Monday 16 May 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (1) (Tidak menerapkan hukum sesuai Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (1)
(Tidak menerapkan hukum sesuai Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945) 

Oleh: MD Kartaprawira*
Tahun-tahun terakhir ini masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 sangat hangat jadi obyek perdebatan dalam diskusi, seminar dan semacamnya, terutama setelah presiden Joko Widodo dengan jelas memberi pernyataan akan menyelesaikan kasus tersebut melalui jalur non-yudisial – Rekonsiliasi. Bersamaan dengan itu di dalam masyarakat  timbul berbagai pendapat mengenai persyaratan yang perlu   dipenuhi agar supaya rekonsiliasi tercapai sukses dengan adil dan manusiawi. Salah satunya adalah persyaratan bahwa negara harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya, di samping keharusan adanya pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan.
Tumpah tindih telah terjadi atas penerapan kata „Permintaan Maaf“ negara dalam hubungannya dengan peristiwa tragedi pelanggaran HAM berat 1965-66: pembunuhan besar-besaran dan tindak kekerasan lainnya setelah peristiwa G30S. Menurut hemat kami ada dua macam permintaan maaf oleh negara yang harus dibedakan satu sama lain dan kedua-duanya harus dilaksanakan, yaitu:
1.  „Permintaan Maaf“ negara karena negara tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya untuk penanganan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Dengan demikian bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum).
 2. „Permintaan Maaf“ negara dalam kaitannya dengan dugaan keterlibatan negara (cq.penyelenggara negara/Jendral Suharto dkk.)  dalam kasus Pelanggaran HAM berat 1965.

Seperti telah kita ketahui, sesudah terjadinya peristiwa G30S pada tahun sekitar 1965-66 diberbagai daerah Indonesia terjadi banyak pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain tindak melawan hukum, sehingga mengorbankan ribuan-jutaan manusia yang tak dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum. Maka akibatnya timbul kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.       
Indikasi pokok suatu Negara Hukum ialah diberlakukannya tatanan hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Maka di dalam negara timbul tatatertib, suasana aman dan tenteram. Sehingga tercermin adagium: „Hukum adalah panglima“, „Meskipun langit  besok runtuh, hukum harus ditegakkan“, dan lain-lainnya.

Oleh karena itu tugas dan kewajiban negara  adalah menjamin sebaik-baiknya agar hukum diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara jujur dan konsekwen. Tapi kenyataannya dalam tahun-tahun terjadinya tragedi dan sesudahnya, negara tidak hadir menerapkan hukum (terutama selama 32 tahun kekuasaan rejim Suharto) untuk menangani tragedi luar biasa tersebut. Padahal peraturan perundang-undangan Indonesia sudah lebih dari cukup untuk  diterapkan atas kasus tersebut.

Tetapi sampai 50 tahun kasus pembantaian, pembuangan ke kamp-kamp tahanan, kerja-paksa, dan tindak-tindak kekerasan lainnya tak pernah ditangani  sampai di meja hijau. Sehingga dari titik pandang „formal-yuridis“ tidak bisa dikatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Dan akhirnya terjadi kenyataan absurd: membunuh, menganiaya, memperkosa dan lain-lain tindak kekerasan semacamnya di kala itu dianggap dan terus dianggap sah-sah saja.

Mengapa demikian?  Jawabannya jelas: sebab tugas yudicatif negara secara sadar dan sengaja disalah-gunakan untuk kepentingan kekuasaan rejim orba. Dengan tidak menerapkan hukum kala itu rejim bisa dengan bebas dan leluasa bertindak untuk mendapatkan apa yang dikehendaki (= sukses kudeta dan sukses mempertahan kekuasaan dikmilfas 32 tahun, yang kemudian dilanjutkan kader-kadernya).          

Padahal di dalam negara hukum seharusnya ketika di sesuatu daerah terjadi tindak kriminal/pelanggaran HAM,  negara (cq. penyelenggara negara) secara otomatis [K1] dan secepat mungkin berkewajiban turun tangan melakukan kebijakan-kebijakan untuk mencegah, mengatasi maraknya tindak kekerasan dan kemudian menuntaskan kasusnya sampai di sidang pengadilan. Tapi sekali lagi, fakta-nyatanya rejim orde baru selama masa kekuasaannya 32 tahun  kasus tersebut didiamkan saja. Bahkan situasi tersebut dilanjutkan oleh penyelenggara-penyelenggara negara di era „reformasi“ , hingga kasus tersebut terbengkelai selama 50 tahun.

Dengan tidak diberlakukannya hukum atas peristiwa tersebut di atas, adalah suatu hal yang tidak aneh apabila Negara harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya, (tidak tergantung siapa pun korbannya: komunis atau non-komunis, apapun agamanya, sukunya, etnisnya, dan lain-lainnya).
Dengan demikian terbukti Negara telah gagal mewujudkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara – suatu kesalahan konstitusional memalukan yang harus diakui oleh negara.
Maka tidak pandang siapapun presidennya saat ini di Indonesia, dialah (sebagai penyelenggara negara) yang harus „atas nama negara“ menyatakan permintaan maaf kepada para korban dan keluarganya.   Sedang penolakan negara „minta maaf” hanya menunjukkan betapa rendahnya tatanan norma dan nilai/moral yang diberlakukan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.

Karena permintaan maaf negara tersebut di atas (terkait pengingkaran Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) adalah tidak tergantung adanya Pengadilan ad hoc atau pun Rekonsiliasi, maka menurut hemat kami, seyogyanya permintaan maaf negara disampaikan terpisah sebelum dilaksanakan proses Pengadilan ad hoc atau pun proses Rekonsiliasi.

Semoga Bp. Joko Widodo dan Bp. Agus Widjojo memahami.

Nederland 15-05-2016

*Ketua Umum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65),
(mdkartaprawira@gmail.com) 



 [K1]

No comments:

Post a Comment