KORBAN 65
TEMUI
STAFF PRESIDEN
Oleh Bedjo Untung
Delegasi Korban 65 sebanyak 30 orang yang datang dari berbagai kota:
Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Majalengka, Cirebon,
Kuningan,Solo,Pekalongan, Bukittinggi dan
Medan mendatangi Istana RI pada
Kamis 06 Oktober 2011 pukul 09.30 WIB, mereka
para Korban Tragedi 65 yang tergabung dalam YPKP 65, LPRKROB mau pun
perseorangan. Kedatangan para mantan Tapol yang umumnya telah uzur itu diterima di ruang
Bina Graha samping kiri oleh Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan
Hukum dan HAM Denny Indrayana (sekarang menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM).
Pada kesempatan yang langka
itu, para Korban 65 mengeluarkan segala unek-uneknya, tuntutannya berkaitan
dengan tragedi kemanusiaan 1965/1966. Bedjo
Untung sebagai Ketua YPKP 65 yang
mendapat kesempatan pertama berbicara
atas nama Korban 65 mendesak kepada Pemerintah/Negara harus segera menyelesaikannya, selagi para
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mantan Tapol itu masih hidup. Umumnya, para mantan
Tapol sudah pada meninggal dunia. Kamilah yang tersisa. Tunjukkanlah Indonesia
sebagai Negara yang menghormati Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
yang selama ini dibangga-banggakan. Mengapa kita tidak belajar dengan
Pemerintah Belanda yang minta maaf kepada para Korban pembunuhan Massal di
Rawagede? Belanda yang bekas kolonial justru lebih paham tentang HAM, mengapa
pemerintah Indonesia tidak lakukan itu,
padahal Indonesia memiliki Pancasila?
Lebih lanjut Bedjo
berkata, setelah 46 tahun berlalu, tidak
diketemukan suatu bukti apa pun yang menunjukkan keterlibatan Partai Komunis Indonesia melakukan
pemberontakan. Justru para mantan Tapol yang dituduh sebagai anggota
PKI atau pun simpatisannya yang
dengan sukarela melaporkan diri ke
kantor-kantor pemerintah mau pun instalasi militer, Mereka akhirnya
justru ditahan, dipenjarakan, dipekerjakan secara paksa, dan ada yang diculik
kemudian dibunuh.Itulah sebabnya, YPKP 65 mendesak agar Negara segera
memulihkan nama baik, mengembalikan Hak-Hak politik mau pun ekonomi, sosial
yang selama ini dirampas secara tidak sah.
Bapak Mujayin yang pernah ditahan
di Pulau Buru selama puluhan tahun tanpa proses hukum yang juga mewakili
organisasi LPRKROB mengatakan, kurang apa lagi? Lembaga Tinggi Negara seperti
Mahkamah Agung, Komnas HAM dan DPR/RI telah merekomendasikan kepada Presiden
untuk segera menerbitkan Keppres Rehabilitasi. Namun sang Presiden tidak lakukan itu. Ada apa ini?.Lebih lanjut
Pak Mujayin menambahkan, meskipun Mahkamah Konstitusi telah mencabut Pasal 60 huruf g
Undang-Undang No 12 Tahun 2003
tentang Pemilu yang membolehkan mantan Tahanan Politik 1965 menjadi Calon
legislatif dan menduduki jabatan eksekutif, namun dalam kenyataan di lapangan
tidak dilaksanakan. Di berbagai daerah, anak-anak
Korban 65 gagal menjadi lurah
atau pegawai negeri, gara-gara ayahnya adalah bekas anggota PKI.
Lain lagi yang dikemukakan
Ibu Nadiani seorang mantan Tapol
dari Bukittinggi yang juga sebagai ketua Wilayah YPKP 65 Sumatera Barat, diskriminasi dan stigmatisasi masih terus
dilestarikan oleh pemerintah SBY. Sebagai mantan pegawai negeri sipil Guru
Sekolah di Bukittinggi, ia berusaha mencari keadilan yaitu menuntut uang
pensiun yang seharusnya ia peroleh. Namun pejabat yang mengurusnya selalu bilang
harus ada rekomendasi dari Kopkamtib atau Bakorstanasda yang berkaitan dengan penggolongan Tahanan A,B,C,
dll. Lho, bukankah Kopkamtib sudah bubar ketika di jaman pemerintahan Gus Dur?.
Masih soal yang dialami Ibu
Nadiani. Ketika suami dan dirinya di dalam tahanan, sebidang tanah yang
terletak di pusat kota Bukittinggi
diserobot oleh PT. Telkom. Merasa dirinya tidak pernah menjual ke
instansi tersebut, ia kemudian menggugat ke Pengadilan Negeri Bukittinggi.
Namun, lagi-lagi karena Ibu Nadiani adalah mantan Tahanan Politik 1965,
gugatannya tidak diladeni oleh Pengadilan.
Ini
betul-betul tindakan diskriminatif yang dilakukan atas nama Negara.
Sementara itu, Bapak Ir. Djoko Sri
Moelyono yang pernah belajar di Universitas Patrice Lumumba Moskwa jurusan Metalurgy, karena keikutsertaannya
dalam organisasi HSI Himpunan Sarjana Indonesia, ia
dibuang ke kamp kerja paksa Pulau Buru selama belasan tahun. Ia berkata,
bahwa dirinya tidak yakin pemerintahan SBY
akan menuntaskan kasus pelanggaran
HAM berat karena dirinya termasuk
bagian dari kroni Suharto Orde Baru yang
tentunya ingin melindungi kolega-koleganya. Seharusnya, kalau memang mau
perubahan tangkap itu jenderal-jenderal penjahat HAM. Apa
mau?
Lain lagi yang dilontarkan
Pak St. Sudarno dari YPKP 65 Cabang Pekalongan. Sambil
mengeluarkan copy Surat Pembebasan dari
penahanan Pulau Buru yang ditandatangani
Komandan Kamp, menyatakan sesudah
dilakukan penahanan dan pemeriksaan
selama 14 tahun, dirinya tidak terbukti keterlibatan dalam apa yang
dinamakan Gerakan 30 September 1965. Tetapi nyatanya, dirinya selalu
diperlakukan tidak manusiawi, selalu diintimidasi .Setiap kali mengadakan
rapat-rapat yayasan selalu dicurigai ingin membangun kembali Partai Komunis. Ayahnya telah dibunuh oleh tentara pada akhir 1965, rumahnya dibakar. Dan, dirinya
selaku mantan pegawai negeri di Kantor Kabupaten Pekalongan tidak mendapatkan
ganti rugi, uang pensiun yang seharusnya
ia dapatkan. Di mana keadilan?
Dan masih banyak lagi
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Korban 1965 yang
curhat kepada Denny Indrayana orang yang dekat dengan presiden SBY. Nah,
sekarang giliran sang Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM,
angkat bicara.
Secara khusus, Denny
Indrayana menyampaikan rasa
prihatin dan simpati yang mendalam atas
apa yang disampaikan para mantan Tapol. Presiden telah
menginstruksikan dalam setiap
arahan kepada dirinya, agar mencari solusi terbaik dan komprehensip untuk
penanganan kasus Korban pelanggaran HAM
berat ini. Dalam 2-3 bulan terakhir ini
sudah dan sedang dilakukan upaya ke arah
penyelesaian itu, yaitu dngan membentuk Tim Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM masa lalu yang diketuai oleh Menkopolhukam Bpk Djoko
Suyanto. Tim terdiri dari kantor Kepresidenan dalam hal ini adalah diwakili
oleh Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum dan HAM, Kantor
Menkopolhukam, Komnas HAM , serta Dirjen Kementerian Hukum dan HAM. Tim ini
sudah berjalan dan melakukan diskusi-diskusi mencari format penyelesaian kasus
berdasar atas pertimbangan hukum mau pun kemanusiaan, mencari terobosan
penyelesaian tidak sekedar melalui jalur legal formal, tetapi adalah bagaimana
Korban memperoloeh keadilan. Lebih lanjut Denny Indrayana menegaskan, bahwa dalam sisa pengabdiannya – yang tinggal 2 tahun ke depan – pemerintahan SBY
ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM warisan masa lalu agar tidak
membebani pemerintah yang akan
menggantikannya.
Pertemuan dengan Staff Khusus Presiden Bidang Penegakan Hukum
dan HAM ini hanya berlangsung selama 10 menit
karena ia sudah ditunggu untuk bertemu dengan Presiden
untuk urusan persoalan hukum yang lain.
Pembicaraan Presiden SBY, Komnas HAM dan Usman Hamid
Sementara itu, pada
pertengahan Juli 2011 ada pertemuan
antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim dan Usman Hamid Koordinator Kontras. Presiden
SBY didampingi staff khusus Presiden Bidang penegakan Hukum dan HAM Denny
Indrayana. Pertemuan
membahas masukan, ide mau pun saran untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM masa
lalu. Berlangsung selama hampir 2 jam dari pukul 20.00 sampai
pukul 22.00 WIB. Dari informasi yang disampaikan oleh Bung Usman Hamid di
berbagai kesempatan di hadapan para
Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran
HAM memang seolah-olah “ada niat” SBY
untuk selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, tetapi realisasinya selalu tidak
ada, takut mengambil resiko, terlalu berhati-hati mengambil keputusan, alhasil,
momentumnya jadi terlambat.
Ketika itu, Usman Hamid
memberi masukan,
“ Dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM juga termasuk Korban 65, karena mereka para
Korban 65 sudah uzur, sakit-sakitan dan mereka telah mengalami penderitaan
lahir bathin hampir selama 46 tahun,
mereka orang-orang yang semestinya mendapat perhatian pemerintah karena mereka
termasuk orang-orang yag tidak bersalah.”
Mendengar saran Bung Usman
Hamid, presiden SBY diam sejenak dan berkata:
“ Ya, saya akan
lakukan, tapi saya akan mencari format penyelesaiannya agar saya tidak
dipersalahkan oleh ‘pelatih ‘ saya. Kiranya pak Usman faham apa yang saya maksudkan itu”
Dari sejak pertemuan Komnas
HAM, Kontras dengan Presiden dan dilanjutkan dengan pertemuan Korban 65 di
Istana sudah berlalu hampir 6 bulan. Namun belum ada
tanda-tanda perbaikan mau pun kemajuan
berarti tentang penuntasan Kasus Pelanggaran HAM. Negara/pemerintah masih
bungkam, tidak pernah menyampaikannya ke depan publik tentang rencananya.
Format penyelesaian yang digagas juga belum jelas dasar hukumnya. Sementara itu Komnas HAM yang
berjanji akan segera mengumumkan hasil investigasi Tim Penyelidikan pro yustisia Peristiwa 1965-66 yang
sudah berlangsung selama 3 tahun, masih terus tertunda. Kini muncul berbagai kasus
pelanggaran HAM berat yang baru yaitu
Kasus Pembunuhan Massal petani Mesuji di lampung mau pun kasus
penembakan Aksi Massa di Pelabuhan Supe Bima yang menewaskan demonstran. Yang
tentunya, Negara akan mendahulukan kasus yang
lebih baru itu. Nampaknya
persoalan semakin berakumulasi, menumpuk terus dan SBY kembali ingkar janji.***
\
Delegasi
Korban 65 bergambar bersama setelah diterima Staff Khusus Presiden bidang
Penegakan Hukum dan HAM di depan Istana
Negara RI