Saturday 25 July 2015

TERBELENGGU SEBELUM LAHIR

Tuesday, November 15, 2005
TERBELENGGU SEBELUM LAHIR**) -
(Lampiran 1 untuk artikel "BOM Waktu Pasal 28/i Ayat 1 UUD 1945)

Oleh: MD Kartaprawira Ph.D.*)

http://www.gamma.co.id/artikel/hukum/GM10012-410.shtml,
apakabar@saltmine.radix.net Date: Sun Dec 17 2000 - 11:38:56 EST

Telah terjadi perbenturan yuridis Undang-Undang Pengadilan HAM dengan UUD 1945. Diyakini, ada pihak "bermain". Lantas, apa solusinya?

PADA 6 November lalu, rancangan undang-undang (RUU) pengadilan hak asasi manusia (PHAM) disahkan DPR sebagai undang-undang. Tentu, ini sangat menggembirakan. Bagaimana tidak, UU HAM secara substansial mengandung kaidah bahwa kejahatan kemanusiaan tidak akan bisa luput dari pertanggungjawaban hukum. Jadi, lewat UU PHAM, diharapkan akan dapat dicegah praktik impunity seperti dalam kasus-kasus pembunuhan pada 1965/1966, kasus Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Banyuwangi, dan penahanan massal tanpa proses hukum di masa kekuasaan Orde Baru.

Tapi, kegembiraan ini tampaknya hanya keceriaan dari satu sisi mata uang. Di sisi lainnya jadi sebuah kemurungan. Pasalnya, pelaksanaan UU PHAM ini akan terbentur Pasal 28/I Ayat (1) UUD 1945 yang secara hitam-putih berlaku asas hukum nonretroaktif. Artinya, peraturan hukum tidak boleh berlaku surut atas tindak kejahatan sebelum peraturan hukum itu timbul. Bahkan, pemberlakuan prinsip nonretroaktif oleh Pasal 28/I Ayat (I) UUD 1945 diangkat sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable).

Perbenturan (kolisi) antara UU PHAM dan UUD 1945 secara yuridis mengakibatkan tidak berjalannya UU PHAM (dalam hal ini asas retroaktif yang tercantum dalam UU itu batal secara hukum). Karena, berdasarkan hierarki hukum di Indonesia, setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi tingkatannya (Tap. MPR No. III/2000).
Jadi, UU PHAM tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, pengadilan ad hoc HAM secara yuridis tidak bisa melaksanakan fungsinya untuk mengadili kejahatan kemanusiaan yang terjadi sebelum timbulnya UU PHAM ini.

Menjadi pertanyaan besar, mengapa MPR sampai bisa meloloskan Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 28/I Ayat (1) yang menyatakan berlakunya asas nonretroaktif sebagai hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sesungguhnya, berlakunya asas nonretroaktif dalam KUHP (Pasal 1 KUHP) dan asas retroaktif dalam UU PHAM (Pasal 37 UU PHAM) merupakan sepasang kaidah hukum yang diharapkan bisa menegakkan keadilan. Tapi, pencantuman asas nonretroaktif dalam UUD 45 (amandemen) justru menjadikan kendala pelaksanaan UU PHAM. Jawaban terhadap pertanyaan di atas setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, mismanagement atau kelalaian MPR (Tim Amandemen UUD 1945) dalam melakukan fungsinya, sehingga mengakibatkan kerjanya tidak sinkron dengan DPR. Kedua, rekayasa kekuatan antireformasi di MPR yang tidak berkenan akan berlakunya Pasal 37 UU PHAM, yang mencantumkan asas retroaktif.

Jawaban pertama agaknya kurang masuk akal. Tidak sedikit anggota MPR yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman dalam "kubang" politik dan organisasi kemasyarakatan. Nah, jawaban kedua yang agaknya mendekati kebenaran, mengingat realitas bahwa piramida kekuatan Orde Baru sampai dewasa ini masih utuh di mana-mana (eksekutif/birokrasi, legislatif, yudikatif, dan lembaga-Lembaga kemasyarakatan).

Perubahan yang ada hanya puncaknya saja yang terpangkas, sedangkan pada bangunan bawahnya, yang berubah hanya vokalnya yang tampak "reformatif", sementara jiwanya tetap mempertahankan Orba-isme. Logislah kalau mereka --demi penyelamatan kelompoknya yang diduga kuat tersangkut tindak kejahatan kemanusiaan-- tidak menginginkan berlakunya prinsip hukum berlaku surut (retroaktif) yang tercantum dalam UU PHAM.

Konstatasi ini diperkuat dengan keganjilan kinerja MPR dan DPR, yang produk legislatifnya mengenai penegakan hak asasi manusia justru berseberangan satu sama lain. Padahal, anggota DPR otomatis menjadi anggota MPR. Lagi pula, RUU PHAM dan Amandemen Kedua UUD 1945 dikerjakan dalam kurun waktu relatif bersamaan.

Apakah Tim Perancang Amandemen Kedua UUD 1945 tidak menyadari bahwa Pasal 28/I (1) dengan asas nonretroaktifnya jelas-jelas menutup jalan berlakunya Pasal 37 RUU/UU Pengadilan HAM? Maka jangan disalahkan kalau rakyat bawah menuduh adanya kongkalikong kekuatan antireformasi di MPR dan DPR untuk memacetkan proses kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi sebelum UU PHAM timbul.

Kalau ketentuan yang tercantum dalam Pasal 28/I Ayat (1) UUD 45 sebagai peraturan hukum tingkat tertinggi harus dipatuhi, konsekuensinya akan timbul tragedi keadilan. Undang-undang, yang secara substansial diharapkan bisa menangkal impunity, menjadi telantar karena adanya Amandemen Kedua UUD 45 Pasal 28/I Ayat (1). Jadi, penegakan supremasi hukum, dalam hubungannya dengan pengadilan kejahatan kemanusiaan, malah menghasilkan situasi kontradiksional yang melindungi berlangsungnya impunity.

Solusi agar kolisi antara pasal 28/I Ayat 1 UUD 1945 dan UU PHAM bisa dihindari, harus segera diadakan amandemen ulang terhadap Pasal 28/I Ayat (1) UUD 1945 dalam kaitannya dengan asas nonretroaktif dengan menambahkan kalimat: "kecuali mengenai kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang berat". Nah, tanpa adanya amandemen ulang terhadap pasal itu, realisasi UU PHAM akan menghadapi jalan buntu. Setidaknya, di pengadilan ad hoc yang akan digelar kelak dan akan dijadikan pegangan oleh advokat-advokat terdakwa untuk memenangkan klien-kliennya. Sangat dikhawatirkan, keputusan hakim akan membenarkan pembelaan advokat terdakwa atas dalih menegakkan supremasi hukum.

Sangatlah mengherankan jika Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra, berpengharapan akan selesainya debat mengenai asas retroaktif dengan disetujuinya RUU PHAM ini. Bukankah justru sebaliknya, pintu perdebatan mulai dibuka? Kalau yang dimaksud perdebatan hanya dalam lingkup UU PHAM saja, bisa diharapkan debat tersebut selesai.

Tapi sangat disangsikan harapan ini kalau dikaitkan dengan Pasal 28/I (1) UUD 1945. Bahkan, perdebatan itu tidak hanya menyangkut masalah retroaktif dan nonretroaktif an sich, tapi bisa menyangkut tentang batal-tidaknya UU PHAM ini. Sebab, UU PHAM harus tidak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28/I Ayat 1. Saya kira setiap ahli hukum mafhum akan hal itu.

Ada pendapat dari kalangan legislatif, agar kejahatan kemanusiaan masa lampau bisa diproses sesuai UU PHAM, asas nonretroaktif yang tercantum dalam pasal 28/I Ayat (1) bisa diterobos dengan menggunakan Pasal 28/J (2) UUD 1945. Tapi, pendapat ini tidak dapat dibenarkan dan tampak mengada-ada. Dari teksnya, jelas tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa Pasal 28/J UUD 1945 dapat dijadikan dasar hukum berlakunya asas retroaktif sesuai Pasal 37 UU PHAM.

Pasal 28/J UUD 45 hanya menentukan pembatasan terhadap seseorang tentang pelaksanaan HAM, yakni agar dalam melaksanakan hak asasinya, ia tidak merugikan hak orang lain. Sedangkan, Pasal 28/I (1) merupakan pembatasan terhadap aparat penegak hukum, yakni untuk tidak melakukan penuntutan kepada seseorang berdasarkan peraturan hukum berlaku surut. Jadi, jelas Pasal 28/J UUD 45 tidak dapat dijadikan cantolan.

Di samping itu, substansi Pasal 28/I (1) dan 28/J (2) UUD 1945 bertentangan satu sama lain. Sebab, Pasal 28/I (1) UUD 1945 bersifat imperatif-absolut yang menjamin HAM tertentu "tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun". Sedangkan, Pasal 28/J (2) mengandung ketentuan tentang pembatasan pelaksanaan HAM. Dalam melaksanakan HAM-nya, mereka harus menghormati HAM orang lain dan ketentuan-ketentuan UU yang mengandung batasan-batasan atau larangan-larangan tertentu. Kerancuan ini perlu adanya peninjauan kembali oleh MPR.

Sangat dikhawatirkan, pemberlakuan UU PHAM --tanpa amandemen ulang Pasal 28/I Ayat (1) lebih dulu-- akan mengakibatkan timbulnya preseden yang menguntungkan para pelaku kejahatan kemanusiaan. Hakim pada umumnya hanya berpedoman pada apa yang tertulis "hitam di atas putih" saja. Sedangkan, kalau terjadi keragu-raguan dalam melihat sesuatu perkara, keputusan hakim harus menguntungkan si terdakwa.

Yang jelas, jika pasal 28/I (1) tidak diamandemen ulang, masalah asas hukum retroaktif tetap mengundang timbulnya interpretasi yang berlainan. Bagaimanapun juga, hal itu akan mengganggu jalannya proses reformasi untuk menegakkan keadilan di Indonesia.

Walhasil, ada alasan cukup untuk tidak optimistis terhadap pelaksanaan UU PHAM yang sesungguhnya secara substansial positif sekali. UU tersebut sudah terbelenggu oleh Pasal 28/I Ayat 1 UUD 1945 sebelum lahir. Inilah ironi proses reformasi hukum di Indonesia yang menuntut adanya supremasi hukum.
-----------
*) M.D. Kartaprawira, Ph.D., Anggota Indonesian Legal Reform Working Group, Belanda.
posted by Arsip Indonesia Online @ 7:01 PM
http://patriaindonesiabakti.blogspot.nl/2005/11/terbelenggu-sebelum-lahir-oleh-md.html
**) Artikel "Terbelenggu Sebelum Lahir" diterbitkan pertama kalinya oleh majallah GAMMA edisi online pada tahun 2000 dan milis Apakabar yg. dimoderatori John McDougall, USA. Kemudian artikel tersebut diterbitkan ulang oleh Patriot Indonesia Bakti (website) pada tahun 2005. Dan untuk terakhir kalinya diterbitkan ulang oleh weblog Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65) sebagai tambahan/lampiran artikel "BOM Waktu Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945" pada 23 Juli 20015. 

No comments:

Post a Comment