INTERVIEW
"Membuka tragedi 1965
adalah pengorbanan"
http://www.dw.com/id/membuka-tragedi-1965-adalah-pengorbanan/a-18793520
Adi Rukun meninggalkan kehidupan normal
demi menelanjangi kebohongan seputar pembantaian 1965. Sejak terlibat dalam
film The Look of Silence, pria yang kehilangan saudara laki-lakinya itu hidup
dengan ancaman presekusi
Kepada wartawan Jerman, Anett Keller,
Adi Rukun, keluarga korban pembantaian 1965 dan tokoh utama dalam film
dokumenter, The Look of Silence, berkisah mengenai pengorbanan yang harus ia
lakukan demi membuka tabir gelap sejarah 1965.
DW: Dalam kasus pembunuhan
saudara laki-laki anda, Ramli, masih ada saksi mata dan pembunuhnya juga
diketahui. Kenapa kasusnya sulit dibawa ke pengadilan?
Adi Rukun: Bukan cuma kasus Ramli
saja yang ada saksi mata. Pembunuhan di seluruh Indonesia semua orang tahu
siapa pelakunya siapa yang menjadi korban. Tapi ini dengan sengaja disenyapkan.
Ketika ada orang yang membuka kasus ini maka mereka mendapat ancaman, teror
agar kasus ini tetap ditutup. Jadi itu sesuatu yang mustahil untuk dibuka
karena pelaku memang sampai sekarang masih berkuasa.
Pelaku sendiri juga mengakui,
misalnya Sarwo Edhie, sebagai komando pemerantas orang orang yang dianggap
komunis, dia ngomong bahwa dia membunuh 3 juta rakyat Indonesia. Jadi kurang
bukti apalagi? Komando aksi tingkat kecamatan yang mengepalai pembunuhan abang
saya juga – dan dia ikut membunuh – juga mengakui, dia menulis dalam buku yang
judulnya „Empun berdarah“ dengan detail, siapa saja yang dibunuh, jam berapa
dibunuh, diambil dari mana, dibuang ke mana, itu sudah jelas…
Adi Rukun, keluarga korban
pembantaian 1965
Tapi ini nggak bisa dijadikan bukti
untuk mengadili mereka. Nggak ada yang berani mengadili mereka. Mereka
masih berkuasa. Undang undang di Indonesia mungkin sudah diset, kalau kasus
pembunuhan sudah jalan berapa tahun, saya kira 18 tahun, sudah kadaluarsa.
Kalau misalnya aku membunuh orang dan lari selama 18 tahun sudah nggak bisa
diadili. Mungkin itu sudah diset oleh Orde Baru.
Dalam
laporan Komnas HAM yang diterbit 2012 pembunuhan massal tahun 1965/66
diklasifikasi sebagai Pelanggaran HAM berat yang tidak ada kadaluarsa. Jadi
mestinya masih bisa diadili…
Kalau
dengan pengadilan HAM bisa, dengan pengadilan umum tidak bisa. Peristiwa 65
sebetulnya bukan masa lalu. Itu sampai sekarang masih berlaku. Film kami
tujuannya untuk masa sekarang dan masa depan. Pelanggaran HAM yang terjadi di
Indonesia ada banyak, mulai Talangsari, DOM Aceh, Irian Jaya, Timor Timur.
Kenapa itu bisa terjadi? Karena para pelaku tidak pernah diadili. Dan mereka
dianggap sebagai pahlawan. Mereka merasa tidak bersalah karena negara merestui
pembunuhan yang mereka lakukan. Jadi, rentetan dari peristiwa 65 itu
mengakibatkan tradisi pembunuhan yang terus berlanjut sampai sekarang, karena
para pelaku tidak pernah diadili.
Apakah anda merasa ada perubahan
sejak Suharto turun tahun 98? Misalnya sekarang ada Komnas HAM yang meneliti
soal 65 ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban…
Perubahan ada tapi tidak banyak. Pada
waktu laporan Komnas HAM keluar 2012, itu diangap terus seperti tidak lengkap.
Kenapa? Karena itu tadi, ini semacam permainan. Karena penguasa masih yang itu
itu aja. Bagaimana keadilan mau ditegakkan kalau pelaku masih berkuasa dan
dianggap sebagai pahlawan. Dulu sudah dibentuk KKR. Cuman KKR ini pakai syarat,
sementara kita harus mutlak membuka apa yang terjadi, jangan pakai syarat.
Kalau pakai syarat kita ditekan, diarahkan. Kita minta pengadilan yang fair.
Yang salah dinyatakan salah yang benar dinyatakan benar dan pelakunya dihukum
agar hal yang serupa tidak terulang lagi di kemudian hari dan tidak akan
menimpah anak cucu kita di masa depan.
Dengan
pendekatan yang konfrontatif untuk membuka semuanya anda dikucilkan dari
masyarakat. Bagaimana perasaan anda?
Aku
anggap ini sebuah pengorbanan. Tapi ini justru menjadikan rahmat samaku karena
ini telah merubah kehidupanku dalam segala hal menadi lebih baik. Jadi mungkin ini pengorbanan yang manislah…
·
SUHARTO - JALAN DARAH MENUJU ISTANA
Prajurit
Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan
pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia
juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia
nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh
Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa
Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Di film ini ada kesan anda sendirian,
padahal di Indonesia sudah ada organisasi organisasi korban 65. Apakah anda
bergabung dengan oranisasi itu?
Aku tidak bergabung dengan organisasi
lain, waktu itu aku memang sendiri dan hanya didampingi Joshua dan juru kamera.
Jadi waktu itu aku minta sama Joshua supaya bisa bertemu dengan orang orang itu
(pelaku –red). Joshua melarang, dia bilang sangat berbahaya. Tapi aku berpikir
dengan Joshua atau tanpa Joshua aku tetap mendatangi mereka. Jadi sebetulnya
mengenai menjumpai tersangka pembunuh dengan aku Joshua lebih ingin
menyelamatkan aku. Dia mengatur dengan beberapa strategi, dia bilang ada
kawannya yang mau tahu cerita tentang 65 sekalian periksa kaca mata supaya
mereka tidak curiga.
Tapi di setiap kesempatan aku kasih
tahu bahwa saya sebenarnya seorang adik dari orang yang mereka bunuh. Aku ingin
tahu reaksi mereka dan harapan utamaku adalah mereka minta maaf dan mengakui
kesalahannya. Tapi semua pelaku yang aku jumpai tidak ada yang mau minta maaf dan
tidak ada yang merasa bersalah. Aku dapat maaf hanya dari anak seorang pembunuh
yang minta maaf atas pelakuan ayahnya.
Tapi waktu itu saya ngomong: `Itu
kesalahan bapak, tidak bisa dilimpahi ke anaknya.´ Tapi aku senang dengan
pernyataan maafnya. Karena itu yang kami sebagai keluarga korban 65 paling
harapkan bahwa para pelaku menyesal dan meminta maaf. Kami tidak mau balas
dendam, tidak mau membuat hal hal yang buruk terhadap mereka. Sendainya kami
berbuat hal hal yang buruk buat mereka, kami sama saja dengan mereka.
Pada waktu merekam itu semua, apakah
tidak ada reaksi langsung dari pelaku? Misalnya ada satu adegan dengan ketua
komando aksi yang mengancam anda pada waktu kamera masih merekam. Bagaimana
reaksinya para pelaku pada waktu kamera sudah mati?
Pada waktu itu ketika kamera sudah
mati aku langsung keluar. Kami sudah berbuat beberapa strategi, pertama kalau
bertemu pelaku hp nggak dibawa, dompet nggak bawa. Kami ke situ tanpa
identitas. Terus kami bawa kendaraan lebih dari satu, jadi kalau misalnya
datang naik kendaraan A, pulang naik kendaraan B dengan jalan yang berbeda. Terus ada beberapa antisipasi
dan persiapan jika terjadi apa apa.
Pernah
terjadi keributan pada waktu ketemu dengan keluarga Amir Hassan (ketua komando
aksi di tingkat kecamatan), anaknya sempat marah marah dan menelpon polisi.
Waktu itu kami langsung kabur, aku waktu itu anak saya titip di rumah neneknya
yang tidak jauh dari situ. Jadi kami jemput anak dengan mobil lain dan kami
jalan dengan mobil lain. Memang harus ada antisipasi kalau
kita jumpai kepala preman dan pembunuh.
Joshua Oppenheimer, sutradara The
Look of Silence
Kepada harian Swiss, NZZ, Goenawan
Mohamad, pendiri majalah Tempo mengatakan tidak ada yang menghalangi siapapun
yang ingin membuka sejarah 1965. Bagaimana tanggapan anda?
Tempo itu majalah terbesar di
Indonesia dan mereka memang menulis tentang film Jagal dan film Senyap dan
mereka wawancarai para pelaku. Tapi itu tidak lantas membuat situasi Indonesia
seperti yang dia omongkan. Buktinya film Senyap masih dilarang diputar. Lembaga
Sensor Film melarang Senyap diputar di tempat umum. Dan korban yang berkumpul
masih ada yang dipukuli. Ada sekitar dua tahun yang lalu kantor harian Radar
diserang dan redakturnya dipukuli. Kenapa orang yang usianya di atas 70 tahun
itu dipukuli, kenapa itu?
Memang
ada yang benar, yang GM omongkan, tapi kenyataan tidak persis seperti itu.
Kalau film film mau diputar di kampus kampus dilarang, ada aparat datang bilang
“Ini dilarang, kan. Nanti datang FPI atau organisasi serupa”, itu kan
intimidasi. Kalau memang soal 65 sudah terbuka lebar, nggak ada itu. Kenapa kru
film itu pakai anonim. Karena situasi belum aman padahal memang sudah ada
berita berita termasuk dari majalah Tempo sendiri.
Kejadian
65 tidak bisa dilihat lepas dari konteks politik internasional, perang dingin
dan kepentingan negara masing2…
Masalah
itu sudah 50 tahun. Sekarang sudah bukan zaman adu otot, bukan zaman barbar,
ya. Sekarang HAM harus ditegakkan, artinya siapa siapa yang terlibat dibukalah.
Dokumen yang menyangkut masalah 65, misalnya keterlibatan Amerika, Inggris, itu
buka. Kalau pelakunya salah, ya diadili.
Kita tidak mau balas dendam, tidak mau ribut.
Aku berharap pada media supaya mau memberitakan
secara proporsional. Dan mudah mudahan Negara negara lain misalnya Jerman mau
mendorong pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan kasus ini. Kalau mau
jadi bangsa yang bagus, sebaiknya kita buka semua. Aku pikir Indonesia lebih
terhormat ketika pemerintah kita mau membuka kasus ini tidak menutupi. Kenapa
Sarwo Edhie yang sudah jelas mengaku membunuh 3 juta orang masih mau diangkat
pahlawan? Gimana itu?
LAPORAN PILIHAN
·
Tanggal 20.10.2015
·
Penulis Anett Keller
·
Permalink http://dw.com/p/1Gr3I
KONTEN TERKAIT
·
Tanggal 20.10.2015
·
Penulis Anett Keller
·
Permalink http://dw.com/p/1Gr3I
DUNIA
IPTEK
SOSIAL
·
RUBRIK
·
Live TV
No comments:
Post a Comment