Upaya Mengakhiri Kesenyapan 1965
Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Koran Tempo edisi Senin, 9 Mei 2016
Sinyal positif bahwa negara hadir di tengah para korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu terjadi ketika pemerintah Jokowi-JK bekerja sama dengan komunitas korban, penyintas, dan gerakan masyarakat sipil menyelenggarakan "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan" pada 18-19 April lalu di Jakarta. Peristiwa ini menjadi langkah awal untuk mengakhiri kesenyapan dan mendengarkan banyak aspirasi untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965.
Presiden Jokowi menyadari bahwa dalam
kesenyapan tersebut ada tragedi kemanusiaan yang diabaikan, bahkan sengaja
dilupakan. Presiden ingin semua luka bangsa di masa lalu yang terkait dengan
pelanggaran HAM harus diselesaikan dan dicari jalan keluarnya. Komitmen
pemerintah ini juga ditunjukkan dengan perintah Presiden kepada Menko Polhukam
untuk membongkar makam para korban sebagai bukti keseriusan jalan mengungkap
kesenyapan.
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi
memberi budaya baru yang mengubah cara "politik kekuasaan" dengan
"politik kemanusiaan" dalam menangani para korban pelanggaran HAM
masa lalu. Cara berpikir dan budaya baru ini dibutuhkan untuk melihat dan
memulihkan luka-luka bangsa agar generasi masa depan tidak menanggung beban
sejarah yang berkelanjutan.
Di sinilah dibutuhkan komunikasi
politik dan dukungan seluruh kekuatan sosial-politik yang ada, termasuk TNI dan
Polri, pada proses rekonsiliasi bangsa itu. Ini
bertujuan agar tidak disalahtafsirkan atau dipolitisasi untuk kepentingan
politik pragmatis.
Untuk mengawali
proses penyelesaian kasus HAM di masa lalu, pemerintah berjanji menyelesaikan
tujuh kasus, seperti peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; kasus
Talangsari-Lampung 1989; penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada
1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999;
serta Wasior-Wamena 2001-2003.
Dari tujuh kasus tersebut,
penyelesaian pelanggaran HAM dalam peristiwa 1965 adalah yang paling krusial.
Kasus 1965 menjadi penting karena korbannya yang masif, luasnya pelanggaran HAM,
serta proses diskriminasi dan stigmatisasi atas para korban dan keluarga yang
masih berlangsung hingga kini.
Mekanisme penyelesaian kasus HAM di
masa lalu harus memenuhi empat prinsip, yakni pemenuhan hak atas kebenaran, hak
atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan untuk tidak terulang. Tapi
prinsip-prinsip ini juga harus dilihat secara dinamis dan realistis dalam ruang
politik yang nyata di sebuah negara.
Presiden Jokowi menyadari tidak
mungkin menjalankan mekanisme tunggal dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM
masa lalu karena sangat dipengaruhi oleh waktu, kasus, wilayah, sosial-budaya,
dan suasana psikologis para korban. Sebenarnya, Presiden Jokowi telah
meletakkan fondasi pertama bagi "Jalan Indonesia" untuk penyelesaian
kasus HAM di masa lalu dengan memulai mengadakan Simposium 1965 untuk
mendengarkan aspirasi dan mekanisme penyelesaian dari perspektif semua pihak,
terutama korban.
Dari simposium ini, pemerintah dapat
memberikan rekomendasi yang tepat tentang mekanisme apa saja yang menjadi aspirasi
para korban, baik di jalur yudisial maupun non-yudisial. Dalam konteks ini,
pemerintah tidak mau terjebak dalam dikotomi yudisial dan non-yudisial.
Pemerintah melihat keduanya bisa menjadi jalur penyelesaian atas tragedi
kemanusiaan tersebut.
Dari Simposium 1965 ini pemerintah
melihat bahwa rekonsiliasi juga ditafsirkan secara beragam. Tidak perlu
terburu-buru mengambil formulasi, perlu dialog yang komprehensif dengan semua
pemangku kepentingan, terutama perspektif korban.
Dalam Rencana Pemerintah Jangka
Menengah (2015-2019) dinyatakan perlunya dibentuk Komite Penyelesaian
Pelanggaran HAM masa lalu, yang langsung di bawah Presiden. Komite ini
diharapkan dapat mengklarifikasi berbagai laporan yang sudah dihasilkan oleh
badan resmi, korban, maupun organisasi non-pemerintah. Komite
juga harus mendengarkan testimoni dan meminta klarifikasi yang komprehensif.
Komite diharapkan dapat menguangkan hasil kerjanya dalam laporan utuh atas
temuan yang diperoleh dan membuat program pemulihan korban pelanggaran HAM.
Pada akhirnya,
kerja komite ini diharapkan bisa membuat pemerintah rendah hati dan jujur
mengakui telah terjadi pelanggaran HAM dalam tragedi kemanusiaan 1965. Ini
sekaligus untuk memenuhi harapan bahwa penyelesaian kasus ini menjadi proses
penyembuhan bagi korban dan bangsa.
Simposium 1965
dan rekomendasi yang dihasilkan adalah babak baru dalam penyelesaian tragedi
kemanusiaan 1965. Dalam simposium ini pemerintah juga telah mendengarkan
berbagai aspirasi tentang mekanisme penyelesaian yang adil untuk korban. Tentu
saja, ini baru langkah awal mengakhiri kesenyapan 50 tahun. Masih butuh banyak
dialog dan pertemuan dengan para korban untuk menggapai keadilan dan
rekonsiliasi. Masyarakat pun harus realistis bahwa penyelesaian kasus ini juga
membutuhkan kesepahaman semua pihak akan pentingnya rekonsiliasi bangsa agar
generasi besok tidak tersandera oleh utang kemanusiaan masa lalu.
No comments:
Post a Comment