MASALAH
PERMINTAAN MAAF JOKOWI BERKAITAN PENUNTASAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA
(Menyongsong Peringatan 50 Tahun Tragedi Nasional 1965)
Oleh MD
Kartaprawira
Masalah “permintaan maaf” presiden Jokowi berkaitan
kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 perlu mendapat sorotan yang serius, sehingga
penuntasan kasus tersebut tidak bertentangan dengan keadilan.
Menurut pendapat penulis, permintaan maaf tersebut harus dikaitkan dengan
peristiwa pasca ditumpasnya G30S yang
dipimpin letkol. Untung beserta pendukungnya di Yogya, Solo dan
Semarang oleh Pasukan KOSTRAD dibawah pimpinan jenderal Suharto di sekitar
bulan Oktober 1965. Kemudian
mereka yang tersangkut dengan G30S dihadapkan ke Mahmilub. Maka dengan demikian dapat dikatakan
masalah G30S sudah selesai.
Tetapi perkembangan politik di Indonesia selanjutnya menjadi
rumit ketika di beberapa bagian wilayah Indonesia terjadi pembunuhan-pembunuhan
massal dan tindak kekerasan lainnya terhadap penduduk yang tak berdosa, tanpa melalui
prosedur hukum, karena mereka dituduh anggota PKI atau pendukung PKI. Terutama peristiwa
tersebut menjadi marak setelah jenderal Suharto menyalah-gunakan Supersemar
(Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 untuk kepentingan politik-kudetanya
terhadap presiden Soekarno. Dengan tujuan itulah dilaksanakan pemusnahan
kekuatan pendukung Soekarno, yaitu PKI dengan segala cara dan perwujudannya.
Akibatnya ratusan ribu - jutaan orang dibantai, puluhan ribu orang ditahan di penjara-penjara, dibuang ke pulau Buru, dianiaya,
dicabut paspornya terhadap mereka yang sedang bertugas di luar negeri dan berbagai
macam tindak kekerasan lainnya. Mereka inilah yang merupakan korban
pelanggaran HAM berat/kejahatan kemanusiaan/genosida 1965-66 di Indonesia.
Perbuatan tersebut adalah jelas merupakan tindak kriminal (kejahatan), bahkan bersifat massal. Seharusnya “penegak hukum”
(kepolisian dan kejaksaan) secepatnya menangani kasus tersebut, seperti praktek
negara mana pun di dunia. Artinya kasus tersebut seharusnya sejak di tahun
1965-66 sudah mulai ditangani untuk mempersiapkan bukti-bukti yang diperlukan dalam
sidang pengadilan negara. Sehingga bisa
dibuktikan siapa yang bersalah: pelaku atau korban.
Tetapi
kenyataannya selama 50 tahun, dari masa kekuasaan rejim Suharto sampai berakhirnya
jabatan presiden SBY, kasus tersebut tetap terlantar. Sengaja” ditelantarkan?
Itulah pertanyaannya. Tidak bisa tidak di
dalam masyarakat tentu timbul kecurigaan dan dugaan buruk, bahwa penguasa negara Indonesia dengan sengaja
melindungi para penjahat dengan cara memberlakukan impunitas bagi mereka, yang
berakibat selama 50 tahun tidak ada satu pun proses pengadilan terhadap penjahat-penjahat
kemanusiaan 1965-66 di Indonesia tersebut.
Tentu hal tersebut sangat memalukan bangsa dan negara Indonesia, yang dalam UUD
1945 (Pasal 1 Ayat 3) menyatakan: “Indonesia adalah negara hukum”.
Pemerintah
Indonesia, siapa pun yang berkuasa seharusnya meminta maaf kepada para korban
tersebut. Maka dari itu, apabila presiden Jokowi meminta maaf kepada para
korban pelanggaran HAM berat/kejahatan kemanusiaan 1965/genosida atas kejadian
dan terlantarnya penuntasan kasus tersebut di atas adalah kebijakan yang sangat manusiawi, bernurani tinggi dan
sangat terpuji.
Sepanjang
kita ketahui presiden Jokowi tidak pernah menyatakan akan minta maaf kepada “korban
G30S”. Apalagi permintaan maaf presiden kepada “korban G30S” adalah tidak benar
dan harus tidak dilakukan. Sebab siapa dalang G30S sendiri sampai dewasa ini
masih dalam penelitian para ilmuwan, yang beragam kesimpulannya. Sehingga
terdapat istilah : G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA-Suharto, G30S/Soekarno dan
lain-lainnya. Maka selain tidak tepat, Presiden Jokowi juga akan sulit
menentukan minta maaf kepada korban G30S yang mana?
Begitu juga presiden
Jokowi tidak tepat apabila meminta maaf kepada PKI. Sebab para korban terdiri
tidak hanya dari orang-orang PKI, tetapi
juga orang-orang non-PKI (para marhaenis/nasionalis pendukung Soekarno) dan
bahkan orang-orang yang tidak termasuk dari dua golongan tersebut.
Yang jelas Jokowi
telah berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus
pelanggaran HAM 1965-66. Tampaknya Jokowi akan menempuh jalan
Non-Yudisial: yaitu Rekonsiliasi. Sebab jalan tersebut dipandang lebih
memungkinkan dari pada jalan yudisial yang kasusnya sudah ditelantarkan selama
50 tahun oleh penguasa-penguasa negara sebelumnya.
Dalam pada itu rekonsiliasi harus dilaksanakan atas dasar
kebenaran dengan pengakuan tentang terjadinya kejahatan kemanusiaan 1965-66 dan
disertai permintaan maaf oleh pihak pelaku. Di lain pihak para korban dengan
ikhlas memaafkan mereka. Dengan demikian rekonsiliasi bukan hanya salaman tipu-tipuan,
melainkan perdamaian dan kerukunan nasional yang serius demi masa depan
Indonesia yang jaya dan hebat.
Selanjutnya pemerintah harus mengembalikan hak-hak sipil
dan politik para korban disertai
restitusi, kompensasi dan rehabilitasi terhadap para korban yang telah
dinyatakan bersalah oleh pengadilan Orde Baru. Di samping itu pemerintah harus juga
menjalankan kebijakan penghapusan segala peraturan yang diskriminatif terhadap
para korban, termasuk semua peraturan anti-demokrasi
dan anti HAM dari materi TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang sudah di luar hierarchie
perundang-undangan Indonesia.
Den Haag, 25 September 2015
No comments:
Post a Comment