Monday 8 October 2012

MELAWAN LUPA, MENEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN


 

LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965

( vereniging ter verdediging van de slachtoffers van 1965 )

K.v.K. Utrecht 30204241

Sekretariat: Nijenheim 33-38, 3704 SE Zeist, Nederland

Tel.: 020-6957875; E-mail: <thomasnuraga@yahoo.co.uk>

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal : 08 Oktober 2012

Nomor : 01 / LPK'65 / X / 2012

Perihal : Press Releas   

 

MELAWAN LUPA, MENEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN

(Sabutan pada Peringatan Tragedi  Nasional 1965-66, pada 07 Oktober 2012 di Diemen , Nederland)

Oleh MD Kartaprawira

 

# Melawan lupa sejarah tragedi kemanusiaan 1965-66

Rejim Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto yang timbul setelah berhasil menghancurkan Gerakan Tigapuluh September (G30S), dengan tujuan memuluskan jalan kudetanya terhadap pemerintahan Soekarno,  melakukan pembantaian,  penahanan, pembuangan, penghilangan dan penganiayaan masal tanpa proses hukum terhadap orang-orang yang dianggap lawan politiknya: orang yang mereka tuduh anggota PKI atau golongan kiri lainnya - pendukung  Soekarno. Kurang lebih 3 juta orang tak berdosa menjadi korban keganasan dan kebiadaban rejim tersebut. Demikianlah berdirinya rejim Orde Baru Suharto dibangun di atas 3 juta mayat orang tidak berdosa. Inilah kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat yang sangat dahsyat sesudah kejahatan Nazi Hitler.

Sejarah targedi kemanusiaan 1965-66 telah dijalani oleh para korban sepanjang 47 tahun lamanya dalam keadaan terpinggirkan, terpojokkan, dengan menanggung segala penderitaan dan ketidaknyamanan di segala bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Meski sudah 47 tahun berlalu kasus tersebut  sampai detik ini belum mendapatkan perhatian yang wajar dari penegak hukum di Indonesia, seakan-akan pada tahun 1965-66 tidak pernah terjadi kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat. Jadi percuma saja dibuat  perundang-undangan HAM dalam Negara Indonesia, kalau perundang-undangan tersebut tidak diterapkan untuk menegakkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Dan sangat terkutuklah para penyelenggara negara yang sudah lupa akan keberadaan „Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum“.

Sekali lagi perlu diingatkan, bahwa pembunuhan,  penyiksaan dan penghilangan serta penahanan selama puluhan tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan penjara-penjara lainnya  yang dilakukan tanpa melalui proses hukum oleh rezim Orde Baru terhadap  rakyat Indonesia tidak boleh tidak adalah Kejahatan Kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat -  tidak pandang apapun agama, ideologi, pandangan politik, suku, etnis dari para korban. Bahkan seandainya PKI terbukti terlibat G30S pun tidak dibenarkan penguasa negara melakukan tindakan  sewenang-wenang yang begitu kejam terhadap para anggota PKI dan simpatisannya tanpa melalui proses hukum. Rezim Orde Baru tidak mau belajar sejarah masa lalu berkaitan dengan kebijakan pemerintah era Soekarno terhadap  pemberontak PRRI-Permesta, dimana PSI dan Masyumi tersangkut secara langsung. Tidak hanya tidak ada pembantaian  dan  penahanan masal selama belasan tahun terhadap para anggota kedua partai tersebut, tetapi bahkan mereka yang menyerah oleh pemerintah diberi amnesti dan dikembalikan ke masyarakat.

Bahkan TAP MPR No.XXV/1966 pun tidak dapat dijadikan dasar pembenaran  untuk melakukan kekejaman-kekejaman tersebut di atas. Sebab TAP tersebut hanya menyatakan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta onderbouwnya dan pelarangan ajaran marxisme-leninisme di Indonesia. Tidak ada pasal yang langsung maupun tidak langsung bisa diterapkan sebagai dasar untuk pembenaran tindak kejahatan kemanusiaan terhadap para anggota PKI beserta onderbouwnya.

Di samping itu, masalah para korban pelanggaran HAM 1965 tersebut secara faktual tidak ada hubungannya dengan masalah apa yang dinamakan G30S yang melakukan penculikan para jenderal dan kemudian pembunuhan terhadap mereka  di Lubangbuaya dan tindakan-tindakan lainnya. Tapi justru rejim Suharto yang sengaja menghubung-hubungkan mereka dengan masalah G30S  melalui penyebaran fitnah dan kebohongan. Dengan demikian  rejim Suharto mendapatkan dalih untuk menghabisi orang-orang kiri. Misalnya propaganda bohong Orba bahwa di Lubangbuaya para Gerwani memotong-motong alat kelamin para jenderal. Tetapi kenyataannya visum et repertum dengan jelas menyatakan bahwa alat kelamin para jenderal utuh.  Bahkan disebutkan bahwa di antara mereka ada yang disunat dan ada yang tidak. Jadi terbukalah kebohongan rejim Suharto untuk membangkitkan rasa marah, dendam dan benci di kalangan masyarakat yang satu terhadap lainnya sehingga dengan demikian mereka bisa ditunggangi untuk membasmi lawan politiknya. Akibatnya sangat fatal dan menyedihkan.

Sampai saat ini masih terus diperdebatkan siapa yang salah dan siapa dalang G30S: PKI kah, CIA kah, Soekarno kah atau lain-lainnya. Perlu mendapatkan perhatian, bahwa diskusi tentang dalang G30S memang sangat penting untuk pelurusan sejarah. Tapi hendaknya jangan sampai meninggalkan atau menelantarkan masalah manusia yang menjadi korban pelanggaran HAM berat 1965-66, yang penderitaannya selain dirasakan oleh para korban sendiri, juga oleh puluhan juta keluarga korban.

 Tidak dapat diketahui sampai berapa puluh tahun lagi perdebatan mengenai dalang G30S tersebut akan berakhir. Meskipun demikian,  sudah jelas dan nyata bahwa tidak tergantung siapa dalang G30S,  pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan kiri lainnya, tetap tidak dapat dibenarkan secara hukum (nasional maupun internasional). Tetap tindakan tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan --pelanggaran HAM berat. Masalah dalang G30S adalaah masalah pelurusan sejarah, sedang masalah penuntasan kasus korban pelanggaran HAM berat 1965-66  adalah masalah penegakan kebenaran, hukum, keadilan dan demokrasi bagi para korban. Karena kedua masalah tersebut sangat penting, maka penanganannya harus berjalan parallel – tidak tergantung satu sama lain.

Memang harus diakui bahwa sebelum timbulnya peristiwa G30S telah terjadi konflik-konflik horisontal di kalangan masyarakat di berbagai daerah (a.l. akibat adanya tindakan aksi sepihak yang berkaitan dengan masalah landreform) yang menimbulkan korban di kedua belah pihak yang bersengketa. Konflik-konflik tersebut  sedang berada dalam upaya penyelesaiannya oleh pemerintah kala itu. Tetapi pada pasca G30S sisa-sisa dendam akibat konflik horisontal tersebut dimanfaatkan oleh rejim Suharto dengan tujuan untuk membasmi lawan-lawan politiknya. Maka timbullah satuan-satuan milisi yang melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan pendukung Soekarno.

Tanpa ABRI/RPKAD/Kopkamtib berdiri di belakangnya tak mungkin para milisi bisa melakukan dengan leluasa penangkapan-penangkapan dan pembunuhan-pembunuhan massal. Jadi ABRI/RPKAD/Kopkamtib adalah yang  memegang peranan utama terjadinya kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat 1965-66. Jendral Sarwo Edy sendiri telah mengakui melakukan/terlibat pembantaian 3 juta orang.     Oleh karena itu Jenderal Suharto serta jajaran strukturalnya  harus bertanggung jawab.  Seharusnya Suharto sebagai pemegang Supersemar dan Panglima Kopkamtib melakukan kebijakan-kebijakan yang bisa meredam berkobarnya dendam konflik horisontal masa lalu, sehingga tidak terjadi pembunuhan massal. Tetapi Suharto justru melakukan kebijakan kebalikannya seperti tersebut di atas.

Maka dari itu penguasa baru Republik Indonesia pasca Suharto harus berani mengakui bahwa Negara (rejim Suharto a/n Negara) telah melakukan pelanggaran HAM berat dan oleh karena itu harus MINTA MAAF  kepada para korban dan keluarganya. Selanjutnya pemerintah harus berani mengambil kebijakan-kebijakan untuk menuntaskan kasus tersebut berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,  demi kebenaran dan keadilan yang manusiawi bagi para korban dan demi terciptanya rekonsiliasi nasional.

Sejarah tragedi nasional yang maha dahsyat tersebut tidak bisa dilupakan dan harus tidak dilupakan, sebagaimana wasiat “jasmerah”-nya Bung Karno – “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Sebab  dari sejarah tersebut harus ditarik pelajaran, agar kita bisa melihat yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Suatu kesalahan sejarah masa lalu yang menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan harus tidak terulang lagi. Sejarah masa lalu betapa pun pahitnya harus kita pelajari dan diambil pelajarannya. Jangan sejarah masa lalu malah dilupakan. Segi positifnya terus dipupuk, sedang segi negatifnya diperbaiki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.  Maka dari itu tiap tahun tragedi kemanusian 1965 tersebut diperingati baik secara diam-diam maupun secara transparan terbuka, baik di tanah air mau pun di luar negeri. Bahkan peringatan tersebut sering disertai pernyataan tuntutan kepada pernyelenggara negara, tanpa khawatir akhirnya tuntutan-tuntutan tersebut hanya dibuang ke keranjang sampah.

Harus disayangkan adanya usaha-usaha pihak tertentu yang menyerukan agar kita melupakan sejarah masa lampau.

 

# Angin segar dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan

Para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mempunyai hak penuh menuntut dituntaskannya  kasus pelanggaran HAM, yang sesungguhnya merupakan tugas, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (UU No.39/1999 Pasal 8). Tapi sangat disesalkan bahwa pelaksanaan kewajiban tersebut macet selama 47 tahun sampai detik ini. Kalau pada era rejim Suharto selama 32 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak pernah disinggung adalah wajar, sebab rejim tersebut tidak mau dituduh sebagai penjahat kemanusiaan. Tetapi setelah lengsernya Suharto, pemerintah-pemerintah Indonesia era “reformasi”  tampak enggan untuk menuntaskan kasus tersebut. Tentu saja kita juga maklum mengapa demikian.  Sebab di era “reformasi” selama ini Suhartoisme/Orbaisme masih berkibar di  semua institusi-institusi Negara. Baju orba diganti dengan baju „reformasi“, sedang manusia pemakainya tetap tidak berubah.

 Meskipun demikian, karena gencarnya gerakan-gerakan peduli HAM yang tak kunjung padam menuntut ditegakkannya kebenaran dan keadilan, maka pada tanggal 6 Maret 2012  turunlah berita bahwa presiden SBY berkeinginan menyatakan minta maaf kepada para korban pelanggaran HAM 1965-66. Hal tersebut dinyatakan oleh Albert Hasibuan, anngota Dewan Pertimbangan Presiden di Isatana Negara. Tentu saja berita tersebut bagi para korban merupakan satu lintasan sinar cahaya api lilin yang sayup-sayup menerangi 47 tahun kegelapan.  Kalau hal tersebut memang akan benar terjadi maka permintaan maaf presiden  adalah langkah positif pertama dalam usaha penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.  Tetapi pernyataan permintaan maaf saja tidak cukup,  apabila tidak ditindak lanjuti dengan kebijakan-kebijakan konkrit untuk penuntasan kasus tersebut secara keseluruhan. Dan dalam menanggapi berita bahwa presiden SBY berkeinginan menyatakan minta maaf tersebut, kita jangan hanyut dalam ilusi yang hebat-hebat, mengingat banyak janji-janji SBY  yang tidak dipenuhi.

Apalagi kenyataan terbengkalainya kasus tersebut selama 47 tahun, sulit hal itu kalau tidak dikatakan sebagai kesengajaan pemerintah melalaikan hukum yang berlaku syah di Indonesia, membiarkan berkepanjangan praktik impunitas, yang oleh karena itu sesungguhnya penyelenggara negara dapat dimintai pertanggungan jawabnya secara hukum.

Dan tidak salahlah sementara orang berpraduga bahwa pernyataan SBY mau minta maaf  hanyalah satu mata rantai taktik penguasa negara untuk mengulur-ulur penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 dengan janji-janji kosong, sampai semua pelaku dan korbannya habis meninggal semua. Dengan demikian oleh mereka diharapkan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tersebut „menguap“ lenyap.

Sejarah juga mencatat bahwa selama 32 tahun berkuasa, Suharto sengaja tidak mau mengakui tindakan-tindakannya sebagai pelanggaran HAM berat, dan karenanya merasa tidak perlu meminta maaf. Malah sebaliknya ia melakukan kebijakan-kebijakan sebagai diktator-militer kejam yang siap menggebuk siapa saja yang dianggap lawan atau yang berbeda pendapat.

Dan perlu diingatkan bahwa Gusdur ketika masih menjabat sebagai presiden pernah memberi contoh kepada rakyat Indonesia bagaimana berlaku bijak dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM 1965-66 yaitu   meminta maaf kepada para korban. Sebab  Gusdur menyadari adanya sesuatu yang tidak benar telah dilakukan oleh sebagian ummatnya dalam persitiwa pasca runtuhnya gerakan G30S. Langkah Gusdur tersebut diikuti oleh pemuda-pemuda intelektual NU yang tergabung dalam organisasi Sarekat, yang merintis terjadinya komunikasi masyarakat akar rumput yang pada tahun 1965-66 terlibat dalam peristiwa tragedi tersebut dengan tujuan membangun rekonsiliasi antara masyarakat akar rumput. Jerih payah pemuda-pemuda NU tersebut dapat dibanggakan.

Kebijakan Gus Dur dilanjutkan dalam kaitannya menangani korban pelanggaran HAM di luar negeri yaitu warganeagra Indonesia (mahasiswa, pejabat, wartawan, tamu organisasi internasional dan lain sebagainya) yang dicabut paspornya oleh kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri karena loyal kepada presiden RI resmi Soekarno. Gusdur mengutus Menteri Hukum dan HAM untuk berdialog dengan mereka yang terhalang pulang tersebut untuk ditarik pulang kembali ke tanah air dalam rangka rekonsiliasi nasional supaya dapat ikut serta menyumbangkan tenaganya dalam pembangunan negara. Tetapi usaha Gusdur tersebut tidak terlaksana, sebab keburu dia dilengserkan oleh MPR. Bisakah SBY dan tokoh-tokoh politik lainnya dewasa ini mengambil contoh-contoh kebijakan arif Gusdur tersebut?

Pada tgl.8 Nopember 2011  Pengurus LPK65 berkesempatan mengadakan pertemuan dengan Dirrjen Kementerian Hukum dan HAM Dr. Aidir Amin Daud yang mengemban pesan dari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar untuk mendapatkan informasi langsung sekitar masalah tuntutan para korban pelanggaran HAM di luar negeri kepada pemerintah. Berkaitan dengan masalah tuntutan agar pemerintah minta maaf kepada para korban yang selalu diserukan dalam kegiatan-kegiatan LPK65 (Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland), Aidir Amin Daud menyatakan bahwa pernyataan minta maaf kepada korban pelanggaran HAM berat 1965-66 bukanlah masalah berat. Artinya permintaan maaf kepada para korban tersebut bisa dilaksanakan. Tapi yang merupakan kendala ialah akibat permintaan maaf  tersebut, yaitu kas negara tidak cukup  untuk membayar kompensasi, restitusi, reparasi dan lain-lainnya berkaitan dengan pemulihan hak-hak para korban, demikian keterangan Aidir Amin Daud. Dan itulah posisi Kementerian Hukum dan HAM sesuai keterangan Aidir Amin Daud.

Sedang terhadap Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR RI dari Partai Golkar dan mereka semua yang menolak presiden meminta maaf sangat disesalkan dan patut dipertanyakan ketulusan hatinya terhadap rekonsiliasi nasional. Sebab rekonsiliasi nasional sendiri mensyaratkan adanya „permintaan maaf pelaku“ (lih. Praktik rekonsiliasi di Afrika Selatan). Tanpa permintaan maaf pelaku „luka“ masa lalu tetap tersimpan dalam jiwa, yang pada suatu waktu bisa kambuh lagi. Tapi dengan pernyataan permintaan maaf luka masa lalu  akan terobati.

Udara segar lainnya di samping berita SBY akan minta maaf adalah berita tentang hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah dilimpahkan kepada Jaksa Agung. Dari hasil penyelidikannya Komnas HAM menyimpulkan: terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 

 Oleh Tim Khusus Komnas HAM yang dipimpin  Nurkholis dalam penyelidikannya berdasarkan  439 BAP (Berita Acara Penyelidikan) telah ditemukan  9 (dari 10) indikasi  pelanggaran HAM berat sesuai UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,  yaitu: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Sesungguhnya kalau  sudah sesuai dengan indikasi-indikasi pelanggaran HAM berat,  Komnas HAM seharusnya bisa menyatakan temuannya suatu “bukti pelanggaran HAM berat”, meskipun sebagai bukti permulaan yang masih akan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung dengan langkah-langkah penyidikan.Tetapi anehnya Komnas HAM menyebutkan temuannya hanya sebagai “bukti untuk MENDUGA terjadinya/adanya pelanggaran HAM berat”. Tentu saja timbul pertanyaan mengapa demikian?

Misalnya kita setelah mendapat fakta-fakta tentang ribuan orang ditahan/dibuang ke pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan dan lain-lainnya tanpa dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum, kita tanpa ragu-ragu bisa menyatakan fakta-fakta tesebut adalah bukti adanya pelanggaran HAM berat. Kita juga akan langsung bisa mengatakan bukti adanya pelanggaran HAM berat ketika melihat fakta-fakta adanya kuburan masal di berbagai daerah. Dalam hal ini bukan dugaan lagi. Fakta-fakta tersebut mudah sekali didapat, sebab mantan tapol di pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan dan lain-lainnya banyak yang masih hidup. Bahkan kesaksian para mantan tapol tersebut merupakan bukti-saksi yang syah dalam pengadilan, bukannya dugaan bukti-saksi.

Bagaimana pun, karena temuan Komnas HAM tersebut pada tanggal 20 Juli 2012 telah berhasil dilimpahkan ke Kejaksaan Agung beserta rekomendasinya agar ditindak lanjuti, maka hasil kerja Komnas HAM tersebut perlu mendapat apresiasi sebagai langkah maju. Selanjutnya nasib temuan Komnas HAM akan  ditentukan oleh Kejaksaan Agung, yang konon akan membentuk tim yang akan menilai temuan tersebut. Jadi tampak ada sedikit geseran dari titik mati selama 47 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Masih berapa tahun lagi gerak geseran itu sampai ke pintu pengadilan HAM ad hoc? Kita tidak tahu. Kita juga tidak tahu kapan masalah pelanggaran HAM berat 1965-66 sampai ke meja KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Tapi gelagatnya penguasa negara  akan menggiring penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 ke meja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Dengan bergulirnya hembusan angin-angin segar tersebut para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 hendaknya tidak lengah, tetap teguh maju terus dalam perjuangan penuntasan kasus tersebut. Berhubung dengan timbulnya situasi baru tersebut  di atas marilah kita lancarkan seruan agar:

1.      Kejaksaan Agung secara konsekwen dan jujur menindak lanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.

2.      Presiden dan DPR mengusahakan kelancaran terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc atas kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.

3.      Presiden dan DPR secepat mungkin mengesyahkan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

4.      Semua organisasi peduli HAM memberikan solidaritasnya demi  kebenaran dan  keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965-66.

5.      Semua para korban pelanggaran HAM masa lalu bersatu padu dalam perjuangan demi tegaknya   kebenaran, keadilan dan demokrasi di Indonesia.

 

Nederland, 07 Oktober 2012

MD Kartaprawira

Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland

 

No comments:

Post a Comment