Monday 31 October 2011


VIVANEWS.COM, KAMIS, 15 SEPTEMBER 2011, 01:36 WIB
Renne R.A Kawilarang, Harwanto Bimo Pratomo, Antique
http://us.media.vivanews.com/thumbs2/2011/08/12/119862_proses-gugatan-hukum-kasus-rawagede-di-pengadilan-den-haag--belanda_300_225.jpg
Proses gugatan hukum kasus Rawagede di pengadilan Den Haag, Belanda (Radio Nederland Wereldomroep)
BERITA TERKAIT
VIVAnews - Hakim pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, pada sidang Rabu sore 14 September 2011 waktu setempat akhirnya mengabulkan gugatan atas pembantaian di Rawagede. Menariknya, pihak tergugat adalah Pemerintah Kerajaan Belanda, yang dituntut di meja hijau oleh warga di wilayah bekas jajahannya, Indonesia.
Setelah butuh lebih dari dua bulan mempelajari pledoi dari pihak penggugat dan tergugat, majelis hakim menyatakan Pemerintah Kerajaan Belanda harus memberi ganti rugi terhadap tujuh janda korban pembantaian massal pasukan Belanda di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat pada 1947 atau semasa berkecamuknya perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"Pengadilan memutuskan bahwa negara (Belanda) telah berbuat salah dengan adanya eksekusi itu dan negara wajib membayar ganti rugi sesuai ketentuan hukum," kata hakim Daphne Schreuder, seperti dikutip stasiun beritaBBC.
Menurut keputusan hakim, seperti yang juga dipantau kantor berita Associated Press, Pemerintah Belanda "tak beralasan" berargumen bahwa para janda korban Pembantaian Rawagede tidak berhak menerima ganti rugi karena kasus ini sudah kadaluarsa. Hakim menyatakan hak ganti rugi ini hanya berlaku bagi keluarga langsung korban pembantaian.
Putusan hakim ini memberi jalan bagi tuntutan agar Belanda memberi ganti rugi, yang nilainya belum ditentukan, untuk para keluarga korban Pembantaian Rawagede. Namun, menurut Radio Netherlands Worldwide, majelis hakim menolak gugatan lain yang diajukan pihak penggugat, yaitu agar Pemerintah Kerajaan Belanda dikenakan dakwaan kriminal atas kekejaman itu.
Belum ada penjelasan langkah selanjutnya dari Pemerintah Belanda sebagai pihak tergugat. Bila pemerintah mengajukan banding, kasus ini belum selesai dan butuh waktu lagi.
Menurut Radio Netherlands Siaran Indonesia (Ranesi), kasus ini diajukan oleh keturunan korban pembunuhan massal di desa Rawagede - yang sekarang bernama Balongsari. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Distrik di Den Haag pada 9 Desember 2009, tepat 62 tahun peringatan pembantaian Rawagede, yang kini bernama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang.
Desa itu terletak di antara Karawang dan Bekasi. Pembantaian Rawagede diyakini sebagai aksi kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.
Paling brutal
Tragedi berdarah ini terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede, lalu mengeksekusi warga lelaki di desa itu karena menolak memberi informasi keberadaan Kapten Kustario.
Saksi mata menuturkan, para lelaki itu dijejerkan dan ditembak mati. Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, Sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya “hanya” 150.
Pada 1947 Belanda memutuskan untuk tidak menyeret para serdadunya yang melakukan eksekusi massa itu ke pengadilan.
Pada 2009 keluarga korban di Rawagede menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. "Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini," demikian menurut laporan Ranesi.
Saih bin Sakam meninggal pada usia 88 tahun. Ia mencoba menemui Ratu Beatrix selama kunjungannya di Belanda, yang sayangnya tidak berhasil. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.
Menurut pengacara Kerajaan Belanda, GJH Houtzagers, klaim Rawagede ini sudah terlambat dan kadaluarsa. Masalah ini, menurut dia, harusnya sudah selesai pada 1966 dengan persetujuan finansial antara Belanda dan Indonesia. Kedua pihak juga bersepakat tak akan mengungkit-ungkit lagi semua pelanggaran pada masa konflik bersenjata.
Mewakili pihak penggugat, Liesbeth Zegveld, menolak klaim tergugat. Dia mengingatkan dalam berbagai kasus serupa yang dilakukan oleh Jerman pada masa Perang Dunia II, Belanda tidak pernah mengemukakan alasan kadaluarsa.
Zegveld menilai para janda yang suaminya dibunuh militer Belanda di Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang dunia kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak menolak tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa. Kebijakan ini juga harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar Zegveld, seperti dikutip Radio Netherlands beberapa waktu lalu.
Westerling
Menurut Zegveld, jika kasus Rawagede menang di pengadilan maka bisa berdampak positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.
Jeffry Pondaag dari Komite Utang Kehormatan Belanda mengatakan perkara ini bukan hanya di Rawagede saja. "Di Sulawesi Selatan ada pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus Kaliprogo di Jawa Tengah, Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya,” kata Pondaag beberapa waktu lalu.
Guru Besar Ilmu Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menanggapi positif dikabulkannya tuntutan para keluarga korban tragedi Rawagede kepada pemerintah Belanda.
Menurut dia, terdapat dua hal yang menjadi catatan positif jika berkaca dari kejadian ini. Pertama, gugatan ganti rugi yang notabene-nya ialah sisi perdata dapat dimenangkan tanpa melalui gugatan pidana terlebih dahulu.

Kedua, keputusan pengadilan yang tidak menerima argumen pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa kasus ini telah kadaluwarsa merupakan suatu terobosan. Dengan adanya keputusan pengadilan ini membuka harapan bagi kasus-kasus lain untuk diungkap.

"Seperti korban kasus Westerling di Sulawesi Selatan dapat melakukan gugatan juga. Sebab, banyak kasus-kasus yang dilakukan Belanda saat berusaha merebut kekuasaan setelah Indonesia merdeka," tuturnya.

Preseden dari kejadian ini, lanjut Hikmahanto, adalah dapat menjadi contoh bila ada keluarga-keluarga korban Belanda lainnya. "Mereka bisa mengajukan tuntutan ke pemerintah Belanda," kata dia.(np)

• VIVAnews


BANJIR DARAH DI KAMP KOSENTRASI ,
Catatan Harian Aktifis PNI di Penjara Orde Baru


Ibarat memoar kecil sebuah tragedi besar, begitulah buku ini bercerita. Nyata, sarat getar sastra, dan tak jarang mampu mengaduk emosi pembaca. Meski hampir keseluruhan isinya menyiratkan getir yang amat sangat, namun memoar ini terasa nyaman, mengalir, dan enak dibaca. Bangsa ini berhutang pada penulisnya yang telah berhasil menampilkan,
seperti kajian Paul Thompson (2000: 7-8) yang dinukil Baskara T. Wardaya dalam pengantar buku ini, perspektif baru dari bawah, dengan menggeser fokus kajian dan membuka wilayah-wilayah pencarian yang baru, dengan menyuarakan narasi dari kalangan yang selama ini terabaikan, sebuah narasi sejarah yang sedang melakukan sebuah transformasi.

Tragis, menyeramkan, dan penuh kepiluan. Demikian kesan kuat yang kita dapat usai membaca buku ini. Sebuah memoar saksi perjalanan hidup seorang yang (pernah) terbuang dan kalah di negerinya sendiri. NH Atmoko, penulis buku ini, mampu menyajikan sebuah catatan kecil dalam sebuah masa kelam bagi pribadinya, pula bagi bangsanya.

Kurun 1965. Saat itu ia hidup tenang sebagai pejabat Departemen Kesehatan yang berdinas di Pati, sebuah kota kabupaten di kawasan pantai utara Jawa. Hidupnya tak berkekurangan suatu apapun juga. Memiliki pekerjaan mapan sebagai pegawai negeri, istri cantik, dan ketiga putri yang sangat menggemaskan. Ia seorang Kristen yang taat dan sadar ihwal eksistensi Tuhan. Tak ada keraguan di dalamnya.

Maka terjadilah tragedi memilukan itu. Ketika suatu malam ia memergoki belasan aparat berseragam militer baret merah mendatangi rumahnya, mengobrak-abrik seisi rumah. Radio, barang mewah dan amat berharga waktu itu, dirampas begitu saja. Ia segera melarikan diri, menyusuri pematang sawah. Masih saja terheran dengan apa yang terjadi: mengapa aparat mencari dirinya?

Ia bukanlah simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau apapun yang berafiliasi dengan partai yang terlanjur dicap sebagai dalang tragedi berdarah Gerakan 30 September (G 30S) 1965. Ia pegawai negeri yang hidup baik-baik, tak pernah merongrong pemerintah, atau melawan kebijakan yang ada. Hanya satu alasan yang mungkin menghampirinya: karena ia begitu mencintai Bung Karno. Ia memang seorang aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI).
Ia berpegang teguh bahwa negara yang masih muda selalu dirongrong oleh pemberontakan-pemberontakan.

Bung Karno adalah seorang pemimpin yang berkobar semangat revolusionernya. Dan itu sangat dibutuhkan oleh suatu negara yang baru saja berdiri, supaya negara bisa mempersatukan rakyatnya. Terlebih lagi, Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ribuan suku-suku dengan aneka ragam budayanya. Belum lagi konfrontasi dengan Malaysia yang ujung-ujungnya Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Suatu langkah yang terlalu berani dilakukan oleh sebuah negera kecil dan masih muda. Seluruh lapisan masyarakat mendukung sikap Bung Karno dalam konfrontasi dengan Malaysia itu. Dukungan demi menyokong keberanian Bung Karno untuk memutuskan secara sepihak keluar dari PBB, sebab PBB yang didominasi oleh Amerika menurut pandangan Indonesia banyak merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Sekali lagi seluruh anak bangsa mendukung sikap Bung Karno itu (hal. 47).

Namun sebagai orang yang bermartabat ia menyerahkan diri kepada aparat. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada keadilan Tuhan. Hari-hari panjangnya pun dilaluinya di pengasingan, pembuangan. Lapar, menjadi karibnya. Terlebih saat dibuang ke Nusakambangan. Seperti mayat hidup, itulah perlakuan yang ia dapat. Kelak, dari 1.300-an tahanan politik (tapol) yang dibuang ke Nusakambangan, menurut catatan yang ia tulis di sobekan koran atau bungkus rokok dan ia simpan rapat-rapat di kolor celananya, yang mampu bertahan hidup dan menghirup udara bebas hanya sekitar 173 orang. Sisanya menemui ajal akibat kelaparan yang amat sangat, dibedil, dan disiksa dengan pelbagai macam cara.

Seperti semboyan yang kerap dibubuhkan pengamat politik Sukardi Rinakit dalam mengakhiri setiap tulisannya, Gusti ora sare, Tuhan tidak tidur. Empat tahun lamanya ia menderita hidup di penjara dan sebagian besar ia habiskan di pulau selatan Cilacap itu. Akhirnya ia dibebaskan karena memang sama sekali tak terlibat peristiwa G 30 S/PKI (Demikian bunyi surat pembebasan dirinya—yang ditandatangani oleh Letkol CPM Mardihadi selaku Wakil Pelaksana Khusus Panglima Komando dan Ketertiban Tim Pemeriksa Daerah Jawa Tengah/DIY—dan dilampirkan dalam buku ini).

Namun penderitaan tak berakhir di situ. Keluar dari penjara, ia diwajibkan melapor dua kali sepekan selama enam bulan dan menjalani masa percobaan dua tahun. Meski mengantongi ijazah sarjana, semua pihak menutup rapat pintu baginya saat mencari pekerjaan. Padahal, ketiga anaknya jelas membutuhkan makan dan biaya sekolah. Di tengah kesulitan yang serba menghadang, istrinya pun ‘digondol’ orang, raib entah ke mana. Lengkap sudah!

Ia ikhlas menghadapi semua pahit getir kehidupan. Dan begitu mulia karena ia tak pernah dendam. Atmoko memiliki sebuah impian terpendam dari hadirnya buku ini. Biarlah bangsa ini belajar dari sejarahnya sehingga generasi mendatang tidak akan mengulang sejarah hitam bangsa ini. Ia sekadar ingin membuka kembali memori yang sangat berharga, bahwa pernah terjadi pada bumi yang indah ini ribuan nyawa melayang tak tentu rimbanya karena penyiksaan dan kelaparan. Mereka tidak tersentuh oleh rasa keadilan yang beradab, bahkan sampai berpuluh tahun kemudian (hal. 123). Demikian pandangan Bramma Aji Putra atas buku i


KEBENARAN DAN KEADILAN DI GELAPKAN, SEDANG IMPUNITAS DILANGGENGKAN

Timbulnya “ Gerakan Tigapuluh September” (G30S) pada pagi hari 01 Oktober 1965 dan peristiwa-peristiwa  politik pasca dihancurkannya gerakan tersebut, mengakibatkan perubahan drastis  tata kehidupan negara dan bangsa Indonesia – Indonesia praktis di bawah kekuasaan militer jenderal Suharto.  Dengan tujuan memuluskan jalan kudeta terhadap pemerintah Soekarno, rejim militer melakukan pembantaian dan penahanan massal tanpa proses hukum terhadap orang-orang yang dianggap lawan politiknya .  Inilah kejahatan kemanusian yang maha dahsyat  yang  hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler dalam Perang Dunia II. Meski sudah 46 tahun berlalu kasus kurang lebih 3 juta orang korban kejahatan kemanusiaan  tersebut  sampai detik ini tidak mendapatkan keadilan sesuai hukum yang berlaku. Padahal Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).

Penguasa Negara dengan segala cara memutar-balikkan fakta sejarah seakan-akan pada tahun 1965-66 tidak pernah terjadi kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat. Demikianlah  kebenaran dan keadilan digelapkan, sedang  impunitas dilanggengkan.  Percuma dicantumkan norma-norma hukum HAM dalam perundang-undangan Negara Indonesia kalau hanya untuk pajangan saja. Percuma dibentuk UU Peradilan HAM, Pengadilan HAM dan KOMNAS HAM kalau sampai sekarang  tidak bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (terutama yang berkaitan  peristiwa 1965-66). Dan sangat disesalkan justru institusi-institusi  penegak hukum  malah menjadi sarang mafia-hukum?

Juga sangat memalukan bahwa Penyelenggara Negara Indonesia sedikitpun tidak mempunyai kepedulian terhadap para korban kejahatan kemanusiaan (pembantaian massal) yang dilakukan oleh tentara Belanda pada tahun 1947 atas 431 orang penduduk  di Rawagede. Tetapi pada tanggal  14 September 2011 Pengadilan Den Haag (Belanda) yang mengadili Kasus Rawagede atas gugatan para janda korban telah menjatuhkan putusan yang memenangkan para janda korban. Putusan Pengadilan di Den Haag tersebut  membuktikan bahwa institusi yudikatif  Negeri Belanda telah menjalankan tugasnya dengan baik, artinya tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang tidak respek kepada Republik Indonesia dan tidak rela dirinya dinamakan aggressor berhubung  keterlibatannya dalam  agresi terhadap negara  muda Indonesia  pada tahun 1945-1949  yang mengorbankan  ribuan rakyat.  Putusan Pengadilan Den Haag tersebut merupakan suatu tamparan muka bagi penegak hukum Indonesia yang sampai sekarang tidak juga mau menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu terhadap warganegara Indonesia sendiri, bangsanya sendiri.

Semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (kasus 1965-66) dan  juga Kasus Rawagede ternyata  bukan masalah gede bagi penyelenggara Negara Indonesia. Dari penyelenggra Negara belum ada yang berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Mata hatinya masih tertutup dengan kenikmatan hasil penghambaan pada neoliberalisme-neokolonialisme, meskipun mengorbankan rakyat banyak. Mereka masih asyik menginjak-injak Pasal 33 UUD 1945, sebab jiwa Orde Baru pada hakekatnya masih erat melekat sampai dewasa ini.

Pembunuhan,  penyiksaan, penahanan puluhan tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan penjara-penjara lainnya  yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap 3 juta rakyat Indonesia tanpa proses hukum  tidak boleh tidak adalah Kejahatan Kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat -  tidak pandang apapun agama, ideologi, pandangan politik, suku, etnis  para korban.  Kejahatan Kemanusiaan tersebut, seperti halnya kejahatan rejim NAZI Hitler, adalah kejahatan yang  tidak berampun,  harus dituntaskan demi penegakan kebenaran dan keadilan. Para penjahat NAZI Hitler di mana pun bersembunyi dikejar terus, ditangkap kemudian dihadapkan di depan pengadilan.  Di Argentina  para jenderal yang tersangkut dalam tindak kejahatan kemanusiaan  30 tahun yang lalu telah dan sedang antri  untuk diadili. Tidak seperti halnya di Indonesia, penjahatnya sudah jelas, bukti kejahatannya di depan mata, tapi mereka dibiarkan saja leha-leha menikmatkan surga kehidupan dunia di atas kesengsaraan jutaan rakyat tak berdosa. Jadi, hukum  tidak berjalan secara semestinya di Indonesia, sebagai Negara Hukum.

Kapan pun para korban berhak menuntut penuntasan kasus tersebut kepada institusi penegak hukum, sebaliknya penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan penuntasan kasus tersebut di atas. Kalau kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh penegak hukum, berarti mereka melalaikan tugasnya. Kalau pelalaian tugas terjadi secara umum  maka dapat dikatakan  penyelenggara Negara telah gagal melakukan tugasnya seperti yang tertera dalam UUD 1945. Inilah yang terjadi selama 46 tahun, sampai detik ini di Indonesia.
Menuntut keadilan adalah hak para korban pelanggaran HAM, maka demi menegakkan keadilan  perlu hak tersebut dilaksanakan dalam segala bentuknya. Jangan kita takut pada “hantu” yang diciptakan oleh berbagai pihak tertentu agar para korban tidak melakukan tuntutan, membiarkan penjahat selamat dari tanggung jawab hukum.

Masyarakat Indonesia korban pelanggaran HAM berat 1965-66 baik di tanah air maupun di luar negeri (a.l. yang tergabung dalam Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia, Lembaga Pembela Korban 1965, dan lain-lainnya) tetap menjunjung tinggi prinsip pemisahan 3 kekuasaan – legislative, eksekutif dan yudikatif . Tetapi dengan tidak tuntasnya (tidak dituntaskannya) kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang merupakan juga Kejahatan Kemanusiaan, meski sudah berlangsung  46 tahun, membuktikan bahwa di Indonesia prinsip tersebut  tidak berjalan. Maka rakyat Indonesia harus sadar dan bangkit untuk menyetop berlangsungnya terus rejim Neo-ORBA demi tegaknya kebenaran , keadilan,  demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia.

MD Kartaprawira
Nederland,  01 Oktober 2011
Sumber: Buletin INFORMASI, Oktober 2011
Penerbit: Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Nederland




RIWAYAT HIDUP A. UMAR SAID


RIWAYAT HIDUP SINGKAT
CV singkat ini dimaksudkan sebagai « perkenalan diri », dengan mencantumkan datadata
atau peristiwa (pengalaman) saya secara garis besar atau secara pokok-pokok.
Berbagai informasi lainnya, disajikan dalam « Perjalanan hidup saya », yang
merupakan semacam auto-biografi.
MASA KECIL DAN MASA MUDA
Saya dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 1928, di desa Pakis, dekat Tumpang, kota kecil
di dekat Malang (Jawa Timur). Bapak saya adalah seorang guru, tamatan Normaal School
di Blitar. Jadi, bolehlah dikatakan bahwa saya adalah seorang anak yang semasa kecil,
dalam masa kolonial Belanda, dibesarkan di lingkungan guru.
Tahun 1941. Sampai masuknya tentara pendudukan Jepang dalam tahun 1941, belajar
di HIS (Hollandsch Inlandse School) BLitar sampai tahun terakhir.
1941 - 1945. Selama pendudukan Jepang, belajar di SMP Kediri (Baluwerti). Selama
belajar di SMP menjadi juara dalam bahasa Jepang, di bawah pimpinan pak Suwandi
Tjitrowasito.
1945 - 1946. Menjelang akhir 1945 (November sampai permulaan 1946) ikut dalam
pertempuran di Surabaya dan sekitarnya. Sebagai anggota rombongan pemuda dikirim
oleh Kementerian Dalam Negeri RI ke Sumatera.
1947- 1948. Melanjutkan sekolah di Taman Madya (Taman Siswa) di Wirogunan
Jogyakarta.
1948 - 1949. Menjadi guru Sekolah Dasar di Malang dan kemudian di Surabaya.
1949 (akhir). Meninggalkan Surabaya untuk "merantau" ke Jakarta, dan bekerja di
sebuah hotel kecil (rumah penginapan) "Surakarta" di Meester Cornelis (Jatinegara),
sambil memperdalam bahasa Inggris
1950. Menjadi penterjemah dalam United States Naval Liaison Office di jalan Raden
Saleh Jakarta selama beberapa bulan (pekerjaan penterjemahan dari bahasa Belanda ke
bahasa Inggris).
MEMASUKI DUNIA JURNALISTIK
1950 - 1953. Bekerja di suratkabar "Indonesia Raya" di bawah pimpinan Mohtar Lubis,
mula-mula sebagai korektor, kemudian reporter kota, dan kemudian lagi menjadi
wartawan politik. Sebagai wartawan perang (bersama dengan Subekti dari Pedoman dan
Idham Idris dari Kementerian Penerangan) mengikuti operasi militer untuk
menghancurkan RMS dan mengikuti pendaratan TNI di Tulehu (Ambon) dan pertempuran
benteng Paso. Bersama wartawan Beb Vuyk (Pedoman) mengikuti missi Palang Merah
Indonesia untuk mendrop bantuan makanan dan pakaian ke pulau-pulau Ceram, Buru,
Ambon, Banda, Aru, Kai, Tanimbar, Alor, Wetar, dan Flores.
1953. Untuk pertama kali ke luarnegeri sebagai anggota delegasi Indonesia (merangkap
penterjemah) ke Konferensi Internasional Hak-Hak Pemuda yang diselenggarakan di
Wina (Austria). Kemudian diteruskan dengan kunjungan ke Moskow dan ke Tiongkok
untuk pertama kali, sebagai tamu dari Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok. Kembali ke
Jakarta dengan kapal KPM "Tjiluwah" bersama almarhum Asmu (dari BTI) yang menjadi
tamu pemerintah Tiongkok.
1953-1956. Bekerja di Harian Rakyat sebagai wartawan. Mengikuti perjalanan Bung
Karno ke Indonesia Timur bersama dengan Satyagraha (Suluh Indonesia) dan Bung
Tomo. Kunjungan ini dilakukan ke Makasar, Ceram dan Ambon, Tual, Flores dan Timor
Barat (Atambua dan Atapupu). Dalam tahun 1955, sebagai wartawan mengikuti
Konferensi Asia- Afrika di Bandung dan membikin laporan-laporan tentang peristiwa
bersejarah ini.
1956. Berangkat ke Padang untuk memimpin suratkabar Harian PENERANGAN, milik Lie
Oen Sam (ketua Baperki Padang). Jabatan ini disandang sampai tahun 1960. Selama itu
telah terjadi pemberontakan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein,
dan kemudian diproklamasikannya PRRI di bawah Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Pekerjaan sebagai pimpinan redaksi suratkabar di daerah pembrontakan dialami dengan
penuh bahaya.
1959. Menjalin perkawinan dengan seorang gadis Minang dari Solok. Upacara
perkawinan diramaikan oleh undangan dari Gubernur Sumatera Barat Kaharudin Datuk
Rangkajo Basa dan Penguasa Perang Daerah (Peperda) dan Masyarakat Adat Sumatra
Barat.
EKONOMI NASIONAL, PWI PUSAT DAN PWAA
1960. Mendapat tawaran untuk memimpin suratkabar EKONOMI NASIONAL yang terbit
di Jakarta. Sejak itu, keluarga dipindah semuanya ke Jakarta.
1962. Sebagai anggota delegasi ke Kongres International Organisation of Journalists
(IOJ) di Budapest, bersama S. Tahsin, Hasyim Rahman, Tom Anwar (dari Bintang Timur)
dan Koerwet Kartaadiredja (INPS). Di Budapest inilah terkumpul tandatangan dari
banyak delegasi wartawan negeri-negeri Asia-Afrika, untuk menyelenggarakan
Konferensi Wartawan Asia- Afrika (KWAA) di Indonesia.
1962. Setelah selesai kongres IOJ di Budapest, dengan S. Tahsin berkunjung ke
Tiongkok sebagai tamu Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok (All China Journalists
Association) untuk membicarakan penyelenggaraan KWAA (Konferensi Wartawan Asia-
Afrika) di Jakarta. Di Peking bertemu dengan Menteri Luarnegeri Chen Yi.
1962 (akhir). Sekembali dari Tiongkok, bersama-sama dengan teman-teman wartawan
lainnya, membentuk Panitia Persiapan KWAA. Saya terpilih sebagai Bendahara Panitia
Pusat KWAA. Ikut dalam delegasi untuk bertemu dengan Bung Karno guna
membicarakan peneyelenggaraan KWAA dalam tahun 1963.
1962 (sampai 1965). Sering menerima undangan untuk menghadiri pameran-pamerah
dagang internasional yang diselenggarakan di Brno (Cekoslowakia), Plovdiv (Bulgaria),
Leipzig (Jerman Timur), Poznan (Polandia). Juga memenuhi undangan dari Bremen
(Bremen Tabakbeurse), kementerian luarnegeri Inggris.
KEGIATAN INTERNASIONAl
1963. Bersama-sama dengan Karim. DP, Mahbub Djunaedi (Duta Masyarakat), Suhardi
(Suluh Indonesia) mengikuti rombongan perjalanan Presiden Sukarno dalam kunjungan
kenegaraan beliau ke Manila, Pnompenh, dan kemudian Tokio (kunjungan privé). Di
Manila bertemu dengan Presiden Philipina Diosdadong Macapagal dan Pangeran Norodom
Sihanouk di Pnompenh. Para wartawan yang ikut dalam rombongan Presiden Sukarno ini
diberi medali mas oleh Ratu Kosamak (ibusuri Pangeran Sihanouk).
1963. Berbulan-bulan melakukan kegiatan untuk persiapan dan kemudian
penyelenggaraan KWAA yang bersejarah, yang berlangsung di Hotel Indonesia dan
Presshouse (Wisma Warta) di Jakarta. Setelah terbentuk PWAA (Persatuan Wartawan
Asia- Afrika), yang dipimpîn oleh Djawoto, saya dipilih sebagai Bendahara merangkap
sebagai anggota Sekretariat PWAA. Setelah Djawoto diangkat oleh Bung Karno sebagai
Dubes RI di Peking, Joesoef Isak menggantikannya sebagai sekretaris jenderal PWAA.
1963. Dalam kongres PWI di Jakarta, dipilih sebagai Bendahara PWI Pusat, yang
dipimpin oleh Karim D.P (dari Warta Bhakti) sebagai Ketua. Berbagai jabatan ini
dirangkap sambil meneruskan tugas sebagai pimpinan redaksi EKONOMI NASIONAL dan
mengajar di Akademi Jurnalistik Dr Rivai (Jakarta).
1963. Menghadiri konferensi internasional anti-bom nuklir di Hiroshima dan berkunjung
ke Hanoi untuk pertama kali. Bertemu dengan Presiden Ho Chi Minh, bersama-sama
dengan anggota delegasi Indonesia lainnya.
1964. Keliling negeri-negeri Arab (Irak, Mesir dan Siria) dan Afrika Timur (Kenya,
Uganda, Tanzania, Zanzibar, Somalia, Sudan), sebagai anggota delegasi PWAA.
1965 (permulaan). Berangkat ke Aljazair untuk menghadiri Konferensi AAPSO (Afro-
Asian People's Solidarity Organisation). Dari Paris, ikut dalam pesawat terbang
kepresidenan, ketika Bung Karno kembali dari perjalanan beliau ke Afrika.
1965 (14 September). Meninggalkan Jakarta sebagai anggota delegasi grup IOJ
(International Organisation of Journalists) yang mengadakan konferensi internasional di
Santiago (Chili). Dalam delegasi ini terdapat Francisca Fangiday sebagai wakil Harian
Rakyat. Sehabis konferensi IOJ di Santiago mendapat tugas untuk singgah di Aljazair
guna merundingkan persiapan penyelenggaraan KWAA ke-II di Alger.
SESUDAH PERISTIWA G30S KE TIONGKOK
1965 (permulaan Oktober). Mendengar dari KBRI di Alger bahwa terjadi G30S. Karena
kemudian mendengar bahwa suratkabar EKONOMI NASIONAL bersama-sama Harian
Rakyat, Wartabhakti, Bintang Timur, Suluh Indionesia dilarang terbit, maka saya
memutuskan untuk tidak segera kembali ke Jakarta, sambil menunggu perkembangan
lebih lanjut.
1965 (Oktober-November). Setelah menunggu agak lama di Alger dan di Paris,
memutuskan untuk menggabungkan diri dengan delegasi Indonesia yang sedang
berkunjung ke Tiongkok dalam rangka Hari Nasional Tiongkok 1 Oktober.
1965 (November). Datang di Peking dan bergabung dengan delegasi wartawan
Indonesia (yang dipimpin Supeno dari Antara). Kemudian, setelah PWAA dipindah dari
Jakarta ke Peking, maka saya bekerja kembali di Sekretariat PWAA, di bawah pimpinan
Djawoto (yang menyatakan diri meletakkan jabatannya sebagai Dutabesar RI untuk
Tiongkok). Pekerjaan sebagai kepala Sekretariat PWAA, di bawah pimpinan Djawoto
(yang menjabat kembali sebagai Sekjen PWAA), berlangsung sampai saya meninggalkan
Peking.
1966. (Permulaan). IKut sebagai anggota delegasi Indonesia dalam konferensi
Trikontinental yang diselenggarakan di Havana (Kuba). Delegasi yang dipimpin oleh
Ibrahim Isa ini merupakan delegasi tandingan yang dikirim oleh Jakarta (di bawah
Kolonel Latief Hendraningrat). Selama di Havana delegasi Indonesia mendapat
kehormatan dari Fidel Castro yang datang ke hotel tempat menginap kami, untuk bicarabicara
tentang situasi Indonesia, tentang terjadinya G30S dan terbunuhnya begitu
banyak orang oleh militernya Suharto.
1967. Sebagai anggota delegasi PWAA, berkunjung ke berbagai negeri Arab dan Afrika
Barat, untuk membicarakan kerjasama dengan persatuan-persatuan wartawan di negeri
: Siria, Mesir, Aljazair, Senegal, Mali, Guinea, Siera Leone dan Conggo Brazaville.
1971 - 1973 (permulaan). Bersama-sama banyak kawan-kawan Indonesia lainnya,
hidup dalam tempat penampungan sementara di satu daerah di propinsi Jiangxi. Di
antara banyak kegiatan selama di tempat penampungan sementara ini, ikut dalam
menyelenggarakan penerbitan intern "Bahan Pertimbangan" yang berisi berita-berita dan
informasi tentang situasi di Indonesia waktu itu.
Akhir 1973 sampai permulaan 1974. Meninggalkan Tiongkok menuju Rumania,
Jugoslavia, dan kemudian Jerman Barat, dalam rangka mencari jalan untuk bisa menetap
di Prancis.
SUAKA POLITIK DAN KEHIDUPAN DI PRANCIS
1974 (bulan April). Terbang dari Jerman Barat menuju Paris, dan menyatakan di
lapangan terbang Paris minta suaka politik di Prancis. Sejak datang ke Paris, langsung
mengadakan kontak-kontak persahabatan dengan berbagai kalangan Prancis, dalam
rangka usaha mencari pekerjaan sambil melakukan berbagai kegiatan. Memperdalam
bahasa Prancis lewat kursus-kursus di Sorbonne.
1975 - sampai Mei 1982. Bekerja sebagai pegawai di suatu badan Kementerian
Pertanian Prancis. Pekerjaan di Kementerian Pertanian ini merupakan periode adaptasi
yang penting dalam kehidupan baru di Paris. Selama itu, melakukan berbagai kegiatan
mengenai soal-soal yang berkaitan dengan situasi di Indonesia, terutama mengenai tapol
dan hak-hak manusia. Dalam periode ini, sering mondar-mandir ke Holland, Jerman
Barat dan Swiss untuk membantu kedatangan sejumlah kawan-kawan yang datang dari
Tiongkok, Albania dan lain-lain negeri, yang ingin menetap di Eropa Barat.
1976. Menjadi peserta Konferensi Nasional CCFD (Comite Catholique contre Faim pour
Developpement), suatu organisasi besar di Prancis yang membantu Dunia Ketiga. Dalam
tahun ini juga bertemu untuk pertama kali dengan Jose Ramos Horta (dari Timor Timur)
di Holland, dan kemudian mendirikan di Paris organisasi ASTO (Association de Solidarité
avec Timor Oriental) bersama-sama dengan sejumlah teman-teman Prancis. ASTO ini
sampai sekarang masih berdiri (sudah lebih dari 35 tahun).
1977. Untuk pertama kali sejak meninggalkan Jakarta (14 September 1965) bisa
berhubungan lewat telpon dengan istri saya (yang tinggal di Jakarta), berkat bantuan
kawan lama saya, Bung Joesoef Isak. Kemudian, dalam tahun 1978, sesudah berpisah
tanpa surat-menyurat selama kira-kira 13 tahun, istri saya berkunjung sebentar ke Paris.
Sejak itu, diadakan persiapan-persiapan untuk berkumpulnya kembali seluruh keluarga
(dengan dua anak laki-laki).
1978. Mendirikan Komite Tapol di Paris bersama Philippe FARINE (pimpinan CCFD), yang
kemudian berhasil mengumpulkan tandatangan dari berbagai tokoh penting Partai
Sosialis Prancis untuk rehabilitasi para ex-tapol dan juga tentang larangan buku
Pramoedya. Menerbitkan majalah dalam bahasa Prancis tentang HAM di Indonesia.
RESTORAN "INDONESIA" DAN CHINE EXPRESS DLL
1982 (Mei). Menyatakan mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaan di
Kementerian Pertanian Prancis, dengan tujuan untuk mencurahkan tenaga dan waktu
guna berdirinya suatu usaha kolektif bagi kehidupan kawan-kawan Indonesia (political
refugees) yang berdatangan dari Tiongkok, Albania dan lain-lain negeri.
1982 (Desember). Saya mendirikan Restoran "INDONESIA" (yang berstatus koperasi)
bersama-sama dengan 4 kawan Prancis dan 3 kawan Indonesia (Budiman Sudharsono,
Sobron Aidit dan Emil Kusni). Selama beberapa tahun ikut mengelola dan bekerja di
restoran kolektif ini, sambil melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan politik lainnya
(antara lain : mengadakan "malam Indonesia", rapat-rapat tentang soal Indonesia dll).
1986 (sampai 1996). Menerbitkan majalah ekonomi dalam bahasa Prancis "Chine
Express", yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan Prancis yang ingin
berhubungan dengan pasaran Tiongkok. Selama sepuluh tahun penerbitan ini dilakukan
sendirian (tanpa pegawai atau pembantu).
1987. Sebagai anggota delegasi CCFD untuk evaluasi projek kerjasama dengan satu
universitas Korea Utara (Wonsan), dan kemudian diteruskan ke Tiongkok untuk
dimulainya hubungan antara CCFD dengan CAFIU (Chinese Association For International
Understanding).
1996. Untuk pertama kalinya (sejak 1965) berkunjung ke Indonesia, dengan
menggunakan paspor Prancis. Karena regime Orde Baru masih berkuasa, maka
hubungan dengan keluarga dan kawan-kawan di Indonesia masih dilakukan dengan
sangat hati-hati, waktu itu.
1998. Memutuskan untuk menghentikan penerbitan majalah bulanan Chine Express, dan
mengambil masa pensiun, sampai sekarang. Namun, walaupun sudah pensiun, masih
tetap terus menjadi anggota koperasi Fraternité (restoran INDONESIA) dan masih terus
melakukan berbagai kegiatan sosial dan politik, yang bersangkutan dengan Indonesia.
Sejak 1997, setiap tahun pergi berkunjung ke Indonesian untuk hubungan dengan
berbagai organisasi dan perseorangan di Indonesia. Beberapa kali ikut dalam konferensi
yang diadakan oleh INFID (di Bogor dan di Bali). Menjalin kerjasama dengan berbagai
LSM di Indonesia dalam berbagai bidang.
SUDAH PENSIUN, TETAPI TETAP SIBUK
2000. Menjadi anggota rombongan Mme Danielle MITTERRAND (istri mendiang Presiden
Prancis, François MITTERRAND) yang berkunjunhg ke Indonesia untuk mengadakan
kontak dengan para ex-tapol (Yayasannya Ibu Sulami dll).
2001. Menjadi anggota pengurus CDI (Comité pour la Démocratie en Indonésie), yang
didirikan bersama-sama dengan teman-teman Indonesia dan Prancis. Dalam CDI ini
terdapat orang-orang dari Partai Sosialis, Partai Hijau, Partai Komunis dan perseorangan.
CDI sudah mengadakan kerjasama dengan berbagai kalangan di Indonesia.
Mei 2002. Sebagai anggota delegasi ASTO berkunjung ke Timor Timur, dalam rangka
perayaan Hari Kemerdekaan Timor Leste di Dili, yang jatuh pada tanggal 20 Mei 2002.
Pada saat itu, telah bertemu kembali dengan sahabat-sahabat lama, antara lain : Mari
Alketiri (Perdana Menteri)i, Rogerio Lobato (Menteri Dalamnegeri), Roque Rodriguez
(Menteri Pertahanan), Jose Ramos Horta (Menteri Luarnegeri).
* * *
Sekarang, dalam kehidupan sederhana di Prancis, tetap berusaha untuk bisa berbuat
sesuatu untuk Indonesia. Masih berusaha terus untuk menulis, dan meneruskan
hubungan dengan berbagai kalangan di Indonesia, dalam rangka perjuangan bersama
untuk menegakkan demokrasi, membela HAM, dan ikut dalam gerakan untuk terus
mendorong adanya perobahan-perobahan demi kepentingan rakyat banyak