Sunday 19 December 2010

“Melawan Lupa untuk terus mendorong maju proses Demokratisasi”

Sambutan Arif Harsana pada Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965
02.10.2010


Pada hari-hari ini para Korban 65 baik yang didalam maupun yang diluar negeri dan juga sejumlah kalangan dari berbagai organisasi massa, LSM dan seniman, mengadakan berbagai acara kegiatan dalam rangka Peringatan 45 Tahun Tragedi Kemanusiaan 1965.

Semenjak jatuhnya Suharto 1998, yang antara lain disebabkan oleh gerakan protes demonstrasi para mahasiswa, semakin banyak diterbitkan buku-buku yang mengungkap fakta-fakta sejarah yang digelapkan dan membongkar pemalsuan serta kebohongan sejarah G-30-S versi Orde Baru. Selama 32 tahun kekuasaan Suharto, hanya narasi G-30-S versi Orba itulah satu-satunya yang dijadikan senjata legitimasi dalam mempertahankan kekuasaan otoriternya yang paling kejam dan paling korup dalam sejarah Indonesia.

Satu hal yang tak terbantahkan, terlepas adanya berbagai perdebatan sejarawan tentang Tragedi 65, adalah keterlibatan Suharto dalam G-30-S, yaitu fakta tentang adanya radiogram Suharto memanggil pasukan militer dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan disertai instruksi siaga tempur, yang mana pasukan militer tersebut ikut ambil bagian dalam G-30-S. Fakta kedua adalah kesaksian tokoh G-30-S Latief yang telah melapor kepada Suharto menjelang dimulainya penculikan terhadap perwira militer oleh G-30-S.

Fakta sangat penting, yang tak terbantahkan, yang juga digelapkan dalam narasi G-30-S versi Orba /Suharto adalah tentang telah terjadinya Genosida pada tahun-tahun 1965-1967, yang juga biasa disingkat dengan istilah Genosida 65 - yaitu pembunuhan massal berencana tanpa proses hukum, terhadap orang-orang tak bersalah, yang diorganisir dan dipimpin oleh tentara Angkatan Darat dibawah komando Suharto, yang mengakibatkan korban lebih satu juta jiwa manusia dan ratusan ribu dipenjarakan diseluruh pelosok Indonesia.

Dengan dilancarkannya Genosida 65 dibawah komando Suharto, yang kebiadabannya diluar batas kemanusiaan, dimana kaum Komunis dan semua kekuatan kiri progresif anti imperialis dijadikan sasaran pokoknya, maka kekuatan yang menjadi tiang utama penyangga pemerintahan Bung Karno telah terpatahkan. Kudeta merangkak Suharto yang dimulai 1 Oktober 1965 secara bertahap terus menerus merongrong kekuasaan Bung Karno, menggunakan Surat Perintah 11 Maret 1966, membubarkan PKI, mengasingkan dan menjadikan Bung Karno sebagai tahanan rumah sampai meninggalnya

Setelah kekuasaan negara ada ditangan Suharto sepenuhnya, watak negara Indonesia berubah menjadi rezim militer otoriter dengan menamakan dirinya sebagai pemerintahan Orde Baru. Sejak itu, garis politik pemerintahan Indonesia berbalik 180  derajat dalam segala bidang.

Politik luar negeri bebas aktif anti imperialis pemerintahan Bung Karno diubah menjadi pro imperialis.
Kebijakan ekonomi berdikari yang diperjuangkan Bung Karno diubah menjadi berwatak setengah kolonial yang tergantung pada utang luar negeri dan pengobralan Sumber Daya Alam (SDA).

Dalam rangka pelaksanaan garis baru dari Orde Baru itu, ada peristiwa penting yang perlu diperhatikan, yang akan menjadi tonggak sejarah penting sebagai langkah awal menuju restorasi penjajahan di Indonesia.
Peristiwa penting itu adalah diselenggarakannya Pertemuan pada bulan Nopember 1967, di kota Jenewa,Swiss. Pertemuan itu dihadiri oleh delegasi Indonesia dan wakil-wakil MNC (Multi National Concern) terkemuka dari seluruh dunia. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sultan HB IX, yang beranggotakan Mafia Berkeley, yaitu para bekas lulusan Univ. Berkeley, USA, menurut saksi mata, mereka itu datang ke Swiss bukan untuk berunding, tetapi hanya sekedar untuk menerima persetujuan tentang apa saja yang dikehendaki oleh para wakil MNC -korporasi raksasa multinasional, dalam rangka membagi-bagi wilayah Indonesia yang kaya raya akan SDA sebagai daerah operasi modal berbagai MNC yang akan mengeruk kekayaan alam Indonesia sesuai ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing , yang dibuat sesuai kehendak MNC. Sejak saat itulah sebenarnya restorasi penjajahan model baru ala Orde Baru telah diresmikan. Indonesia kehilangan kedaulatannya dan rezim militer fasis Orba /Suharto menjadi penjaga utama kepentingan kaum kapital asing untuk melindunginya dari perlawanan rakyatnya. Pertemuan di Jenewa Nop. 1967 itu juga bisa disebut sebagai pesta kemenangan merayakan tercapainya hasrat kaum Nekolim merestorasi penjajahannya di Indonesia, yang sudah lama diusahakan dengan segala  cara, untuk menggulingkan pemerintahan Bung Karno. Tujuan itu akhirnya tercapai setelah penindasan berdarah dengan dilaksanakannya Genosida 65, yg. berhasil menghancurkan kekuatan Kiri yang anti imperialist. Utang puluhan Miyar US $ segera dikucurkan oleh negara-negara Blok Barat untuk menopang kekuasaan rezim militer fasis Orba /Suharto sekaligus untuk menjeratnya agar tunduk terhadap kepentingannya.

Sejarah kekejaman rezim militer otoriter Orba /Suharto dalam menindas segala bentuk oposisi penuh dengan sejarah pelanggaran HAM berat berlumuran darah, sejak kudeta merangkak melalui Genosida 65, pemenjaraan para aktivist mahasiswa yang melawan kediktatorannya, pembunuhan Tanjung Priuk dan Lampung, agresi militer terhadap Timor Timur, pelanggaran HAM berat dalam operasi DOM di Aceh dan Papua sampai penculikan aktivist mahasiswa.

Kejahatan terhadap Kemanusiaan, yang dilakukan rezim Suharto adalah Pelanggaran HAM berat paling besar dalam sejarah dunia semenjak PD II. Berkuasanya rezim otoriter Suharto selama 32 tahun, telah mengakibatkan kerusakan luar biasa dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum, Undang-Undang dan segala Peraturan yang tidak sesuai dengan kepentingan rezim Orde Baru dirombak dan digantikan dengan yang baru, yang dijadikan alat untuk menindas lawan-lawan politiknya untuk melanggengkan kekuasaannya. Pada dasarnya, mayoritas produk hukum rezim Orba /Suharto berwatak anti Demokrasi dan melanggar prinsip-prinsip HAM.
Kerusakan berat dibidang Budaya telah mengakibatkan kemunduran luar biasa dalam proses pembentukan Bangsa, yang telah dirintis oleh para pejuang kemerdekaan nasional. Budaya feodal, yaitu sikap menjilat atasan menginjak bawahan, bertindak atas dasar pedoman ABS – Asal Bapak Senang, menjadi subur dikalangan kaum birokrat. Budaya KKN – Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dikalangan elite penguasa yang meraja lela telah mengakibatkan kerugian luar biasa bagi keuangan negara.

Karena itu, setelah jatuhnya Suharto 1988, langkah penting yang dibuat oleh MPR pada awal Era Reformasi adalah keputusan MPR untuk mengadili Suharto dalam kasus korupsi. Sayangnya, sampai ajalnya, Suharto belum sempat diajukan kepengadilan dengan dalih sakitnya, padahal Suharto sudah dikenal dunia sebagai presiden paling korup, ada perkiraan uang negara yang dikorupsi Suharto sekitar 35 Miyar $. Pada tahun-tahun 1998-1999 banyak diterbitkan buku-buku berseri tentang tumbangnya Suharto, yang antara lain berisi tuntutan untuk menyeret Suharto ke pengadilan dalam kasus pembunuhan massal. Langkah penting pada Era Reformasi, yang juga merupakan kemajuan dalam proses Demokratisasi, adalah usaha penegasan dibidang hukum tentang pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia oleh lembaga negara dan pemerintahan, seperti yang tertuang dalam Perubahan (Amandement) Kedua, tahun 2002, Bab XA, Pasal 28 A sampai Pasal 28 J.

Dibidang garis ekonomi, sayangnya, semenjak jatuhnya Suharto, yang digantikan oleh pemerintahan silih berganti, pada dasarnya belum ada perubahan yang mendasar. Garis ekonomi Indonesia dibawah rezim Suharto yang berwatak setengah kolonial, yang bersandar utama pada utang dan pengerukan kekayaan alam oleh MNC, yang pada dasarnya melanggar UUD 45 Pasal 33, masih belum berubah, bahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) yang paling baru, justru lebih buruk dari yang sebelumnya. Reformasi Agraria yang memihak petani penggarap sawah, sampai sekarang juga tidak pernah dijalankan.

Dapat disimpulkan, bahwa proses Demokratisasi sejati yang menguntungkan Rakyat masih menghadapi jalan panjang dan upaya pengungkapan demi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, merupakan bagian penting untuk mendorong proses Demokratisasi tersebut.
Rekonsiliasi nasional akan terlaksana apabila Keadilan bagi Korban bisa ditegakkan. Untuk itu diperlukan Konsolidasi seluruh kekuatan luas pro Demokrasi baik dalam skala nasional maupun internasional demi tegaknya masyarakat yang menjujung tinggi nilai-nilai HAM, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Keselamatan Lingkungan Hidup.

No comments:

Post a Comment