Friday 13 May 2011

Tragedi Mei, Gelap di Tengah Cahaya



11.05.2011 15:37

Tragedi Mei, Gelap di Tengah Cahaya

Penulis : Teuku Kemal Fasya*  
Bulan Mei dikenang beberapa peringatan: gerakan buruh bersatu, hari Pendidikan Nasional, dan Kebangkitan Nasional.
Namun, bulan ini juga diingat sebagai hari tragedi kemanusiaan. Pada 13-15 Mei 1998, beberapa kota di Indonesia terbakar kerusuhan dan kejahatan rasial. Jakarta, Bandung, Surakarta, dan Medan hangus-legam.
Aksi brutal itu dipicu oleh tragedi Trisakti, 12 Mei, yang merenggut empat nyawa mahasiswa akibat tembakan aparat keamanan. Massa pun marah. Sebagian dari mereka mengambil keuntungan di tengah situasi rusuh yang tak terkendalikan. Sebagian lagi menjadi wayang yang dikendalikan  para dalang yang haus darah.
Di samping aksi penjarahan, pembakaran pertokoan dan manusia, ada juga aksi memilukan seperti pemerkosaan sekaligus pembunuhan “ratusan” perempuan keturunan China. Kata ratusan itu terpaksa diberi tanda petik, karena tidak ada data konkret berapa banyak jumlahnya yang menjadi  korban.
Pelbagai analisis muncul, terutama  untuk kasus pembakaran dan pemerkosaan. Menurut laporan tim investigasi resmi dan sukarelawan kemanusiaan, pemerkosaan bukanlah reaksi alamiah kerusuhan. Pemerkosaan terlihat sangat intensif dan semiotis, menjadi penanda bahwa ada ruang konspirasi yang melibatkan kepentingan elite-elite di lingkaran Soeharto.
Pemerkosaan massal juga memberikan pesan peyoratif bagi komunitas minoritas yang suka dilabelkan dengan penuh stereotipikal itu. Terbukti sampai hari ini, kasus-kasus tersebut tidak pernah terbongkar secara jelas. Ada kesaksian korban, bahkan hingga ke PBB, namun tidak pernah mampu menjadi transkrip resmi nasional.
Hanya ada buku dan cerpen, seperti milik Seno Gumira Adjidarma yang menceritakan luka tak terbahasakan itu: fiksi atas fakta yang tidak diakui. Mereka harus menjadi tumbal kebengisan yang begitu tumpah ruah di langit Nusantara saat itu.
Terperangkap Mimpi Buruk
Di tahun ketiga belas tragedi itu, kiranya masih sangat penting berbicara tentang nasib korban-korban pemerkosaan Mei 1998. Tidak perlu drama, karena memang sebagian dari mereka masih hidup. Mereka pun masih mungkin ditarik kesaksiannya untuk merekonstruksi seperti apa kejadian sesungguhnya.
Memang upaya untuk melakukan testimoni dari kejahatan genosida yang tak masuk akal seperti ini pasti tidak mudah. Pasti ada sobekan psikologis yang memengaruhi daya tuturnya. Namun, demi kepentingan kebenaran, hal seperti ini wajib diungkapkan.
Tidak perlu ada politisasi isu bahwa pembongkaran kasus ini akan memunculkan kembali sentimen rasial atau instabilitas politik. Luka-luka yang dialami korban yang selamat (survivor) ini berada di pucuk altar semua ketakutan yang mungkin memerangkap jiwa di malam-malam penuh mimpi buruk.
Ketakutan yang dirasakan korban semua sama: suara parau dari kenyataan yang sangat sulit diungkapkan. Apalagi jika muncul stigmatisasi yang makin memojokkan. Sebenarnya, dari Sabang sampai Meurauke negeri ini penuh dengan untaian suara korban yang kalah bertarung dengan suara elitenya.
Aceh sebagai contoh. Meskipun telah mengalami kemajuan demokrasi dan pembangunan selama lima tahun terakhir, suara korban masih tercekat oleh kepentingan elite lokal yang sepertinya menghindar membicarakan kembali tragedi yang berdarah-darah di masa DOM (1989–1998) atau Darurat Militer (19 Mei 2003–18 Mei 2005).
Seorang pendeta dari Papua mengatakan kepada saya, bahwa seluruh rakyat Papua yang berasal dari ras Melanesia–keriting dan hitam–sampai saat ini masih dianggap sebagai separatis, terutama oleh TNI. Sketsa ironis ini menunjukkan bahwa nasib korban sebenarnya sangat tidak beruntung, walaupun di tengah situasi pembangunan dan penuh “kenormalan” seperti sekarang ini.
Namun mimpi buruk ini harus dihentikan. Mengungkap kebenaran dari korban yang selamat adalah tanggung jawab negara dalam menjamin hak asasi korban. Seperti dikatakan Lawrence L Langer, “the logic of law never sense of the illogic of genocide” (Admitting the Holocaust, 1995).
Logika hukum tak akan mampu memahami irasionalitas kejahatan luar biasa yang terjadi di masa lalu. Meskipun demikian, negara tidak bisa mundur seinci pun dari tanggung jawabnya untuk menjaga dan menghormati HAM seluruh warga negaranya.
Pemerintah dalam hal ini harus memenuhi kepentingan warga negara yang tidak beruntung itu untuk mendapatkan kembali haknya, terutama hak atas distribusi keadilan dan kebenaran, yang lebih utama dibandingkan bahkan dengan menghukum pelaku.
Hindari Pembohongan Publik
Beberapa kajian atas negara-negara yang mengalami transisi politik dengan masalah pelanggaran HAM menunjukkan fakta bahwa mereka lebih memilih menyelamatkan transisi politik ke demokrasi, dibandingkan memenuhi kewajiban dalam menegakkan HAM (Ifdal Kasim, Pencarian Keadilan di Masa Transisi, 2003). Indonesia dalam hal ini bukanlah pengecualian.
Retorika yang sering dimunculkan adalah, “mari lupakan masa lalu untuk membangun masa depan; mari menjadi bangsa yang memaafkan dan tidak mendendam; dahulukanlah kepentingan nasional dibandingkan hanya mengurusi kepentingan segelintir korban”, dan sebagainya.
Retorika yang terkesan seperti suara kenabian ini sesungguhnya mengecoh. Kita telah melihat fakta bahwa Timor Leste pun gagal melakukan konsolidasi demokrasi ketika elite negara itu menghindari berbicara tentang masalah HAM, terutama pasca-referendum 1999.
Reformasi yang seumur tragedi Mei ini juga menunjukkan kemacetannya. Salah satunya karena tidak ada sikap yang benar dalam mengungkapkan kebenaran masa lalu. Menumbalkan korban masa lalu selalu akan berakibat pada terkorbankannya demokrasi di masa sekarang.
Tragedi Mei seperti juga tragedi bangsa lainnya adalah bagian dari pahit getir sejarah bangsa. Ini tak mungkin terlupakan, dan akan terus masuk dalam siklus waktu. Setiap memasuki bulan Mei kita akan kembali dibawa pada situasi–seperti terungkap dalam bahasa sastrawan Prancis kelahiran Maroko, Tahar Ben Jelloun, “kelambanan yang subtil, akibat pembunuhan yang telah merenggut waktu, seluruh waktu yang dimiliki oleh laki-laki yang kini tidak tampak lagi, yang sebenarnya masih memperhatikan kita, tetapi sepenuhnya telah melupakan kita” (This Blinding Absence of Light, 2002).
Tahun ke-13 ini seharusnya menjadi tanda keberuntungan bagi korban Mei 1998. Pemerintahan SBY diharap mau menunjukkan kesungguhannya untuk mengungkapkan kasus ini selebar-lebarnya. SBY perlu mengabaikan perasaan takut–jika benar rumor bahwa kasus ini bukan kasus alamiah, tetapi melibatkan skenario elite tertentu–demi kepentingan kemanusiaan dan kebangsaan.
Tentu saja, hal itu perlu agar para korban tak terus buta di tengah terang-benderangnya cahaya Reformasi yang kini dinikmati politikus Senayan, melalui aksi studi banding dan rencana gedung mewahnya.
*Penulis adalah Dosen Antropologi di FISIP Universitas Malikussaleh.


No comments:

Post a Comment