Sunday 2 January 2011

Transkrip Sambutan Putu Oka Sukanta pada Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965

Selamat siang teman-teman semua.

Terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk tampil di depan teman-teman. Berkenalan, ngobrol sambil mempererat hubungan yang pernah ada ataupun yang mau dijalin lebih lanjut.
Moment seperti sekarang tidak hanya dilakukan di Eropa tapi juga di Indonesia oleh berbagai macam kalangan, tidak hanya oleh teman-teman yang surviver ataupun korban tragedi nasional enam lima, tetapi juga oleh anak-anak muda para aktivis kemanusiaan yang mempunyai kebersamaan dalam keinginan menegakkan human right, menegakkan kesetaraan didalam hukum-hukum di Indonesia.

Situasinya memang seperti menghadapi tembok tebal yang digoncang, digetuk dari berbagai macam arah dan berbagai macam cara belum juga bergeser. Yaitu keinginan melupakan dan tidak lagi mempersoalkan tragedi kemanusian 65 - 66. Artinya apa? Artinya adalah bahwa watak kekuasaan dan watak penguasa belum berubah. Intinya disini. Walaupun kita menyusun tuntutan yang paling mendasar  ataupun yang paling ringan. Yang paling ringan itu apa? Mengakui pernah terjadi kekerasan negara terhadap rakyatnya. Kenapa kekerasan negara, kenapa bukan pelanggaran HAM? Pelanggaran HAM titikberatnya adalah kesalahan administratif negara. Tetapi kalau kekerasan negara kepada rakyatnya, kekerasan itu berlangsung di seluruh wilayah kekuasaan negara dan penguasa pada waktu itu dan dilakukan oleh alat negara.

Oleh karena itu, seperti apa juga yang dilakukan oleh Komnas HAM menginvestigasi lagi kekerasan-kekerasan yang dialami oleh korban ataupun surviver, nantinya adalah menjadi masalah perdata. Artinya saya dahulu ditangkap oleh siapa? Ditangkap oleh kapten Suroso, ditangkap oleh Burhan Kumalasakti pegawai CC PKI, ditangkap oleh Sie Tjien Pung anak CGMI. Mereka sudah tidak ada, jadi tidak bisa lagi dituntut. Lalu siapa biang keladinya – Suharto. Suharto sudah tidak ada, tidak bisa lagi dituntut.

Oleh karena itu sepertinya, sepertinya, ketika saya ngobrol dengan teman-teman di HAM, Komnas HAM, semua data yang dikumpulkan beratus ribu dari Aceh sampai Irian ini estimasi paling dekat adalah pemerintah mau mengakui, negara mau mengakui pernah ada kekerasan. What next? Saya tidak bisa meramalkan.

Kita pernah ada apa, clash action ya. Menuntut semua presiden, saya tidak ikut didalamnya, menuntut semua presiden bla bla bla bla ada lagi kompensasi bla bla…. Itu kan terlalu jauh.  Terlalu jauh. Lalu apa yang harus kita lakukan? Ini pengalaman di dalam negeri. Selain menuntut bla bla bla bla bla, juga kita harus mengaktualisasikan diri. Apa itu mengaktualisasikan diri. Selain menunjukkan atau menceritakan bukti-bukti dari kekerasan yang pernah kita hadapi atau kita deritakan tetapi juga kita harus ikut bermain di dalam berusaha mengetuk hati penguasa. Kita harus hadir, tidak cukup dengan kertas. Hadirnya apa? Dari dulu cita-cita kita adalah mensejahterakan rakyat, salahsatunya.

Kita harus bekerja untuk rakyat. Ada atau tidak ada organisasi yang lama. Dilarang atau tidak dilarang kita harus proofing (?) kepada negara, kita harus proofing (?) kepada masyarakat. Bahwa cita-cita kami adalah mensejahterakan rakyat. Ada seribu satu macam cara ikut terlibat di dalam mensejahterakan rakyat, mengambil bagian aktif. Ini salah satu apa yang ka mi lakukan di dalam negeri. Kami exis, kami ada. Jadi untuk menunjukkan bahwa kami ada itu sendiri sebuah pekerjaan berat selain daripada kita sebut perjuangan yang berat.
Tapi kalau kita masih tetap ada di dasarnya gunung es, peristiwa 65-66 ini kan puncaknya gunung es. Misalnya disebut satu juta yang dibunuh, jumlahnya bisa jadi lebih dari itu. Itu saya kira. Kita juga harus melihat secara jujur bahwa reformasi memang tidak menimbulkan  perubahan signifikan dalam artian pemerintah berpihak pada rakyat. Itu belum. Baik dilihat dari perlindungan hukum, dari kesejahteraan, ekonomi, sosial. Itu belum. Tetapi ada yang berubah, yaitu kebebasan menyampaikan pikiran, baik melalui media, baik melalui langsung ngomong disetiap pertemuan. Sampai saat sekarang tidak ada yang ditangkap. Tidak ada koran yang dibredel ketika dia membicarakan 65.

Bahkan saya kira teman-teman juga tahu Metro TV pada awal September membuat produksinya sendiri bagaimana orang-orang di Bali dibantai. Sejarawan bicara, Gung Ayu bicara. Para eksekutor yang melakukan pembunuhan juga bicara walaupun mukanya ditutup dan betapa menyesalnya dia dan dia mau minta maaf kepada keluarga orang yang dibunuh. Dia tidak tahu, dia setengah gila mencari keluarga itu karena dia tidak tahu siapa sebenarnya yang dia bunuh. Dia hanya menjalankan perintah: si A harus dibunuh. Sekarang dia menyesal. Minta maaf, tapi ke mana harus minta maaf. Jadi ternyata bahwa peristiwa 65 – 66 ini menimbulkan dua jenis macam korban. Korban dari pihak yang dibantai dan juga sebagian pembantai ini juga korban. Mereka merasa dibungkam tidak bisa bicara, dimusuhi oleh tetangganya. Karena dulu di lapisan graas roots bawah ini saling tuding itu masih berjalan. He, lu dulu kena garis, kalau di Bali misalnya, lu dulu kena garis. Tapi yang saya dengar lu dulu, bung bunuh anaknya si A anaknya si B. Jadi konflik masih ada.

Oleh karena itu saya dalam setiap kesempatan mengharapkan pemerintah melakukan klarifikasi. Tidak hanya terhadap diri kita, ada korban yang jauh lebih banyak jumlahnya. Masyarakat di lapisan bawah masih ketakutan, masih segala macam. Kita masih beruntung, kita bisa punya pekerjaan. Mereka masih terisolasi di bawah. Jadi banyak fakta sosial yang perlu kita fikirkan tidak hanya untuk diri kita sendiri tapi juga untuk rakyat yang dari dulu kita ingin abdi, kita ingin sejahterakan. Situasi seperti ini saya tidak tahu bagaimana untuk mensiasatinyanya di Tanah Air.

Teman-teman di sini merasa terhalang pulang. Ada masalah tersendiri. Yang kalau dibandingkan kita tidak tahu. Kita tidak membandingkan mana yang lebih susah, mana yang lebih enteng. Pokoknya ini sama-sama merasa menjadi korban dari perubahan situasi politik pada tahun 65 – 66 dan juga pembunuhan yang menyangkut stigmanisasi sampai sekarang. Anak-anaknya tidak bisa apa-apa dan sulit untuk bisa berjalan. Reformasi bemberikan sedikit perubahan yaitu orang lebih bebas bicara apa saja. Boleh kritik, boleh apa, tidak ditangkap. Itu penting. Saya kira saat seperti ini harus kita gunakan bagaimana kita mengaktualisasikan diri sehingga eksistensi kita sebagai manusia, sebagai orang yang mencintai Tanah Air, mencintai rakyatnya bisa dilihat dan punya prospek.

Saya berusaha dengan usaha yang sangat kecil mengungkapkan melalui film-film dari berbagai macam aspek anak-anak dari teman-teman kita yang dibunuh bisa survive. Sehingga disatu sisi kami berusaha untuk tidak hanya menangis menyodorkan kesengsaraan, tapi juga kami berusaha untuk menyodorkan kekuatan yang ada pada diri masing-masing orang sehingga dia bisa survive. Selain menuntut, menuntut sudah tadi disebutkan sekian banyak tuntutan yang harus dilakukan. Tapi kita sepertinya mau pinjam tanduk dari kuda. Jadi kita kan tidak bisa. Jadi oleh karena itu tidak mungkin atau belum mungkin, kita harus melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu itu apa? Mengaktualisasikan diri kita biar eksist. Fighting to be human again - berjuang untuk menjadi manusia lagi. Itu kan tidak bisa cuma di atas kertas. Kita harus membuktikan, ya sebagai seniman, sebagai karyawan, sebagai buruh, sebagai perempuan, sebagai apa saja. Kita harus proofing. We are human.
              
Sekian, terimakasih.

No comments:

Post a Comment