Thursday 25 August 2016

Wantimpres: Presiden Terima Hasil Simposium Tragedi 1965

Wantimpres: Presiden Terima Hasil Simposium Tragedi 1965  
KAMIS, 25 AGUSTUS 2016 | 15:16 WIB
·        share facebook
·        share twitter
·        share google+
·        share pinterest
Wantimpres: Presiden Terima Hasil Simposium Tragedi 1965  
Ketua Pemuda Rakyat Sukatno yang menjadi underbouw PKI yang juga wartawati Warta Buana, korban Tragedi 1965, Sri Sulistyawati hadiri acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, 18 April 2016. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai bahwa Simposium ini tidak bisa dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. TEMPO/Subekti

TEMPO.COJakarta - Rekomendasi penyelesaian perkara tragedi 65 akhirnya selesai dirumuskan. Malah, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, rumusan rekomendasi itu sudah dipegang Presiden Joko Widodo.

"Ya, beberapa hari lalu sudah kami laporkan kepada Presiden Joko Widodo follow up dari simposium di Arya Duta," ujar Sidarto kepada Tempo, Kamis, 25 Agustus 2016.

Tragedi 1965 masih mandek penyelesaiannya hingga kini. Berbagai pihak memiliki pandangan berbeda-beda perihal bagaimana perkara itu harus diselesaikan. Ada yang mengharapkan cara yudisial seperti pihak korban, ada yang mengharapkan penyelesaian non-yudisial alias rekonsiliasi.

April lalu, sebuah simposium mengenai tragedi 65 digelar di Hotel Arya Duta, Jakarta, untuk mencari solusi. Kesepakatan dalam simposium itu kemudian dibawa ke Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk dirumuskan lebih lanjut sebelum diterima Presiden Jokowi.

Baca: Wiranto dan Agus Widjojo Bahas Hasil Simposium Tragedi 1965

Sidarto mengaku belum tahu kapan Presiden akan memberikan respons atau menyatakan sikap atas rekomendasi tadi. Hingga kini, ucap dia, belum ada tanda-tanda Jokowi akan mengambil langkah penyelesaian tragedi 65.

Meski begitu, ia yakin Presiden tidak mendiamkan rekomendasi yang disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Sebab, penyelesaian perkara HAM seperti kasus 1965 sudah menjadi program Presiden Joko Widodo.

"Tadi juga ada pertanyaan soal rekomendasi itu dari para korban tragedi 1965. Presiden suatu saat pasti akan memberi tanggapan," tutur Sidarto.

Baca: 
Agus Widjojo: Rumusan Hasil Simposium 1965 Sudah Final

Secara terpisah, Koordinator Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung meminta Presiden segera merespons rekomendasi tersebut. Ia meminta Jokowi juga merespons hasil International People Tribunal 65 yang menyatakan telah terjadi kejahatan politik, pembunuhan massal, penculikan, dan penghilangan orang secara paksa dalam tragedi 65.

"Kami minta supaya rekomendasi ditindaklanjuti, yaitu pemerintah meminta maaf atau menyesal atas peristiwa 65 kepada semua korban, baik dari kalangan komunis, nasionalis, maupun pendukung Bung Karno," kata Bedjo.

ISTMAN M.P.

Friday 29 July 2016

Rekonsiliasi Nasional dan Payung Hukumnya

Rekonsiliasi Nasional dan Payung Hukumnya
Oleh MD Kartaprawira*
Betul sekali pendapat Eva Kusuma Sundari (politikus PDI Perjuangan, Wk. Ketua ASEAN Parliamentarians for Human Rights) bahwa untuk menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM masa lalu/Genosida 1965 perlu pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Jadi menempuh jalan non-yudisial. Dan jalan itulah yang dikehendaki Presiden Joko Widodo sejak semula dalam janjinya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat ma...
Continue Reading
Komisi Kebenaran diyakini bisa menuntaskan kasus 1965.
NASIONAL.KOMPAS.COM|BY KOMPAS.COM

Wednesday 20 July 2016

#LiveStreaming Pembacaan Putusan IPT1965

Putusan Majelis Hakim International People's Tribunal (IPT) 1965

Indonesia Dinyatakan Bertanggung Jawab dan Bersalah atas Kejahatan Kemanusiaan
20 Juli 2016
  


http://koransulindo.com/wp-content/uploads/2016/07/IPT65-640x395.jpg
Koran Sulindo – Pada Rabu ini (20/7), Ketua Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan Periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965, Zak Yacoob, memutuskan negara Indonesia bertanggung jawab dan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena memerintahkan dan melakukan, khususnya tentara, melalui rantai komando, tindakan tidak manusiawi.
“Semua tindakan ini merupakan bagian integral serangan yang menyeluruh, meluas, dan sistematis terhadap Partai Komunis Indonesia, PKI, organisasi-organisasi onderbouw-nya, para pemimpinnya, anggotanya, pendukungnya, dan keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya, dan secara lebih luas terhadap orang yang tak berkaitan dengan PKI,” kata Zak Yacoob, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, yang direkam dari Cape Town.
Pemutaran video pembacaan keputusan tersebut didengarkan secara bersamaan oleh akademisi, ahli hukum internasional, dan aktivis kemanusiaan secara bersamaan di lima negara, mulai pukul 09.00 waktu Belanda.
Seperti tertera pada laporan keputusan final IPT 1965 itu, serangan tersebut berkembang luas menjadi sebuah tindakan pembersihan menyeluruh atas pendukung Presiden Soekarno dan anggota radikal Partai Nasional Indonesia. Setiap tindakan tidak manusiawi adalah sebuah kejahatan di Indonesia dan di banyak negara-negara beradab di dunia. Serangan itu dilakukan dengan dipicu oleh propaganda yang menyesatkan.
Laporan itu juga menyebut, Indonesia juga telah gagal mencegah tindakan tidak manusiawi yang terjadi dan juga menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tindakan tidak manusiawi tersebut. Fakta bahwa sebagian kejahatan yang terjadi dilakukan oleh baik pihak-pihak tertentu yang terkait dengan negara maupun mereka yang disebut sebagai pelaku lokal yang spontan tidak membebaskan negara dari kewajiban negara untuk mencegah kejahatan kemanusiaan yang terjadi dan menghukum yang bersalah.

1

Indonesia Dinyatakan Bertanggung Jawab dan Bersalah atas Kejahatan Kemanusiaan

20 Juli 2016
  


Diungkapkan laporan itu, tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan meliputi pembunuhan, hukuman penjara, perbudakan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual, propaganda, keterlibatan negara lain, dan genosida. “Jumlah orang yang terbunuh kemungkinan besar diperkirakan 400.000 sampai 500.000 orang. Namun, mengingat kasus ini masih dirahasiakan, jumlah korban sebenarnya bisa lebih tinggi atau mungkin saja lebih rendah. Pembunuhan brutal yang terjadi menyeluruh merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atau hukum Indonesia, termasuk Undang-Undang KUHP pasal 138 dan 140, khususnya Undang-Undang No20/2000. Pembunuhan yang terjadi merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut,” demikian ditulis laporan tersebut.
Untuk yang dipenjara, tidak ada data statistik yang cukup untuk menunjukkan berapa jumlah sebenarnya orang ditahan, termasuk tahanan buruh paksa dan  budak virtual. Namun, diperkirakan jumlahnya sekitar 600.000 orang dan mungkin saja lebih besar dari itu. “Tindakan pemenjaraan yang tidak melalui proses hukum adalah sebuah bentuk kejahatan di Indonesia dan di sebagian besar banyak negara pada waktu itu. Tindakan pemenjaraan tanpa pengadilan juga merupakan sebuah tindakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan dan pelanggaran Undang-Undang Nomor 26/2000. Tindakan tersebut juga merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.”
Selain itu, ada bukti cukup yang menunjukkan orang-orang yang ditahan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa Tahun 1930, juga pelanggaran atas hukum Indonesia, terutama Undang-Undang Nomor 26/2000. “Tindakan tersebut juga merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.”
Akan halnya soal penyiksaan, ada bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya penyiksaan dalam skala besar yang dilakukan terhadap tahanan pada masa terjadinya pembunuhan massal dan pemenjaraan. “Banyak kejadian penyiksaaan direkam dalam laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan dan pada kasus-kasus individual yang digambarkan dalam pernyataan saksi dan bukti tertulis. Ada peraturan ekplisit di sistim perundang-undangan Indonesia yang menentang penyiksaan, kemudian ada larangan total terhadap tindakan penyiksaan dalam hukum internasional. Tindakan penyiksaan ini merupakan  bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.”
Untuk penghilangan secara paksa pun demikian. Ada bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya tindakan penghilangan secara paksa dalam skala besar, yang terkadang dilakukan sebelum memenjarakan atau menyiksa korban, sementara pada kasus-kasus lainnya, nasib para korban tidak pernah diketahui. “Bukti-bukti ini terdapat dalam laporan Komnas HAM dan diberikan oleh saksi dan studi kasus yang di hadapan sidang Tribunal. Penghilangan secara paksa dilarang dalam hukum internasional. Tindakan penghilangan secara paksa  ini merupakan  bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.”
Bukti adanya kekerasan seksual yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan dan diserahkan baik secara lisan maupun tulisan terbukti menyakinkan. “Bukti-bukti detail yang diberikan pada sidang Tribunal saling mendukung fakta dan memberikan gambaran akan adanya tindakan kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan yang diduga terlibat dengan PKI. Tindakan kekerasan ini meliputi pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Bentuk-bentuk kekerasan ini telah dan masih dinyatakan sebagai tindakan kejahatan, khususnya Undang-Undang Nomor 26/2000, dan juga termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.”



2

  

Indonesia Dinyatakan Bertanggung Jawab dan Bersalah atas Kejahatan Kemanusiaan

20 Juli 2016
  

Soal pengasingan, para warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya. “Aturan atas tindakan pengasingan yang dipaksa atau terjadi secara sukarela, selain merupakan tindakan tidak manusiawi, adalah merupakan bentuk serangan menyeluruh sebuah negara terhadap warga negaranya sendiri dan mungkin merupakan sebuah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Tentang propaganda, versi resmi atas apa yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya sepenuhnya tidak benar. “Fakta yang sebenarnya terjadi diketahui oleh para pimpinan militer di bawah Jendral Soeharto dari sejak awal, namun kemudian sengaja dipelintir untuk kepentingan propaganda. Kampanye propaganda yang disebar terkait orang-orang yang terlibat dengan PKI membenarkan tindakan penuntutan hukum, penahahan, dan pembunuhan para tersangka dan melegitimasi kekerasan seksual dan segala tindakan tidak manusiawi yang dilakukan. Propaganda yang bertahan selama tiga dekade ini memberikan kontribusi tidak hanya pada penolakan terpenuhinya hak sipil para penyintas dan juga pemberhentian tuntutan atas mereka. Menyebarkan propaganda sesat untuk tujuan melakukan tindakan kekerasan adalah sebuah tindakan kekerasan itu sendiri. Tindakan mempersiapkan sebuah kejahatan tidak bisa dipisahkan dari kejahatan itu sendiri. Bentuk persiapan semacam ini memberikan jalan dan merupakan bagian awal dari serangan sesungguhnya.”
Amerika, Inggris, dan Australia semua terlibat atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda. Amerika memberi dukungan cukup kepada militer Indonesia, dengan mengetahui mereka akan melakukan sebuah pembunuhan massal, tindakan kejahatan atas dugaan keterlibatan negara-negara lain dalam kejahatan terhadap kejahatan dengan demikian dijustifikasi. “Bukti paling jelas adalah adanya daftar nama pejabat PKI di mana ada dugaan akan adanya penangkapan atau pembantaian atas nama-nama tersebut. Inggris dan Australia melakukan kampanye propaganda yang menyesatkan berulang-ulang dari pihak militer dan mereka melanjutkannya dengan peraturan, bahkan setelah terbukti bahwa tindakan pembunuhan dan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan benar-benar terjadi secara massal dan tidak pandang bulu. Hal ini membenarkan dugaan akan adanya keterlibatan negara-negara lain dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah di negara-negara yang disebutkan di atas menyadari dan mengetahui penuh apa yang sedang terjadi di Indonesia  melalui laporan diplomatik dari kontak yang berada di lapangan atau dari media Barat.”
Akan halnya soal genosida, fakta-fakta yang dihadirkan di Sidang Tribunal oleh penuntut  termasuk tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida. Tindakan-tindakan tersebut dilakuan untuk melawan bagian substansif negara Indonesia atau kelompok nasional, sebuah kelompok yang dilindungi dalam konvensi genosida. “Tindakan tersebut dilakukan dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut secara bagian atau keseluruhan. Hal ini juga berlaku pada kejahatan yang dilakukan pada kelompok minoritas Cina. Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.”
Dalam laporan tersebut, pemerintah Indonesia diimbau untuk segera dan tanpa pengecualian meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara  dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara dalam kaitanya dengan peristiwa 1965. Pemerintah Indonesia juga diimbau untuk menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.
Laporan itu pun mendukung dan mengimbau semua otoritas yang terkait untuk memperhatikan dan mematuhi, antara lain, imbauan Komnas Perempuan untuk dilaksanakannya penyelidikan penuh oleh pemerintah Indonesia dan juga pemberian kompensasi utuh bagi korban penyintas dari kekerasan seksual dan keluarga mereka. Juga imbauan Komnas HAM bahwa Kejaksaan Agung harus bertindak atas laporan tahun 2012 untuk melakukan penyelidikan atas apa yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tahun 1965 dan sesudahnya.
Selain itu perlu diperhatikan dan dipatuhi imbauan yang diberikan para korban dan individu, termasuk kelompok pembela hak asasi Indonesia agar pemerintah dan seluruh sektor untuk melawan impunitas dan sepakat bahwa impunitas untuk kejahatan serius di masa lalu yang berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan meracuni masyarakat dan memunculkan bentuk kekerasan baru; merehabilitasi para korban dan menghapus segala jenis tuntutan dan larangan yang dilakukan pihak otoritas yang menghalangi mereka untuk menikmati secara penuh hak-hak asasi mereka yang dijamin di bawah undang-undang Indonesia dan internasional, dan; menentukan kebenaran tentang apa yang terjadi di tahun 1965 sehingga generasi masa depan dalam belajar dari masa lalu. [PUR]


3
  

Sumber: http://koransulindo.com/indonesia-dinyatakan-bertanggung-jawab-dan-bersalah-atas-kejahatan-kemanusiaan/

Wednesday 29 June 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (3a)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (3a)
(Masalah Pencabutan paspor WNI di Luar Negeri dan EKSIL) 
Oleh MD Kartaprawira*

Dalam simposium 18-19 April 2016 yang lalu, sayang tidak ada gema suara eksil, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang dicabut paspornya oleh penguasa orde baru dengan sewenang-wenang. Mereka itulah[K1]  mahasiswa-mahasiswa yang dikirim ke luar negeri oleh pemerintah Soekarno, yang diharapkan dan digadang-gadang untuk menjadi tulang punggung pembangunan negara setelah selesai studinya. Itulah ide Soekarno yang tidak mau jual obral kekayaan alam Indonesia kepada kapitalis-kapitalis asing. Sebab Bung Karno menunggu kedatangan spesialis-spesialis patriotik tersebut. Celakanya, kekuatan jahat anti rakyat berhasil mengkhianati yang “menunggu” maupun yang “ditunggu”.      

a)  Pencabutan semena-mena paspor WNI di Luar Negeri  adalah Pelanggaran HAM berat.

Jalan sejarah yang memang bengkok-bengkok inilah yang ternyata harus dilalui oleh para mahasiswa kiriman Bung Karno tersebut. Mereka inilah yang merupakan korban kejahatan kemanusiaan di luar negeri yang dilakukan oleh para Atase Militer di berbagai KBRI atas nama negara. Misalnya di KBRI Moscow peranan tersebut dilakukan oleh Atase Militer Brigjen M. Jasin, yang merangkap sebagai Ketua Panitia skrening.     
Di Rusia pencabutan paspor dimulai dengan pencabutan paspor 25 WNI yang berdomisili di Moscow (PENGUMUMAN No.Peng.852/R/1966, Moskow,1 Agustus 1966), berhubung diragukan loyalitasnya terhadap “Pemerintah Republik Indonesia”, yaitu Rejim dikmilfas Suharto. Dalam situasi panas tersebut loyalitas mereka terhadap Presiden Soekarno masih tetap utuh dan tanpa diragukan. Meskipun di dalam surat Pengumuman KBRI meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia yang berada di Uni Soviet untuk tidak memberikan bantuan kepada para mereka yang dicabut paspornya baik materiil maupun moril.

Selanjutnya pencabutan paspor dilakukan terhadap WNI lain-lainnya. Mulai sejak itu berkembang di Eropa, terutama di Moscow masalah orang-apatride (tanpa-kewarganegaraan, stateless, besgrazhdanstwo), eksil, OTP (Orang Terhalang Pulang), Orang Kelayaban (Gusdur menamakannya) dan sebagainya.
Sebagai orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless) mereka mengalami banyak penderitaan dalam perjalanan hidupnya. Dalam hubungannya dengan tanah air: mereka terputus hubungannya dengan  isteri/suami, anak-anaknya, tunangannya, orang tuanya dan sanak keluarga lainnya. Bahkan ketika orang tua meninggal pun tidak mengetahui, tidak dapat ikut mengurus penguburannya. Komunikasi melalui surat atau telepon juga terputus, sebab takut diketahui oleh penguasa di Indonesia. Sebab kalau ketahuan penguasa bahwa punya hubungan dengan para eksil, keluarga mereka yang di Indonesia juga   teman-temannya akan mendapatkan kesulitan-kesulitan, misalnya dipecat dari pekerjaan, ditangkap dan dimasukkan dalam rumah tahanan, dikeluarkan dari sekolah/universitas, diawasi terus kehidupannya oleh penguasa, dinyatakan tidak bersih lingkungan. Hal-hal tersebut di atas merupakan penderitaan jiwa/psikologis yang sangat berat bagi para eksil.

Dalam hubungannya dengan kehidupan di luar negeri: mereka harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi di negara setempat yang ideologi, politik, budayanya  berlainan dengan yang dimiliki di tanah air. Kesukaran-kesukaran dalam kehidupan politik setempat mengakibatkan mereka harus pindah dari satu negara ke negara lain. Mereka kebanyakan berpindah ke negara-negara Barat (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia), bahkan ada juga yang ke Aljazair, Mozambik, Kuba dan lain-lainnya. Yang membikin perasaan sedih kecuali itu ialah kenyataan kegagalan tidak dapat menyumbangkan ilmunya untuk negara dan bangsa setelah tamat studinya, seperti yang direncanakan pemerintah Soekarno ketika mengirimkan ribuan mahasiswa ke luar negeri. Mereka oleh negara telah di“cabut“ haknya  untuk mengembangkan kariernya dan menerapkan sumber daya tenaga mudanya demi nusa dan bangsa, hak untuk hidup di tanah airnya, hak untuk hidup bersama dengan keluarganya, hak untuk memilih atau dipilih dalam pemilihan umum, hak untuk  berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik di tanah airnya. Bahkan ada beberapa orang yang akhirnya menderita penyakit jiwa, nekad mengakhiri hidupnya.

Tindakan negara (cq. pemerintah/KBRI) yang mengakibatkan banyak penderitaan warganegaranya di luar negeri adalah bertentangan dengan UN International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights  dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh penguasa secara massal, sistimatik dan struktural terhadap warganegaranya di luar negeri tanpa dibuktikan kesalahannya. Maka mereka berhak menuntut keadilan kepada Negara, baik melalui jalur yudisial (pengadilan) ataupun non-yudisial (rekonsiliasi). Bahkan suara mereka  tidak didengarkan sampai 50 tahun berlalu. Karenanya, apakah salah kalau mereka menuntut agar negara minta maaf kepada para korban dalam penuntasan kasus tersebut? Bukankah Indonesia negara hukum yang  berdasarkan Pancasila?   

Para eksil-mahid menyadari mengapa rejim Orde Baru mencabut paspor/kewarganegaraannya, yaitu karena mereka akan menjadi penghalang besar jalannya pembangunan negara yang menganut neo-liberalisme/neokolonialisme di Indonesia, yang menjadi pesanan kaum kapitalis internasional. Maka mahasiswa-mahasiswa kiriman Bung Karno yang merupakan tenaga pembangun negara yang berpolitik BERDIKARI harus dicekal tidak boleh pulang ke tanah air dengan cara pencabutan paspornya. Jadi ada latar belakang politik serius  yang mendasari. Maka setelah G30S dihancurkan dan gilirannya  Bung Karno dilucuti kekuasaannya, jenderal Suharto cepat-cepat mengerahkan „pasukan Berkelay“ untuk melaksanakan politik ekonomi  „pintu terbuka“ yang benar-benar terbuka lebar-lebar sehingga sumber daya alam Indonesia bisa dijual-obral  kepada para kapitalis Internasional. Maka tidak mengherankan dengan cepat sumber daya alam habis terkuras, hutan menjadi gundul,  lingkungan hidup tercemar dan macam-macam musibah lainnya.

Penyelenggara-negara (rejim Orde Baru/Suharto) yang seharusnya mengabdi rakyat (WNI), tetapi justru sebaliknya menyengsarakannya dengan tindakan pencabutan paspor.
Demi terciptanya kerukunan nasional Presiden Jokowi mengambil kebijakan penuntasan kasus 1965 melalui jalur  Rekonsiliasi (non-yudisial). Seharusnya kebijakan presiden tersebut diterima dengan lapang dada oleh pihak pelaku. Sebab dengan dilaksanakannya Rekonsiliasi Nasional para pelaku tidak dihadapkan ke Pengadilan, yang berarti juga impunitas lepas dari tanggung jawab hukum. Luar biasa!!! Dapat dibayangkan begitu besar kemurahan akibat kebijakan rekonsiliasi. Tetapi harus diingat, bahwa dalam rekonsiliasi  kebenaran harus diakui dan diikuti permintaan maaf oleh pelaku. Bahwa rejim Suharto (cq. KBRI) telah melakukan pelanggaran hukum/HAM terhadap para WNI/mahid di luar negeri tanpa dibuktikan kesalahannya adalah fakta yang harus diakui. Oleh karena itu negara harus minta maaf kepada mereka - para korban (eksil-mahid dll.), tidak tergantung apakah mereka PKI atau non-PKI, Islam atau non-islam.

Semoga kasus tersebut di atas mendapat perhatian dari Presiden Jokowi, Dewan Pertimbangan Presiden dan Jenderal Agoes Widjojo, Pengarah Simposium Nasional 1965.

Nederland, 29 Juni 2016,
*MD Kartaprawira, Ketum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65),   mdkartaprawira@gmail.com


 [K1]

Wednesday 22 June 2016

Diskusi Nawacita dan Rekonsiliasi Bangsa

Seknas JOKOWI: Diskusi Nawacita dan Rekonsiliasi Bangsa
June 22, 2016 / By Redaksi Seknas
Seknas JOKOWI: Diskusi Nawacita dan Rekonsiliasi Bangsa
Add caption
JAKARTA – Menyikapi kontraversi upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, DPN Seknas jokowi mengadakan diskusi tentang “Nawacita dan Rekonsiliasi Bangsa”. Diskusi yang dihadiri sekitar 100 orang ini digelar di sekretariat DPN Seknas Jokowi, jl Cirebon No. 23 Menteng, Jakarta pusat pada Selasa (21/06/2016).
Dalam sambutannya Ketua Umum DPN Seknas Jokowi, M. Yamin mengingatkan bawa upaya rekonsiliasi atas berbagai pelanggaran HAM di masa lalu adalah keharusan sejarah. Menurutnya, Presiden joko Widodo telah berani mengambil sikap untuk melanjutkan upaya rekonsiliasi yang sudah lama digagas organisasi masyarakat sipil di Tanah Air.
Senada dengan itu, anggota Watimpres Sidarto Danusubroto memastikan upaya rekonsiliasi terhadap pelanggaran HAM di masa lalu termasuk tragedi tahun 1965 akan terus berlanjut. Perlawanan dari sejumah jenderal purnawirawan dan kelompok intoleran terhadap upaya rekonsiliasi ini tidak akan menghentikan langkah pemerintah Jokowi untuk menuntaskan masalah ini.
Menurut Sidarto, upaya rekonsiliasi sudah lama diperjuangkan dari mulai pembentukan Pansus RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tapi selalu dipatahkan. Dan sekarang presiden Jokowi telah mendorong proses rekonsiliasi anak bangsa ini lebih maju yang tertuang dalam Nawacita dan secara jelas dalam RPJMP. Baru kali ini presiden berani melakukan itu.
Selain Sidarto, narasumber lain yang berbicara dalam diskusi ini adalah Siti Noor Laela (anggota Komnas HAM) dan Ifdhal Kasim (Senior staff pada deputi V KSP). Dalam penjelasannya, Siti Noor Laela mengatakan upaya rekonsiliasi selalu menghadapi tantangan yang berat. Oleh karena itu dibutukan dukungan politik dari para relawan pendukung jokowi untuk menuntaskan pelanggaran berat di masa lalu demi terwujudnya rekonsiliasi bangsa.
Dalam kesempatan yang sama Ifdhal Kasim menjelaskan bahwa pemerintah telah membentuk Tim Kepresidenan untuk menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu. Untuk itu menurutnya perlu dukungan dari semua pihak agar proses rekonsiliasi bangsa ini bisa berjalan mulus demi masa depan indonesia yang lebih baik.
Acara diskusi tersebut diakhiri dengan buka puasa bersama yang menghidangkan berbagai menu makanan yang menarik selera. Sejumlah pimpinan kelompok relawan pendukung Jokowi turut meramaikan acara ini, ada dari Bara JP, Projo, Almisbat dll. Menteri Perindustrian Saleh Husin juga sempat hadir dalam kegiatan ini.
Usai buka puasa bersama, para relawan juga merayakan hari ulang tahun Presiden Jokowi yang ke-55 secara sederhana, dengan menyanyikan lagi ulang tahun dan memotong tumpeng. (Fadjar)

Seknas JOKOWI

Monday 30 May 2016

SELAMAT JALAN BUNG MUNADJI WIDJOJO

SELAMAT JALAN BUNG MUNADJI WIDJOJO

Betapa sedihnya ketika kami mendengar berita meninggalnya Bung Munadji Widjojo pada tanggal 26 Mei 2016 di Achen, Jerman. Demikianlah satu demi satu kawan OTP (Orang Terhalang Pulang) meninggalkan kita semuanya sebelum masalah Kebenaran terungkap  dan Keadilan ditegakkan bagi semua OTP dan korban pelanggaran HAM lainnya. 

Bung Munadji Widjojo adalah sahabat yang berhati murah memberikan solidaritasnya kepada perjuangan LPK65. Terima kasih banyak sahabat.

Kepada seluruh keluarga besar almarhum kami ucapkan duka cita yang dalam, semoga sabar dan tabah menghadapi situasi tersebut.

Selamat jalan Bung Munadji Widjojo, selamat beristirahat di kedamaian abadi. Kami panjatkan doa kepada Yang Murbeng Dumadi agar mendapat limpahan kasih-sayangNya.

Negeri Belanda, 30 Mei 2016
A/n Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65) dan seluruh anggota serta pendukungnya:
MD Kartaprawira (Ketum), S. Pronowardojo (Sekretaris I)


Thursday 19 May 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (2)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (2)
(Terkait keterlibatan negara dalam Pelanggaran HAM berat 1965)
Oleh: MD Kartaprawira*

Bahwasanya pada seantero tahun 1965-66 setelah peristiwa G30S di banyak daerah Indonesia terjadi tragedi dahsyat – pembantaian  massal, penganiayaan, dan berbagai tindak kekerasan lainnya, sudah diketahui umum. Tapi setelah 50 tahun kemudian baru timbul kesadaran serius akan perlunya penuntasan tragedi tersebut, yaitu ketika Presiden Joko Widodo  berjanji  akan menuntaskan tragedi kemanusiaan 1965 melalui jalur non-yudisial (Rekonsiliasi). Tugas besar Jokowi untuk pembangunan Indonesia Hebat,  dibarengi dengan tugas membangun kerukunan, damai dan sejahtera  kehidupan rakyatnya adalah cita-cita perjuangan yang luar biasa hebatnya. Bukankah Indonesia Hebat dibangun semata-mata untuk Rakyat? Maka dari itu masalah penuntasan tragedi kemanusiaan 1965 melalui jalur non-yudisial (Rekonsiliasi) harus dilaksanakan secara jujur, adil dan transparan. Biarlah rakyat tahu yang benar adalah benar dan yang zalim adalah zalim. Biarlah rakyat tahu bahwa  penyelenggara negara tidak bisa bertindak mengatas namakan negara dengan menyalah-gunakan kekuasaan (abuse of power).  

Simposium Nasional Tragedi 1965 yang diadakan pada 18-19 April 2016 di Jakarta telah membuka pintu untuk menjajaki  penyelesaian kasus tersebut, yang dihadiri oleh berbagai pihak yang bersangkutan (Wakil institusi-institusi negara, para korban dan organisasinya, LSM dan lain-lainnya). Mayoritas dari peserta simposium dengan berbagai nuansa persyaratan menyetujui dilakukannya jalur Rekonsiliasi.    Tapi sampai saat ini bagaimana wujud blue print Rekonsiliasi belum jelas, misalnya: Siapa yang akan diajukan sebagai pelaku dan siapa korban, atas dasar sistem individual atau kolegial? Apa bentuk dan isi  payung hukumnya, UU KKR(baru), PERPU, PERPRES? Bagaimana struktur Komisi Rekonsiliasi dan siapa saja yang duduk di dalamnya?
Kiranya pengalaman Rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa diambil pengalamannya dengan penyesuaian kondisi Indonesia.  Skemanya demikian:  Dalam prosedur rekonsiliasi dimulai dengan Pengungkapan Kebenaran (diungkap fakta-fakta kejahatan yang telah terjadi), kemudian Permintaan maaf pelaku kepada korban setelah kebenaran diakui pelaku, dan akhirnya Penegakan Keadilan (pemulihan hak-hak para korban, kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan lain-lainnya).

Perlu mendapat perhatian atas persyaratan yang tidak boleh tidak-ada (conditio sine qua non) dalam proses Rekonsiliasi, yaitu pernyataan maaf pelaku kepada korban. Sebab hal tersebut  merupakan konsekwensi terungkapnya kebenaran (incl. pengakuan pelaku) dan tujuan rekonsiliasi – perdamaian dan kerukunan nasional.  Maka tanpa permintaan maaf pelaku berarti belum ada Rekonsiliasi: belum ada perdamaian, permusuhan masih  terpendam dalam jiwa yang pada suatu waktu bisa keluar lagi.  
Tapi Jika pelaku tidak mau meminta maaf,  akibatnya pelaku harus diajukan ke pengadilan, artinya kasus tersebut diselesaikan lewat jalur yudisial. Maka permintaan maaf pelaku tidak diperlukan, dan  tidak diatur dalam KUHP. Ketika hakim sebelum menjatuhkan vonis, terlebih dahulu pelaku diberi kesempatan untuk mengucapkan kata terakhir. Di sinilah pelaku kadang-kadang berinisiatif mengucapkan permintaan maaf kepada korban dan/atau familinya, dengan maksud agar mendapat keringanan hukuman oleh hakim.

Menko Luhut Binsar Panjaitan semula menyatakan  bahwa Pemerintah tidak akan minta maaf. Tapi setelah ada perintah dari presiden Jokowi kepadanya untuk mencari kuburan massal, maka dia merubah pernyataannya bahwa akan meminta maaf kalau kuburan massal bisa dibuktikan. Maka jalan rekonsiliasi agak melebar. Sesungguhnya tidak hanya kuburan massal saja yang bisa menjadi bukti bahwa Negara (cq. Penyelenggara negara di masa lalu) telah terlibat dalam Pelanggaran HAM berat. Misalnya ribuan tapol yang diasingkan ke pulau Buru sebagai pekerja-budak yang dirampas hak-hak asasinya, hidup menderita dan sengsara belasan tahun adalah bukti tak terbantahkan terjadinya pelanggaran HAM berat. Bahkan untuk pembuktiannya tidak memerlukan peralatan ekspertisi dengan technologi tinggi. Misalnya, mereka dari berbagai rumah tahanan yang tersebar di berbagai daerah diangkut oleh ABRI dengan kapal ke pulau Buru. Di sana mereka dijaga, diawasi dengan ketat kehidupannya dan mendapat siksaan dari ABRI. Kepulangannya kembali ke daerah asalnya pun dilakukan oleh ABRI. Ketika dibebaskan transportasinya diurus ABRI. Di tempat kepulangannya kembali mereka dipaksa  mengucapkan sumpah/janji di hadapan ABRI. Mereka setiap waktu tertentu diharuskan lapor ke instansi ABRI (mis. KODIM). Jadi ABRI tidak bisa mengingkari kenyataan sebagai pelaku/pelaku-peserta pelanggaran HAM berat tersebut.

Dari fakta adanya kuburan massal ditambah fakta pembuangan para tapol ke pulau Buru sudah cukup sebagai bukti yang tak terbantahkan. Maka sudah sepatutnya negara minta maaf (plus penyesalan) kepada para korban, demi  rekonsiliasi nasional. Pencarian (perintah presiden Jokowi) dan pembungkaran (perintah Luhut Panjaitan) kuburan massal adalah salah satu cara untuk mendapatkan bukti-bukti untuk mengungkap kebenaran, yang diperlukan dalam proses Rekonsiliasi. Dari pembongkaran kuburan tersebut dengan bantuan laboratorium forensik Kepolisian atau Kejaksaan akan diketahui berapa orang yang dibunuh, korbannya orang komunis/PKI atau kyai/santri, kapan terjadi pembunuhan dan lain-lainnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka proses Rekonsiliasi, bukan yudisial (Pengadilan).

Maka sangat mengherankan mengapa  Menhan letjen (purn.)  Ryamizard Ryacudu menentang kebijakan presiden Jokowi. Apa dia tidak setuju Rekonsiliasi, tapi menginginkan jalur yudisial/Penadilan? Atau tidak setuju penutasan kasus kejahatan kemanusiaan 1965, dibiarkan saja sampai akhir jaman?  Bahwasanya ABRI adalah benteng pertahanan negara Indonesia dan rakyatnya, perlu mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Tetapi tanpa berjiwa ksatria akan dipertanyakan kebenaran benteng  tersebut.  

Di samping itu perlu dipahami bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo memilih jalur non-yudisial (rekonsiliasi) adalah suatu kebijakan kompromis. Sebab impunitas yang sudah berjalan 50 tahun hanya dilemari-eskan saja, pelaku tidak dikenakan tanggung jawab hukum. Meskipun demikian tetap saja hal tersebut mendapat perlawanan sengit dari pihak lain. Bagi pihak lain inilah seharusnya diterapkan alternatif lain, yaitu jalur yudisial (Pengadilan), seperti yang terjadi di Argentina, dimana diktator pelanggar HAM jenderal Videla dan semua kliknya (militer dan sipil) diadili.  

Setelah adanya Simposium tanggal 18-19 April 2016 situasi di tanah air sangat memanas. Bahkan panasnya  sudah menyulut di kalangan pemerintahan. Maka presiden Joko Widodo perlu menggunakan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sistem presidensial, yang harus tegas mengambil tanggung-jawab dengan kebijakan yang pro rakyat, yaitu melaksanakan Rekonsiliasi Nasional menuju Indonesia yang damai, aman dan sejahtera.

Nederland, 18 April 2016.
*Ketua Umum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65)
(mdkartaprawira@gmail.com)




Monday 16 May 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (1) (Tidak menerapkan hukum sesuai Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (1)
(Tidak menerapkan hukum sesuai Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945) 

Oleh: MD Kartaprawira*
Tahun-tahun terakhir ini masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 sangat hangat jadi obyek perdebatan dalam diskusi, seminar dan semacamnya, terutama setelah presiden Joko Widodo dengan jelas memberi pernyataan akan menyelesaikan kasus tersebut melalui jalur non-yudisial – Rekonsiliasi. Bersamaan dengan itu di dalam masyarakat  timbul berbagai pendapat mengenai persyaratan yang perlu   dipenuhi agar supaya rekonsiliasi tercapai sukses dengan adil dan manusiawi. Salah satunya adalah persyaratan bahwa negara harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya, di samping keharusan adanya pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan.
Tumpah tindih telah terjadi atas penerapan kata „Permintaan Maaf“ negara dalam hubungannya dengan peristiwa tragedi pelanggaran HAM berat 1965-66: pembunuhan besar-besaran dan tindak kekerasan lainnya setelah peristiwa G30S. Menurut hemat kami ada dua macam permintaan maaf oleh negara yang harus dibedakan satu sama lain dan kedua-duanya harus dilaksanakan, yaitu:
1.  „Permintaan Maaf“ negara karena negara tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya untuk penanganan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Dengan demikian bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum).
 2. „Permintaan Maaf“ negara dalam kaitannya dengan dugaan keterlibatan negara (cq.penyelenggara negara/Jendral Suharto dkk.)  dalam kasus Pelanggaran HAM berat 1965.

Seperti telah kita ketahui, sesudah terjadinya peristiwa G30S pada tahun sekitar 1965-66 diberbagai daerah Indonesia terjadi banyak pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain tindak melawan hukum, sehingga mengorbankan ribuan-jutaan manusia yang tak dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum. Maka akibatnya timbul kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.       
Indikasi pokok suatu Negara Hukum ialah diberlakukannya tatanan hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Maka di dalam negara timbul tatatertib, suasana aman dan tenteram. Sehingga tercermin adagium: „Hukum adalah panglima“, „Meskipun langit  besok runtuh, hukum harus ditegakkan“, dan lain-lainnya.

Oleh karena itu tugas dan kewajiban negara  adalah menjamin sebaik-baiknya agar hukum diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara jujur dan konsekwen. Tapi kenyataannya dalam tahun-tahun terjadinya tragedi dan sesudahnya, negara tidak hadir menerapkan hukum (terutama selama 32 tahun kekuasaan rejim Suharto) untuk menangani tragedi luar biasa tersebut. Padahal peraturan perundang-undangan Indonesia sudah lebih dari cukup untuk  diterapkan atas kasus tersebut.

Tetapi sampai 50 tahun kasus pembantaian, pembuangan ke kamp-kamp tahanan, kerja-paksa, dan tindak-tindak kekerasan lainnya tak pernah ditangani  sampai di meja hijau. Sehingga dari titik pandang „formal-yuridis“ tidak bisa dikatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Dan akhirnya terjadi kenyataan absurd: membunuh, menganiaya, memperkosa dan lain-lain tindak kekerasan semacamnya di kala itu dianggap dan terus dianggap sah-sah saja.

Mengapa demikian?  Jawabannya jelas: sebab tugas yudicatif negara secara sadar dan sengaja disalah-gunakan untuk kepentingan kekuasaan rejim orba. Dengan tidak menerapkan hukum kala itu rejim bisa dengan bebas dan leluasa bertindak untuk mendapatkan apa yang dikehendaki (= sukses kudeta dan sukses mempertahan kekuasaan dikmilfas 32 tahun, yang kemudian dilanjutkan kader-kadernya).          

Padahal di dalam negara hukum seharusnya ketika di sesuatu daerah terjadi tindak kriminal/pelanggaran HAM,  negara (cq. penyelenggara negara) secara otomatis [K1] dan secepat mungkin berkewajiban turun tangan melakukan kebijakan-kebijakan untuk mencegah, mengatasi maraknya tindak kekerasan dan kemudian menuntaskan kasusnya sampai di sidang pengadilan. Tapi sekali lagi, fakta-nyatanya rejim orde baru selama masa kekuasaannya 32 tahun  kasus tersebut didiamkan saja. Bahkan situasi tersebut dilanjutkan oleh penyelenggara-penyelenggara negara di era „reformasi“ , hingga kasus tersebut terbengkelai selama 50 tahun.

Dengan tidak diberlakukannya hukum atas peristiwa tersebut di atas, adalah suatu hal yang tidak aneh apabila Negara harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya, (tidak tergantung siapa pun korbannya: komunis atau non-komunis, apapun agamanya, sukunya, etnisnya, dan lain-lainnya).
Dengan demikian terbukti Negara telah gagal mewujudkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara – suatu kesalahan konstitusional memalukan yang harus diakui oleh negara.
Maka tidak pandang siapapun presidennya saat ini di Indonesia, dialah (sebagai penyelenggara negara) yang harus „atas nama negara“ menyatakan permintaan maaf kepada para korban dan keluarganya.   Sedang penolakan negara „minta maaf” hanya menunjukkan betapa rendahnya tatanan norma dan nilai/moral yang diberlakukan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.

Karena permintaan maaf negara tersebut di atas (terkait pengingkaran Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) adalah tidak tergantung adanya Pengadilan ad hoc atau pun Rekonsiliasi, maka menurut hemat kami, seyogyanya permintaan maaf negara disampaikan terpisah sebelum dilaksanakan proses Pengadilan ad hoc atau pun proses Rekonsiliasi.

Semoga Bp. Joko Widodo dan Bp. Agus Widjojo memahami.

Nederland 15-05-2016

*Ketua Umum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65),
(mdkartaprawira@gmail.com) 



 [K1]