Wednesday 1 April 2015

MISI HITAM SOSIALISASI UU KEWARGANEGARAAN RI TAHUN 2006 DI LUAR NEGERI

UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 tetap membisu dan tidak mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan rejim Orba terhadap WNI Indonesia di luar negeri yang dicabut paspornya karena keloyalannya terhadap pemerintah sah Soekarno berkaitan peristiwa 1965. Pencabutan paspor tersebut dilakukan dilakukan secara sewenang-wenang tanpa melalui prosedur hukum positif Indonesia. 

Andi Mattalata pada bulan Septeber 2008 ke Belanda untuk sosialisi UU Kewarganegaraan RI tersebut di hadapan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag. Tetapi tidak mendapat sambutan dari orang-orang yang dicabut paspornya/orang-orang eksil/ orang-orang terhalang pulang. 

Berikut ini adalah 3 buah artikel kritis MD Kartaprawira dalam menghadapi misi-hitam sosialisasi UU tersebut, yang merupakan bagian dari sejarah kaum eksil di luar negeri dalam usahanya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.


Red. LPK65



ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

Oleh MD Kartaprawira*)

Ketika (ex) Menteri Hamid Awaluddin berencana pergi ke Belanda dan Perancis untuk mengadakan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 kepada para “Orang Terhalang Pulang” (selanjutnya OTP, termasuk di dalamnya para eks Mahid) karena paspornya dicabut sewenang-wenang oleh penguasa negara di luar negeri (KBRI), para OTP dengan serius dan cermat mempersiapkan sesuatu yang akan didiskusikan, diusulkan kepada Awaluddin di dalam pertemuan tersebut, sebagai jalan keluar agar sisi negatif UU Kewarganegaraan bisa diperbaiki. Bahkan persiapan itu dirancang bersama-sama dengan beberapa oknum di luar OTP yang “peduli” pada nasib korban. Tetapi Awaluddin ternyata tidak jadi ke Belanda dan Perancis berhubung terjadinya reshafel kabinet, di mana kedudukannya digantikan oleh Andi Mattalata. Jadi keaktifan para OTP dalam masalah tersebut di atas cukup maksimal, sehingga tidak perlu dianjur-anjurkan lagi oleh Mattalata. (Lih. Detikcom, 21-09-2008 Laporan dari Den Haag, Eks Mahid Jangan Pasif). Sebaliknya, Mattalata sebagai menteri hukum dan HAM, jika mempunyai kepedulian dan iktikad baik terhadap para OTP (korban pelanggaran HAM di luar negeri) seharusnya aktif melakukan usaha-usaha riil ke arah tujuan tersebut secara serius melalui perwakilan RI di Den Haag.

Karena Hamid Awaluddin gagal melakukan sosialisasi UU Kewarganegaraan ke Belanda dan Perancis maka organisasi Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland (selanjutnya - LPK65)memandang perlu mengeluarkan Pernyataan dalam press release berkaitan dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 2006 agar diketahui umum.( Lih.: Press Releases - STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 Tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006 TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI http://lbgpk65.blogspot.com/2007/05/statement-lpk-65-tentang-kebijakan.html ) di samping penyiaran beberapa beberapa artikel, wawancara di muat di media cetak dan internet, juga wawancara di Radio, misalnya Radio SMART FM yang dipancarkan oleh 15 jaringannya di seluruh Indonesia. Dalam pernyataan tersebut secara jelas dipaparkan posisi organisasi LPK65 Nederland terhadap UU Kewarganegaraan 2006.

Pada hari Jum’at 19 September 2008 telah berlangsung pertemuan Andi Mattalata dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tema “Sosialisasi UU Kewarganeraan R.I 2006”. Tetapi mengapa KBRI tidak mengundang organisasi-organisasi di Belanda yang anggota-anggotanya sebagian besar adalah para OTP (“Perhimpunan Persaudaraan Indonesia” dan “Lembaga Pembela Korban 65”)? Padahal dua organisasi tersebut adalah organisasi riil dan resmi, yang mempunyai AD/ART dan anggotanya cukup besar, bukan organisasi dari dua atau tiga orang saja.

Memang pada jaman Orde Baru/Suharto antara OTP dan KBRI di luar negeri tidak ada hubungan sama sekali. KBRI kala itu dianggap wakil dari rejim yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965, baik di tanah air maupun di luar negeri. Tapi keadaan tersebut mulai berobah ke arah positif ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) memegang kendali pemerintahan. Untuk menyelesaikan masalah OTP Gusdur mengirimkan menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra ke Belanda untuk bertemu dan berdialog dengan para OTP yang akan dipulihkan kembali hak-hak politik dan sipilnya. Pertemuan Yusril dengan OTP diselenggarakan oleh KBRI Den Haag secara serius dan cermat sekali dengan mengundang beberapa orang OTP untuk ikut memikirkan persiapan pertemuan. Bahkan undangan sebanyak 200 buah diserahkan kepada saya (MD Kartaprawira) untuk dibagi-bagikan kepada para OTP di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Republik Ceko dll). Di kala itu kepala perwakilan RI adalah Dubes Abdul Irsan (1998-2002), yang di masa tugasnya hubungan baik antara OTP dan KBRI berkembang bagus. Pada pertemuan/seminar/diskusi yang diselenggarakan KBRI para OTP/organisasinya selalu diundang. Dan sebaliknya ketika para OTP yang dipelopori organisasi Perhimpunan Persaudaraan Indonesia mengadakan “Peringatan 100 Tahu Bung Karno” Dubes Irsan bersama-sama pejabat-pejabat terasnya selama dua hari berturut-turut menghadirinya (Hari pertama – Seminar, hari kedua – Pertunjukan kesenian). Hubungan timbal balik yang positif telah berlangsung.

Pertemuan tentang Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI oleh A.Mattalata tanggal 19 September 2008 yang lalu agaknya dipersiapkan dengan agenda yang penuh tanda tanya. Sebab LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia sebagai organisasi-organisasi di mana sebagian besar para OTP menjadi nggotanya, tidak diundang. Tapi masih untung ada 2 (dua) orang yang mungkin dapat digolongkan OTP hadir dalam pertemuan tersebut. Jelas pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan tersebut diselenggarakan secara tidak serius. Sehingga memungkinkan timbulnya berbagai pertanyaan: Apakah dengan tidak mengirimkan undangan ke pertemuan tersebut KBRI Den Haag ingin menunjukkan bahwa KBRI Den Haag tidak mengakui eksistensi dua organisasi para OTP: LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia? Dan karenya dua organisasi tersebut tidak perlu digubris, bisa diremehkan begitu saja? Atau memang KBRI tidak menginginkan hubungan baik/normal dengan para OTP/organisasinya?Tentunya masih ada pertanyaan lainnya lagi yang perlu mendapat kejelasan.

Tetapi kalau kita menengok sejarah hubungan KBRI dengan para OTP dan organisasinya, maka pertanyaan tersebut akan sedikit banyak menjadi terang. Ketika Dubes Abdul Irsan diganti Dubes M. Yusuf (2002-2005) telah mulai terjadi perubahan hubungan antara KBRI Den Haag dengan OTP/organisasinya. Hal tersebut nampak ketika KBRI mengadakan acara-acara tertentu atau ketika membacking acara-acara organisasi tertentu, tidak pernah lagi mengundang 2 (dua) organisaasi tersebut di atas (LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia). Alasan bahwa tidak tahu alamat kedua organisasi tersebut adalah absolut tidak dapat dibenarkan. Tapi anehnya mencomot (“mengundang”) orang-perorangan dari anggota kedua organisasi OTP tersebut untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan di KBRI atau pertemuan organisasi yang mendapat backingnya, dijadikan kebijakannya. Apa pula ini artinya? Apakah bukan politik pecah belah terhadap intern masyarakat OTP di Negeri Belanda? Nah itulah pertanyaan yang selalu menggelitik.

Dan yang lebih mencengangkan, mengapa Undangan pertemuan untuk memperingati hari nasional/peristiwa nasional yang penyelenggaraannya dipelopori oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia atau LPK65 tidak pernah disambut oleh KBRI, tanpa alasan yang jelas. Tentunya kalau dubesnya berhalangan, bisa diwakilkan kepada para pejabat bawahannya. Pada suatu Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia misalnya, dubes dan pejabat-pejabat bawahannya tidak hadir memenuhi undangan, padahal organisatornya telah mengosongkan satu deret kursi paling depan. Hal ini terjadi sejak M.Yusuf menjabat sebagai Kepala Perwakilan RI di Negeri Belanda.

Tampaknya kebijakan yang demikian itu, yaitu yang menyangkut hubungan para OTP dengan KBRI Den Haag, masih akan diteruskan oleh Kepala Perwakilan RI – Dubes Fanni Habibie (2005-2009) dewasa ini. Misalnya, sangat disayangkan undangan kepada KBRI untuk hadir dalam “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, tidak mendapat sambutan. Bahkan ada keberatan yang disampaikan oleh pihak KBRI tentang ketidak-setujuannya kata “100 Tahun” dicantumkan dalam judul peringatan tersebut. Aneh sekali.

Jalan rata hubungan KBRI dengan sebagian bangsa Indonesia di luar negeri yang “bergelar OTP” yang telah sukses dibangun oleh Dubes Abdul Irsan dulu seyogyanya dan seharusnya dilanjutkan oleh dubes-dubes berikutnya. "Tidak perlu membabat hutan lagi untuk membangun jalan baru". Para OTP di luar negri masih tetap bagian bangsa Indonesia yang keindonesiannya tidak pernah luntur.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland



ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN UU KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (2) : MENYEMBUNYIKAN MASALAH POKOK YANG PRINSIPIIL

Oleh MD Kartaprawira*)
Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam menyosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 di KBRI Den Haag pada 19 September yang lalu, jelas belum memahami sedikitpun permasalahan yang menyangkut “orang terhalang pulang” (selanjutnya OTP) atau dia tidak mau tahu. Masalah OTP tersebut sudah lama menjadi mata pembicaraan di media cetak, internet, radio, TV di samping di diskusikan di dalam seminar-seminar sampai saat ini. Tapi yang disosialisasikan Mattalata hanya mengenai masalah sekitar prosedur/cara permohonan kewarganegaraan kembali. Padahal persoalan prinsipiil bagi OTP adalah penegakan kebenaran dan keadilan. Artinya penguasa negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran berat terhadap WNI di luar negeri, karenanya harus minta maaf kepada WNI yang menjadi korban tersebut (OTP).

Kalau kebenaran sudah ditegakkan, selanjutnya harus ditegakkan keadilan, yaitu semua hak politik dan sipilnya dikembalikan kepada mereka, termasuk kewarganegaraannya, restitusi dan kompensasi jika memungkinkan. Itulah masalahnya yang pokok dan prinsipiil. Sedang kewarganegaraan itu adalah masalah buntut yang otomatis mengikuti masalah pokok.

Memang pengakuan perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sangat berat. Tapi seberat apapun pengakuan terhadap rakyatnya sendiri harus dilakukan. Mengapa pemerintah Indonesia tidak mampunyai keberanian untuk minta maaf kepada para korban, yang nota bene adalah bagian dari bangsanya sendiri. Mengapa pemerintah Indonesia tidak punya keberanian mencontoh Jepang, yang berani minta maaf bahkan kepada bangsa lain, yang tatkala masa Perang Dunia II Jepang melakukan tindakan kejahatan kemanusian di negara-negara yang didudukinya, a.l. wanita-wanita di negara-negara tersebut (Korea, Cina dll) dipaksa untuk dijadikan wanita pelampias kebutuhan sex serdadu-serdadunya, karena jauh dari isteri-isterinya? Dan agaknya berita yang relatif belum lama tidak masuk di telinga para penyelenggara negara Indonesia, bahwa parlemen Spanyol telah mengesahkan UU tentang pemberian kompensasi dan restitusi beserta permintaan maaf kepada para korban keganasan rejim fasis Franco (pelanggaran HAM 70 tahun yang lampau).

Menteri Hamid Awaluddin yang berperan penting terciptanya UU tersebut, di Helsinki (2005) ketika menanggapi pendapat salah satu OTP yang berdomisili di Swedia tentang masalah penyelesaian OTP dengan tegas menyatakan bahwa kalau politik yang dipermasalahkan tidak bisa, tapi kalau mengenai paspor atau kewarganegaraan yang diminta akan diberi. Jadi masalah prinsip tampaknya akan mereka hindarkan dan tolak terus, sedang yang mereka berikan hanyalah masalah buntutnya saja. Padahal masalah pelanggaran HAM berat adalah masuk dalam wilayah politik, yang harus diselesaikan dengan putusan politik. Selama masalah politik tidak diselesaikan, berarti penguasa negara masih menyembunyikan tindak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap rakyatnya.

Tetapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa rejim Orba/Suharto tidak mungkin dihapus dari lembaran sejarah. Usaha yang mereka lakukan untuk tujuan tersebut dengan memutar balikkan sejarah selama 32 tahun (melalui pendidikan di sekolah-sekolah, pemutaran film tentang G30S dan lain-lainnya) telah mengalami kegagalan total - terbongkar tujuan busuknya. Sebab rakyat sudah tidak bisa dibodohi dan dibohongi lagi. Yang terus berlangsung adalah usaha-usaha dengan cara yang lebih halus untuk terus menyembunyikan kebenaran sejarah demi untuk menghindarkan tuntutan dilaksanakannya keadilan dan pertanggung jawaban hukum. Salah satu dari usaha-usaha tersebut adalah melalui UU Kewarganegaraan RI 2006.

Segolongan masyarakat menyerukan agar melupakan masa lalu, demi menatap masa depan Indonesia. Tidak perlu mengungkit-ungkit masa lalu, sebab hanya membangkitkan dendam sejarah saja, kata mereka. Saya kira masa lalu tidak bisa dilupakan, tapi perlu diredam, diendapkan dalam-dalam untuk menatap masa depan. Syarat mutlak yang tidak boleh tidak – conditio sine qua non – ke arah tersebut ialah diakuinya lebih dulu kenyataan masa lalu: terjadinya “tindak kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat terhadap warganegaranya oleh penguasa negara baik di tanah air maupun di luar negeri”. Suatu omong kosong besar dan latah kebohongan, apabila melupakan masa lalu tapi tidak jelas apa masa lalu tersebut yang harus diakuinya lebih dulu.

Untuk menatap masa depan yang rekonsiliatif, tidak mungkin tanpa permintaan maaf dari pelaku pelanggaran HAM berat 1965 (penguasa negara) kepada para korban pada umumnya dan korban di luar negeri pada khususnya. Korban di luar negeri tidak bisa dipisah-pisahkan dengan korban di tanah air, sebab kalau tidak ada peristiwa 1965 yang mengakibatkan jutaan korban tak berdosa , termasuk Bung Karno beserta pendukungnya di tanah air, tidak akan mungkin timbul korban pelanggaran HAM di luar negeri.

Di dalam pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 oleh Andi Mattalata di KBRI Den Haag pada tanggal 19 September 2008 yang lalu tentu tidak akan disinggung masalah penegakan kebenaran dan keadilan seperti tersebut di atas. Memang demikianlah yang terjadi.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland



ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN RI 2006 (3): BERHADAPAN STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 ( 27 April 2007)
Oleh MD Kartaprawira*)

Agar kita mendapat gambaran jelas garis posisi Lembaga Pembela Korban 1965 terhadap UU Kewarganegaraan RI 2006, yang pada tanggal 19 September 2008 disosialisasikan oleh Andi Mattaalata di KBRI Den Haag, perlu saya tayangkan ulang press releases "Statement Lembaga Pembela Korban '65 Tentang Kebijakan Pemerintah Indonesia Sehubungan dengan UU Kewarganegaraan RI/2006 Terhadap WNI-Korban Pelanggaran HAM Orde Baru di Luar Negeri", tertanggal 27 April 2007 di Zeist (Nederland).

Dengan Statement tersebut diharapkan kita semua, baik OTP (Orang Terhalang Pulang) maupun bukan OTP, bisa mencermati apa yang tersurat dan tersirat di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Bagi para OTP jelas, bahwa selama dua posisi politik para korban dan pelaku pelanggaran HAM berat 1965 belum bisa ketemu, selama itu pula banyak masalah tidak dapat diselesaikan, antara lain mengenai UU Kewarganegaraan RI 2006.

Posisi pelaku pelanggaran HAM 1965 yang masih mau menyembunyikan tindak kejahatannya terhadap WNI di luar negeri yang dengan sewenang-wenang dicabuti paspornya (OTP) nampak jelas dengan tidak disinggungnya sepatah kata pun yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Maka tidak mengherankan bahwa pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 oleh menteri hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag, yang dari orang tergolong OTP hanya hadir 2 (dua) orang saja.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban '65 (LPK65), Nederland
http://lbgpk65.blogspot.com/


Press Releases
STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
TentangKEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI
Lembaga Pembela Korban '65 (LPK'65) sesuai visi dan misinya akan terus memperjuangkan kepentingan korban peristiwa 1965 di dalam dan di luar negeri. Yang dimaksud korban peristiwa 1965 di luar negeri, yaitu para warganegara Indonesia yang ketika meletus peristiwa G30S sedang menjalankan tugasnya di luar negeri (sebagai mahasiswa, pejabat, wartawan, anggota delegasi di forum internasional) dicabut paspornya secara sewenang-wenang oleh penguasa Orde Baru/penguasa Negara saat itu.


Bahwasanya mereka berposisi loyal dan mendukung pemerintah Soekarno sebagai pemerintahan sah saat itu, tidaklah bisa dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan repressi kepada mereka dengan pencabutan paspor. Akibatnya mereka selama 32 tahun mendapatkan banyak kesulitan dan tidak bisa pulang ke tanah air, terpisah dengan sanak keluarganya, menjadi apa yang dinamakan "orang terhalang pulang" (selanjutnya: OTP). Tindakan penguasa Orde Baru yang demikian itu menunjukkan identitas sebagai penguasa diktator yang melanggar hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.

Dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 pemerintah RI menunjukkan suatu langkah penyelesaian masalah para OTP, di samping masalah orang-orang yang kehilangan kewarganegaraan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa 65. Bagi para OTP kebijakan pemerintah tertuang dalam UU Kewarganegaraan tersebut dirasakan tidak memenuhi tuntutan keadilan dan tidak manusiawi. Sedang janji Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin di Helsinki (11.09.2006) akan bertemu dengan para OTP di Amsterdam dan Paris, yang mungkin bisa membuka jalan dialog positif, ternyata sampai detik ini tidak kunjung kabar beritanya.
Menyikapi kebijakan pemerintah SBY-Kalla cq. Menteri Hukum dan HAM berkaitan dengan pemulihan kembali kewarganegaraan RI kepada mantan WNI (para OTP) tersebut di atas, Lembaga Pembela Korban'65 menyatakan:

Tindakan pencabutan paspor oleh Penguasa Orde Baru/penguasa Negara pada saat itu terhadap WNI tersebut di atas adalah tindakan politis yang melanggar hukum dan HAM. Penyelesaian masalah tersebut yang dilakukan pemerintah dewasa ini melalui UU Kewarganegaraan RI/2006 adalah suatu kebijakan bersifat administratif: tidak dapat dibenarkan, tidak adil dan tidak manusiawi. Penyelesaian masalah para OTP seharusnya tidak hanya sebatas pengembalian paspor belaka, tetapi harus mencakup semua aspek-aspek keadilan dan HAM yang telah dilanggar penguasa Orba.


Maka kalau pemerintah SBY-Kalla berkehendak melakukan kebijakan rekonsiliatif untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM bagi para OTP, pemerintah harus melakukan kebijakan berdasarkan keputusan politik pula dengan mematuhi prinsip penegakan Kebenaran dan Keadilan. Sesuai prinsip Kebenaran pemerintah atas nama negara harus mengakui dengan tegas bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para warganegaranya tersebut di atas. Dan oleh karenanya pemerintah atas nama negara harus dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada para OTP.


Selanjutnya sesuai prinsip Keadilan pemerintah harus mengembalikan sepenuhnya hak-hak politik dan sosial ekonominya, termasuk hak mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Hal itu adalah prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi landasan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya dalam menyelesaikan masalah-masalah warganegara RI di luar negeri yang karena peristiwa 1965 terhalang pulang dan/atau dicabut paspornya oleh penguasa Negara/Pemerintah Orde Baru.


Pemulihan kembali kewarganegaraan RI haruslah dipandang hanya sebagai salah satu konsekwensi penegakan Kebenaran dan Keadilan, di samping konsekwensi-konsekwensi lainnya: pemulihan penuh hak-hak politik dan sipil, rehabilitasi penuh, jaminan keamanan-sosial-ekonomi dan tindak non-diskriminatif.
Kebijakan pemerintah tanpa penegakan Kebenaran dan Keadilan adalah identik dengan pengingkaran pelanggaran HAM yang telah menyengsarakan warganegaranya sehingga tidak bisa kembali ketanah air untuk menunaikan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa, kehilangan karier, terpisah dengan sanak keluarga di tanah air selama tiga dasa warsa, dan lain-lainnya.


Sedang kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.HL.03.01 Tahun 2006 tentang "Pernyataan Kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia", di mana pernyataan kesetiaan tersebut merupakan persayaratan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali bagi mereka yang dicabut paspornya tsb. di atas, adalah tidak tepat dan dirasakan sebagai penghinaan yang mendalam. Sebab mereka tersebut bukan kaum separatis dan pemberontak terhadap NKRI, melainkan patriot yang cinta dan membela tanah air Indonesia, UUD'45 dan Pancasila. Persyaratan pernyataan setia kepada NKRI hanya patut diberlakukan kepada kaum separatis dan pemberontak yang kembali kepangkuan NKRI.


Di samping itu perlu ditekankan, bahwa LPK'65 tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi mereka yang berposisi lain demi mendapatkan kembali kewarganegaraan RI sesuai ketentuan-ketentuan UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 dan peraturan-peraturan organiknya. Hak asasi mereka kami hormati sepenuhnya.
LPK'65 beranggapan bahwa Pemerintah dan Penyelenggara Negara lainnya diharapkan masih bisa dan punya kesempatan untuk merubah kebijakan-kebijakan negatif tersebut diatas demi tegaknya kebenaran dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam UUD 45 dan Pancasila. Sedang kepada semua lembaga/organisasi peduli HAM diharapkan dukungannya dan kerjasamanya dalam perjuangan menegakkan hukum dan HAM di Indonesia.

Zeist/Nederland, tgl. 27 April 2007

LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto (Sekretaris I)

Posted by LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 at 3:09 PM 0 comments 
http://lbgpk65.blogspot.com/






ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

Oleh MD Kartaprawira*)

Ketika (ex) Menteri Hamid Awaluddin berencana pergi ke Belanda dan Perancis untuk mengadakan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 kepada para “Orang Terhalang Pulang” (selanjutnya OTP, termasuk di dalamnya para eks Mahid) karena paspornya dicabut sewenang-wenang oleh penguasa negara di luar negeri (KBRI), para OTP dengan serius dan cermat mempersiapkan sesuatu yang akan didiskusikan, diusulkan kepada Awaluddin di dalam pertemuan tersebut, sebagai jalan keluar agar sisi negatif UU Kewarganegaraan bisa diperbaiki. Bahkan persiapan itu dirancang bersama-sama dengan beberapa oknum di luar OTP yang “peduli” pada nasib korban. Tetapi Awaluddin ternyata tidak jadi ke Belanda dan Perancis berhubung terjadinya reshafel kabinet, di mana kedudukannya digantikan oleh Andi Mattalata. Jadi keaktifan para OTP dalam masalah tersebut di atas cukup maksimal, sehingga tidak perlu dianjur-anjurkan lagi oleh Mattalata. (Lih. Detikcom, 21-09-2008 Laporan dari Den Haag, Eks Mahid Jangan Pasif). Sebaliknya, Mattalata sebagai menteri hukum dan HAM, jika mempunyai kepedulian dan iktikad baik terhadap para OTP (korban pelanggaran HAM di luar negeri) seharusnya aktif melakukan usaha-usaha riil ke arah tujuan tersebut secara serius melalui perwakilan RI di Den Haag.

Karena Hamid Awaluddin gagal melakukan sosialisasi UU Kewarganegaraan ke Belanda dan Perancis maka organisasi Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland (selanjutnya - LPK65)memandang perlu mengeluarkan Pernyataan dalam press release berkaitan dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 2006 agar diketahui umum.( Lih.: Press Releases - STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 Tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006 TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI http://lbgpk65.blogspot.com/2007/05/statement-lpk-65-tentang-kebijakan.html ) di samping penyiaran beberapa beberapa artikel, wawancara di muat di media cetak dan internet, juga wawancara di Radio, misalnya Radio SMART FM yang dipancarkan oleh 15 jaringannya di seluruh Indonesia. Dalam pernyataan tersebut secara jelas dipaparkan posisi organisasi LPK65 Nederland terhadap UU Kewarganegaraan 2006.

Pada hari Jum’at 19 September 2008 telah berlangsung pertemuan Andi Mattalata dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tema “Sosialisasi UU Kewarganeraan R.I 2006”. Tetapi mengapa KBRI tidak mengundang organisasi-organisasi di Belanda yang anggota-anggotanya sebagian besar adalah para OTP (“Perhimpunan Persaudaraan Indonesia” dan “Lembaga Pembela Korban 65”)? Padahal dua organisasi tersebut adalah organisasi riil dan resmi, yang mempunyai AD/ART dan anggotanya cukup besar, bukan organisasi dari dua atau tiga orang saja.

Memang pada jaman Orde Baru/Suharto antara OTP dan KBRI di luar negeri tidak ada hubungan sama sekali. KBRI kala itu dianggap wakil dari rejim yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965, baik di tanah air maupun di luar negeri. Tapi keadaan tersebut mulai berobah ke arah positif ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) memegang kendali pemerintahan. Untuk menyelesaikan masalah OTP Gusdur mengirimkan menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra ke Belanda untuk bertemu dan berdialog dengan para OTP yang akan dipulihkan kembali hak-hak politik dan sipilnya. Pertemuan Yusril dengan OTP diselenggarakan oleh KBRI Den Haag secara serius dan cermat sekali dengan mengundang beberapa orang OTP untuk ikut memikirkan persiapan pertemuan. Bahkan undangan sebanyak 200 buah diserahkan kepada saya (MD Kartaprawira) untuk dibagi-bagikan kepada para OTP di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Republik Ceko dll). Di kala itu kepala perwakilan RI adalah Dubes Abdul Irsan (1998-2002), yang di masa tugasnya hubungan baik antara OTP dan KBRI berkembang bagus. Pada pertemuan/seminar/diskusi yang diselenggarakan KBRI para OTP/organisasinya selalu diundang. Dan sebaliknya ketika para OTP yang dipelopori organisasi Perhimpunan Persaudaraan Indonesia mengadakan “Peringatan 100 Tahu Bung Karno” Dubes Irsan bersama-sama pejabat-pejabat terasnya selama dua hari berturut-turut menghadirinya (Hari pertama – Seminar, hari kedua – Pertunjukan kesenian). Hubungan timbal balik yang positif telah berlangsung.

Pertemuan tentang Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI oleh A.Mattalata tanggal 19 September 2008 yang lalu agaknya dipersiapkan dengan agenda yang penuh tanda tanya. Sebab LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia sebagai organisasi-organisasi di mana sebagian besar para OTP menjadi nggotanya, tidak diundang. Tapi masih untung ada 2 (dua) orang yang mungkin dapat digolongkan OTP hadir dalam pertemuan tersebut. Jelas pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan tersebut diselenggarakan secara tidak serius. Sehingga memungkinkan timbulnya berbagai pertanyaan: Apakah dengan tidak mengirimkan undangan ke pertemuan tersebut KBRI Den Haag ingin menunjukkan bahwa KBRI Den Haag tidak mengakui eksistensi dua organisasi para OTP: LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia? Dan karenya dua organisasi tersebut tidak perlu digubris, bisa diremehkan begitu saja? Atau memang KBRI tidak menginginkan hubungan baik/normal dengan para OTP/organisasinya?Tentunya masih ada pertanyaan lainnya lagi yang perlu mendapat kejelasan.

Tetapi kalau kita menengok sejarah hubungan KBRI dengan para OTP dan organisasinya, maka pertanyaan tersebut akan sedikit banyak menjadi terang. Ketika Dubes Abdul Irsan diganti Dubes M. Yusuf (2002-2005) telah mulai terjadi perubahan hubungan antara KBRI Den Haag dengan OTP/organisasinya. Hal tersebut nampak ketika KBRI mengadakan acara-acara tertentu atau ketika membacking acara-acara organisasi tertentu, tidak pernah lagi mengundang 2 (dua) organisaasi tersebut di atas (LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia). Alasan bahwa tidak tahu alamat kedua organisasi tersebut adalah absolut tidak dapat dibenarkan. Tapi anehnya mencomot (“mengundang”) orang-perorangan dari anggota kedua organisasi OTP tersebut untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan di KBRI atau pertemuan organisasi yang mendapat backingnya, dijadikan kebijakannya. Apa pula ini artinya? Apakah bukan politik pecah belah terhadap intern masyarakat OTP di Negeri Belanda? Nah itulah pertanyaan yang selalu menggelitik.

Dan yang lebih mencengangkan, mengapa Undangan pertemuan untuk memperingati hari nasional/peristiwa nasional yang penyelenggaraannya dipelopori oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia atau LPK65 tidak pernah disambut oleh KBRI, tanpa alasan yang jelas. Tentunya kalau dubesnya berhalangan, bisa diwakilkan kepada para pejabat bawahannya. Pada suatu Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia misalnya, dubes dan pejabat-pejabat bawahannya tidak hadir memenuhi undangan, padahal organisatornya telah mengosongkan satu deret kursi paling depan. Hal ini terjadi sejak M.Yusuf menjabat sebagai Kepala Perwakilan RI di Negeri Belanda.

Tampaknya kebijakan yang demikian itu, yaitu yang menyangkut hubungan para OTP dengan KBRI Den Haag, masih akan diteruskan oleh Kepala Perwakilan RI – Dubes Fanni Habibie (2005-2009) dewasa ini. Misalnya, sangat disayangkan undangan kepada KBRI untuk hadir dalam “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, tidak mendapat sambutan. Bahkan ada keberatan yang disampaikan oleh pihak KBRI tentang ketidak-setujuannya kata “100 Tahun” dicantumkan dalam judul peringatan tersebut. Aneh sekali.

Jalan rata hubungan KBRI dengan sebagian bangsa Indonesia di luar negeri yang “bergelar OTP” yang telah sukses dibangun oleh Dubes Abdul Irsan dulu seyogyanya dan seharusnya dilanjutkan oleh dubes-dubes berikutnya. "Tidak perlu membabat hutan lagi untuk membangun jalan baru". Para OTP di luar negri masih tetap bagian bangsa Indonesia yang keindonesiannya tidak pernah luntur.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

No comments:

Post a Comment