri sejak digulingkannya rezim diktatur militer Suharto, ---- punya ‘political will’ untuk menangani pelanggaran HAM terbesar sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Peringatan yang berlangsung Sabtu tsb, dilanjutkan pada hari Minggunya, dengan pertunjukan film a.l yang penting, film dokumenter ‘TJIDURIAN 19’ dan ‘FORTY YEARS OF SILENCE’. Kalau kita ingat, bahwa peristiwa pembantaian masal 1965 terhadap warga yang tak bersalah, telah berlalu 45 tahun yang lalu, -- maka sungguh mengharukan bahwa tetap begitu besar perhatian masyarakat Indonesia di Eropah, terhadap peristiwa tsb. Kurang-lebih seratus hadirin berdatangan dari kalangan masyarakat Indonesia di Belanda, Jerman, Swedia, Prancis, dan . . . dari INDONESIA, yaitu budayawan Putu Oka Sukanta.

Hari Peringatan yang sukses itu, menunjukkan bahwa perjuangan demi hak-hak demokrasi dan HAM akan berlangsung terus, apapun kendala yang harus dihadapi.

Wartawan Rakyat Merdeka, A. Supardi (yang telah menyiarkan Pernyataan yang dikeluarkan pada Hari Peringatan tsb) dan Liu dari Radio Hilversum tak ketinggalan meliput peristiwa penting tsb. Baik Rakyat Merdeka maupun Radio Hilversum khusus mengadakan wawancara dengan Putu Oka Sukanta, yang sedang dalam perjalanan keliling Eropah, dalam rangka mensosialisasikan pengertian dan pemahaman mengenai Peristiwa Tragedi Nasional 1965.

Penyair Budayawan Putu Oka Sukanta, seorang eks-Tapol rezim Orba, yang aktif dan produktif dalam rangka kegiatan pembelaan hak-hak Demokrasi dan Pemberlakuan HAM di Indonesia, memberikan uraian penting dan menarik sekitar situasi Indonesia dan haridepan gerakan Reformasi. Dalam uraiannya Putu Oka menekankan arti penting khususnya bagi para korban 1965 dan juga bagi parap pelakunyga, untuk difahami, bahwa konflik kekerasan begitu serius yang terjadi di masyarakat kita sekitar pembantaian masal 1965, -- bersumber pada KEKERASAN NEGARA. Dengan fihak militer sebagai aparat negara yang menjadi pelaku utamanya.

Umar Said (82), mantan pemimpin Redaksi harian Ekonomi Nasional, yang sekarang bermukim di Paris dan tetap aktif menulis di Website Umar Said, yang terhalang hadir karena kesehatannya, memberikan sambutan penting (dibacakan oleh Suyoso) sekitar keharusan dihapuskannya TAP MPRS No XXV/1966.

Panitia Peringatan telah menyiarkan Pernyataan yang dikeluarkan pada akhir Peringatan serta kata sambutan dari Ketua Panitia Peringatan Djumaini Kartaprawira. Sambutan selengkapnya dari Umar Said (Paris), seperti halnya sambutan-sambutan oleh Tom Ilyas (Swedia) dan Arif Harsana (Jerman) akan disiarkan oleh Panitia Peringatan secara berangsur.

* * *

Kesempatan memberikan sambutan pada hari Peringatan Peristiwa Tragedi Nasional 1965, kugunakan untuk menguraikan pandangan berikut ini:

* * *

KEGIATAN MENGUNGKAP KEBENARAN DAN MENUNTUT KEADILAN
SEKITAR PERISTIWA 1965, TIDAK BOLEH BERHENTI!

Setiap tahun kita mengenangkan dan memperingati, apa yang a.l populer dikenal sebagai ‘Peristiwa Tragedi Nasional 1965’. Biasanya tanggal yang diambil sebagai patokan adalah 30 September 1965. Presiden Sukarno mencatat dan menyebut peristiwa tsb, sebagi Gestok, Gerakan Satu Oktober. Peristiwa itu terjadinya memang pada tanggal 1 Oktober 1965. Bagi para korban peristiwa yang kemudian juga populer disebut peristiwa ‘Pembantaian Masal 1965’, -- yang diperingati adalah detik-detik ketika Jendral Suharto, panglima Kostrad, setelah mengalahkan G30S, secara kongkrit mengambil-alih di tangannya sendiri kekuasaan militer di Jakarta. Yaitu pada siang hari tanggal 1 Oktober 1965.

Pada tanggal 3 Oktober 1965, saya tiba di lapangan terbang Kemayoran, setelah menanti selama dua hari di Bangkok, -- untuk meneruskan pekerjaan kongkrit penyelenggaraan konferensi internasional, KIAPMA, yaitu suatu Konferensi Internasional Anti Pangkalan-pangkalan Militer Asing, yang aka dilangsungkan di Jakarta. Ketika itu, samasekali belum ada pembunuhan masal. Yang terjadi adalah demo-demo preman yang didalangi militer. Mereka membakar gedung-gedung kantor CC PKI, Sobsi, serta mengobrak-abrik dan menguasai rumah-rumah banyak tokoh-toko Kiri atau PKI, seperti Pramudya (Lekra), Nyoto (Menteri Negara RI, Wakil Ketua II CC PKI, dan salah seorang pemimpin Lekra), dll. Jadi, belum ada pembunuhan masal terhadap orang-orang PKI, Kiri dan pendukung Presiden Sukarno.

Setahu dan seingat saya kampanye pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang Kiri dimulai pada minggu ketiga Oktober. Secara besar-besaran itu dimulai setelah Jendral Suharto mengirimkan kesatuan-kesatuan Kostradnya ke Jawa Tengah, Jatim dan Bali.

Selanjutnya terserah pada para korban, pada masyarakat termasuk pakar sejarah, untuk menentukan sejak tanggal berapa terjadinya pembantaian masal terhadap warganegara tak bersalah dimulai oleh Jendral Suharto. Yang jelas pada tanggal 1 Oktober bahkan sampai minggu pertama Oktober 1965, hal itu belum terjadi.

* * *

Kenyataannya, setiap tahun ‘Peristiwa 1965’ diperingati. Terutama untuk mengenangkan para korban yang jatuh. Yang lebih penting lagi, ialah dalam rangka perjuangan menuntut keadilan, demokrasi dan HAM. Jumlah korban yang jatuh dalam kampanye persekusi militer di bawah Jendral Suharto, berkisar antara setengah juta sampai tiga juta orang. Yang jelas korban tsb adalah yang paling besar, yang terjadi dalam suatu kampanye persekutsi penguasa yang paling biadab terhadap warganegara yang tak bersalah.

Rezim Orba, dengan Jendral Suharto sebagai presidennya, adalah yang bertanggung-jawab atas pembantaian masal yang paling biadab terhadap warganegara sendiri yang setia pada Presiden Sukarno dan Republik Indonesia.

Sekarang, sudah lebih 10 tahun berlalu, sejak rezim Orba resminya ditumbangkan oleh prahara Gerakan Reformasi.

* * *

Sejak jatuhnya Presiden Suharto, kita sudah mengalami empat kali pergantian Presdien. Suharto digantikan wakilnya Habibie. Kemudian naik Gusdur melalui pemilu pertama sesudah jatuhnya Orba. Setelah Gus Dur dijatuhkan lewat suatu permainan politik pat-pat-gulipat, naik Presiden Megawati. Dalam pemilihan presiden yang langsung dalam suatu pemilu, naik SBY. Pilpres ke dua SBY lagi yang jadi Presiden. Sampai sakarang.

Namun, kasus ‘Peristiwa 1965’, yang merupakan pelanggaran hak-hak manusia yang tak ada bandingnya dalam sejarah modern Indonesia -- dimana demikian banyaknya warga tak bersalah, tanpa proses hukum apapun, telah dibantai oleh suatu kekuasaan militer, --- kasus ini, SAMASEKALI BELUM DIJAMAH. Baik oleh Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY, dan sekali lagi SBY.

Puluhan buku hasil studi serius, ratusan bahkan ribuan tulisan lainnya telah tersiar mengenai kasus Peristiwa 65. Komnasham sudah bertahun-tahun berdiri. Namun, satu kali sajapun, tak pernah lembaga pengadilan Indonesia mempersoalkan sampai tuntas kasus korban-korban yang jatuh dalam Peristiwa 1965. Dianggapn apa yang terjadi dalam peristiwa tsb, --- adalah masaalah ‘masa lampau’.

Sikap demikian itu, bukanlah disebabkan karena lembaga peradilan Indonesia tidak peka terhadap Peristiwa 1965. Bukanlah karena Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan SBY --- samasekali tidak tahu-menahu mengenai kasus sejarah Indonesia yang paling gawat dan dahsyat itu.

Sikap tutup-mata, tutup telinga, serta tutup mulut terhadap kasus 1965 -- bukanlah sesuatu yang kebetulan. Mereka-mereka itu faham betul, bahwa mempersoalkan MASALAH PERISTIWA 1965, -- akan menyangkut keabsahan kekuasaan mereka-mereka yang berkuasa sekarang ini. Yang akhirnya akan mempertanyakan, mempersoalkan dan kemudian menggugat kehadiran mereka yang sekarang ada di puncak kekuasaan pemerintahan, legeslatif dan yudikatif.

Bukankah bisanya mereka-mereka itu duduk di tampuk kekuasaan, berkat digulingkannya Presiden Sukarno dalam suatu kup merangkak yang diregisir bersama oleh kekuatan dalam dan luar? Bukankah kedudukan mereka itu adalah kelanjutan wajar dari pembantaian terhadap kekuatan Kiri? Khususnya terhadap PKI dan pendukung Presiden Sukarno? Menjadi jelaslah, bahwa mereka-mereka itu bisa berkuasa sampai sekarang ini, sesungguhnya bisa berlangsung dengan mengalirnya darah begitu banyak korban warganegara tak bersalah.

Akhirnya sampai kita pada fikiran demikian ini -- Tidakkah benar analisa yang menyimpulkan bahw pembantaian masal itu, bagi mereka yang kuasa itu adalah sutu keharusan yang mereka mesti lakukan dan benarkan, -- untuk bisanya mereka menjadi penguasa Indonesia tanpa oposisi, tanpa kontrole dan tanpa perlawanan siapapun? Untuk menjamin bantuan militer dan modal asing yang demi strategi perang dinginnya sudah sejak akhir Perang Dunia II, menetapkan keharusan memusnahkan kekuatan Komunis dan Kiri dimanapun itu berada. Apakah itu di Indonesia atau di Chili!

Membungkam terlebih dulu -- sebagai syarat untuk bisa berkuasa dan terus berkuasa!

* * *

Mengingat kekuasaan pemerintahan yang bediri sesudah tumbangnya Suharto, itu adalah kelanjutan rezim Orba, -- adalah kelanjutan suatu rezim yang ditegakkan di atas tumpukan mayat jutaan korban yang dibantai ketika militer di bawah Jendral Suharto menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno, -- wajarlah timbulnya kesimpulan berikut ini:

Bahwa kebenaran tidak akan terungkap, keadilan menyangkut korban Peristiwa 1965 tak mungkin akan terrealisasi. Tidak mungkin para korban 1965 akan memperoleh kebenaran, keadilan serta rehabilitasi nama baik, serta hak-hak politik dan kewarganegaraannya, selama rezim Indonesia merupakan kelanjutan dari rezim Orba dengan perubahan disana-sini.

* * *

Maka muncullah kesimpulan:

HARUS ADA PROSES PATAH ARANG TOTAL DENGAN KEKUASAAN ORBA.

Harus ada perombakan total atas lembaga-lembaga hukum Indonesia yang sekarang ini. Yang lebih dikenal sebagai sarang mafia hukum. Harus ada perombakan total atas lembaga legeslatif yang tak tahu diri sekarang ini. Harus ada perombakan total pada aparat kekuasaan bersenjata negara yang seharusnya melindungi rakyat dan negeri.

Dan memang, berbagai kegiatan di Indonesia oleh pelbagai kekuatan pro-demokrasi dan hak-azasi manusia, selangkah demi selangkah akhirnya menuju dan akan tiba pada titik PEROMBAKAN TOTAL yang diharapkan itu.

* * *

Oleh karena itu, meskipun 45 tahun sudah berlalu; --- dan perubahan berarti belum terjadi dalam hubungan dengan keadilan bagi para korban Peristiwa 1965 dan korban pelanggaran HAM lainnya, --- adalah tepat sikap bahwa, kegiatan dalam rangka mengungkap kebenaran dan menuntut keadilan sekitar Peristiwa 1965, TIDAK BOLEH BERHENTI! Sejenakpun tak boleh kendur kegiatan menuntut keadilan dan kebenaran sekitar Peristiwa 1965.

Selanjutnya, pada saat kebenaran dan keadilan benar-benar dicapai oleh para korban Peristiwa 1965 dan rakyat umumnya, -- pun pada saat itu dan selanjutnya, kegiatan-kegiatan mengungkap dan mengekspos pelanggaran HAM oleh penguasa, tidak boleh berhenti.

Demikian pula halnya dengan Peringatan Peristiwa 1965, itu akan tetap berlangsung terus!

Karena hal itu merupakan bagian penting dalam rangka peningkatan kesadaran bernegara hukum Indonesia.

* * *

No comments:

Post a Comment