Thursday 14 February 2013

Komnas HAM yang Memalukan


Komnas HAM yang Memalukan

OPINI | 14 February 2013 | 16:45
Dibaca: 211   Komentar: 0   1 aktual
13608350501887045495
(sumber: Antaranews.com)
Memalukan!
Cemoohan itu sangat pantas dilontarkan ke Komnas HAM yang sekarang (periode 2012 – 2016).
Betapa tidak baru tiga bulan menjalankan tugasnya para komisionernya sudah bertikai hanya gara-gara cemburuan dan rebutan fasilitas mewah.
Semula masa jabatan pimpinan Komnas HAM adalah dua setengah tahun, setelah periode itu akan diganti olah salah satu dari tiga belas komisioner yang ada.
Tetapi, di internal para komisioner itu kini bertikai. Sembilan di antara tiga belas komisioner itu bersikukuh untuk merevisi tata tertib tentang masa jabatan pimpinan Komnas HAM menjadi satu tahun. Jadi, setiap tahun di antara mereka akan bergilir menjadi pimpinan Komnas HAM.
Gara-gara berbeda pendapat soal perlu-tidaknya revisi masa jabatan pimpinan itu, para komisioner itu terpecah dua. Yang pertama, dikenal dengan sebutan “kelompok sembilan,” karena terdiri dari sembilan orang, yang berkehendak kuat mengrevisi, dan yang kedua “kelompok empat,” yang menentangnya.
Lewat rapat yang ricuh, pada 23 November 2012, akhirnya disetujui usulan revisi masa jabatan pimpinan Komnas HAM itu. Maklum saja, sembilan melawan empat, tentu saja kalah suara.
Kenapa mereka begitu antusias untuk mengrevisi masa jabatan pimpinan Komnas HAM itu? Baru saja menjabat, sudah mengadakan rapat untuk mengrevisi masa jabatan tersebut. Bukan mempriotitaskan pembicaraan tentang visi dan misi mereka dalam menjalankan tugasnya di Komnas HAM.
Ternyata, seperti yang diutarakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang (Kontras) Haris Azhar, selain ada muatan politis menjelang Pemilu 2014, mereka rebutan menjadi pimpinan Komnas HAM itu karena komisioner yang menjabat jabatan itu akan memperoleh mobil dinas Camry! (MajalahTempo, 27 Januari 2013).
Karena, hanya ada satu mobil dinas Camry untuk pimpinan, maka komisioner yang lain tidak bisa ikut menikmati mobil mewah tersebut. Maka, terjadilah rebutan menjadi pimpinan itu. Supaya “adil” mereka berinisiatif untuk mengrevisi masa jabatan pimpinan itu dari dua setengah tahun, menjadi satu tahun. Jadi, dengan bergilir menjadi pimpinan, para komisioner itu berharap bisa bergilir menikmati mobil Camry.
Dengarkan keluhan salah satu komisioner dari kelompok sembilan, Imdadun Rahmat: Kelompok sembilan mengaku kecewa terhadap koleganya yang duduk di kursi pimpinan. Mereka dinilai tidak solider dan ingkar janji. “Dulu Sandra berjanji tidak akan menerima fasilitas mobil kecuali semua komisioner mendapatkannya.”
Belakangan Sandra meminta maaf karena lupa mengklarifikasi bahwa mobil dinas yang ia terima karena mengira semua komisioner memperoleh fasilitas yang sama.  … (Tempo, 27 Januari 2013).
Seperti kanak-kanak merengek-rengek rebutan permen, bukan? Sangat tidak dewasa, dan sangat memalukan. Semua ingin menikmati kemewahan birokrasi, tetapi karena kemewahan itu tidak bisa dibagi rata, maka ada komitmen di antara mereka: Jika tidak bisa berbagi, maka semua harus tidak dapat. Yang dapat, harus menolak dengan alasan tolrenasi. Dangkal dan memalukan!
Komnas HAM periode ini rupanya diisi oleh komisioner-komisionernya bermental  matre, yang hanya berburu kenikmatan kemewahan birokrasi ketimbang memikirkan tugas utamanya dalam perjuangan  penegakan HAM di negara ini.
Tajuk Rencana, Kompas, Rabu, 13 Februari 2013, menulis: “Gagasan reformasi birokrasi yang digulirkan dengan cara menggilir masa jabatan pimpinan Komnas HAM selama setahun sama sekali tidak punya logika dan korelasi dengan isu penghormatan HAM, selain hanya giliran kapan menjadi ketua.
Dengan kondisi Komnas HAM yang diisi oleh para komisionernya yang hanya mengutamakan ambisi mengejar kenikmatan kemewahan birokrasi seperti ini, sangat rentan membuat Komnas HAM diperalat dan mau diperalat oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Apalagi menjelang Pemilu/Pilpres 2014. Ketika harus ada verifikasi kelayakan seorang tokoh tertentu untuk maju sebagai capres/cawapres, bisa jadi dengan mendekati Komnas HAM akan keluar semacam “rekomendasi” tentang kebersihan tokoh tersebut dari tindakan pelanggaran HAM (masa lalu).
Dengan mental hedonisme para komisioner Komnas HAM ini, maka mereka akan dengan mudah dipengaruhi dengan imbalan materi yang bisa memenuhi nafsu kenikmatan hidup mereka itu. Bayangkan saja, “hanya” sebuah Camry (yang bernilai Rp. 500 jutaan – Rp. 600 jutaan) saja tanpa malu menjadi rebutan di antara mereka. Apalagi dengan materi yang jumlahnya berlipat-lipat kali dari itu, yang akan dengan mudah diberikan oleh tokoh-tokoh tertentu yang hendak nyapres, ataupun kepentingan-kepentingan politik tertentu dari parpol-parpol yang ada.
Sementara tugas-tugas sebenarnya sebagai Konas HAM mereka lupakan saking terlena dengan kenikmatan dan kemewahan birokrasi yang terus dikejar. Problem hak asasi manusia yang di Indonesia akan semakin jauh dari terpecahkan, bahkan semakin destruktif, seperti kebebasan beribadah, kebebasan atas keyakinan tertentu, intoleran, konflik agraria, pelanggaran HAM masa lalu, misteri pembunuhan aktivis HAM dari Kontras, Munir, konflik Poso, dan lain-lain bisa jadi di periode Komnas HAM akan semakin buruk, karena kurang diperhatikan.
Pengaruh politik di Komnas HAM, yang seharusnya sangat independen itu sudah terkontaminasi sejak awal di proses pemilihan para komisionernya. Betapa tidak, yang memilih mereka itu anggota DPR. Sedangkan kita sendiri tahu bagaimana rata-rata kualitas anggota DPR itu? Mereka itu juga menjabat sebagai anggota DPR demi mengejar kepentingan politik parpol-nya, termasuk dalam memajukan capres-capres-nya, demi kepentingan mengejar kekayaan pribadi dan kemewahan fasilitas jabatatan, dan sebagainya. Bagaimana bisa, filter kotor menghasilkan sesuatu yang bersih?
Dari sinilah berawal terpilihnya beberapa anggota komisoner yang sebenarnya tidak memenuhi syarat, karena rekam jejak perjuangan HAM-nya nyaris tak terdengar. Hasilnya, begitu menjabat yang mereka perjuangkan adalah “hak asasinya” untuk bisa  menikmati kemewahan Camry, dan tentu saja fasilitas mewah lainnya.
Tajuk Rencana Kompas tersebut di atas menulis sebuah ironisme. Justru di masa rezim Orde Baru yang otoriter dan represif, Komnas HAM jauh lebih bergigi daripada yang di masa reformasi. Apalagi yang di periode 2012-2016 ini, yang semakin redup dan kehilangan orientasinya sebagai  pejuang penegakan HAM di negeri ini.
Komnas HAM dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1993. Di era pemerintahan Soeharto yang sering dikecam sebagai tirani dan diktator itu, prestasi Komnas HAM justru luar biasa. Sehingga orang menyebut mereka sebagai “anak nakal” Orde Baru.
Kompas menulis: “Awalnya, Komnas HAM yang dipimpin mantan Jaksa Agung Ali Said dipandang aktivis HAM hanya sebagai pemanis wajah otoriter Orde Baru. Namun, dalam perkembangannya, di tengah iklim otoriter, Komnas HAM justru mampu mendobrak hegemoni negara Orde Baru. Komnas HAM begitu independen terhadap negara, termasuk terhadap Presiden Soeharto. Ia mengungkapkan praktik peradilan sesat persidangan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang melibatkan militer. Komnas HAM juga menangani isu Timor Timur , menginvestigasi penyerangan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juni 1996, dan mengungkap penculikan aktivis mahasiswa di penghujung Orde Baru. Sejumlah perwira militer diadili untuk kasus tersebut meskipun sejumlah korban penculikanmasih hilang sampai sekarang.
Seandainya Komnas HAM dari era Orde Baru ini masih bekerja, bisa jadi kasus misteri pembunuhan Munir, konflik Poso, dan lain-lain sejenisnya,  akan bisa lebih cepat terungkap daripada yang sekarang.
Komnas HAM yang sekarang sudah tidak tahu diri rebutan Camry, malah marah ketika hal itu diungkapkan ke publik.
Komisioner  Nur Kholis, membantah semua tudingan tentang rebutan Camry itu. Kata dia, mereka sebelumnya sudah mempelajari komisi-komisi nasional yang lain, yang masa kerja pimpinannya berganti setiap tahun. “Tidak ada masalah di sana,” katanya (Tempo, 27 Januari 2013).
Komisi nasional manapun yang dimaksud Nur Kholis itu, tetap saja apa yang mereka lakukan dalam merivisi masa jabatan pimpinan Komnas HAM itu tidak pantas. Karena yang lazim terjadi di komisi nasional lain, bukankah selama ini tidak lazim di Komnas HAM? Mengapa mau ditiru? Apa relevansi dan substantifnya dengan tugas inti Komnas HAM itu? Dengan perilaku mereka seperti ini, maka seharusnya yang direvisi adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Direvisi agar masa jabatan seorang pimpinan Komnas HAM ditentukan secara pasti lamanya. Bukan malah menjadi “piala bergilir” di tangan para komisionernya yang oportunis dan pragmatis.
Nur Kholis marah kepada pihak-pihak tertentu di LSM-LSM HAM yang mengungkapak rebutan Camry dan konflik internal di Komnas HAM. Nur Kholis menyebutkan Imparsial, anggota koalisi pemantau, semstinya menghormati kesepakatan bersama untuk tidak mencampurim urusan internal masing-masing. “Saya kecewa,” katanya (Tempo, 27 Januari 2013).
Padahal, tentu saja publik harus tahu, meskipun itu konflik internal komisi. Karena dampak konflik itu sangat buruk secara nasional. Dengan terabainya perjuangan penegakan HAM, dan terkontaminasinya Komnas HAM dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu. Misalnya, perbedaan sikap di Komnas HAM periode ini dalam penanganan kasus Poso.
Menurut laporan Tempo, seperti yang diutarakan Komisioner Natalius Pigai, pimpinan Komnas HAM Otto Nur Abdullah “tidak melindungi dan mendukung kerja tim dalam penanganan kasus Poso.”
Otto menegur komisioner Siane Indriani, yang tengah menyelidiki konflik Poso yang kian memanas. Langkah itu dilakukan sang ketua setelah menerima telepon dari seseorang di Mabes Polri. “Dia masuk ke ruang Siane dan bilang pernyataan di media bukan sikap resmi Komnas HAM,” kata Natalius. Hal ini dibantah oleh Otto, tetapi dibenarkan oleh sumber Tempo yang lain.
Jadi, akan jadi apa Komnas HAM di bawah para komisionernya yang sekarang? Madesu-lah, masa depan suram lah penegakan HAM di NKRI ini. ***

No comments:

Post a Comment