NEGARA HARUS
MINTA MAAF (2)
(Terkait keterlibatan negara
dalam Pelanggaran HAM berat 1965)
Oleh: MD Kartaprawira*
Bahwasanya pada seantero tahun 1965-66 setelah peristiwa
G30S di banyak daerah Indonesia terjadi tragedi dahsyat – pembantaian massal, penganiayaan, dan berbagai tindak
kekerasan lainnya, sudah diketahui umum. Tapi setelah 50 tahun kemudian baru timbul
kesadaran serius akan perlunya penuntasan tragedi tersebut, yaitu ketika Presiden
Joko Widodo berjanji akan menuntaskan tragedi kemanusiaan 1965 melalui
jalur non-yudisial (Rekonsiliasi). Tugas besar Jokowi untuk pembangunan
Indonesia Hebat, dibarengi dengan tugas
membangun kerukunan, damai dan sejahtera
kehidupan rakyatnya adalah cita-cita perjuangan yang luar biasa
hebatnya. Bukankah Indonesia Hebat dibangun semata-mata untuk Rakyat? Maka dari
itu masalah penuntasan tragedi kemanusiaan 1965 melalui jalur non-yudisial
(Rekonsiliasi) harus dilaksanakan secara jujur, adil dan transparan. Biarlah
rakyat tahu yang benar adalah benar dan yang zalim adalah zalim. Biarlah rakyat
tahu bahwa penyelenggara negara tidak
bisa bertindak mengatas namakan negara dengan menyalah-gunakan kekuasaan (abuse
of power).
Simposium Nasional Tragedi 1965 yang diadakan pada 18-19
April 2016 di Jakarta telah membuka pintu untuk menjajaki penyelesaian kasus tersebut, yang dihadiri
oleh berbagai pihak yang bersangkutan (Wakil institusi-institusi negara, para
korban dan organisasinya, LSM dan lain-lainnya). Mayoritas dari peserta simposium
dengan berbagai nuansa persyaratan menyetujui dilakukannya jalur Rekonsiliasi. Tapi sampai saat ini bagaimana wujud blue
print Rekonsiliasi belum jelas, misalnya: Siapa yang akan diajukan sebagai
pelaku dan siapa korban, atas dasar sistem individual atau kolegial? Apa bentuk
dan isi payung hukumnya, UU KKR(baru),
PERPU, PERPRES? Bagaimana struktur Komisi Rekonsiliasi dan siapa saja yang
duduk di dalamnya?
Kiranya pengalaman
Rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa diambil pengalamannya dengan penyesuaian
kondisi Indonesia. Skemanya demikian: Dalam prosedur rekonsiliasi dimulai dengan Pengungkapan Kebenaran (diungkap
fakta-fakta kejahatan yang telah terjadi), kemudian Permintaan maaf pelaku kepada
korban setelah kebenaran diakui pelaku, dan akhirnya Penegakan Keadilan (pemulihan hak-hak para korban, kompensasi,
restitusi, rehabilitasi dan lain-lainnya).
Perlu mendapat perhatian atas persyaratan yang tidak
boleh tidak-ada (conditio sine qua non) dalam proses Rekonsiliasi, yaitu pernyataan maaf pelaku kepada korban. Sebab hal tersebut merupakan
konsekwensi terungkapnya kebenaran (incl. pengakuan pelaku) dan tujuan
rekonsiliasi – perdamaian dan kerukunan nasional. Maka tanpa permintaan maaf
pelaku berarti belum ada Rekonsiliasi: belum ada perdamaian, permusuhan
masih terpendam dalam jiwa yang pada
suatu waktu bisa keluar lagi.
Tapi Jika pelaku tidak mau meminta maaf, akibatnya pelaku harus diajukan ke pengadilan,
artinya kasus tersebut diselesaikan lewat jalur yudisial. Maka permintaan maaf
pelaku tidak diperlukan, dan tidak
diatur dalam KUHP. Ketika hakim sebelum menjatuhkan vonis, terlebih dahulu
pelaku diberi kesempatan untuk mengucapkan kata terakhir. Di sinilah pelaku kadang-kadang
berinisiatif mengucapkan permintaan maaf kepada korban dan/atau familinya,
dengan maksud agar mendapat keringanan hukuman oleh hakim.
Menko Luhut Binsar
Panjaitan semula menyatakan bahwa
Pemerintah tidak akan minta maaf. Tapi setelah ada perintah dari presiden Jokowi
kepadanya untuk mencari kuburan massal, maka dia merubah pernyataannya bahwa
akan meminta maaf kalau kuburan massal bisa dibuktikan. Maka jalan rekonsiliasi
agak melebar. Sesungguhnya tidak hanya kuburan massal saja yang bisa menjadi
bukti bahwa Negara (cq. Penyelenggara negara di masa lalu) telah
terlibat dalam Pelanggaran HAM berat. Misalnya ribuan tapol yang diasingkan ke
pulau Buru sebagai pekerja-budak yang dirampas hak-hak asasinya, hidup
menderita dan sengsara belasan tahun adalah bukti tak terbantahkan terjadinya
pelanggaran HAM berat. Bahkan untuk pembuktiannya tidak memerlukan peralatan ekspertisi
dengan technologi tinggi. Misalnya, mereka dari berbagai rumah tahanan yang
tersebar di berbagai daerah diangkut oleh ABRI dengan kapal ke pulau Buru. Di
sana mereka dijaga, diawasi dengan ketat kehidupannya dan mendapat siksaan dari
ABRI. Kepulangannya kembali ke daerah asalnya pun dilakukan oleh ABRI. Ketika
dibebaskan transportasinya diurus ABRI. Di tempat kepulangannya kembali mereka
dipaksa mengucapkan sumpah/janji di
hadapan ABRI. Mereka setiap waktu tertentu diharuskan lapor ke instansi ABRI
(mis. KODIM). Jadi ABRI tidak bisa mengingkari kenyataan sebagai pelaku/pelaku-peserta
pelanggaran HAM berat tersebut.
Dari fakta adanya kuburan massal ditambah fakta
pembuangan para tapol ke pulau Buru sudah cukup sebagai bukti yang tak
terbantahkan. Maka sudah sepatutnya negara minta maaf (plus penyesalan) kepada para
korban, demi rekonsiliasi nasional. Pencarian
(perintah presiden Jokowi) dan pembungkaran (perintah Luhut Panjaitan) kuburan
massal adalah salah satu cara untuk mendapatkan bukti-bukti untuk mengungkap
kebenaran, yang diperlukan dalam proses Rekonsiliasi. Dari pembongkaran kuburan
tersebut dengan bantuan laboratorium forensik Kepolisian atau Kejaksaan akan diketahui
berapa orang yang dibunuh, korbannya orang komunis/PKI atau kyai/santri, kapan
terjadi pembunuhan dan lain-lainnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka proses
Rekonsiliasi, bukan yudisial (Pengadilan).
Maka sangat mengherankan mengapa Menhan letjen (purn.) Ryamizard Ryacudu menentang kebijakan
presiden Jokowi. Apa dia
tidak setuju Rekonsiliasi, tapi menginginkan jalur yudisial/Penadilan? Atau
tidak setuju penutasan kasus kejahatan kemanusiaan 1965, dibiarkan saja sampai
akhir jaman? Bahwasanya ABRI adalah benteng
pertahanan negara Indonesia dan rakyatnya, perlu mendapatkan penghargaan
setinggi-tingginya. Tetapi tanpa berjiwa ksatria akan dipertanyakan kebenaran
benteng tersebut.
Di samping
itu perlu dipahami bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo memilih jalur
non-yudisial (rekonsiliasi) adalah suatu kebijakan
kompromis. Sebab impunitas yang sudah berjalan 50 tahun hanya
dilemari-eskan saja, pelaku tidak dikenakan tanggung jawab hukum. Meskipun demikian
tetap saja hal tersebut mendapat perlawanan sengit dari pihak lain. Bagi pihak
lain inilah seharusnya diterapkan alternatif lain, yaitu jalur yudisial
(Pengadilan), seperti yang terjadi di Argentina, dimana diktator pelanggar HAM jenderal
Videla dan semua kliknya (militer dan sipil) diadili.
Setelah
adanya Simposium tanggal 18-19 April 2016 situasi di tanah air sangat memanas. Bahkan
panasnya sudah menyulut di kalangan
pemerintahan. Maka presiden Joko Widodo perlu menggunakan fungsinya sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan sistem presidensial, yang harus tegas mengambil tanggung-jawab dengan kebijakan
yang pro rakyat, yaitu melaksanakan Rekonsiliasi Nasional menuju Indonesia yang
damai, aman dan sejahtera.
Nederland, 18
April 2016.
*Ketua Umum
Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65)
(mdkartaprawira@gmail.com)
No comments:
Post a Comment