Monday 31 October 2011


BANJIR DARAH DI KAMP KOSENTRASI ,
Catatan Harian Aktifis PNI di Penjara Orde Baru


Ibarat memoar kecil sebuah tragedi besar, begitulah buku ini bercerita. Nyata, sarat getar sastra, dan tak jarang mampu mengaduk emosi pembaca. Meski hampir keseluruhan isinya menyiratkan getir yang amat sangat, namun memoar ini terasa nyaman, mengalir, dan enak dibaca. Bangsa ini berhutang pada penulisnya yang telah berhasil menampilkan,
seperti kajian Paul Thompson (2000: 7-8) yang dinukil Baskara T. Wardaya dalam pengantar buku ini, perspektif baru dari bawah, dengan menggeser fokus kajian dan membuka wilayah-wilayah pencarian yang baru, dengan menyuarakan narasi dari kalangan yang selama ini terabaikan, sebuah narasi sejarah yang sedang melakukan sebuah transformasi.

Tragis, menyeramkan, dan penuh kepiluan. Demikian kesan kuat yang kita dapat usai membaca buku ini. Sebuah memoar saksi perjalanan hidup seorang yang (pernah) terbuang dan kalah di negerinya sendiri. NH Atmoko, penulis buku ini, mampu menyajikan sebuah catatan kecil dalam sebuah masa kelam bagi pribadinya, pula bagi bangsanya.

Kurun 1965. Saat itu ia hidup tenang sebagai pejabat Departemen Kesehatan yang berdinas di Pati, sebuah kota kabupaten di kawasan pantai utara Jawa. Hidupnya tak berkekurangan suatu apapun juga. Memiliki pekerjaan mapan sebagai pegawai negeri, istri cantik, dan ketiga putri yang sangat menggemaskan. Ia seorang Kristen yang taat dan sadar ihwal eksistensi Tuhan. Tak ada keraguan di dalamnya.

Maka terjadilah tragedi memilukan itu. Ketika suatu malam ia memergoki belasan aparat berseragam militer baret merah mendatangi rumahnya, mengobrak-abrik seisi rumah. Radio, barang mewah dan amat berharga waktu itu, dirampas begitu saja. Ia segera melarikan diri, menyusuri pematang sawah. Masih saja terheran dengan apa yang terjadi: mengapa aparat mencari dirinya?

Ia bukanlah simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau apapun yang berafiliasi dengan partai yang terlanjur dicap sebagai dalang tragedi berdarah Gerakan 30 September (G 30S) 1965. Ia pegawai negeri yang hidup baik-baik, tak pernah merongrong pemerintah, atau melawan kebijakan yang ada. Hanya satu alasan yang mungkin menghampirinya: karena ia begitu mencintai Bung Karno. Ia memang seorang aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI).
Ia berpegang teguh bahwa negara yang masih muda selalu dirongrong oleh pemberontakan-pemberontakan.

Bung Karno adalah seorang pemimpin yang berkobar semangat revolusionernya. Dan itu sangat dibutuhkan oleh suatu negara yang baru saja berdiri, supaya negara bisa mempersatukan rakyatnya. Terlebih lagi, Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ribuan suku-suku dengan aneka ragam budayanya. Belum lagi konfrontasi dengan Malaysia yang ujung-ujungnya Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Suatu langkah yang terlalu berani dilakukan oleh sebuah negera kecil dan masih muda. Seluruh lapisan masyarakat mendukung sikap Bung Karno dalam konfrontasi dengan Malaysia itu. Dukungan demi menyokong keberanian Bung Karno untuk memutuskan secara sepihak keluar dari PBB, sebab PBB yang didominasi oleh Amerika menurut pandangan Indonesia banyak merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Sekali lagi seluruh anak bangsa mendukung sikap Bung Karno itu (hal. 47).

Namun sebagai orang yang bermartabat ia menyerahkan diri kepada aparat. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada keadilan Tuhan. Hari-hari panjangnya pun dilaluinya di pengasingan, pembuangan. Lapar, menjadi karibnya. Terlebih saat dibuang ke Nusakambangan. Seperti mayat hidup, itulah perlakuan yang ia dapat. Kelak, dari 1.300-an tahanan politik (tapol) yang dibuang ke Nusakambangan, menurut catatan yang ia tulis di sobekan koran atau bungkus rokok dan ia simpan rapat-rapat di kolor celananya, yang mampu bertahan hidup dan menghirup udara bebas hanya sekitar 173 orang. Sisanya menemui ajal akibat kelaparan yang amat sangat, dibedil, dan disiksa dengan pelbagai macam cara.

Seperti semboyan yang kerap dibubuhkan pengamat politik Sukardi Rinakit dalam mengakhiri setiap tulisannya, Gusti ora sare, Tuhan tidak tidur. Empat tahun lamanya ia menderita hidup di penjara dan sebagian besar ia habiskan di pulau selatan Cilacap itu. Akhirnya ia dibebaskan karena memang sama sekali tak terlibat peristiwa G 30 S/PKI (Demikian bunyi surat pembebasan dirinya—yang ditandatangani oleh Letkol CPM Mardihadi selaku Wakil Pelaksana Khusus Panglima Komando dan Ketertiban Tim Pemeriksa Daerah Jawa Tengah/DIY—dan dilampirkan dalam buku ini).

Namun penderitaan tak berakhir di situ. Keluar dari penjara, ia diwajibkan melapor dua kali sepekan selama enam bulan dan menjalani masa percobaan dua tahun. Meski mengantongi ijazah sarjana, semua pihak menutup rapat pintu baginya saat mencari pekerjaan. Padahal, ketiga anaknya jelas membutuhkan makan dan biaya sekolah. Di tengah kesulitan yang serba menghadang, istrinya pun ‘digondol’ orang, raib entah ke mana. Lengkap sudah!

Ia ikhlas menghadapi semua pahit getir kehidupan. Dan begitu mulia karena ia tak pernah dendam. Atmoko memiliki sebuah impian terpendam dari hadirnya buku ini. Biarlah bangsa ini belajar dari sejarahnya sehingga generasi mendatang tidak akan mengulang sejarah hitam bangsa ini. Ia sekadar ingin membuka kembali memori yang sangat berharga, bahwa pernah terjadi pada bumi yang indah ini ribuan nyawa melayang tak tentu rimbanya karena penyiksaan dan kelaparan. Mereka tidak tersentuh oleh rasa keadilan yang beradab, bahkan sampai berpuluh tahun kemudian (hal. 123). Demikian pandangan Bramma Aji Putra atas buku i

No comments:

Post a Comment