BANJIR
DARAH DI KAMP KOSENTRASI ,
Catatan
Harian Aktifis PNI di Penjara Orde Baru
Ibarat memoar kecil sebuah tragedi besar, begitulah buku
ini bercerita. Nyata, sarat getar sastra, dan tak jarang mampu mengaduk emosi
pembaca. Meski hampir keseluruhan isinya menyiratkan getir yang amat sangat,
namun memoar ini terasa nyaman, mengalir, dan enak dibaca. Bangsa ini berhutang
pada penulisnya yang telah berhasil menampilkan,
seperti kajian Paul Thompson (2000: 7-8) yang dinukil
Baskara T. Wardaya dalam pengantar buku ini, perspektif baru dari bawah, dengan
menggeser fokus kajian dan membuka wilayah-wilayah pencarian yang baru, dengan
menyuarakan narasi dari kalangan yang selama ini terabaikan, sebuah narasi
sejarah yang sedang melakukan sebuah transformasi.
Tragis, menyeramkan, dan penuh kepiluan. Demikian kesan
kuat yang kita dapat usai membaca buku ini. Sebuah memoar saksi perjalanan
hidup seorang yang (pernah) terbuang dan kalah di negerinya sendiri. NH Atmoko,
penulis buku ini, mampu menyajikan sebuah catatan kecil dalam sebuah masa kelam
bagi pribadinya, pula bagi bangsanya.
Kurun 1965. Saat itu ia hidup tenang sebagai pejabat
Departemen Kesehatan yang berdinas di Pati, sebuah kota kabupaten di kawasan
pantai utara Jawa. Hidupnya tak berkekurangan suatu apapun juga. Memiliki
pekerjaan mapan sebagai pegawai negeri, istri cantik, dan ketiga putri yang
sangat menggemaskan. Ia seorang Kristen yang taat dan sadar ihwal eksistensi
Tuhan. Tak ada keraguan di dalamnya.
Maka terjadilah tragedi memilukan itu. Ketika suatu malam
ia memergoki belasan aparat berseragam militer baret merah mendatangi rumahnya,
mengobrak-abrik seisi rumah. Radio, barang mewah dan amat berharga waktu itu,
dirampas begitu saja. Ia segera melarikan diri, menyusuri pematang sawah. Masih
saja terheran dengan apa yang terjadi: mengapa aparat mencari dirinya?
Ia
bukanlah simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau apapun yang berafiliasi dengan partai yang
terlanjur dicap sebagai dalang tragedi berdarah Gerakan 30 September (G 30S)
1965. Ia pegawai negeri yang hidup baik-baik, tak pernah merongrong pemerintah,
atau melawan kebijakan yang ada. Hanya satu alasan yang mungkin menghampirinya:
karena ia begitu mencintai Bung Karno. Ia memang seorang aktivis Partai
Nasional Indonesia (PNI).
Ia berpegang teguh bahwa negara yang masih muda selalu
dirongrong oleh pemberontakan-pemberontakan.
Bung Karno adalah seorang pemimpin yang berkobar semangat
revolusionernya. Dan itu sangat dibutuhkan oleh suatu negara yang baru saja
berdiri, supaya negara bisa mempersatukan rakyatnya. Terlebih lagi, Indonesia
terdiri dari ribuan pulau dan ribuan suku-suku dengan aneka ragam budayanya.
Belum lagi konfrontasi dengan Malaysia yang ujung-ujungnya Indonesia menyatakan
keluar dari PBB. Suatu langkah yang terlalu berani dilakukan oleh sebuah negera
kecil dan masih muda. Seluruh lapisan masyarakat mendukung sikap Bung Karno
dalam konfrontasi dengan Malaysia itu. Dukungan demi menyokong keberanian Bung
Karno untuk memutuskan secara sepihak keluar dari PBB, sebab PBB yang
didominasi oleh Amerika menurut pandangan Indonesia banyak merugikan perjuangan
bangsa Indonesia. Sekali lagi seluruh anak bangsa mendukung sikap Bung Karno
itu (hal. 47).
Namun sebagai orang yang bermartabat ia menyerahkan diri
kepada aparat. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada keadilan Tuhan. Hari-hari
panjangnya pun dilaluinya di pengasingan, pembuangan. Lapar, menjadi karibnya.
Terlebih saat dibuang ke Nusakambangan. Seperti mayat hidup, itulah perlakuan
yang ia dapat. Kelak, dari 1.300-an tahanan politik (tapol) yang dibuang ke
Nusakambangan, menurut catatan yang ia tulis di sobekan koran atau bungkus
rokok dan ia simpan rapat-rapat di kolor celananya, yang mampu bertahan hidup
dan menghirup udara bebas hanya sekitar 173 orang. Sisanya menemui ajal akibat
kelaparan yang amat sangat, dibedil, dan disiksa dengan pelbagai macam cara.
Seperti semboyan yang kerap dibubuhkan pengamat politik
Sukardi Rinakit dalam mengakhiri setiap tulisannya, Gusti ora sare, Tuhan tidak
tidur. Empat tahun lamanya ia menderita hidup di penjara dan sebagian besar ia
habiskan di pulau selatan Cilacap itu. Akhirnya ia dibebaskan karena memang
sama sekali tak terlibat peristiwa G 30 S/PKI (Demikian bunyi surat pembebasan
dirinya—yang ditandatangani oleh Letkol CPM Mardihadi selaku Wakil Pelaksana
Khusus Panglima Komando dan Ketertiban Tim Pemeriksa Daerah Jawa Tengah/DIY—dan
dilampirkan dalam buku ini).
Namun penderitaan tak berakhir di situ. Keluar dari
penjara, ia diwajibkan melapor dua kali sepekan selama enam bulan dan menjalani
masa percobaan dua tahun. Meski mengantongi ijazah sarjana, semua pihak menutup
rapat pintu baginya saat mencari pekerjaan. Padahal, ketiga anaknya jelas
membutuhkan makan dan biaya sekolah. Di tengah kesulitan yang serba menghadang,
istrinya pun ‘digondol’ orang, raib entah ke mana. Lengkap sudah!
Ia ikhlas menghadapi semua
pahit getir kehidupan. Dan begitu mulia karena ia tak pernah
dendam. Atmoko memiliki sebuah impian terpendam dari hadirnya buku ini. Biarlah
bangsa ini belajar dari sejarahnya sehingga generasi mendatang tidak akan mengulang
sejarah hitam bangsa ini. Ia sekadar ingin membuka kembali memori yang sangat
berharga, bahwa pernah terjadi pada bumi yang indah ini ribuan nyawa melayang
tak tentu rimbanya karena penyiksaan dan kelaparan. Mereka tidak tersentuh oleh
rasa keadilan yang beradab, bahkan sampai berpuluh tahun kemudian (hal. 123). Demikian pandangan Bramma Aji
Putra atas buku i
No comments:
Post a Comment