Wednesday 29 June 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (3a)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (3a)
(Masalah Pencabutan paspor WNI di Luar Negeri dan EKSIL) 
Oleh MD Kartaprawira*

Dalam simposium 18-19 April 2016 yang lalu, sayang tidak ada gema suara eksil, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang dicabut paspornya oleh penguasa orde baru dengan sewenang-wenang. Mereka itulah[K1]  mahasiswa-mahasiswa yang dikirim ke luar negeri oleh pemerintah Soekarno, yang diharapkan dan digadang-gadang untuk menjadi tulang punggung pembangunan negara setelah selesai studinya. Itulah ide Soekarno yang tidak mau jual obral kekayaan alam Indonesia kepada kapitalis-kapitalis asing. Sebab Bung Karno menunggu kedatangan spesialis-spesialis patriotik tersebut. Celakanya, kekuatan jahat anti rakyat berhasil mengkhianati yang “menunggu” maupun yang “ditunggu”.      

a)  Pencabutan semena-mena paspor WNI di Luar Negeri  adalah Pelanggaran HAM berat.

Jalan sejarah yang memang bengkok-bengkok inilah yang ternyata harus dilalui oleh para mahasiswa kiriman Bung Karno tersebut. Mereka inilah yang merupakan korban kejahatan kemanusiaan di luar negeri yang dilakukan oleh para Atase Militer di berbagai KBRI atas nama negara. Misalnya di KBRI Moscow peranan tersebut dilakukan oleh Atase Militer Brigjen M. Jasin, yang merangkap sebagai Ketua Panitia skrening.     
Di Rusia pencabutan paspor dimulai dengan pencabutan paspor 25 WNI yang berdomisili di Moscow (PENGUMUMAN No.Peng.852/R/1966, Moskow,1 Agustus 1966), berhubung diragukan loyalitasnya terhadap “Pemerintah Republik Indonesia”, yaitu Rejim dikmilfas Suharto. Dalam situasi panas tersebut loyalitas mereka terhadap Presiden Soekarno masih tetap utuh dan tanpa diragukan. Meskipun di dalam surat Pengumuman KBRI meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia yang berada di Uni Soviet untuk tidak memberikan bantuan kepada para mereka yang dicabut paspornya baik materiil maupun moril.

Selanjutnya pencabutan paspor dilakukan terhadap WNI lain-lainnya. Mulai sejak itu berkembang di Eropa, terutama di Moscow masalah orang-apatride (tanpa-kewarganegaraan, stateless, besgrazhdanstwo), eksil, OTP (Orang Terhalang Pulang), Orang Kelayaban (Gusdur menamakannya) dan sebagainya.
Sebagai orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless) mereka mengalami banyak penderitaan dalam perjalanan hidupnya. Dalam hubungannya dengan tanah air: mereka terputus hubungannya dengan  isteri/suami, anak-anaknya, tunangannya, orang tuanya dan sanak keluarga lainnya. Bahkan ketika orang tua meninggal pun tidak mengetahui, tidak dapat ikut mengurus penguburannya. Komunikasi melalui surat atau telepon juga terputus, sebab takut diketahui oleh penguasa di Indonesia. Sebab kalau ketahuan penguasa bahwa punya hubungan dengan para eksil, keluarga mereka yang di Indonesia juga   teman-temannya akan mendapatkan kesulitan-kesulitan, misalnya dipecat dari pekerjaan, ditangkap dan dimasukkan dalam rumah tahanan, dikeluarkan dari sekolah/universitas, diawasi terus kehidupannya oleh penguasa, dinyatakan tidak bersih lingkungan. Hal-hal tersebut di atas merupakan penderitaan jiwa/psikologis yang sangat berat bagi para eksil.

Dalam hubungannya dengan kehidupan di luar negeri: mereka harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi di negara setempat yang ideologi, politik, budayanya  berlainan dengan yang dimiliki di tanah air. Kesukaran-kesukaran dalam kehidupan politik setempat mengakibatkan mereka harus pindah dari satu negara ke negara lain. Mereka kebanyakan berpindah ke negara-negara Barat (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia), bahkan ada juga yang ke Aljazair, Mozambik, Kuba dan lain-lainnya. Yang membikin perasaan sedih kecuali itu ialah kenyataan kegagalan tidak dapat menyumbangkan ilmunya untuk negara dan bangsa setelah tamat studinya, seperti yang direncanakan pemerintah Soekarno ketika mengirimkan ribuan mahasiswa ke luar negeri. Mereka oleh negara telah di“cabut“ haknya  untuk mengembangkan kariernya dan menerapkan sumber daya tenaga mudanya demi nusa dan bangsa, hak untuk hidup di tanah airnya, hak untuk hidup bersama dengan keluarganya, hak untuk memilih atau dipilih dalam pemilihan umum, hak untuk  berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik di tanah airnya. Bahkan ada beberapa orang yang akhirnya menderita penyakit jiwa, nekad mengakhiri hidupnya.

Tindakan negara (cq. pemerintah/KBRI) yang mengakibatkan banyak penderitaan warganegaranya di luar negeri adalah bertentangan dengan UN International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights  dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh penguasa secara massal, sistimatik dan struktural terhadap warganegaranya di luar negeri tanpa dibuktikan kesalahannya. Maka mereka berhak menuntut keadilan kepada Negara, baik melalui jalur yudisial (pengadilan) ataupun non-yudisial (rekonsiliasi). Bahkan suara mereka  tidak didengarkan sampai 50 tahun berlalu. Karenanya, apakah salah kalau mereka menuntut agar negara minta maaf kepada para korban dalam penuntasan kasus tersebut? Bukankah Indonesia negara hukum yang  berdasarkan Pancasila?   

Para eksil-mahid menyadari mengapa rejim Orde Baru mencabut paspor/kewarganegaraannya, yaitu karena mereka akan menjadi penghalang besar jalannya pembangunan negara yang menganut neo-liberalisme/neokolonialisme di Indonesia, yang menjadi pesanan kaum kapitalis internasional. Maka mahasiswa-mahasiswa kiriman Bung Karno yang merupakan tenaga pembangun negara yang berpolitik BERDIKARI harus dicekal tidak boleh pulang ke tanah air dengan cara pencabutan paspornya. Jadi ada latar belakang politik serius  yang mendasari. Maka setelah G30S dihancurkan dan gilirannya  Bung Karno dilucuti kekuasaannya, jenderal Suharto cepat-cepat mengerahkan „pasukan Berkelay“ untuk melaksanakan politik ekonomi  „pintu terbuka“ yang benar-benar terbuka lebar-lebar sehingga sumber daya alam Indonesia bisa dijual-obral  kepada para kapitalis Internasional. Maka tidak mengherankan dengan cepat sumber daya alam habis terkuras, hutan menjadi gundul,  lingkungan hidup tercemar dan macam-macam musibah lainnya.

Penyelenggara-negara (rejim Orde Baru/Suharto) yang seharusnya mengabdi rakyat (WNI), tetapi justru sebaliknya menyengsarakannya dengan tindakan pencabutan paspor.
Demi terciptanya kerukunan nasional Presiden Jokowi mengambil kebijakan penuntasan kasus 1965 melalui jalur  Rekonsiliasi (non-yudisial). Seharusnya kebijakan presiden tersebut diterima dengan lapang dada oleh pihak pelaku. Sebab dengan dilaksanakannya Rekonsiliasi Nasional para pelaku tidak dihadapkan ke Pengadilan, yang berarti juga impunitas lepas dari tanggung jawab hukum. Luar biasa!!! Dapat dibayangkan begitu besar kemurahan akibat kebijakan rekonsiliasi. Tetapi harus diingat, bahwa dalam rekonsiliasi  kebenaran harus diakui dan diikuti permintaan maaf oleh pelaku. Bahwa rejim Suharto (cq. KBRI) telah melakukan pelanggaran hukum/HAM terhadap para WNI/mahid di luar negeri tanpa dibuktikan kesalahannya adalah fakta yang harus diakui. Oleh karena itu negara harus minta maaf kepada mereka - para korban (eksil-mahid dll.), tidak tergantung apakah mereka PKI atau non-PKI, Islam atau non-islam.

Semoga kasus tersebut di atas mendapat perhatian dari Presiden Jokowi, Dewan Pertimbangan Presiden dan Jenderal Agoes Widjojo, Pengarah Simposium Nasional 1965.

Nederland, 29 Juni 2016,
*MD Kartaprawira, Ketum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65),   mdkartaprawira@gmail.com


 [K1]

No comments:

Post a Comment