Thursday 25 April 2013

Memperingati 300 Minggu Aksi Kamisan


Memperingati 300 Minggu Aksi Kamisan


Seberapa pentingkah angka 300 untuk anda?  Setidaknya saya masih mengingat, uang dengan nominal itu pernah menjadi bekal saku saat dulu duduk di bangku SD. Cukup untuk membeli sarapan bubur dan makan “sego megono” saat jam istirahat.

Hal lain dari angka “300” yang saya ingat adalah sebuah film dari adaptasi novel grafis Frank Miller yang konon mengangkat kisah peperangan 300 tentara Sparta melawan Persia.

Angka 300 juga bisa menjadi kumpulan hari dalam hitungan waktu 10 bulan, jika satu bulan terdiri dari 30 hari.

Bagaimana jika 300 kali itu adalah mewakili minggu?

Artinya sudah kurang lebih enam tahun jika demikan. Bagaimana jika dalam waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar itu ada yang terus berdiri di depan Istana Presiden?

Ini bukan rekayasa apalagi ingin mencari sensasi atau rekor Muri.

Enam tahun itu mereka berdiri di depan Istana Merdeka Jakarta, membawa payung hitam bertuliskan nama, peristiwa, tahun dari tragedi yang mereka alami.

Enam tahun itu pula mereka berdiri mematung dengan memakai pakaian hitam simbol keprihatinan sekaligus keteguhan.

300 Minggu yang lalu mereka bertekad mencari anak, suami, kerabat mereka yang hilang atau dibunuh dari culasnya sebuah kekuasaan.

Ada yang masih belum mengetahui kabar tentang sanak saudara mereka yang diculik 15 tahun lalu, entah masih hidup atau sudah meninggalkah, sebuah saksi atas kebiadaban zaman di akhir senjakala Orde Baru. Ada juga yang terus  menunggu jawab keadilan saat anaknya ditembak peluru aparat.

Sekian jejak masa lalu atas rentetan peristiwa kemanusiaan yang diinjak-injak seperti kemudian hanya menjadi pajangan ketika enam tahun berlalu, dia yang duduk di singgasana istana, hanya sibuk membuat album lagu, atau kabar terakhir sedang repot mengurus partai biru.

Jika tidak percaya tengoklah mereka persis di depan Istana tadi akan berdiri saat sore hari, setiap hari kamis dari mulai pukul 16.00 sampai pukul 17.00 berdiri menerawang menahan marah yang terpendam di sela umur yang semakin menua, memakai payung melindungi rambut mereka yang rata-rata sudah beruban.

300 Minggu baik panas ataupun hujan bukan persoalan, ketika komitmen awal mereka adalah tetap berdiri mematung menunggu kejelasan nasib keadilan yang tersuarakan lirih, bahkan sangat lirih ketika hanya mampu kemudian mereka tuliskan, saat teriakan sudah lelah mereka gaungkan.

Lelah tentu adalah hal manusiawi, tetapi itu tidak membuat mereka mundur. Ibarat sebuah buku, mereka telah mengumpulkan lembar ke-300 dalam episode mencari celah kecil keadilan yang konon katanya dijamin di negeri ini.

Dari perjalanan  panjang ini, beberapa dari mereka ada yang sudah pergi mendahului berkalang tanah, pergi dengan sesak di dada atas luka yang digoreskan pertiwi merenggut sanak famili mereka dengan pengatas-namaan stabilitas, ketertiban, nasionalisme, pembangunan, ataupun sederet kata pembenaran merenggut nyawa dan hak kebebasan manusia merdeka.

Sederet peristiwa sekadar pengingat mereka  yang terus berdiri di situ adalah beberapa korban atau keluarga korban Mei 1998, keluarga aktivis yang hilang diculik tahun 1997-1998, peristiwa Semanggi I, Semanggi II, keluarga aktivis HAM Munir, korban peristiwa 1965, dan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.

Setidaknya Kamis sore ke-300 di depan Istana Presiden Jakarta ini bukanlah sebuah kisah tunggal. Setiap Kamis sore pada tahun 1977, belasan ibu bekerudung putih berhimpun di Plaza de Mayo depan Casa Rosada, istana kepresidenan Argentina.

Mereka berjalan perlahan-lahan mengelilingi tempat tersebut. Setengah jam berlalu, aksi ibu-ibu yang sebagian telah uzur itu pun selesai.

Pekan-pekan berikutnya, pada hari dan waktu yang sama, mereka kembali datang ke Plaza de Mayo  melakukan aktivitas serupa. Berkumpul di depan istana adalah bentuk protes atas hilangnya anak dan anggota keluarga mereka akibat kemelut politik di Argentina. Juga atas nama stabilitas, junta militer di bawah Jenderal Jorge Rafael Videla yang menculik, menyiksa, serta menghilangkan nyawa puluhan ribu warga yang dianggap membahayakan kekuasaannya.

Setiap Kamis sore, mereka terus menggelar aksi damai di Plaza de Mayo. Tak hanya sebulan-dua bulan, aksi yang kemudian dikenal sebagai Las Madres Plaza de Mayo itu berjalan selama tiga puluh tahun lebih.

Bahkan pertengahan tahun 2009 lalu, beberapa ibu dari Argentina ini sengaja datang ke Jakarta, menguatkan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang juga beberapa terdiri dari para ibu di depan Istana Presiden Jakarta.

Mereka tidak pernah berharap belas kasihan, mereka juga tidak tergiur dengan kursi kekuasaan. Mereka hanya ingin menampar ingatan  kita, bahwasanya masih banyak yang belum kembali hingga kini.

Kekuasaan mengharuskan sejuta argumentasi untuk beralasan, sementara keluarga korban penculikan dan pembantaian itu hanya ingin pertangung-jawaban.

Saya tidak tahu, apakah setiap Kamisan ketika keluarga korban memberikan surat cinta-nya untuk Presiden, dan Presiden enggan membalas itu karena takut seperti hal yang sama terjadi seperti dalam cerpen “Jawaban Alina” karya Seno Gumira Ajidarma?

“..Setelah amplop itu kubuka dan senja itu keluar, matahari yang terbenam dari senja dalam amplop itu berbenturan dengan matahari yang sudah ada. Senja yang seperti potongan kue menggelegak, pantai terhampar seperti permadani di atas bukit kapur, lautnya terhempas langsung membanjiri bumi dan menghancurkan segala-galanya..”

Kita tidak tahu ketakutan semacam apa yang dialami Presiden untuk menjawab dengan tegas, dan menyelesaikannya dengan tuntas.

300 Minggu telah berlalu sementara korban dan keluarga korban masih setia mematung di depan istana warisan Gubernur Jenderal Louden tersebut. Mereka masih membawa payung, diam mematung dan adakalanya sambil mendekap foto kerabat, atau anak mereka yang hilang atau meninggal tanpa kejelasan.

Sepertinya anak, suami, atau kerabat mereka yang mati karena melawan tiran kekuasaan tadi akan berkata sama seperti Leonidas dalam medan pertempuran Thermophylae di film "300", “Ingatlah alasan kenapa kami gugur."

Ibu-ibu yang anak-anaknya diculik dan hilang sampai sekarang itu mungkin menganggap bahwa anaknya hanya sedang pergi kuliah atau bermain. Malam atau esok hari akan pulang dan menari bersama. Menari, persis seperti yang Sting dendangkan.


Husni K Efendi

Penomoran Halaman


No comments:

Post a Comment