BERJUANG MENEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN BAGI KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965 DAN LAIN-LAINNYA. (STRUGGLE TO UPHOLD THE TRUTH AND JUSTICE FOR THE VICTIMS OF HUMAN RIGHTS VIOLATION IN 1965 AND OTHERS). http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com (sementara) E-mail: lbgpk.enamlima@gmail.com
Thursday, 3 May 2012
PRESIDEN SBY BERNIAT
MINTA MAAF KEPADA PARA KORBAN PELANGGARAN HAM MASA LALU - ANTARA REALITAS DAN ILUSI
Oleh MD
Kartaprawira*
Tanggapan/reaksi tentang
berita niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama negara akan minta maaf
kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu telah bergulir di media massa,
terutama media internet. Penulis berpendapat bahwa niat minta maaf tersebut semata-mata
baru berita yang bersumber dari Albert Hasibuan (Wantimpres). Presiden SBY sendiri
belum langsung secara resmi menyatakannya. Maka tidak bisa dikatakan sebagai
janji SBY, tepatnya baru isu semata.
Terhadap isu tersebut, seyogyanya
ditanggapi secara obyektif. Sebab banyak janji-janji SBY yang secara langsung
diucapkan selalu tak dipenuhi. Apalagi mengenai niat “minta maaf” kepada para
korban pelanggaran HAM masa lalu, yang baru berupa isu belaka. Maka tidaklah
arif kalau para korban tergopoh-gopoh berilusi akan datangnya „mukjizat“ dari
SBY. Meskipun demikian juga tidak perlu apriori. Tunggu saja kenyataannya
dengan santai sambil menikmatkan video „Campur Sari“.
Kalau benar bahwa presiden
SBY akan menyatakan „minta maaf“ kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu, permintaan maaf tersebut harus tidak berarti penghapusan tindak kejahatan para pelaku kejahatan
HAM masa lalu (a.l. mantan jenderal Suharto dan jenderal-jenderal
lainnya). Permintaan „maaf“ presiden SBY harus berarti permintaan maaf atas
terjadinya kejahatan HAM yang dilakukan rejim orde baru/Suharto dan
terbengkelainya penuntasan kasus tersebut sampai dewasa ini. Maka sebagai
tindak lanjut permintaan maaf, secara hukum presiden SBY berkewajiban menuntaskan
kasus tersebut, meskipun sebagian pelaku topnya sudah meninggal. Dalam
penuntasan kasus tersebut kepentingan para korban (di tanah air dan di luar
negeri) harus mendapat tempat dominan untuk mendapat keadilan yang manusiawi dalam
kaitannya dengan masalah kompensasi,reparasi, restitusi, rehabilitasi, dan
pengembalian hak-hak politik dan sosial-ekonomi lainnya tanpa diskriminasi dan
tanpa prosedur yang birokratis berbelit-belit.
Di samping itu, permintaan
maaf presiden SBY tidak harus berarti permintaan maaf bagi jenderal
Suharto dan para pelaku lainnya, sebab dia sendiri dan rejimnya tidak
pernah merasa salah dalam tindakannya, terutama mengenai kasus pelanggaran HAM
berat 1965-66 yang menyengsarakan 3 juta manusia terbunuh, dibuang ke pulau
Buru, Nusakambangan, dijebloskan ke penjara-penjara dan penyiksaan-penyiksaan
lainnya. Jenderal Suharto dan rejimnya tidak pernah merasa salah dalam menyengsarakan
puluhan juta keluarga korban akibat kebijakan bersih lingkungan, diskriminasi
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara akibat penyantuman label ET pada
KTPnya. Karena merasa tidak bersalah, maka Suharto dan rejimnya menganggap tidak
perlu minta maaf. Meski sudah 46 tahun berlalu penyelenggara negara Indonesia cq presiden SBY terus membisu,
terus melakukan kebijakan impunitas. Dengan timbulnya isu “presiden SBY berniat
minta maaf” beberapa hari yang lalu (HukumOnline, 26 April 2012) agaknya akan
timbul kebijakan baru penyelenggara negara untuk memperbaiki
Maka, selama belum
dituntaskan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, penggalakan tuntutan kepada
penyelenggara negara atas penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan
pelanggaran HAM berat 1965-66, adalah adil dan dapat dibenarkan secara hukum
dan moral. Tak perlu jemu menyuarakan tuntutan
tersebut. Tuntutan tersebut absolut tidak bertentangan dengan hukum di
Indonesia (UUD 1945, UU HAM dan
Konvensi-konvensi HAM yang telah diratifikasi).
Mengapa
Penyelenggara Negara Indonesia tidak mau belajar penuntasan kasus-kasus HAM di
negara-negara Amerika Latin, a.l. Argentina dan Peru? Di sana tidak memerlukan
pengadilan internasional, cukup pengadilan nasional. Di sana tidak memerlukan
lembaga-lembaga tambahan semacam Komnas HAM, tetapi cukup dengan Institusi
Penegak Hukum yang sudah ada, tapi dalam menjalankan tugasnya bertindak secara
jujur, adil dan konsekwen. Di sana (Argentina) para jenderal pelaku pelanggaran
HAM dijatuhi hukuman antara 25 tahun dan seumur hidup, dan masih banyak jenderal
antre di meja hijau untuk menerima vonis hakim. Bisakah pengalaman di Argentina
di terapkan di Indonesia setelah presiden SBY minta maaf?
Semoga
Bpk. Albert Hasibuan sebagai aggota Wantimpres berhasil baik dalam menjalankan
tugasnya demi penegakan kebenaran, keadilan dan demokrasi di Indonesia. Salam jempol
dan GBu !!!
Untuk
melengkapi tanggapan di atas, silahkan buka links di bawah ini:
„Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-66 demi Kebenaran, Keadilan
dan Rekonsiliaasi Nasional“ http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html
„PERNYATAAN Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965“ http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/pernyataan-panitia-peringatan-45-tahun.html
Nederland,
01 Mei 2012
*)
Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment