Thursday 19 May 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (2)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (2)
(Terkait keterlibatan negara dalam Pelanggaran HAM berat 1965)
Oleh: MD Kartaprawira*

Bahwasanya pada seantero tahun 1965-66 setelah peristiwa G30S di banyak daerah Indonesia terjadi tragedi dahsyat – pembantaian  massal, penganiayaan, dan berbagai tindak kekerasan lainnya, sudah diketahui umum. Tapi setelah 50 tahun kemudian baru timbul kesadaran serius akan perlunya penuntasan tragedi tersebut, yaitu ketika Presiden Joko Widodo  berjanji  akan menuntaskan tragedi kemanusiaan 1965 melalui jalur non-yudisial (Rekonsiliasi). Tugas besar Jokowi untuk pembangunan Indonesia Hebat,  dibarengi dengan tugas membangun kerukunan, damai dan sejahtera  kehidupan rakyatnya adalah cita-cita perjuangan yang luar biasa hebatnya. Bukankah Indonesia Hebat dibangun semata-mata untuk Rakyat? Maka dari itu masalah penuntasan tragedi kemanusiaan 1965 melalui jalur non-yudisial (Rekonsiliasi) harus dilaksanakan secara jujur, adil dan transparan. Biarlah rakyat tahu yang benar adalah benar dan yang zalim adalah zalim. Biarlah rakyat tahu bahwa  penyelenggara negara tidak bisa bertindak mengatas namakan negara dengan menyalah-gunakan kekuasaan (abuse of power).  

Simposium Nasional Tragedi 1965 yang diadakan pada 18-19 April 2016 di Jakarta telah membuka pintu untuk menjajaki  penyelesaian kasus tersebut, yang dihadiri oleh berbagai pihak yang bersangkutan (Wakil institusi-institusi negara, para korban dan organisasinya, LSM dan lain-lainnya). Mayoritas dari peserta simposium dengan berbagai nuansa persyaratan menyetujui dilakukannya jalur Rekonsiliasi.    Tapi sampai saat ini bagaimana wujud blue print Rekonsiliasi belum jelas, misalnya: Siapa yang akan diajukan sebagai pelaku dan siapa korban, atas dasar sistem individual atau kolegial? Apa bentuk dan isi  payung hukumnya, UU KKR(baru), PERPU, PERPRES? Bagaimana struktur Komisi Rekonsiliasi dan siapa saja yang duduk di dalamnya?
Kiranya pengalaman Rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa diambil pengalamannya dengan penyesuaian kondisi Indonesia.  Skemanya demikian:  Dalam prosedur rekonsiliasi dimulai dengan Pengungkapan Kebenaran (diungkap fakta-fakta kejahatan yang telah terjadi), kemudian Permintaan maaf pelaku kepada korban setelah kebenaran diakui pelaku, dan akhirnya Penegakan Keadilan (pemulihan hak-hak para korban, kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan lain-lainnya).

Perlu mendapat perhatian atas persyaratan yang tidak boleh tidak-ada (conditio sine qua non) dalam proses Rekonsiliasi, yaitu pernyataan maaf pelaku kepada korban. Sebab hal tersebut  merupakan konsekwensi terungkapnya kebenaran (incl. pengakuan pelaku) dan tujuan rekonsiliasi – perdamaian dan kerukunan nasional.  Maka tanpa permintaan maaf pelaku berarti belum ada Rekonsiliasi: belum ada perdamaian, permusuhan masih  terpendam dalam jiwa yang pada suatu waktu bisa keluar lagi.  
Tapi Jika pelaku tidak mau meminta maaf,  akibatnya pelaku harus diajukan ke pengadilan, artinya kasus tersebut diselesaikan lewat jalur yudisial. Maka permintaan maaf pelaku tidak diperlukan, dan  tidak diatur dalam KUHP. Ketika hakim sebelum menjatuhkan vonis, terlebih dahulu pelaku diberi kesempatan untuk mengucapkan kata terakhir. Di sinilah pelaku kadang-kadang berinisiatif mengucapkan permintaan maaf kepada korban dan/atau familinya, dengan maksud agar mendapat keringanan hukuman oleh hakim.

Menko Luhut Binsar Panjaitan semula menyatakan  bahwa Pemerintah tidak akan minta maaf. Tapi setelah ada perintah dari presiden Jokowi kepadanya untuk mencari kuburan massal, maka dia merubah pernyataannya bahwa akan meminta maaf kalau kuburan massal bisa dibuktikan. Maka jalan rekonsiliasi agak melebar. Sesungguhnya tidak hanya kuburan massal saja yang bisa menjadi bukti bahwa Negara (cq. Penyelenggara negara di masa lalu) telah terlibat dalam Pelanggaran HAM berat. Misalnya ribuan tapol yang diasingkan ke pulau Buru sebagai pekerja-budak yang dirampas hak-hak asasinya, hidup menderita dan sengsara belasan tahun adalah bukti tak terbantahkan terjadinya pelanggaran HAM berat. Bahkan untuk pembuktiannya tidak memerlukan peralatan ekspertisi dengan technologi tinggi. Misalnya, mereka dari berbagai rumah tahanan yang tersebar di berbagai daerah diangkut oleh ABRI dengan kapal ke pulau Buru. Di sana mereka dijaga, diawasi dengan ketat kehidupannya dan mendapat siksaan dari ABRI. Kepulangannya kembali ke daerah asalnya pun dilakukan oleh ABRI. Ketika dibebaskan transportasinya diurus ABRI. Di tempat kepulangannya kembali mereka dipaksa  mengucapkan sumpah/janji di hadapan ABRI. Mereka setiap waktu tertentu diharuskan lapor ke instansi ABRI (mis. KODIM). Jadi ABRI tidak bisa mengingkari kenyataan sebagai pelaku/pelaku-peserta pelanggaran HAM berat tersebut.

Dari fakta adanya kuburan massal ditambah fakta pembuangan para tapol ke pulau Buru sudah cukup sebagai bukti yang tak terbantahkan. Maka sudah sepatutnya negara minta maaf (plus penyesalan) kepada para korban, demi  rekonsiliasi nasional. Pencarian (perintah presiden Jokowi) dan pembungkaran (perintah Luhut Panjaitan) kuburan massal adalah salah satu cara untuk mendapatkan bukti-bukti untuk mengungkap kebenaran, yang diperlukan dalam proses Rekonsiliasi. Dari pembongkaran kuburan tersebut dengan bantuan laboratorium forensik Kepolisian atau Kejaksaan akan diketahui berapa orang yang dibunuh, korbannya orang komunis/PKI atau kyai/santri, kapan terjadi pembunuhan dan lain-lainnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka proses Rekonsiliasi, bukan yudisial (Pengadilan).

Maka sangat mengherankan mengapa  Menhan letjen (purn.)  Ryamizard Ryacudu menentang kebijakan presiden Jokowi. Apa dia tidak setuju Rekonsiliasi, tapi menginginkan jalur yudisial/Penadilan? Atau tidak setuju penutasan kasus kejahatan kemanusiaan 1965, dibiarkan saja sampai akhir jaman?  Bahwasanya ABRI adalah benteng pertahanan negara Indonesia dan rakyatnya, perlu mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Tetapi tanpa berjiwa ksatria akan dipertanyakan kebenaran benteng  tersebut.  

Di samping itu perlu dipahami bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo memilih jalur non-yudisial (rekonsiliasi) adalah suatu kebijakan kompromis. Sebab impunitas yang sudah berjalan 50 tahun hanya dilemari-eskan saja, pelaku tidak dikenakan tanggung jawab hukum. Meskipun demikian tetap saja hal tersebut mendapat perlawanan sengit dari pihak lain. Bagi pihak lain inilah seharusnya diterapkan alternatif lain, yaitu jalur yudisial (Pengadilan), seperti yang terjadi di Argentina, dimana diktator pelanggar HAM jenderal Videla dan semua kliknya (militer dan sipil) diadili.  

Setelah adanya Simposium tanggal 18-19 April 2016 situasi di tanah air sangat memanas. Bahkan panasnya  sudah menyulut di kalangan pemerintahan. Maka presiden Joko Widodo perlu menggunakan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sistem presidensial, yang harus tegas mengambil tanggung-jawab dengan kebijakan yang pro rakyat, yaitu melaksanakan Rekonsiliasi Nasional menuju Indonesia yang damai, aman dan sejahtera.

Nederland, 18 April 2016.
*Ketua Umum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65)
(mdkartaprawira@gmail.com)




No comments:

Post a Comment