Thursday 3 May 2012


PRESIDEN SBY BERNIAT MINTA MAAF KEPADA PARA KORBAN PELANGGARAN HAM MASA LALU -  ANTARA REALITAS DAN ILUSI

 

Oleh MD Kartaprawira*

 

Tanggapan/reaksi tentang berita niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama negara akan minta maaf kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu telah bergulir di media massa, terutama media internet. Penulis berpendapat bahwa niat minta maaf tersebut semata-mata baru berita yang bersumber dari  Albert  Hasibuan (Wantimpres). Presiden SBY sendiri belum langsung secara resmi menyatakannya. Maka tidak bisa dikatakan sebagai janji SBY, tepatnya baru isu semata.

Terhadap isu tersebut, seyogyanya ditanggapi secara obyektif. Sebab banyak janji-janji SBY yang secara langsung diucapkan selalu tak dipenuhi. Apalagi mengenai niat “minta maaf” kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu, yang baru berupa isu belaka. Maka tidaklah arif kalau para korban tergopoh-gopoh berilusi akan datangnya „mukjizat“ dari SBY. Meskipun demikian juga tidak perlu apriori. Tunggu saja kenyataannya dengan santai sambil menikmatkan video „Campur Sari“.

 

Kalau benar bahwa presiden SBY akan menyatakan „minta maaf“ kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu, permintaan maaf tersebut harus tidak berarti penghapusan tindak kejahatan para pelaku kejahatan HAM masa lalu (a.l. mantan jenderal Suharto dan jenderal-jenderal lainnya). Permintaan „maaf“ presiden SBY harus berarti permintaan maaf atas terjadinya kejahatan HAM yang dilakukan rejim orde baru/Suharto dan terbengkelainya penuntasan kasus tersebut sampai dewasa ini. Maka sebagai tindak lanjut permintaan maaf, secara hukum presiden SBY berkewajiban menuntaskan kasus tersebut, meskipun sebagian pelaku topnya sudah meninggal. Dalam penuntasan kasus tersebut kepentingan para korban (di tanah air dan di luar negeri) harus mendapat tempat dominan untuk mendapat keadilan yang manusiawi dalam kaitannya dengan masalah kompensasi,reparasi, restitusi, rehabilitasi, dan pengembalian hak-hak politik dan sosial-ekonomi lainnya tanpa diskriminasi dan tanpa prosedur yang birokratis berbelit-belit.

 

Di samping itu, permintaan maaf presiden SBY tidak harus berarti permintaan maaf bagi jenderal Suharto dan para pelaku lainnya, sebab dia sendiri dan rejimnya tidak pernah merasa salah dalam tindakannya, terutama mengenai kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang menyengsarakan 3 juta manusia terbunuh, dibuang ke pulau Buru, Nusakambangan, dijebloskan ke penjara-penjara dan penyiksaan-penyiksaan lainnya. Jenderal Suharto dan rejimnya tidak pernah merasa salah dalam menyengsarakan puluhan juta keluarga korban akibat kebijakan bersih lingkungan, diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara akibat penyantuman label ET pada KTPnya. Karena merasa tidak bersalah, maka Suharto dan rejimnya menganggap tidak perlu minta maaf. Meski sudah 46 tahun berlalu penyelenggara negara  Indonesia cq presiden SBY terus membisu, terus melakukan kebijakan impunitas. Dengan timbulnya isu “presiden SBY berniat minta maaf” beberapa hari yang lalu (HukumOnline, 26 April 2012) agaknya akan timbul kebijakan baru penyelenggara negara untuk memperbaiki

Maka, selama belum dituntaskan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, penggalakan tuntutan kepada penyelenggara negara atas penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965-66, adalah adil dan dapat dibenarkan secara hukum dan moral. Tak perlu jemu menyuarakan tuntutan tersebut. Tuntutan tersebut absolut tidak bertentangan dengan hukum di Indonesia  (UUD 1945, UU HAM dan Konvensi-konvensi HAM yang telah diratifikasi).

 

Mengapa Penyelenggara Negara Indonesia tidak mau belajar penuntasan kasus-kasus HAM di negara-negara Amerika Latin, a.l. Argentina dan Peru? Di sana tidak memerlukan pengadilan internasional, cukup pengadilan nasional. Di sana tidak memerlukan lembaga-lembaga tambahan semacam Komnas HAM, tetapi cukup dengan Institusi Penegak Hukum yang sudah ada, tapi dalam menjalankan tugasnya bertindak secara jujur, adil dan konsekwen. Di sana (Argentina) para jenderal pelaku pelanggaran HAM dijatuhi hukuman antara 25 tahun dan seumur hidup, dan masih banyak jenderal antre di meja hijau untuk menerima vonis hakim. Bisakah pengalaman di Argentina di terapkan di Indonesia setelah presiden SBY minta maaf?

 

Semoga Bpk. Albert Hasibuan sebagai aggota Wantimpres berhasil baik dalam menjalankan tugasnya demi penegakan kebenaran, keadilan dan demokrasi di Indonesia. Salam jempol dan GBu !!!

 

Untuk melengkapi tanggapan di atas, silahkan buka links di bawah ini:

 

„Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-66 demi Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliaasi Nasional“  http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html

 

„PERNYATAAN Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965“  http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/pernyataan-panitia-peringatan-45-tahun.html

 

 

Nederland, 01 Mei 2012

 

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

 

 

No comments:

Post a Comment