http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2014/01/bahan-kajian-sejarah-sekitar-peristiwa.html
Posted on September 27, 2013by spedaonthel

Misteri dan Kontroversi
Luka-Luka Pada Jenazah 7 Pahlawan Revolusi
“…only in four months, five times as many
people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years…”
(Bertrand Russell, 1966)
(Bertrand Russell, 1966)

!!! WARNING GRAPHIC CONTENT !!!
!!! PERHATIAN GAMBAR MEMILUKAN !!!
!!! PERHATIAN GAMBAR MEMILUKAN !!!

Untuk mengenang jasa
dan pengorbanan tak ternilai dari ketujuh Pahlawan Revolusi dan juga untuk
memperingati serta mengenang peristiwa tersebut agar tak pernah ada lagi, maka
kami akan menguak sedikit dari banyaknya tandatanya-tandatanya besar yang masih
tersimpan di saku tiap rakyat Indonesia yang tercinta ini yang belum terjawab.
Mungkin ada benarnya
kata pepatah, jika kita berada diwilayah orang yang sangat-sangat berkuasa
dimana informasi apapun sangat-sangat terbatas dan penuh rekayasa, maka
terkadang kebenaran akan terungkap belakangan karena kebenaran takkan pernah
hilang, walau terlihat “seperti hilang” oleh waktu.
A. Kronologi Pengangkatan Jenazah Dari
Dalam Sumur
Suharto, sebagai
komandan Abri saat memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI
Mengangkat jenazah
tujuh pahlawan revolusi di Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi sumur
yang dalam dan mayat yang mulai membusuk, membuat evakuasi sulit dilakukan.
Tapi para prajurit
Kompi Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL), tak mau
menyerah.
Sebenarnya jenazah
sudah ditemukan sejak sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1965,
atas bantuan polisi Sukitman dan masyarakat sekitar.
Peleton I RPKAD yang
dipimpin Letnan Sintong Panjaitan segera melakukan penggalian.
Tapi mereka tak mampu
mengangkat jenazah karena bau yang menyengat.
Jenderal Soeharto pun
memerintahkan kepada pasukan evakuasi bahwa penggalian dihentikan pada malam
hari.
Pasukan
KKO bersiap masuk ke sumur dengan menggunakan peralatan selam dan masker
Maka penggalian pun ditunda dan penggalian
akan kembali dilanjutkan keesokan harinya.
Dalam buku Sintong Panjaitan, perjalanan
seorang prajurit para komando yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto,
dilukiskan peristiwa seputar pengangkatan jenazah.
Kala itu Sintong berdiskusi dengan Kopral
Anang, anggota RPKAD yang dilatih oleh Pasukan Katak TNI AL.
Anang mengatakan peralatan selam milik
RPKAD ada di Cilacap, hanya KKO yang punya peralatan selam di Jakarta.
Maka singkat cerita, KKO meminjamkan
peralatan selam tersebut untuk operasi pengangkatan jenazah dari dalam lubang
sumur di daerah lubang Buaya tersebut.
Tanggal 4 Oktober, Tim KKO dipimpin oleh
Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan evakuasi jenazah pahlawan
revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit itu.
Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral
Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan tabung
oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, yang
pertama adalah jenazah Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution.
Pukul 12.15 WIB, Serma KKO Suparimin
turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah itu
tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.
Pukul 12.30 WIB, giliran Prako KKO
Subekti yang turun. Dua jenazah berhasil ditarik, Mayjen S Parman dan Mayjen
Suprapto.
Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO Hartono
memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo.
Pukul 13.30 WIB, Serma KKO Suparimin
turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen Ahmad Yani.
Dengan demikian, sudah enam jenazah pahlawan revolusi yang ditemukan.

Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak
ada lagi yang mampu masuk lagi. Mereka semua kelelahan.
Bahkan ada yang keracunan bau busuk hingga
terus muntah-muntah.
Maka Kapten Winanto sebagai komandan
terpanggil melakukan pekerjaan terakhir itu. Dia turun dengan membawa alat
penerangan.
Ternyata benar, di dalam sumur masih ada
satu jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen D.I. Panjaitan.
Dengan demikian lengkaplah sudah jenazah
enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD yang dinyatakan telah hilang
diculik Gerakan PKI pada tanggal 30 September 1965.
Kapten KKO Winanto sendiri terus
melanjutkan karirnya di TNI AL. Lulusan Akademi Angkatan laut tahun 1959 ini
pernah menjabat Komandan Resimen Latihan Korps Marinir, Komandan Brigade Infanteri
2/Marinir sebelum pensiun sebagai Gubernur AAL.
Ia sudah meninggal pada Minggu, 2 September
2012 pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di kediamannya Jl Pramuka no 7,
Kompleks TNI AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer di
San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
B. Kronologi Visum
et Epertum Dokter Forensik
4 Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu.
Lima dokter yang diperintahkan Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal
Soeharto memulai tugas mereka.
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:
1. Ahmad Yani, Letnan Jenderal
(Menteri Panglima Angkatan Darat).
2. R. Soeprapto, Mayor Jenderal. (Deputi II Menpangad).
3. MT. Harjono, Mayor Jenderal. (Deputi III Menpangad).
4. S. Parman,
Mayor Jenderal. (Asisten I Menpangad).
5. D. Isac Panjaitan, Brigardir Jenderal. (Deputi IV Menpangad).
6. Soetojo Siswomihardjo, Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).
7. Pierre Andreas Tendean, Letnan Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH
Nasution).
Jenazah enam jenderal dan
satu perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa
Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur. Dari lima anggota tim dokter yang
mengautopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan
Darat, yakni:
1. dr. Brigardir
Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP
Angkatan Darat)
2. dr. Kolonel Frans
Pattiasina (perwira
kesehatan RSP Angkatan Darat)
Sementara tiga lainnya adalah dokter Kehakiman,
masing-masing:
3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli
Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK UI)
4. dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu
Kedokteran Kehakiman FK UI)
5. dr. Liem Joe Thay (atau dikenal
sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), anda dapat membaca kisahnya di akhir
halaman ini)
Akhirnya lewat tengah malam, pukul 12.30
atau dinihari pada tanggal 5 Oktober 1965, dr. Roebiono dkk menyelesaikan tugas
mereka. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh
jenazah korban penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan
Revolusi ini, dimakamkan di TMP Kalibata.
Tampak salah satu peti
jenazah Pahlawan Revolusi sedang diangkat untuk dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta.
C.
Hasil Visum et Repertum Jenazah Tiap Korban
Ketika diperiksa
ketujuh mayat telah dalam keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari
sebelumnya. Dapat dipastikan ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat
ini tewas mengenaskan dengan tubuh dihujani peluru dan tusukan.
1. Ahmad Yani (Menteri
Panglima Angkatan Darat).

Jenazah Letjen Ahmad
Yani diidentifikasi oleh Ajudan Menpangad Mayor CPM Soedarto dan dokter
pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan, dengan penanda utama parut pada
punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya serta kelebihan gigi
berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri
pertama.
Tim dokter menemukan delapan luka tembakan
dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Sementara di bagian perut terdapat dua buah
luka tembak yang tembus dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung.
a. Info dari Indo Leaks
Sebelumnya, dokumen visum et repertum Ahmad
Yani yang dirilis Indoleaks juga hanya menyebutkan luka tembak.
Visum
et Repertum Jenderal Ahmad Yani (Klik untuk memperbesar). (sumber:
blogs.swa-jkt.com/swa/10693/2013/01/29/30-september-1965)
Padahal Orde Baru
mencatat kalau PKI telah mencungkil mata Pahlawan Revolusi itu.
2. R. Soeprapto (Deputi II Menpangad)
Jenazah Mayjen R.
Soeprapto diidentifikasi oleh dokter gigi RSPAD Kho Oe Thian dari susunan gigi
geligi sang jenderal.
Pada jenazah R.
Soeprapto ditemukan:
(a) tiga luka tembak
masuk di bagian depan,
(b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang,
(c) tiga luka tembak keluar di bagian depan,
(d) dua luka tembak keluar di bagian belakang,
(e) tiga luka tusuk,
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka,
(g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan
(h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha kanan.
(b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang,
(c) tiga luka tembak keluar di bagian depan,
(d) dua luka tembak keluar di bagian belakang,
(e) tiga luka tusuk,
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka,
(g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan
(h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha kanan.
a.
Indoleaks: Ternyata Saat Wafat, Organ Tubuh Letnan Jenderal Soeprapto Masih
Utuh!
Letjen Suprapto adalah
pahlawan revolusi yang menjadi korban pembunuhan G30 S PKI pimpinan DN Aidit
dan Kolonel Untung. Beliau lahir di Purwokerto 20 Juni 1920 dan wafat di Lubang
Buaya 1 Oktober 1965.
Letnan Jenderal TNI
Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920 –
meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam
G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pendidikan umum yang berhasil ia tamatkan adalah MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) yakni pendidikan setingkat SMP dan AMS (Algemne
Middelberge School) yaitu pendidikan setingkat SMA.
Suprapto pernah mengikuti
pendidikan militerKoninklijke Militaire Akademie di Bandung namun
tidak tamat karena pendudukan Jepang.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh
PKI pada tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan
diculik dan dibunuh.
Hingga meredupnya
peristiwa tersebut, tak ada lagi yang membahasnya karena kini telah sibuk oleh
brainwashed dunia lainnya dan mulai menganggap bahwa sejarah sudah lewat dan
bukanlah apa-apa lagi. Padahal melalui sejarah, kita dapat belajar, karena
sejarah adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah adalah track
record.
b. Dokumen Visum et Repertum Letjen
Suprapto
Kisah sadis menyertai
peristiwa G30S PKI dalam sejarah yang dicatat Orde Baru. Letjen Anumerta R
Soeprapto misalnya, disebut disilet-silet dan dipotong alat kelaminnya. Namun
sebuah dokumen visum et repertum yang dirilis situs whistle
blower Indoleaks, menunjukkan hal yang berbeda.
Dari situs resminya yang
dikeluarkan sejak beberapa tahun lalu, Senin (13/12/2010), ada lagi sebuah
dokumen visum et repertum yang dibuat oleh 4 dokter RSPAD
yaitu dr Roebino Kertopati, dr Frans Pattiasina, dr Sutomo Tjokronegoro, dr
Liaw Yan Siang, dr Lim Joe Thay, pada 5 Oktober 1965. Bagian nama, tempat
tanggal lahir, pangkat, jabatan dan alamat sengaja dihitamkan.
Tampak dokumen Visum
et repertum oleh dokter dituliskan pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia tidak boleh bohong,
tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa kenyataan itu, harus
dimasukkan dalam visum et repertum itu harus jadi pegangan,
sebab ini satu kenyataan, bukan khayalan.
Visum et Repertum
Jenderal Suprapto (Klik untuk memperbesar). (sumber:
blogs.swa-jkt.com/swa/10693/2013/01/29/30-september-1965)
Namun dari deskripsi luka, diduga kuat bahwa dokumen itu adalah
dokumen visum et repertum Letjen TNI Anumerta R Soeprapto.
Data pembandingnya adalah keterangan visum Letjen R Soeprapto yang pernah
disebutkan dalam makalah pakar politik Indonesia dari Cornell
University, AS, Ben Anderson, pada jurnal ‘Indonesia‘ edisi April
1987.
Ada kain sarung dan kemeja yang melekat
pada korban. Ada beberapa persamaan dan banyak juga perbedaan antara luka
Letjen Soeprapto versi Orde Baru dan dokumen visum yang asli. Berbeda dengan
Ahmad Yani, Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya. Dia baru gugur di
Lubang Buaya.
Dalam versi Orde Baru dan
juga dilansir Harian Berita Yudha 9 Oktober 1965, wajah dan
tulang kepala Soeprapto remuk namun masih dapat diidentifikasi. Hasil visum
juga menunjukkan kalau ada luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah
tulang di bagian kepala dan muka.
Lubang sumur tua
sedalam 12 meter yang digunakan untuk membuang jenazah para korban G30S/PKI.
Sumur tua itu berdiameter 75 Cm.
Nah, justru perbedaannya yang mencolok. Versi TNI menyebutkan
ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan
memotong alat kelamin korban. Namun, rupanya dalam dokumen yang diungkap Indoleaks,
hal itu tidak terbukti.
Laporan visum untuk
Soeprapto, selain patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah
tulang di betis kanan dan paha kanan.
Luka benda tumpul
diduga batu atau popor senapan. Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun
dari bayonet dan bukan silet. Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di
berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti
penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
Pembunuhan Letjen
Soeprapto tentu saja tragis, namun tidak sesadis yang dijabarkan dalam catatan
sejarah versi Orde Baru.
Ia juga salah satu
perwira TNI yang menolak pembentukan angkatan kelima yang diusulkan PKI
sehingga menjadi target pembunuhan PKI bersama Ahmad Yani, MT Haryono, DI
Pandjaitan,Sutoyo Siswo Miharjo dan S.Parman.
Monumen Pancasila
Sakti, yang berada di daerah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur ini,
berisikan bermacam-macam hal dari masa pemberontakan G30S – PKI, seperti
pakaian asli para Pahlawan Revolusi.
d.
Perbandingan Informasi
Mari kita coba kembali flashback dari info
diatas mengenai janazah Soeprapto, menurut info dari ABRI dan Indo Leaks.
i.
Versi Orba dan TNI:
- Wajah dan tulang
kepala Soeprapto remuk namun masih dapat diidentifikasi.
- Luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
- Menurut versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban.
- Luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
- Menurut versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban.
ii.
Versi Indoleaks:
- Ada kain sarung dan
kemeja yang masih melekat pada korban.
- Jenderal Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya.
- Dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, Jendral ini tak disilet-silet, dan alat kelamin korban tak dipotong.
- Terdapat patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan.
- Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
- Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
- Jenderal Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya.
- Dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, Jendral ini tak disilet-silet, dan alat kelamin korban tak dipotong.
- Terdapat patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan.
- Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
- Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
3.
MT. Harjono (Deputi III Menpangad)

Jenazah Mayjen MT. Harjono diidentifikasi
oleh saudara kandungnya, MT. Moeljono, pegawai Perusahaan Negara Gaya Motor.
Salah satu tanda pengenal jenazah ini adalah cincin kawin bertuliskan
“Mariatna”, nama sang istri.
Cincin kawin, bertuliskan “SPM” juga
menjadi salah satu penanda jenazah Mayjen S. Parman, selain kartu tanda anggota
AD dan surat izin mengemudi serta foto di dalam dompetnya.
4. S. Parman (Asisten I Menpangad)

Pada mayat S. Parman
ditemukan:
(a) tiga luka tembak
masuk di kepala bagian depan,
(b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan,
(c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri,
(d) dua luka tembak keluar di kepala,
(e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.
(b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan,
(c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri,
(d) dua luka tembak keluar di kepala,
(e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.
5.
D. Isac Panjaitan (Deputi IV Menpangad)

Tim dokter menemukan
luka tembak masuk di bagian depan kepala, juga sebuah luka tembak masuk di
bagian belakang kepala. Sementara itu di bagian kiri kepala terdapat dua luka
tembak keluar. Terakhir, di punggung tangan kiri terdapat luka iris.
6. Soetojo Siswomihardjo (Oditur Jenderal/
Inspektur Kehakiman AD).

Pada mayat Brigjen Soetojo ditemukan:
(a) dua luka tembak masuk di tungkai bawah
kanan bagian depan,
(b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan,
(c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah,
(d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan
(e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.
(b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan,
(c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah,
(d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan
(e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.
7. Pierre Andreas Tendean (Ajudan Menko
Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution)

Mayat P. Tendean dikenali dari pakaian yang
dikenakannya, gigi geligi dan sebuah cincin logam dengan batu cincin berwarna
biru.
Pada mayat P. Tendean tim dokter menemukan:
(a)
empat luka tembak masuk di bagian belakang,
(b) dua luka tembak keluar bagian depan,
(c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan
(d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.
(b) dua luka tembak keluar bagian depan,
(c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan
(d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.
D. Format Dokumen Visum et Repertum 7
Jenazah Korban
Dokumen visum et
repertum ketujuh korban yang saya peroleh dituliskan dalam format yang
sama. Di pojok kanan atas halaman depan terdapat tulisan “Departmen Angkatan
Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia”.
Sementara di pojok kiri halaman depan
tertulis “Salinan dari salinan.”
Bagian kepala laporan bertuliskan “Visum et
Repertum” diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103
(Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean).
Bagian awal laporan adalah mengenai dasar
hukum tim dokter tersebut. Pada bagian ini tertulis rangkaian kalimat sebagai
berikut:
“Atas perintah Panglima
Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, dengan surat perintah tanggal
empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima, nomor
PRIN-03/10/1965 yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang oleh
Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat diteruskan kepada kami yang bertandatangan
di bawah ini.”
Diikuti nama dan jabatan kelima dokter
anggota tim. Setelah itu adalah bagian yang menjelaskan kapan dan dimana visum
et repertum dilakukan. Pada bagian ini tertulis kalimat:
“maka kami, pada tanggal
empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah
lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh
lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat,
Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut surat
perintah tersebut di atas adalah jenazah dari pada.”
Bagian ini diikuti oleh bagian berikutnya
yang menjelaskan jati diri jenazah dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis
kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.
Selanjutnya ada sebuah paragraph yang
menjelaskan kondisi terakhir jenazah sebelum ditemukan dan diperiksa. Pada
bagian ini tertulis:
“Korban tembakan dan/atau
penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu
lima pada peristiwa apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”
Bagian ini dikuti oleh penjelasan
identifikasi; siapa yang mengidentifikasi dan apa-apa saja tanda utama yang
dijadikan patokan dalam identifikasi itu.
Setelah bagian indentifikasi, barulah tim
dokter memaparkan temuan mereka dari “hasil pemeriksaan luar” yang dilakukan
terhadap jenazah sebelum mengkahirinya dengan “kesimpulan”.
Keterangan gambar atas: Diorama penyiksaan
para Jenderal dan Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta (klik untuk
memperbesar, sumber gambar: insulinda.wordpress.com)
Bagian penutup diawali dengan tulisan
“Dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah jabatan” pada bagian kanan. Diikuti
nama dan tanda tangan serta cap kelima dokter anggota tim.
Bagian paling akhir dari dokumen-dokumen
yang saya peroleh ini mengenai autentifikasi dokumen. Karena dokumen ini
merupakan “salinan dari salinan” maka ada dua penanda autentifikasi dokumen
ini.
Bagian pertama bertuliskan “Disalin sesuai
aslinya” dan ditandatangani oleh “Yang menyalin” yakni Kapten CKU Hamzil Rusli
Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera.
Bagian kedua autentifikasi bertuliskan
“Disalin sesuai dengan salinan” dan ditandatangani oleh “Panitera dalam Perkara
Ex LKU” Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Namun tidak ditemukan
petunjuk waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.
E. Kisah dr. Arif yang
Ikut Mengotopsi Mayat Tujuh Pahlawan Revolusi 1965 (oleh T. Santosa)
Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong
putih dan sarung biru bergaris-garis, Lim Joe Thay duduk terdiam. Bibirnya
mengatup, sering kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada dan
sekali-sekali diletakkan di atas paha. Rambutnya telah memutih sempurna. Dia
tak banyak bicara. Kalau pun bersuara, kata-katanya terdengar sayup dan samar.
dr. Liem Joey Thay
alias Arief Budianto sedang duduk di kursi roda.
Bulan Juni 2008 yang lalu, dr. Arif sempat dirawat di RS St. Carolus. Ketika
menerima kabar itu dari salah seorang kerabat dr. Arif, saya dan Dandhy
menyempatkan diri menjenguknya.
Di RS. St. Carolus
kami sama-sama mengabadikan dr. Arif. Bedanya, Dandhy menggunakan video kamera
merek Panasonic, sementara saya menggunakan kamera saku digital merek Canon.
Tadinya, informasi yang kami terima
menyebutkan bahwa dr. Arif terkena serangan struk. Setelah kami bertemu dengan
beliau di paviliun St. Carolus, dan berbicara dengan istrinya, Ny. Arif,
barulah kami ketahui bahwa dr. Arif dirawat karena terjatuh saat hendak naik ke
kursi rodanya.
Sekali waktu laki-laki yang kini berusia 83
tahun itu bergumam. Mumbling. Saya mencoba
menangkap isi ceritanya. Tidak jelas. Terpotong-potong, patah-patah. Kalau
disambungkan seperti cerita tentang sepasukan tentara yang bergerak di sebuah
tempat, entah di mana. Tapi cerita itu tak tuntas. Dia menutup sendiri
ceritanya, mengalihkan pandangan mata ke sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan
diri dalam diam.
Di saat yang lain, dia
kembali menanyakan nama saya. Dan kalau sudah begini, saya memegang tangannya,
menyebutkan nama saya sambil menatap matanya. Setelah itu senyumnya sedikit
mengembang.

Dia adalah satu dari
segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara
ini setelah Proklamasi 1945.
Lim Joey Thay yang
ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima ahli forensik (lihat
daftar dokter diatas halaman) yang berdasarkan perintah Soeharto memeriksa
kondisi ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Kini dari lima anggota
tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup.
Lim Joey Thay kini
sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di
Amerika Serikat dan tidak diketahui pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu
dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan jam, dari
pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober,
di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Para pengikut partai
PKI yang ditangkap sedang dijaga ABRI (kiri). Sebelum dibunuh para korban
diarak warga menuju tempat pembantaian (kanan).
Sedangkan beberapa tahun lalu, Benedict Anderson telah
menggunakan hasil visum et repertum ini sebagai rujukan dalam
artikelnya di jurnal Indonesia Vol. 43, (Apr., 1987), pp. 109-134, How
Did the Generals Die?
Saya mendapatkan copy visum et repertum itu dari
Dandhy DL, jurnalis RCTI. Tahun lalu, dia juga menurunkan liputan mengenai dr.
Arif dan visum et repertum ketujuh pahlawan revolusi korban,
meminjam istilah Bung Karno, intrik internal Angkatan Darat dan petualangan
petinggi PKI yang keblinger, serta konspirasi nekolim.
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Para korban
pembantaian diinterogasi terlebih dahulu agar memberitahukan siapa lagi yang
ikut PKI (kiri). Sebelum dibantai, para korban disuruh untuk menggali
liang lahatnya sendiri (kanan).
Ketujuh pahlawan
revolusi itu jelas mati dibunuh. Namun dari hasil otopsi yang mereka lakukan
sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, atau apalagi,
pemotongan alat kelamin seperti yang digosipkan oleh media massa yang dikuasai
Angkatan Darat ketika itu.
Gosip mengenai
pemotongan alat kelamin, bahkan ada gosip yang menyebutkan ada anggota Gerwani
yang setelah memotong alat kelamin salah seorang korban, lantas memakannya–
telah membangkitkan amarah di akar rumput.
Gosip-gosip ini,
menurut Ben Anderson dalam artikelnya yang lain (saya sedang lupa judulnya)
sengaja disebarkan oleh pihak militer.
Keterangan gambar atas (klik untuk
memperbesar): Sebelum dibunuh, korban dipertontonkan dimuka umum (kiri). Dengan
kondisi tali melingkar di leher dan tangan terikat, korban masuk ke liang lahat
pembantaian yang digali oleh calon korban sendiri (tengah). Eksekutor mengatur
posisi korban sebelum pembantaian (kanan).
Maka gosip-gosip dan propaganda-propaganda
yang dihembuskan dengan kuat tersebut bagai minyak tanah yang disiramkan ke
api. Menyambar-nyambar. Membuat rakyat marah, bahkan sangat marah.
Selanjutnya, pembantaian besar-besaran
terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang dituduh menjadi anggota PKI atau
memiliki relasi dengan PKI, terjadi di mana-mana, seantero Indonesia.
Youth armed to the
teeth ready to kill communists at Mount Merapi area, November 1965.
Markas PKI dibakar
Pemuda Anshor dan spanduk-spanduk pemancing amarah rakyat tampak memenuhi
kota-kota di Indonesia. (PKI headquarters burned down by Muslim Ansor Youth, 8
October 1965)
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Eksekutor
mengatur para calon korban pembantaian yang kebanyakan masih remaja (kiri).
Tampak eksekutor menghujamkan pisau bayonet berkali-kali ke tubuh korban
pembantaian yang terikat tanpa daya itu satu demi satu sehingga korban mati
perlahan karena rusaknya organ dalam dan kehabisan darah, suasana sadis itu
bahkan ditonton dimuka umum termasuk anak-anak kecil (kanan).
Bahkan walau tak masuk
PKI, namun semua masyarakat yang mencintai Bung Karno dapat juga menjadi
korbannya. Hanya dengan memajang foto atau lukisan sang Proklamator saja, maka
sudah cukup bukti bagi anda dan akan merasakan akibatnya, dituduh sebagai PKI
walau tanpa bukti-bukti lain.
Dengan hanya berbekal
foto Bung Karno yang dipajang di dinding rumah, sudah cukup membuat
tentara-tentara menyeret anda keluar rumah menuju ke dalam liang lahat pada
masa itu!
2
jilid buku ukuran besar berjudul “Dibawah Bendera Revolusi” tulisan Bung Karno
Masih ingatkah anda, ada
2 jilid buku ukuran besar berjudul “Dibawah Bendera Revolusi” tulisan
Bung Karno?
Buku tersebut sempat
hilang diperedaran setelah era Orde Baru (New World Order) mulai
berkuasa. Tak ada yang berani mengeluarkannya dari dalam lemari atau laci,
semua tersimpan rapi.
Dulu, karena hanya dengan memiliki buku
itupun, sudah cukup bukti bagi tentara untuk dapat menyeret anda masuk ke liang
lahat.
Oleh sebab itulah,
setelah rezim Orde Baru tumbang di tahun 1998, sepasang buku “Dibawah
Bendera Revolusi” tulisan Bung Karno tersebut kembali marak.
Untuk buku asli cetakan pertama pada masa
lalu itu harganya sangat tinggi, bahkan untuk sepasang buku Jilid-1 dan Jilid-2
dan keduanya adalah cetakan pertama yang asli harganya antara 25 juta hingga
bisa mencapai ratusan juta rupiah! Namun buku yang tak boleh beredar pada masa
Orde Baru tersebut pada masa kini sudah dicetak kembali.
Keterangan gambar atas (klik untuk
memperbesar): Tampak korban pembantaian yang tewas ditusuk lalu mayatnya
dibiarkan dipinggir jalan (kiri). Tampak korban yang telah tewas dan masih
tergantung di pohon masih dipukul-pukuli dengan kursi didepan masyarakat umum
termasuk anak-anak kecil (kanan).
Soldiers rescuing an
ethnic-Chinese youth from the mob, 1966.
Respublika University,
run by Communist China government, was attacked by anti-communist mob. The
university was taken over by the military and became Trisakti University.
Indonesian soldiers
burned down a hut suspected as hiding place of PGRS-Paraku communist insurgents
in West Borneo.
Dr Soebandrio,
Sukarno’s foreign minister who’s responsible for aligning Indonesia with
Communist China, was sentenced to death by a military tribunal
Suharto declared the
banning of Indonesian Communist Party, 8 March 1966.
Catatan tidak resmi
menyebutkan setidaknya 500 ribu hingga 3 juta orang tewas dalam pembantaian
massal yang terjadi hanya dalam beberapa tahun itu.
Namun pada masa itu,
tak ada satupun media yang berani menyatakan kira-kira banyaknya korban
pembantaian ini secara terbuka.
Tampak pemberitaan
tentang peristiwa tragis Gerakan 30 September ini, menjadi Headline di surat
kabar Harian Rakjat.
Media pada masa itu
benar-benar harus pro pemerintah (mirip di A.S. sekarang – pen) dan semua media
harus menyaring informasi yang akan dicetak untuk masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 22
November 2011 lalu, sekitar pukul 19.00 WIB, akhirnya dr. Lim Joe Thay atau
Arief Budianto meninggal dunia dengan tenang.
Pria berusia 85 tahun
itu menghembuskan nafas terakhir di kediamannya di Jalan Johar Baru, Salemba,
Jakarta Pusat.
Oleh karenanya, saksi sejarah itu pun ikut serta membawa
kenangan pahit Indonesia tentang sejarah visum et repertum ketujuh
Pahlawan Revolusi Indonesia, yang mungkin masih banyak ia sembunyikan di dalam
pikirannya saja. Maka sebagian besar kebenaran sejarah pun ikut terkubur
bersamanya.
Upacara penaikan dan
pengibaran bendera setengah tiang di Istana Presiden Jakarta, sebagai simbol
negara tengah berduka pasca wafatnya 7 Pahlawan Revolusi di tahun 1965.
Daftar
tokoh yang meninggal dalam pembersihan anti-komunis Indonesia
Berikut adalah daftar
tokoh penting di Indonesia yang hilang, terbunuh atau dihukum mati pada masa
pembantaian terduga komunis 1965-1966 di Indonesia pasca Gerakan 30 September
tahun 1965.
§
Chaerul Saleh,
pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil
perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu
pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok
(meninggal 1967 sebagai tahanan).
§
D.N. Aidit, ketua PKI
(meninggal dibunuh 1965).
§
Lettu Doel Arif, tokoh kunci dalam penculikan
jenderal-jenderal Angkatan Darat yang diduga akan membentuk Dewan Jenderal oleh
PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (hilang).
§
Lukman Njoto,
Menteri Negara pada masa pemerintahan Soekarno dan wakil Ketua CC PKI yang
sangat dekat dengan D.N. Aidit (ditangkap 1966 dan hilang).
§
Muhammad Arief, pencipta lagu “Genjer-genjer” (dibunuh).
§
M.H. Lukman, Wakil
Ketua CC Partai Komunis Indonesia. (dihukum mati 1965)
§
Ir. Sakirman, petinggi Politbiro CC PKI dan kakak
kandung dari Siswondo
Parman, salah satu korban yang diculik meninggal dalam peristiwa
G30S (hilang).
§
Brigjen Soepardjo, Komandan TNI Divisi Kalimantan
Barat yang memiliki peran penting dalam peristiwa Gerakan 30 September (dihukum
mati).
§
Sudisman, anggota Politbiro CC PKI (dihukum
mati).
§
Syam Kamaruzzaman,
tokoh kunci G30S dan orang nomor satu di Politbiro PKI yang bertugas membina
simpatisan PKI dari kalangan TNI dan PNS (dijatuhi hukuman mati 1968,
dieksekusi 1986).
§
Letkol Untung Syamsuri,
Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun
1965 (dihukum mati 1969).
§
Trubus Soedarsono,
pematung dan pelukis naturalis Indonesia (dibunuh).
§
Wikana, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia,
bersama Chaerul Saleh dan Sukarnitermasuk dalam pemuda yang menculik
Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (hilang)
Lima
Versi Utama Peristiwa G30S/PKI
Hingga kini siapa dalang di balik peristiwa Gerakan 30 September
(G30S) masih diselimuti mendung tebal. Namun, peristiwa coup d’etat yang
disertai penculikan 6 jenderal Angkatan Darat (AD) itu tetap menggugah untuk
diperdebatkan dan dicari kebenarannya.

Dominick LaCapra
Sejarah memang tidak mengenal kata akhir, kata sejarawan Cornell
University, Amerika Serikat (AS), Dominick LaCapra.
Pasca jatuhnya New Order atau Orde Baru, versi
tunggal milik pemerintah, yang menyatakan PKI sebagai dalang G30S, digugat
(tapi kini akronim “G30S/PKI” diwajibkan kembali dalam buku pelajaran sejarah
SMP-SMA).
Sejak saat itu,
tinjauan sejarah terhadap peristiwa kelabu tersebut kembali mendapat ‘angin
surga’. Berbagai fakta baru tertungkap dan sejumlah versi pun bermunculan.
Namun, setidaknya ada 5 versi mainstream yang
tetap bertahan mengenai peristiwa yang berbuntut pada pembantaian sekitar 500
ribu simpatisan PKI–paling tragis di Jawa dan Bali–hingga 1967 itu. Versi lain
sebenarnya cukup bertebaran, tapi umumnya merupakan sempalan dari kelima
analisa pokok tersebut.
1. Versi Pertama, adalah
versi Angkatan Darat yang didukung oleh pemerintah otoriter Soeharto.
Buku Putih
(kageri.blogdetik.com)
Tahun 1994, sekretariat negara menerbitkan buku putih berjudul “Gerakan
30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan
Penumpasannya”.
Secara jelas, buku
tersebut menuduh bahwa PKI-lah yang menjadi pelaku kup.
Versi ini menjadi “the final and the whole truth”serta
haram untuk dibantah selama puluhan tahun!
Namun, sejarawan LIPI
Asvi Warman Adam mencatat, kalau buku putih itu dibaca dengan seksama, akan
diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuatnya.
Mengapa bisa begitu? Karena ternyata banyak
nama yang disebutkan secara berulang-ulang hingga ratusan kali.
Aidit (blogspot)
Cara penulisan dalam
buku ini mungkin sengaja dibuat untuk mengalihkan inti permasalahan dan
memfokuskan pembaca hanya pada tokoh-tokoh yang disebut berkali-kali tersebut
agar terjadi pengontrolan pemikiran dan pembaca terbius, ibarat doktrin.
Terdapat indeks nama
sebanyak 306 orang tokoh dalam buku itu. Dan beberapa diantaranya disebut
secara berulang-ulang:
1) Presiden Soekarno disebut 128 kali,
2) Dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali),
dan
3) Dua kubu perwira ABRI (107 kali).

Pengamat sejarawan
LIPI, Dr Asvi Marwan Adam
Sedangkan dalam
‘indeks kata penting’, tiga kata yang paling sering muncul adalah:
1) Gerakan Tiga Puluh
September,
2) Dewan Revolusi,
3)
Dewan Jenderal.
Sedangkan kata ‘PKI’ justru hanya disebut
dua kali.
Jadi, buku ini lebih berbicara tentang
tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum)
Oknum tersebut yaitu
Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi
sosial-politik,” kata Asvi (Majalah TEMPO edisi 2-8 Oktober 2000).
2. Versi Kedua, datang
dari kolega LaCapra, B.R.O.G Anderson dan Ruth McVey yang dikenal sebagai ‘Cornell
Paper’.
Tahun 1966, dua Indonesianis terkemuka itu menerbitkan tulisan
berjudul “A Preliminary Analysis of The October 1, 1965: Coup in
Indonesia,”.
Tulisan yang lebih dikenal dengan sebutan “Cornell
Paper” itu menyatakan bahwa PKI tidak memainkan peran sama sekali
dalam kup.

Ben Anderson alias
Prof. Emeritus Benedict Anderson alias Soebeno alias Bargowo dari Cornell
University, USA. (indiependen.com)
A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (bahasa Indonesia: Analisis Awal Kudeta
1 Oktober 1965 di Indonesia), atau lebih umum dikenal sebagai Cornell
Paper ini adalah publikasi ilmiah yang mengungkapkan kegagalan kudeta
oleh Gerakan 30 September dengan sangat rinci.
Artikel ini dipublikasikan pada tanggal 10
Januari 1966. Studi paper ini
ditulis oleh Benedict Anderson and Ruth Mcvey, dengan pertolongan Frederick
Burnell, dengan menggunakan informasi dari berbagai sumber berita Indonesia
pada saat itu.
Pada saat paper ini
ditulis, ketiga orang ini adalah anggota dari Ikatan Alumni Universitas Cornell
dan adalah ahli dalam bidang sejarah Asia Tenggara.
Dalam paper ini
Anderson dan Mcvey memaparkan teori bahwa PKI maupun Sukarno tidak terlibat
dalam gerakan kudeta ini; bahkan mereka adalah korban dari gerakan ini.
Berdasarkan informasi
dan dokumen-dokumen yang Anderson dan McVey gunakan, mereka memberikan teori
bahwa kudeta adalah sebuah masalah internal dalam tentara yang bertujuan
menggeser beberapa jendral yang dikatakan bekerja sama dengan CIA.
pict: wikimedia
Dalam waktu seminggu
Gerakan 30 September diberantas oleh Mayor Jendral Suharto, yang mengambil alih
pertanggung jawaban untuk menggalakkan keamamanan.
Paper ini juga
mengajukan alternative teori yang akhirnya ditolak. Salah satu diantaranya
adalah teori yang didukung secara resmi oleh pemerintah Indonesia sampa saat
ini yaitu PKI adalah dalang dari kudeta ini.
Publikasi ini awalnya dirahasiakan, tetapi bocor pada tanggal 5
Maret 1966 dengan munculnya artikel di Koran The Washington Post oleh
jurnalis Joseph Kraft.
Sampai tahun 1971,
Cornell menolak aksess ke publikasi ini dan artikel ini banyak disalahgunakan
atau diinterpretasikan tidak benar.
Permintaan kepada
pemerintah Indonesia untuk menyumbangkan dokumen-dokumen tambahan yang
berhubungan dengan kejadian kudeta ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Jadi, menurut paper
ini PKI tidak mempunyai motif apa pun untuk melakukan kudeta, karena partai
pimpinan Aidit ini telah menikmati keuntungan yang besar di bawah pemerintah
Soekarno.
Kup yang dilakukan sangat cepat itu adalah murni persoalan
internal AD. “Kudeta gagal” tersebut, kata Prof. Emeritus Benedict
Anderson alias Soebeno alias Bargowo dari Cornell University, USA dan
juga McVey, dipicu oleh kesenjangan yang dirasakan oleh beberapa kolonel divisi
Diponegoro, Semarang.
Kolonel seperti
Untung, Supardjo, serta Latief kecewa atas kepemimpinan AD di pusat yang
dianggap tercemar oleh gemerlap kehidupan Jakarta serta lemah sikap
anti-komunisnya. Akhirnya ketiga orang itu lalu melancarkan pemberontakan.
3. Versi Ketiga, adalah kesimpulan dari John Hughes dan Antonie
C.A. Dake.
Buku
Soekarno File, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan
(Antonie C.A. Dake)
Hughes melalui bukunya “The End of Soekarno”(1967)
berpendapat bahwa Presiden Soekarno-lah yang justru bertanggung jawab atas
semua rangkaian peristiwa kelam itu.
Menurutnya, tindakan Untung menciptakan
Gerakan 30 September adalah atas dasar restu dari Soekarno.
Sedangkan Antonie C.A.
Dake dalam bukunya“Soekarno File, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967,
Kronologi Suatu Keruntuhan” mengatakan bahwa mastermind dari
G30S adalah Soekarno.
Tulisan di dalam buku Antonie C.A. Dake
yang muncul sekitar tahun 2006 lalu tersebut langsung mendapat reaksi cukup
keras dari keluarga Soekarno.
4. Versi Keempat, menurut
Wertheim, Guru Besar Universitas Amsterdam
Guru Besar Universitas Amsterdam, Wertheim
punya pandangan lain mengenai G30S yang kemudian menjadi versi keempat.
Tampak Suharto sedang
menatap salah seorang Jenderal yang sedang diinterogasi oleh PKI di dalam
diorama saat berada di musium Lubang Buaya. (Setneg)
Ia mengatakan, kuat dugaan bahwa Soeharto
berada di balik kup tersebut.
Hal itu didasari oleh
pertanyaan simpel, mengapa Soeharto tidak menjadi target penculikan?
Soeharto, yang juga
berasal dari Kodam Diponegoro, tidak puas dengan kepemimpinan AD di bawah Ahmad
Yani yang lemah terhadap PKI.
Hal keterlibatan Soeharto ini juga didukung
oleh kedekatannya dengan Latief, pemimpin gerakan. Latief diketahui menjenguk
anaknya Soeharto, yaitu Tommy Soeharto yang sedang sakit sebelum terjadinya
kup.
5. Versi Kelima, dikembangkan oleh Peter Dale Scott.
Peter Dale Scott dari University of California,
Berkeley, mensinyalir keterlibatan pihak asing, khususnya AS melalui Central
Intelligence Agency (CIA). (lihat videonya dibawah mengenai “Black
Operation” atau klik disini)

Peter Dale Scott
(wikipedia)
Scott berusaha menarik
hubungan antara kepentingan CIA dengan penggulingan Soekarno serta kedekatan
badan intelijen AS tersebut dengan AD pada waktu itu.
Menurutnya, Gestapu,
respons yang ditunjukkan Seharto dengan mengambil alih keadaan, serta
pertumpahan darah, adalah skenario AD untuk merebut kekuasaan.
Soeharto dikatakannya
bermuka dua, seolah-olah memihak status quo, namun sebenarnya punya rencana
untuk menumbangkan Soekarno.
Jadi, hampir seluruh
penelitian maupun kesaksian dari pelaku yang diterbitkan belakangan ini
memiliki kecenderungan satu dari 5 tesis di atas.

Sukarno and Aidit
(sjsu.edu)
Entah sampai kapan
misteri peristiwa yang menjadi pertanda beralihnya rezim Soekarno ke Soeharto
itu akan terbuka secara utuh, sehingga tidak ada lagi pertanyaan yang muncul.
Akan tetapi sejarah memang akan terus
hidup, karena ia adalah dialog antara masa lalu dan masa kini.
Maka, sejarah yang selalu ditulis oleh sang
pemenang, kembali menuai banyak partanyaan tambahan, namun kini ikut terkubur.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, dan sejarah pahit takkan terulang kembali di negeri tercinta ini.
Aamiin.
(sumber: detiknews/ blogs.swa-jkt.com/teguhtimur.com/insulinda.wordpress.com/ Jakartabeat.net/
wikipedia/ edited by: icc)
Sukarno addressing a
PKI rally.
VIDEOs:
(Bhs Inggris) CIA bantu Suharto menggulingkan
Sukarno melalui PKI dan “Black Operation”
(PART-1) Kuburan Massal di Indonesia (Mass
Grave in Indonesia)(PART-2) (FULL VERSION)
(PART-1) G30S/PKI : Kudeta Terselubung(PART-2)
Shadow Play – True Story G30sPKI (full movie –
1 hr 20 mnts)
40 Years Of Silence: An Indonesian Tragedy
(long movie – 2 hrs 30 mnts)
Jagal – The Act of Killing – 2013 (full movie
– 2 hrs 40 mnts)
Artikel Lainnya:
SUMBER: http://indocropcircles.wordpress.com/2013/09/27/misteri-jenazah-7-pahlawan-revolusi/
No comments:
Post a Comment