NEGARA
HARUS MINTA MAAF (1)
(Tidak
menerapkan hukum sesuai Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945)
Oleh: MD
Kartaprawira*
Tahun-tahun terakhir
ini masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 sangat hangat jadi
obyek perdebatan dalam diskusi, seminar dan semacamnya, terutama setelah
presiden Joko Widodo dengan jelas memberi pernyataan akan menyelesaikan kasus
tersebut melalui jalur non-yudisial – Rekonsiliasi. Bersamaan dengan itu di
dalam masyarakat timbul berbagai pendapat mengenai persyaratan yang
perlu dipenuhi agar supaya rekonsiliasi
tercapai sukses dengan adil dan manusiawi. Salah satunya adalah persyaratan
bahwa negara harus minta maaf kepada
para korban dan keluarganya, di samping keharusan adanya pengungkapan kebenaran
dan penegakan keadilan.
Tumpah tindih telah terjadi atas penerapan kata „Permintaan
Maaf“ negara dalam hubungannya dengan peristiwa tragedi pelanggaran HAM berat
1965-66: pembunuhan besar-besaran dan tindak kekerasan lainnya setelah
peristiwa G30S. Menurut hemat kami ada dua macam permintaan maaf oleh negara
yang harus dibedakan satu sama lain dan kedua-duanya harus dilaksanakan, yaitu:
1. „Permintaan Maaf“
negara karena negara tidak menerapkan hukum
sebagaimana mestinya untuk penanganan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Dengan
demikian bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 (Negara Indonesia adalah
negara hukum).
2. „Permintaan Maaf“
negara dalam kaitannya dengan dugaan
keterlibatan negara (cq.penyelenggara negara/Jendral Suharto dkk.) dalam kasus Pelanggaran HAM berat 1965.
Seperti telah kita ketahui, sesudah terjadinya peristiwa
G30S pada tahun sekitar 1965-66 diberbagai daerah Indonesia terjadi banyak
pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain tindak melawan hukum, sehingga
mengorbankan ribuan-jutaan manusia yang tak dibuktikan kesalahannya melalui
proses hukum. Maka akibatnya timbul kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.
Indikasi pokok suatu Negara Hukum ialah diberlakukannya
tatanan hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Maka di dalam negara
timbul tatatertib, suasana aman dan tenteram. Sehingga tercermin adagium:
„Hukum adalah panglima“, „Meskipun langit
besok runtuh, hukum harus ditegakkan“, dan lain-lainnya.
Oleh karena itu tugas dan kewajiban negara adalah menjamin sebaik-baiknya agar hukum diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara jujur dan konsekwen. Tapi
kenyataannya dalam tahun-tahun terjadinya tragedi dan sesudahnya, negara tidak
hadir menerapkan hukum (terutama selama 32 tahun kekuasaan rejim Suharto) untuk
menangani tragedi luar biasa tersebut. Padahal peraturan perundang-undangan
Indonesia sudah lebih dari cukup untuk
diterapkan atas kasus tersebut.
Tetapi sampai 50 tahun kasus pembantaian, pembuangan ke
kamp-kamp tahanan, kerja-paksa, dan tindak-tindak kekerasan lainnya tak pernah
ditangani sampai di meja hijau. Sehingga dari titik pandang „formal-yuridis“ tidak bisa
dikatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Dan akhirnya terjadi kenyataan
absurd: membunuh, menganiaya, memperkosa dan lain-lain tindak kekerasan
semacamnya di kala itu dianggap dan terus dianggap sah-sah saja.
Mengapa demikian? Jawabannya jelas: sebab tugas yudicatif
negara secara sadar dan sengaja disalah-gunakan untuk kepentingan kekuasaan
rejim orba. Dengan tidak menerapkan hukum kala itu rejim bisa dengan bebas dan
leluasa bertindak untuk mendapatkan apa yang dikehendaki (= sukses kudeta dan
sukses mempertahan kekuasaan dikmilfas 32 tahun, yang kemudian dilanjutkan
kader-kadernya).
Padahal di dalam negara
hukum seharusnya ketika di sesuatu daerah terjadi tindak kriminal/pelanggaran
HAM, negara (cq. penyelenggara negara)
secara otomatis [K1] dan secepat mungkin berkewajiban turun tangan melakukan
kebijakan-kebijakan untuk mencegah, mengatasi maraknya tindak kekerasan dan
kemudian menuntaskan kasusnya sampai di sidang pengadilan. Tapi sekali lagi,
fakta-nyatanya rejim orde baru selama masa kekuasaannya 32 tahun kasus tersebut didiamkan saja. Bahkan situasi
tersebut dilanjutkan oleh penyelenggara-penyelenggara negara di era „reformasi“
, hingga kasus tersebut terbengkelai selama 50 tahun.
Dengan tidak
diberlakukannya hukum atas peristiwa tersebut di atas, adalah suatu hal yang tidak
aneh apabila Negara harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya, (tidak
tergantung siapa pun korbannya: komunis atau non-komunis, apapun agamanya,
sukunya, etnisnya, dan lain-lainnya).
Dengan demikian terbukti
Negara telah gagal mewujudkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ke dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara – suatu kesalahan konstitusional memalukan yang
harus diakui oleh negara.
Maka tidak pandang siapapun
presidennya saat ini di Indonesia, dialah (sebagai penyelenggara negara) yang
harus „atas nama negara“ menyatakan permintaan maaf kepada para korban dan
keluarganya. Sedang penolakan negara „minta maaf” hanya
menunjukkan betapa rendahnya tatanan norma dan nilai/moral yang diberlakukan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.
Karena permintaan maaf
negara tersebut di atas (terkait pengingkaran Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) adalah tidak
tergantung adanya Pengadilan ad hoc atau pun Rekonsiliasi, maka menurut hemat
kami, seyogyanya permintaan maaf negara disampaikan terpisah sebelum
dilaksanakan proses Pengadilan ad hoc atau pun proses Rekonsiliasi.
Semoga Bp. Joko
Widodo dan Bp. Agus Widjojo memahami.
Nederland 15-05-2016
*Ketua Umum Lembaga
Perjuangan Korban 1965 (LPK65),
(mdkartaprawira@gmail.com)
No comments:
Post a Comment