Monday 30 January 2012



Jakarta - Korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bersama KontraS, menilai, kewibawaan politik Komnas HAM kian menurun, sebagaimana disampaikannya dalam sebuah surat terbuka.
Surat terbuka itu ditujukan kepada panitia seleksi calon anggota Komnas HAM 2012-2017, yang dibacakan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM secara bergantian di Kantor KontraS, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/1).
Korban dan kekuarga korban yang membacakan surat tersebut, di antaranya; Sri korban tragedi 65, Muzain (65), Lestari (65), Bejo Untung (65), Eyang Mei (65), Tahrin (65), Sumarsih (tragedi Semanggi), Sanu (tragedi Mei 1998), Ko Seng Seng (pencemaran nama baik), Beni Biki (tragedi Tanjungpriok), Ruminah (tragedi Mei 1998), dan Saeful Hadi (tragedi Tanjungpriok).
"Menurunnya kewibawaan Komnas HAM terjadi lantaran tidak ada terobosan signifikan untuk kebuntuan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu," ucap Sumarsih. Ia mengatakan, pada periode 2007-2012, tidak ada satu pun peristiwa pelanggaran berta HAM yang diselesaikan Komnas HAM.
Selain itu, penurunan terjadi lantaran Komnas HAM tidak mempunyai strategi penyelesaian konflik agraria. "Minim strategi untuk penyelesaian konflik-konflik agraria dan perlindungan kelompok minoritas," jelas Sri.
Terkait akan digelarnya seleksi anggota Komnas HAM periode 2012-2017, korban dan KontraS berharap, calon anggota Komnas HAM adalah orang-orang pilihan yang mempunyai integritas moral dan komitmen tinggi menegakan HAM.
"Kami berharap, Pansel mengutamakan calon yang memahami prinsip-prinsip dasar dan standar universal HAM dan berani menegakan HAM," ujar Ruminah.
Dijelaskanya, secara khusus, calon harus mempunyai visi atas berbagai kasus HAM yang belum terselesaikan dan pencegahan terjadinya pelanggaran HAM.
"Kami menghimbau, Pansel melakukan upaya proaktif mengajak pihak-pihak yang berkompeten," pungkasnya. [IS]

Friday 27 January 2012



Rasa kekecewaan tersebut disampaikan beberapa orang keluarga korban peristiwa Semanggi I dan II, Trisakti, Mei 1998, penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998, Talang Sari, Wasior- Wamena, dan Talang Sari di Kantor Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta, Kamis (26/1).

"Periode Komnas HAM tinggal beberapa hari lagi, saya menarik kesimpulan, walaupun sekarang yang duduk dari LSM, seperti Ifdal Kasim, tapi tidak bisa berbuat banyak selesaikan kasus pelanggaran HAM berat," kata Pujo Untung, keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965.

Menurutnya, hal tersebut lantaran anggota komisioner tidak independen dari tekanan pemerintah, aparat penegak, hukum, dan kekuasaan. Ia juga mendesak, anggota Komnas yang terpilih untuk periode 2012-2017 harus berani mengusut tahun 1965.

"Saya meminta, Komnas HAM usut korban 65 karena semua berawal dari kasus 65," ungkapnya.

Ungkapan di atas senada dengan keluarga korban Semanggi I, Sumarsih. Menurutnya, Komnas HAM punya andil besar terhadap berulangnya berbagai tindak kekerasan. Pasalnya, Komnas HAM  tidak berhasil melakukan berbagai penyelidikan dan pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM besar.

"Komnas HAM hanya mengulur-ulur waktu  penyelidikan berbagai kasus, seperti Semanggi I dan II, Wasior, Lampung, dan lain-lain. Kami sangat kecewa pada Komnas HAM periode ini. Mereka hanya aktivis yang duduk di pemerintah," terangnya.

Keluarga korban kasus Tanjungpriok, Beni Biki, menilai, anggota Komnas HAM periode sekarang, dengan mendiamkan kasus pelanggaran HAM berat, sama dengan telah melakukan pelanggaran HAM berat.

"Komnas HAM melakukan pelanggaran lebih berat daripada pelaku pelanggaran HAM, karena mendiamkan kasus pelanggaran HAM berat. Mereka lalai, loyo, dan tidak mampu melakukan apa-apa," tandasnya. [IS]



Ex-Guatemala leader appears in court
Efrain Rios Montt, the former leader of Guatemala, is accused of genocide and other
human rights abuses.
ALJAZEERA, Last Modified: 27 Jan 2012 12:06 
e




Guatemala's former military leader Efrain Rios Montt, 85, has appeared in court to face accusations
 of genocide and other human rights crimes allegedly committed during his 17-month long rule.
Rios Montt, known for his "scorched earth" campaign against Guatemala's leftist rebels, may have
 to answer charges that his regime was responsible for the massacre of tens of thousands of people.
Thursday's hearing was to determine whether the former dictator should be formally charged with
alleged atrocities that occurred during his regime from 1982 to 1983, prosecutors said.
The hearing is the first since Rios Montt lost the congressional immunity that for years had shielded
him from prosecution for human rights crimes.
Guatemala's truth commission, which has been tasked with investigating the killings, estimates that
there have been about 200,000 casualties from the country's 36-year civil war that ended in 1996.
Some of the worst atrocities are said to have taken place during Rios Montt's rule.
The UN-backed group, the Historical Clarification Commission, found that the government was guilty
of a deliberate campaign of genocide against the mostly poor, indigenous massacre victims, many of 
whom were caught in the crossfire as the government battled leftist rebels.

Tuesday 24 January 2012








New York Times
Veil of Silence Lifted in Indonesia





JAKARTA — As a solitary voice intoned a traditional Indonesian harvest song, dancers acted out the gathering of rice. Members of the audience joined in — most knew the words — until the song was overtaken by a vigorous hip-hop backbeat.
W. Sutarto/Foto Antara, via Lontar Foundation
Anti-Communist purges, spurred by symbolic acts like the burning of a hammer and sickle, killed at least 500,000 people in Indonesia from 1965 to 1966.
Metro Twitter Logo.

Connect With Us on Twitter

Follow@nytimesworldfor international breaking news and headlines.
Associated Press
In 1967, President Sukarno, left, was replaced by General Suharto, right, who suppressed examinations of the events of that time.
Women in military uniforms stormed the stage. A man in drag rapped while these “soldiers” assaulted the “farmers.” In the end, bodies of victims lay about. A sober audience broke into applause.
The performance marked the release of “Breaking the Silence,” a collective memoir of 15 men and women who experienced the anti-Communist purges in 1965-66, an event that left at least 500,000 people dead and ushered in the 32-year rule of Suharto and his “New Order.”
It is one of the darkest but seldom-discussed periods in modern Indonesian history. But the new book is only part of an emerging examination of this long-suppressed subject. In November, there was the release of “Sang Penari ,” a feature film that depicts the unfolding of a love story against the backdrop of that tumultuous time. The newsweekly Tempo recently published a special report on an army commander who had led efforts to wipe out the Indonesian Communist Party, or P.K.I.
This week, members of the Indonesian human rights commission, Komnas HAM, met with dozens of victims of the 1965-66 abuses to discuss a continuing investigation of the mass killings. The commission’s vice chairman, Nur Kholis, said Komnas HAM had collected testimonies from 350 victims but was struggling to find stronger evidence, in the form of documents and photographs, before submitting its report to the attorney general.
For decades the events of 1965-66 were shrouded in what Geoffrey Robinson, a historian at the University of California, Los Angeles, calls “enforced silence.”
They began with a coup attempt against President Sukarno on Sept. 30, 1965, in which members of a group calling itself the Sept. 30 Movement, or G30S, killed six top generals. General Suharto, who helped put down the putsch and took control of the army, blamed the P.K.I. and led a campaign to purge the country of party members and other leftists. In the months that followed, security forces, local militias and vigilantes hunted down and killed thousands of people suspected of being Communists.
After Mr. Suharto became president in 1967, government censors routinely screened books, films and other media for mentions of the killings, said Mr. Robinson, whose book “The Dark Side of Paradise” focused on the post-coup massacres in Bali. Even in the 13 years since a popular uprising helped oust Suharto in 1998, the topic has largely been avoided in schools and public forums.
The official history in government-issued school textbooks describes a coup led by the “G30S/PKI” — linking the Sept. 30 Movement to the P.K.I. The subsequent mass killings are played down and cast as part of a patriotic campaign. The ban on Communist organizations enacted in 1966 remains in effect.
Recently, however, the purges have been the focus of academic seminars, personal memoirs and other forums.
In 2010, the Constitutional Court struck down a law that had been used to ban several books about the coup on the grounds of their “potential to disturb public order.” The attorney general can still ban some works for being provocative or misleading — and textbooks must still link the Sept. 30th Movement with the P.K.I. — but rights advocates and academics say the repeal has expanded the space for public discourse.
Since 2009, Ultimus, a publisher in Central Java Province, has released more than a dozen accounts by survivors.
“These books are something new,” said Baskara Wardaya, co-founder of the Center for History and Political Ethics at Sanata Dharma University, which holds seminars, history-writing workshops and book discussions to address past rights abuses.
Publications like “Breaking the Silence” meet a rising demand by Indonesians eager to learn about their past, Mr. Baskara said. Still, Mr. Robinson said, decades of persecution of anyone associated with the banned P.K.I. have discouraged many survivors from speaking out.
Usman Hamid, an adviser for theInternational Center for Transitional Justice , a legal aid group that has been collecting survivors’ testimonies, said many senior military officers and former members of Islamic groups that are alleged to have taken part in the killings resist efforts to bring this part of Indonesian history into the spotlight.

The same holds true, Mr. Usman said, of some political parties that dominate Parliament, reflecting the influence still wielded by Golkar, which is the party founded by Mr. Suharto and has been part of the governing coalition since he was ousted. But Mr. Usman argued that uncovering the truth was necessary to hold political leaders formerly aligned with Mr. Suharto accountable. Putu Oka Sukanta, the editor of “Breaking the Silence,” said sharing accounts of the violence gave a voice to the victims and gave younger Indonesians access to a history they were not taught in school.
Metro Twitter Logo.

Connect With Us on Twitter

Follow@nytimesworldfor international breaking news and headlines.
“It’s an expression of fighting to become human again,” said Mr. Putu, 72, who in 1966 was detained for 10 years without trial for belonging to the Institute of People’s Culture, a literary and social movement associated with the P.K.I.
Djoko Sri Moeljono, 73, was also among the hundreds of thousands of artists, academics and trade unionists jailed at that time as “leftists.” After his arrest in 1965, for being a trade union member and graduate of a Sukarno-supported metallurgy program in the Soviet Union, he spent six years in forced labor. He was then exiled to a remote island until 1978.
Now he is among the survivors sharing their memories with young Indonesians in discussion groups organized by universities and nongovernmental organizations.
The Commission for the Disappeared and Victims of Violence, or Kontras , recently produced a graphic detailing the nearly two dozen statutes that still bar former political prisoners from employment in fields like education and the military.
To bring the purges into popular culture, dance troupes and puppet theaters have staged performances. The American filmmaker Robert Lemelson’s 2009 documentary “40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy,” examines the impact of the killings on four families from Central Java and Bali.
In 2006, the independent National Commission on Violence Against Women sponsored a documentary in which high school students videotaped interviews with survivors.
Ratna Hapsari, a high school teacher and head of the Indonesian History Teachers Association, is leading an effort to revise the country’s curriculum. The process has not run smoothly.
In 2004, the Education Ministry removed passages linking the P.K.I. with the Sept. 30 Movement in textbooks. But in 2007, under pressure from the military and some leaders of Islamic-based parties in Parliament, the attorney general ordered the new books withdrawn for disturbing public order. In some places, they were publicly burned.
“The curriculum is very restricted,” said Ms. Ratna, who uses alternative texts in her classes and promotes outside learning through other resources, including the Internet.
Many older Indonesians see younger people’s interest in the purges as a positive sign of efforts to reclaim their country’s history. “We were taught that P.K.I. was really something evil,” said Lely Cabe, 30, a cultural officer at the Goethe Institute , the German cultural center, which hosted the event marking the release of “Breaking the Silence.” “Now the younger generation is asking why.”
Taris Zakira Alam, 17, a great-niece of Itji Tarmizi, a painter who was accused of being a Communist sympathizer and spent much of his life in hiding, said it was important not only to discuss the purges but also to make amends to the victims. “As a young generation, we have to fight for this,” she said.

Saturday 21 January 2012


Komite: Kejaksaan Harus Tindak Pelaku Rawagede (+ Komentar MD Kartaprawira)


                                                                               ==========

Komite: Kejaksaan Harus Tindak Pelaku Rawagede (+ Komentar MD Kartaprawira)

Diterbitkan 19 Januari 2012 - 10:40am
HEEMSKERK (ANP) - Yayasan Komite Hutang Kehormatan Belanda (De Stichting Comité Nederlandse Ereschulden) dalam suratnya meminta Kejaksaaan Belanda mengambil tindakan terhadap para tentara yang terlibat dalam pembantaian berdarah di desa Rawagede tahun 1947. Demikian pernyataan yang dikeluarkan Rabu malam (18/01).
"Inti pernyataan adalah jaksa penuntut umum harus mengambil tindakan. Mereka selalu menggunakan argumen bahwa tak ada tuntutan yang diajukan. Nah ini yang kita lakukan sekarang,'' kata Jeffrey Pondaag, presiden yayasan.
Pondaag mengacu terhadap kesaksian dalam dua siaran televisi baru-baru ini. Siaran TV membahas tidak hanya tentang pembantaian 9 Desember saja, tetapi juga insiden lain dengan eksekusi 120 orang. Sebelumnya, pengacara Liesbeth Zegveld, yang mewakili sepuluh korban pembantaian, mengatakan Kejaksaan harus melakukan penelitian atas eksekusi. Kejaksaan mengatakan akan meninjau kasus, namun terus tertunda.
Meninjau Tuntutan
Menurut Pondaag, pihak Kejaksaan di Arnhem sudah mengatakan akan mempelajari surat tuntutan dan mengambil langkah lebih lanjut.
Desember 2011 pemerintah Belanda mengajukan permintaan maaf atas pembantaian yang dilakukan tentara Belanda 9 Desember 1947 di Rawagede. Ratusan pria tewas. Sebuah penyelidikan PBB menyebut aksi militer Belanda itu sebagai tindakan 'yang disengaja dan kejam.' Para prajurit Belanda yang bertanggung jawab tidak pernah dituntut.
Permintaan maaf adalah bagian dari penyelesaian kasus antara negara Belanda dengan keluarga korban. Para janda korban diberi kompensasi sebesar 20 ribu euro per orang.
      
KOMENTAR MD Kartaprawira

Memang pembantaian di Rawagede oleh tentara Belanda pada tahun 1947 adalah jelas tindak kriminal yang sangat kejam baik dalam kategori kejahatan perang, maupun kejahatan kemanusiaan. Di era bersemaraknya dan gencarnya tuntutan pelaksanaan norma-norma hukum hak asasi manusia di dunia dewasa ini, tidak mungkin orang akan mengatakan bahwa tindakan tentara Belanda di Rawagede th 1947 yang membantai 431 penduduk bukan kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan. Dan kasus tersebut tidak sekedar kasus perdata (apalagi hanya bagi 10 orang korban dari keseluruhan 431 korban), tapi kasus pidana besar yang penyelesaiannya setarap dengan kasus kejahatan perang di Yugoslavia pasca runtuhnya negara-negara sosialis di Eropa.

Persoalannya sekarang kasus Rawagede tersebut akan ditangani secara serius oleh penegak hukum Negeri Belanda dan Republik Indonesia atau tidak. Sebab kasus tersebut menyangkut kompetensi dan yurisdiksi ke dua negara bersangkutan. Misalnya, tidak mungkin jaksa Belanda mengadakan penyelidikan begitu saja datang ke Indonesia tanpa kerjasama dengan Indonesia.
Sesungguhnya yang sangat berkepentingan atas penyelesaian kasus Rawagede (pidana/perdata) adalah pihak Indonesia. Tetapi kenyaataannya sampai berlalu 64 tahun penguasa Indonesia tetap membisu seribu kata.

Bagaimana pun sulitnya proses penyelesaian kasus pidana "Pembantaian di Rawagede 1947", tapi kalau sudah berhasil diajukan ke Kejaksaan Belanda, dapat dikatakan satu langkah bagus. Sebagai masukan kritis bagi Yayasan Komite Hutang Kehormatan Belanda (De Stichting Comité Nederlandse Ereschulden) berkaitan dengan suratnya yang ditujukan ke kejaksaan Belanda, menurut pendapat saya dalam pembantaian di Rawagede tersebut yang bertanggung jawab adalah perwira (opsir) kesatuan yang memerintahkan eksekusi/pembantaian, bukannya para prajurit. Sebab mereka hanya menjalankan perintah atasan. Kita tahu bahwa dalam kemiliteran disiplin sangat keras dan ketat. Maka kesalahan formulasi dalam proses hukum akan bisa berakibat fatal. Jadi, membuat formulasi tidak boleh sembarangan.

Dimunculkannya kasus pidana tentang "Pembantaian di Rawagede 1947" mempunyai arti positif sekali. Sebab dengan demikian publik di Belanda dan Indonesia akan terbuka matanya, bahwa kejahatan kemanusiaan ternyata telah pernah dilakukan oleh bangsa Belanda yang menganggap punya sivilisasi dan budaya tinggi. Dan publik di Indonesia akan terbuka matanya bahwa penguasa negara tidak punya kepedulian sedikit pun atas kasus pembantaian di Rawagede (juga di Sulawesi Selatan oleh Westerling, dan di daerah-daerah lainnya) yang telah mengorbankan dan menyengsarakan ratusan penduduk.

Kebenaran dan keadilan harus ditegakkan!!!

MD Kartaprawira
(Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 - LPK65)
Nederland, 21 Januari 2012
BalasHapus     

Wednesday 18 January 2012

Komnas HAM Memperpanjang Masa Penyelidikan Kasus Peristiwa 1965


·        Nina Suartika / Angga Haksoro
·        17 Januari 2012 - 18:4 WIB
VHRmedia, Jakarta – Komnas HAM memperpanjang masa penyelidikan kasus peristiwa 1965. Tim penyelidik kasus ’65 dibentuk tahun 2008 masih terus melakukan pemeriksaan.

”Berdasarkan hasil rapat paripurna Komnas HAM, kami memutuskan melakukan perpanjangan penyelidikan peristiwa 1965. Kami meminta tim mempertajam penyelidikannya,” kata Wakil Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, Selasa (17/1).

Menurut Nur Kholis, tim penyelidikan yakin terdapat unsur pelanggaran berat HAM dalam kasus ’65. Hasil penyelidikan baru mengungkap kerangka normatif bentuk pelanggaran.

”Dalam pembahasan paripurna dinyatakan bahwa laporan belum tajam. Kurang mengerucut. Argumentasi kami, korban 65 mengalami kejahatan ex. Ex adalah kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan, pemusnahan, pengusiran penduduk secara paksa, perampasan dan penyiksaan, perkosaan, persikusi, dan penghilangan secara paksa. Ini kerangka normatif yang digunakan oleh tim,” ujar Nur Kholis.

Komisioner Komnas HAM Joseph Adi Prasetyo mengatakan, pihaknya memberi waktu 3 bulan agar tim menyelesaikan penyelidikan dan melaporkannya ke masyarakat.

”Kami berjanji penyelidikan selesai selama 3 bulan. Pertaruhannya reputasi kami. Kalau kami tidak bisa menyelesaikan, kami tidak layak disebut anggota Komnas HAM apalagi untuk mencalonkan kembali,” kata Joseph.

Sri korban pelanggaran HAM peristiwa 1965, meragukan kinerja Komnas HAM. Dia meminta Komnas serius menuntaskan kasus ini. ”Tolong gunakan hati nurani. Jangan mentang-mentang duduk di Komnas, mendapat honor tinggi, tidak menetapi janjinya,” ujar Sri.

Tim penyelidikan Komnas HAM untuk kasus ’65 telah memeriksa 375 saksi korban dari sejumlah wilayah. Hasil penyelidikan Komnas HAM diharapkan mampu memulihkan hak warga negara para korban stigma peristiwa 1965.
(E1)
Foto: VHRmedia/Nina Suartika

Sunday 1 January 2012



KORBAN 65
TEMUI  STAFF  PRESIDEN
  Oleh Bedjo Untung


Delegasi   Korban 65 sebanyak  30 orang yang datang dari berbagai kota: Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Majalengka, Cirebon, Kuningan,Solo,Pekalongan, Bukittinggi dan  Medan  mendatangi Istana RI pada Kamis 06 Oktober 2011 pukul 09.30 WIB, mereka  para Korban Tragedi 65 yang tergabung dalam YPKP 65, LPRKROB mau pun perseorangan. Kedatangan para mantan Tapol yang umumnya telah uzur  itu diterima di  ruang  Bina Graha samping kiri oleh Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM Denny Indrayana (sekarang menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM).

Pada kesempatan yang langka itu, para Korban 65 mengeluarkan segala unek-uneknya, tuntutannya berkaitan dengan tragedi kemanusiaan 1965/1966. Bedjo Untung  sebagai Ketua YPKP 65 yang mendapat kesempatan pertama  berbicara atas nama Korban 65 mendesak kepada Pemerintah/Negara  harus segera menyelesaikannya, selagi para Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mantan Tapol itu masih hidup. Umumnya, para mantan Tapol sudah pada meninggal dunia. Kamilah yang tersisa. Tunjukkanlah Indonesia sebagai Negara yang menghormati Hak Asasi Manusia  dan Demokrasi  yang selama ini dibangga-banggakan. Mengapa kita tidak belajar dengan Pemerintah Belanda yang minta maaf kepada para Korban pembunuhan Massal di Rawagede? Belanda yang bekas kolonial justru lebih paham tentang HAM, mengapa pemerintah Indonesia tidak lakukan itu,  padahal Indonesia memiliki Pancasila?

Lebih lanjut Bedjo berkata,  setelah 46 tahun berlalu, tidak diketemukan suatu bukti apa pun yang menunjukkan keterlibatan  Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan. Justru para mantan Tapol  yang dituduh sebagai  anggota  PKI  atau pun simpatisannya yang dengan sukarela melaporkan diri ke  kantor-kantor pemerintah mau pun instalasi militer, Mereka akhirnya justru ditahan, dipenjarakan, dipekerjakan secara paksa, dan ada yang diculik kemudian dibunuh.Itulah sebabnya, YPKP 65 mendesak agar Negara segera memulihkan nama baik, mengembalikan Hak-Hak politik mau pun ekonomi, sosial yang selama ini dirampas secara tidak sah.

Bapak Mujayin  yang pernah ditahan di Pulau Buru selama puluhan tahun tanpa proses hukum yang juga mewakili organisasi LPRKROB mengatakan, kurang apa lagi? Lembaga Tinggi Negara seperti Mahkamah Agung, Komnas HAM dan DPR/RI telah merekomendasikan kepada Presiden untuk segera menerbitkan Keppres Rehabilitasi. Namun sang Presiden  tidak lakukan itu. Ada apa ini?.Lebih lanjut Pak Mujayin menambahkan, meskipun Mahkamah Konstitusi telah mencabut  Pasal 60 huruf  g  Undang-Undang  No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang membolehkan mantan Tahanan Politik 1965 menjadi Calon legislatif dan menduduki jabatan eksekutif, namun dalam kenyataan di lapangan tidak dilaksanakan. Di berbagai daerah, anak-anak 
Korban 65 gagal menjadi lurah atau pegawai negeri, gara-gara ayahnya adalah bekas anggota PKI.

Lain lagi yang dikemukakan Ibu Nadiani seorang mantan Tapol dari Bukittinggi yang juga sebagai ketua Wilayah YPKP 65 Sumatera Barat,  diskriminasi dan stigmatisasi masih terus dilestarikan oleh pemerintah SBY. Sebagai mantan pegawai negeri sipil Guru Sekolah di Bukittinggi, ia berusaha mencari keadilan yaitu menuntut uang pensiun yang seharusnya ia peroleh. Namun pejabat yang mengurusnya  selalu bilang  harus ada rekomendasi dari Kopkamtib atau Bakorstanasda yang  berkaitan dengan penggolongan Tahanan A,B,C, dll. Lho, bukankah Kopkamtib sudah bubar ketika di jaman pemerintahan Gus Dur?.

Masih soal yang dialami Ibu Nadiani. Ketika suami dan dirinya di dalam tahanan, sebidang tanah yang terletak di pusat kota Bukittinggi  diserobot oleh PT. Telkom. Merasa dirinya tidak pernah menjual ke instansi tersebut, ia kemudian menggugat ke Pengadilan Negeri Bukittinggi. Namun, lagi-lagi karena Ibu Nadiani adalah mantan Tahanan Politik 1965, gugatannya tidak diladeni oleh Pengadilan.  Ini betul-betul tindakan diskriminatif yang dilakukan atas nama Negara.

Sementara itu, Bapak Ir. Djoko Sri Moelyono yang pernah belajar di Universitas Patrice Lumumba Moskwa  jurusan Metalurgy, karena keikutsertaannya dalam organisasi HSI Himpunan Sarjana Indonesia,   ia  dibuang ke kamp kerja paksa Pulau Buru selama belasan tahun. Ia berkata, bahwa dirinya tidak yakin pemerintahan SBY  akan menuntaskan kasus pelanggaran  HAM berat  karena dirinya termasuk bagian dari kroni Suharto Orde Baru  yang tentunya ingin melindungi kolega-koleganya. Seharusnya, kalau memang mau perubahan tangkap itu jenderal-jenderal penjahat   HAM. Apa mau?

Lain lagi yang dilontarkan Pak St. Sudarno  dari YPKP 65 Cabang Pekalongan. Sambil mengeluarkan copy Surat Pembebasan  dari penahanan  Pulau Buru yang ditandatangani  Komandan Kamp, menyatakan sesudah dilakukan penahanan dan pemeriksaan  selama 14 tahun, dirinya tidak terbukti keterlibatan dalam apa yang dinamakan Gerakan 30 September 1965. Tetapi nyatanya, dirinya selalu diperlakukan tidak manusiawi, selalu diintimidasi .Setiap kali mengadakan rapat-rapat yayasan selalu dicurigai ingin membangun kembali  Partai Komunis. Ayahnya telah dibunuh  oleh tentara pada  akhir 1965, rumahnya dibakar. Dan, dirinya selaku mantan pegawai negeri di Kantor Kabupaten Pekalongan tidak mendapatkan ganti rugi, uang pensiun yang seharusnya  ia dapatkan. Di mana keadilan?

Dan masih banyak lagi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Korban 1965 yang  curhat kepada Denny Indrayana orang yang dekat dengan presiden SBY. Nah, sekarang giliran sang Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM, angkat bicara.

Secara khusus, Denny Indrayana  menyampaikan rasa prihatin  dan simpati yang mendalam atas apa yang disampaikan para mantan Tapol. Presiden telah
menginstruksikan dalam setiap arahan kepada dirinya, agar mencari solusi terbaik dan komprehensip untuk penanganan kasus Korban  pelanggaran HAM berat ini. Dalam  2-3 bulan terakhir ini sudah dan sedang dilakukan upaya  ke arah penyelesaian itu, yaitu dngan membentuk Tim Penuntasan  Kasus Pelanggaran HAM masa lalu  yang diketuai oleh Menkopolhukam Bpk Djoko Suyanto. Tim terdiri dari kantor Kepresidenan dalam hal ini adalah diwakili oleh Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM, Kantor Menkopolhukam, Komnas HAM , serta Dirjen Kementerian Hukum dan HAM. Tim ini sudah berjalan dan melakukan diskusi-diskusi mencari format penyelesaian kasus berdasar atas pertimbangan hukum mau pun kemanusiaan, mencari terobosan penyelesaian tidak sekedar melalui jalur legal formal, tetapi adalah bagaimana Korban memperoloeh keadilan. Lebih lanjut Denny Indrayana  menegaskan, bahwa  dalam sisa pengabdiannya – yang tinggal  2 tahun ke depan – pemerintahan  SBY  ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM warisan masa lalu agar tidak membebani pemerintah  yang akan menggantikannya.

Pertemuan dengan  Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM ini hanya berlangsung selama 10 menit  karena  ia  sudah ditunggu untuk bertemu dengan Presiden untuk urusan persoalan hukum yang lain.

Pembicaraan Presiden SBY, Komnas HAM dan  Usman Hamid

Sementara itu, pada pertengahan Juli 2011 ada  pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim  dan Usman Hamid Koordinator Kontras. Presiden SBY didampingi staff khusus Presiden Bidang penegakan Hukum dan HAM Denny Indrayana. Pertemuan membahas masukan, ide mau pun saran untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Berlangsung  selama hampir 2 jam dari pukul 20.00 sampai pukul 22.00 WIB. Dari informasi yang disampaikan oleh Bung Usman Hamid di berbagai kesempatan  di hadapan para Korban dan Keluarga Korban  Pelanggaran HAM memang seolah-olah  “ada niat” SBY untuk selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, tetapi realisasinya selalu tidak ada, takut mengambil resiko, terlalu berhati-hati mengambil keputusan, alhasil, momentumnya jadi terlambat.
Ketika itu, Usman Hamid memberi masukan,

“ Dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM  juga termasuk Korban 65, karena mereka para Korban 65 sudah uzur, sakit-sakitan dan mereka telah mengalami penderitaan lahir bathin  hampir selama 46 tahun, mereka orang-orang yang semestinya mendapat perhatian pemerintah karena mereka termasuk orang-orang yag tidak bersalah.”

Mendengar saran Bung Usman Hamid, presiden SBY diam sejenak dan berkata:

 “ Ya, saya akan lakukan, tapi saya akan mencari format penyelesaiannya agar saya tidak dipersalahkan oleh ‘pelatih ‘ saya. Kiranya pak Usman faham apa  yang saya maksudkan itu”

Dari sejak pertemuan Komnas HAM, Kontras  dengan Presiden  dan dilanjutkan dengan pertemuan Korban 65 di Istana  sudah berlalu hampir 6 bulan. Namun belum ada tanda-tanda  perbaikan mau pun kemajuan berarti tentang penuntasan Kasus Pelanggaran HAM. Negara/pemerintah masih bungkam, tidak pernah menyampaikannya ke depan publik tentang rencananya. Format penyelesaian yang digagas juga belum jelas dasar  hukumnya. Sementara itu Komnas HAM yang berjanji akan segera mengumumkan hasil investigasi Tim Penyelidikan pro yustisia Peristiwa 1965-66 yang sudah berlangsung selama 3 tahun,  masih  terus tertunda. Kini muncul berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang baru yaitu  Kasus Pembunuhan Massal petani Mesuji di lampung mau pun kasus penembakan Aksi Massa di Pelabuhan Supe Bima yang menewaskan demonstran. Yang tentunya, Negara akan mendahulukan kasus yang  lebih baru itu.  Nampaknya persoalan semakin berakumulasi, menumpuk terus dan SBY kembali ingkar janji.***
\

Delegasi Korban 65 bergambar bersama setelah diterima Staff Khusus Presiden bidang Penegakan Hukum  dan HAM di depan Istana Negara RI