Saturday 25 July 2015

“BOM Waktu” Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945

“BOM Waktu” Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945
Oleh MD Kartaprawira

Setelah UUD 1945 mengalami amandemen, maka tercantumlah relatif banyak/lengkap pasal-pasal yang berisi norma-norma HAM. Bahkan terdapat pasal yang dapat menghanguskan segala usaha penuntasan pelanggaran HAM berat 1965-66  melalui jalur yudisial (Pengadilan HAM ad hoc).

Pasal tersebut ialah Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945 yang  berbunyi “….hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”  Dengan demikian berdasarkan pasal tersebut di atas pelaksanaan UU Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang terjadi sekitar 50 tahun yang lalu – adalah pelanggaran HAM. Sebab bertentangan Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945. Akibatnya semua keputusan Pengadilan HAM ad hoc batal secara hukum. Sungguh suatu "bom waktu" yang anti HAM.

Dan pasal 28/i ayat 1 tersebut juga berlaku untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya: Kudatuli, Lampung, Semanggi, Kerusuhan 1998. Sedang untuk kasus-kasus pelanggaran HAM sesudah tanggal diterbitkannya UU Pengadilan HAM, tidak ada masalah.

Berhubung dengan hal itu, maka secara logika satu-satunya jalur yang bisa dilalui dengan aman untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 adalah Jalur Rekonsiliasi.

Penulis punya catatan, bahwa masalah pasal 28/i ayat 1 UUD 1945 tersebut sudah pernah dicetuskan di media massa mau pun dalam pertemuan-pertemuan resmi atau pun non-resmi sejak tahun 2000. Tapi sampai saat ini, sudah 15 tahun berlalu, hal tersebut tidak mendapat perhatian dari para ahli hukum, pemerhati HAM dan peneliti HAM dan lain-lainnya. Meskipu pun pada permulaannya ada beberapa dari mereka yang sepintas lalu melihat kendala pasal tersebut terhadap usaha-usaha penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Keadaan tersebut dapat dimaklumi, sebab kebanyakan para peneliti/penulis tentang masalah Pelanggaran HAM masa lalu adalah para ahli sejarah, yang bisa terhindar wawasannya dari masalah hukum, khususnya hukum pidana/acara pidana. Pembisuan para ahli hukum terhadap pasal tersebut di atas menimbulkan tanda tanya besar.

Pasal 28/i ayat 1“yang merupakan “Bom Waktu” tersebut tentu akan diledakkan dan menghanguskan keputusan-keputusan hakim kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28/i ayat 1. Dan bom waktu tersebut selalu berada dalam kantong  para advokat para pelaku yang menunggu saat terbaik untuk diledakkan.

Bahkan sesungguhnya seseorang bisa mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan yudisial review  UU Pengadilan HAM Tahun 2000 atas UUD 1945. Tapi bagi para pelaku ada yudisial review atau pun tidak, pasal 28/i ayat 1 tetap menguntungkan baginya. Mungkin tindakan yudisial review tersebut dianggap bukan pilihan terbaik bagi para pelaku. Maka mereka mengambil alternatif lain yang lebih baik: membiarkannya sehingga para pelaku maupun para korban mati semua (sebagian besar).

Dengan berhasil dimasukkannya Pasal 28/i ayat 1 di dalam UUD 1945 ketika proses amandemen di MPR, adalah merupakan kesuksesan besar bagi para pelaku kejahatan kemanusian dalam usaha untuk lepas dari tanggung jawab hukum. Dan dengan demikian berteriaklah mereka “Hidup Impunitas”!!! Sebaliknya, para korban untuk kesekian kalinya “kecurian” lagi dalam memperjuangkan hak-hak asasinya demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Tentunya gerombolan-penjahat tersebut sudah bisa ditebak siapa mereka dan siapa godfathernya yang berhasil mereka-yasa "Bom Waktu" demi pelestarian impunitasnya.

Maka dari itu, seyogyanya diusulkan agar BPK dan KPK mengusut atau mengaudit instansi-instansi terkait  pelaksanaan amandemen UUD 1945 kala itu. Dapat dibayangkan banyaknya amplop-amplop pelicin berseliweran di MPR kala itu. Dosa mereka tidak hanya karena uang rakyat digunakan untuk membuat pasal Bom Waktu yang menghanguskan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, tapi juga melestarikan impuitas berkaitan kasus tersebut.

Seharusnya diadakan amandemen terhadap Pasal 28/i Ayat 1 sedemikian rupa sehingga kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan. Tetapi untuk situasi Indonesia saat ini tidak tepat dan sangat berbahaya apabila mengadakan Amandemen UUD 1945.

Nederland, 07 Juli 2015

Catatan:
*)  Pokok-pokok isinya telah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam pertemuan Forum Diskusi  di Zeist (Negeri Belanda), 27 Juni 2015.
**) Bahkan ketika rombongan MPR datang ke Negeri Belanda, pada tanggal 29 Desember 2000 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tujuan sosialisasi putusan MPR tentang Amandemen UUD 1945. Kepada ketua delegasi yang memberi ceramah,  penulis spesial menanyakan tentang masalah Pasal 28/i Ayat 1 tersebut kepadanya untuk mendapat pencerahan. Tapi jawabannya tidak memuaskan sama sekali, sambil memberi info bahwa anggota delegasi yang berwewenang menjawab kebetulan tidak hadir dalam pertemuan. Bahkan ketika ditunggu di hotel dimana dia menginap pun gagal ketemu, gagal mendapatkan jawabannya.
Mengenai pasal tersebut juga pernah timbul dalam diskusi di pertemuan-pertemuan di Negeri Belanda: Perhimpunan Persaudaraan (di mana hadir Aswi Warman Adam), Indonesia Legal Reform Working Group, Lembaga Pembela Korban 1965 dan terakhir di Diskusi Forum (Zeist), 27 Juni 2015.

No comments:

Post a Comment