Thursday 23 July 2015

Sekitar Masalah Penuntasan Kasus HAM Berat 1965/66*

Sekitar Masalah Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965/66*
Oleh MD Kartaprawira

Salah satu masalah aktual di Indonesia dewasa ini adalah penuntasan  kasus pelanggaran HAM berat 1965/66, yang sudah terbengkalai selama 50 tahun bersama penderitaan jutaan korban dan keluarganya. Presiden Jokowi adalah satu-satunya presiden yang tampak serius dengan janjinya akan menangani masalah tersebut dibanding dengan presiden-presiden pendahulunya. Hanya dia dewasa ini yang bisa dijagokan  untuk menuntaskan kasus 1965/66 sesuai situasi dan kondisi obyektif negara.

Tidak boleh tidak tindakan Jokowi tersebut merupakan hal positif  yang harus didukung, supaya terwujud nyata apa yang telah dijanjikan mengenai masalah kasus  pelanggaran HAM 1965/66. Bukannya malah dinegatifkan dengan segala cara yang tak terpuji. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa golongan dan kelompok anti Jokowi akan terus menerus mencari-cari celah apa saja, yang bisa dijadikan bahan untuk menjelek-jelekkan kebijakannya dengan tujuan untuk menjatuhkan kekuasaannya.

Bahwasanya pembantaian massal, penahanan, penganiayaan dan lain-lain tindak kekerasan terhadap jutaan orang tanpa rposes hukum adalah suatu tindakan pelanggaraan HAM/kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi di negara hukum Indonesia yang punya filsafah agung Pancasila, meski kejahatan tersebut berlalu 50 tahun toh  Pemerintah Indonesia belum pernah menyatakan pengakuan bahwa terjadi tragedi nasional: pelanggran HAM berat 1965/Kejahatan kemanusiaan. Apalagi melakukan proses pengadilan seperti di Argentina terhadap diktator Videla dan para jendral-jenderalnya.  

Maka tepat ucapan salut ditujukan kepada Jokowi, yang telah berjajni untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM 1965/66 dan pelanngaran-pelanggaran HAM masa lalu lainnya.
Berhubung dengan hal itu, „Pernyataan Maaf“ Penguasa /Presiden kepada para korban ( tidak pandang mereka komunis, nasionalis, Islam, kristen dll,) atas terjadinya tragedy nasional 1965/Kejahatan Kemanusiaan 1965-66 dan kelalaian menangani impunitas yang berkepanjangan, haruslah dilakukan presiden Jokowi sebelum dilaksanakannya  proses penuntasan kasus pelanggaran HAM tersebut. Sedang penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat 1965/66 bisa dilaksanakan baik melalui jalur yudisial maupun non-yudisial.

Sesudah lengsernya Suharto dari kekuasaan, telah dicoba oleh penyelenggara negara untuk memulai usaha-usaha penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66 dengan melalui 2 jalur, yaitu jalur yudisial dan jalur non-yudisial – JALUR DUALISME. Meskipun keseriusan dan kejujuran usaha-usaha tersebut masih perlu sekali dipertanyakan (lih. Masalah Impunitas ... http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2015/07/masalah-impunitas-dan-kasus-pelanggaran.html).

Jalur Yudisial - Komnas HAM
Komnas HAM yang didirikan pada tahun 2004 baru pada tahun 2006 dalam strukturnya dibentuk tim khusus yang menangani kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. Komnas HAM oleh UU hanya diberi wewenang terbatas, yaitu hanya melakukan penyelidikan saja. Sesudah itu habis tugasnya dalam proses yudisial tersebut. Sedang wewenang tahap berikutnya, yaitu penyidikan berada di tangan Kejaksaan Agung. Berarti hasil penyelidikan Komnas HAM bisa dilanjutkan atau tidak, tergantung Jaksa Agung. Maka dari situlah akan tampak seberapa kegunaan nyata Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM 1965/66. Dan dari situlah akan tampak latar belakang dibentuknya Komnas HAM: untuk kepentingan siapa.

Ketika Komnas HAM telah berhasil menyelesaikan tugasnya dalam penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat 1965 pada waktunya dan hasil penyelidikan tersebut bersama rekomendasinya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung agar ditindak lanjuti ke tahap penyidikan, ternyata dikembalikan lagi ke Komnas HAM dengan alasan-alasan tertentu.  Bagaimana pun hal tersebut harus diakui sebagai bukti bahwa proses yudisial untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66 telah dimulai. Dan Stampak jelas siapa beruntung dan siapa buntung kepentingannya. Suatu hal kebetulan atau kenescayaan yang direkayasa?
Pertanyaan tersebut akan berlanjut dan terjawab dalam pencermatan keberadaan Pasal 28/i Ayat 1 UUD 1945, sebagai senjata-pamungkas: "bom waktu" yang akan menghanguskan semua kasus penuntasan pelanggaran HAM masa lalu beserta perundang-undangan terkait.(Selanjutnya dalam artikel khusus).

Jalur Non-Yudisial - Rekonsiliasi
Begitu juga telah dimulai usaha proses melalui jalur non-yudisial, yaitu dengan telah dibentuknya UU KKR (2004), meskipun proses tersebut macet juga, sebab UU KKR tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 (lih. Masalah Impunitas .... http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2015/07/masalah-impunitas-dan-kasus-pelanggaran.html).
Dalam masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66 bisakah kebenaran dan keadilan ditegakkan melalui jalur non-yudisial (rekonsiliasi)? Di banyak tulisan  ada pendapat  bahwa kebenaran dan keadilan seakan-akan  bisa ditegakkan hanya melalui jalur yudisial. Artinya para pelaku harus lebih dahulu diadili oleh hakim dan mendapatkan hukuman setimpal.

Pendapat tersebut bisa disangsikan, artinya kebenaran dan keadilan bisa juga ditegakkan melalui rekonsiliasi  (jalur non-yudisial), hanya jika dilakukan berdasarkan kejujuran dan kesadaran demi masa depan kehidupan bermasyarakat dan bernegara  yang rukun dan damai.
Untuk itu seyogyanya mekanisme quasi-yudisial diterapkan sebijak mungkin ketika Komisi memeriksa pelaku. Komisi rekonsiliasi tidak cukup hanya menerima pernyataan pengakuan kejahatan  yang telah dilakukannya. Tetapi  harus bisa mengungkap dari pelaku kebenaran yang sesungguhnya.

Setelah pelaku mengakui serta menyadari kesalahannya dan  meminta maaf, kemudian korban dengan ikhlas memafkannya. Selanjutnya barulah  masalah keadilan harus direalisir dengan pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi (bagi yang berhak), dan kebijakan-kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penghapusan segala macam  diskriminasi terhadap korban.

Jadi Rekonsiliasi tidak hanya semata-mata bersalam-salaman dan bermaaf-maafan belaka. Saya kira ada baiknya kalau pengalaman Rekonsiliasi di Afrika Selatan dipelajari. Kalau perlu didengar pengalaman Yusril Ihza Mahendra, yang pada tahun 2000 merupakan salah satu anggota tim khusus untuk mempelajari praktek Rekonsiliasi di Afrika Selatan. Begitu juga pengalaman rekonsiliasi akar rumput yang dipelopori dengan kesadaran tinggi oleh „Syarekat“ - organisasi pemuda kalangan NU, yang telah berhasil mempraktekkannya di banyak pedesaan dengan cara-caranya yang khas.

Ketika faktor kejujuran dan kesadaran bertemu dengan faktor keikhlasan dari pihak-pihak, maka kebenaran dan keadilan niscaya akan timbul. Tapi konsekwensi diterapkannya jalur rekonsiliasi akan berakibat hilangnya sanksi hukum terhadap para pelaku. Di sinilah masalah keikhlasan merupakan kuncinya.

Pemerintah Jokowi-JK tampak akan mengakhiri dualisme jalur penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66 dengan peneterapan jalur Rekonsiliasi saja. Hal tersebut dapat disimak dari hasil  pertemuan Menko Polhukam Tedjo Edhy, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung HM Prasetyo, Menkumham Didik Prasetyo, Dirjen HAM Mualimn Abdi dan jajaran Komnas HAM yang menyatakan akan menetapkan jalur non-yudisial (melalui Komisi Rekonsiliasi). Sebab menurut mereka waktunya sudah terlalu lama, bukti-bukti dan pelakunya banyak yang mati.

Seperti telah disinggung di atas UU Rekonsiliasi yang baru (setelah  9 tahun pembatalan UU KKR 2004 oleh Mahkamah Konstitusi), sampai sekarang belum berhasil dibuat. Kapan UU Rekonsiliasi yang baru akan timbul, belum bisa diketahui.

Di samping itu, sangat memprihatinkan bahwa pihak-pihak yang tidak menginginkan dilakukannya penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66 (antara lain mereka yang menggunakan bendera anti-PKI/komunis) terus saja  berusaha menggagalkan kebijakan Jokowi untuk melakukan Rekonsiliasi (non-yudisial), apalagi jalur Pengadilan HAM (jalur yudisial).

Suatu pertanyaan penting kepada Jokowi/Timnya: Rekonsiliasi Individual atau Rekonsiliasi Kolektif/Umum yang akan dilaksanakan?

Nederland, 01 Juli 2005
*) Pokok-pokok isinya telah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam pertemuan Forum Diskusi  di Zeist, (Negeri Belanda), 27 Juni 2015.

1 comment:

  1. Pribadi Indonesia itu adalah membunuh dan dibunuh. Sampai disitu orang tidak boleh menggugat atau membela diri. Indonesia adalah negara hukum yang enggan mengetrapkan hukum itu. Ini kesimpulan selama 50 tahun pembantaian 1965.

    ReplyDelete